Jumat, 25 Februari 2011

Hukum Darah Nifas

Waktu persalinan adalah salah satu momen paling mendebarkan bagi seorang wanita. Karena momen ini merupakan bagian dari jihad teragung kaum wanita. 

Di mana seorang wanita yang meninggal saat melahirkan bahkan termasuk golongan manusia yang mati syahid (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Setelah momen ini, seorang wanita akan memulai babak baru kehidupannya menjadi seorang ibu yang mempunyai kewajiban mendidik buah hatinya. Dan sebaik-baik pendidikan untuk anak adalah dengan pendidikan agama.

Ternyata, momen penting ini pun tak lepas dari perhatian syariat karena pada saat persalinan seorang wanita akan mengeluarkan darah nifas. Sebagaimana haid dan istihadhah, darah nifas termasuk jenis darah yang biasa terjadi pada wanita. Oleh karena itu, para muslimah hendaknya mengetahui hukum-hukum seputar darah nifas.

Apakah Darah Nifas itu??
 
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas.

Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.

Perlu ukhty ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar,  

“Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban.” (kitab Syarhul Iqna’)
Secara ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas:
  1. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum, bersamaan atau sesudah melahirkan
  2. Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti dengan proses kelahiran
  3. Bayi yang dilahirkan/ dikeluarkan sudah berbentuk manusia (terdapat kepala, badan dan anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki, meskipun belum sempurna benar)
Lama Keluarnya Darah Nifas
 
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.

Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Azizradhiyallahu ‘anha.Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata,  mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu empat puluh hari. Pendapat beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah

“Kaum wanita yang nifas tidak shalat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama empat puluh hari.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). 

Waktu empat puluh hari dihitung sejak keluarnya darah, baik darahnya itu keluar bersamaan, sebelum atau sesudah melahirkan.

Pendapat yang kuat, insyaa Allah, pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal lama waktu nifas. Waktu empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita. Akan tetapi apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi.

Mengenai banyaknya darah, juga tidak ada batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang wanita belum wajib mandi (bersuci).
Secara ringkas, ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:
  1. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak keluar lagi setelah itu. Maka sang wanita wajib mandi (bersuci) dan kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti shalat dan puasa, dll.
  2. Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan tetapi kemudian darah keluar lagi sebelum hari ke-40. Maka, jika darah berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa. Jika darah keluar, ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya darah kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci.
  3. Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari ke-40. Maka sang wanita harus mandi (bersuci).
  4. Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada beberapa kondisi:
    1. Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid (berhentinya darah nifas bertepatan waktu haid), maka sang wanita tetap meninggalkan shalat dan puasa. Darah yang keluar setelah 40 hari dihukumi sebagai darah haid. Sang wanita baru wajib mandi (bersuci) setelah darah haid tidak keluar lagi.
    2. Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haid, ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut ulama yang berpendapat bahwa lama maksimal nifas adalah 40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah fasadh (penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana istihadhah. Sedangkan menurut ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal lama nifas, mereka menilai darah yang keluar setelah 40 hari tetap sebagai darah nifas. Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.
Akan tetapi, jika ingin berhati-hati, setelah 40 hari dinilai suci. Sehingga sang wanita bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa, meski darah tetap keluar. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada 2 keadaan:
  • Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit. Maka sang wanita menunggu darah berhenti keluar, baru kemudian mandi (bersuci)
  • Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang dipakai. Misal, sang wanita telah mengalami beberapa kali nifas yang lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang dipakai.
Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita yang Nifas
 
Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja yang diharamkan bagi wanita yang haid. Antara lain,
  1. Sholat.
    Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Muhalla)
  2. Puasa.
    Wanita yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan tetapi ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas. Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
  3. Thawaf.
    Wanita haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka’bah sampai kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  4. Jima’.
    (lihat sub judul “Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas”)
  5. Tidak bleh diceraikan.
    Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (dengan wajar).” (Qs. ath-Thalaq: 1)
Hukum-hukum Seputar Nifas
 
Tidak ada perbedaan hukum antara haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:

1. Iddah
 
Apabila wanita tidak sedang hamil, masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (Qs. al-Baqarah: 228)
 
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang dimaksud ‘quru‘ adalah haid, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung berdasarkan haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan, masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami menceraikan istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang istri mendapat 3 kali haid.

2. Masa Ila’
 
Ila’ adalah sumpah seorang laki-laki untuk tidak melakukan jima’ terhadap istrinya selamanya atau lebih dari empat bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta untuk berhubungan, maka sang suami harus memilih antara jima’ atau bercerai.

Masa haid termasuk hitungan masa ila’, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila seorang suami bersumpah untuk tidak berjima’ dengan istrinya, sedangkan istrinya sedang dalam keadaan nifas, maka masa ila’ ditetapkan empat bulan ditambah masa nifas. Setelah masa itu, bila sang istri meminta untuk melakukan jima’, sang suami harus memilih apakah jima’ atau bercerai.

3. Balighnya seorang wanita dihitung dari saat haid pertama kali, bukan nifas.

Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Menggauli wanita nifas sama halnya dengan wanita haid, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.” (Lihat Majmu’ Fatawa)
 
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka katakanlah, “Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. al-Baqarah: 222)

Seorang suami boleh sekedar bercumbu dengan istri yang sedang nifas asal tidak sampai jima’. Akan tetapi bila sampai terjadi jima’, para ulama berselisih pendapat apakah wajib membayar kaffarah (denda) ataukah tidak (Lihat al-Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah).
 
Pendapat yang lebih kuat, insya Allah, wajib membayar kaffarah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas sradhiyallahu ‘anhu . Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika berbicara tentang seorang suami yang mencampuri istrinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523, ‘Aunul Ma’bud 1:445 no:261, Nasa’ai I:153, Ibnu Majah 1:210 no:640. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)

Adapun apabila seorang wanita telah suci dari nifas sebelum 40 hari, kebanyakan ulama berpendapat bahwa suami tidak dilarang untuk menggaulinya. Dan inilah pendapat yang kuat. Karena tidak ada dalil syar’i yang melarangnya.

Riwayat yang ada hanyalah dari Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, “Jangan engkau dekati aku!” Akan tetapi, ucapan Utsman tersebut bukan berarti seorang suami terlarang menggauli istrinya. Sikap Utsman tersebut mungkin timbul karena kehati-hatiannya, yaitu khawatir istrinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau hal lain. (Lihat al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz)

Karena itu, apabila pada diri seorang suami atau istri timbul keragu-raguan, maka hendaklah memastikan dahulu, apakah sang istri benar-benar telah suci dari darah nifasnya. Karena secara medis, jima’ aman dilakukan bila sang istri telah melewati masa nifas, kecuali bila saat itu sang istri langsung mengalami haid, terjadi perdarahan, atau sedang menjalani terapi tertentu. Apabila masih ragu, hendaklah berkonsultasi dengan dokter. Apakah kondisi sang istri telah normal dan benar-benar pulih secara medis sehingga bisa dicampuri oleh suaminya. Karena dalam hal ini kondisi setiap wanita berbeda-beda. Tidak selayaknya seorang muslim melakukan hal yang berbahaya dan membahayakan orang lain.
Wallahu Ta’ala a’lam.

Hukum Darah Haid

Pada tulisan yang telah lalu telah dibahas mengenai hal-hal yang diharomkan bagi wanita haid. Pada tulisan bagian kedua ini, akan dipaparkan tiga permasalahan penting terkait wanita haid, yaitu mengenai boleh tidaknya wanita haid masuk ke dalam masjid serta menyentuh dan membaca Al Qur’an.
 
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid masuk dan duduk di dalam masjid ?

Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:

لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدُ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ
“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)

Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.
Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):
  1. Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh.
  2. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.
Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:

لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ
“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)

Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”

Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”

Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)

Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.
Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)

Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?

Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:

لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ

Artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)

يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. 

Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:

لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)

Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)

Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ

Artinya:
“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.”
(QS. Al Waqi’ah: 77-80)

Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).
Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:
  1. Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]
  2. Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:

الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.

Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:

نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو
“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).

Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)

Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)
Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).

Kesimpulan:

Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.

Hukum Darah Istihadlah

Definisi Istihadlah

Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji’ (vagina)-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan sebagai darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullaahShahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17, Fathul Bari 1/511) dalam penjelasaannya terhadap Shahih Muslim mengatakan: “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (

Al Imam Al Qurthubi rahimahullaah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57).

Syaikh Al Utsaimin rahimahullaah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, ia berkata: “Fathimah bintu Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci…’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain: ‘Aku istihadlah tidak pernah suci… .’

Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya: “Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya). (Terj. Risalah fid Dima’, hal. 40)

Antara Darah Haid dan Darah Istihadlah

Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallaahu ‘anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata, “Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”

Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah,  

“Yang demikian itu hanyalah darah dari urat, bukan haid.”

Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, yaitu yang pasti dialami oleh setiap wanita normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatan setan yang ingin menimbulkan keraguan pada anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159): “Makna sabda Nabi: (’Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah setan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga setan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.” Al Imam As Shan’ani melanjutkan: “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)
Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit. Sehingga menurut Ibnu Taimiyyah, keduanya harus dibedakan. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).

Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) serta keluar dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:
  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
Keadaan Wanita yang Istihadlah

Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan:

Pertama: 

Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.

Misalnya: Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab :  

“(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang kau biasa haid, kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari)

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin, “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)

Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak perlu mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan wanita yang suci.

Keadaan kedua: 

Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu (mubtada’ah) sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah (mumayyizah). Maka untuk membedakan sifat darah haid dan darah istihadlah menggunakan cara tamyiz (pembedaan sifat darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam, kental dan beraroma tidak sedap. Bila dia dapatkan demikian, maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullaah)

Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. 

Mereka berdalil dengan hadits Fathimah bintu Abu Hubaisy di atas. Ada pula yang berpendapat ‘adat‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya. Pendapat inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam. didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki

Keadaan ketiga: 

Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula dapat membedakan darahnya. Darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya sama atau tidak jelas perbedaannya. Maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Selebihnya berarti istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis.

Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha dimana beliau mengalami istihadlah yang banyak dan deras, maka beliau meminta fatwa pada Nabi Shallallaahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Menurut Ahmad dan Tirmidzi hadits shohih, sedang menurut Imam Bukhoriy, hadits hasan)

Kata Al Imam As Shan’ani: “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159)

Wanita yang memiliki keadaan seperti ini, ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila kebiasaan haidnya enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila kebiasaan haidnya tujuh hari. Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun dengan melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dan berdekatan umur dengannya. Al Imam As Shan’ani mengatakan : 

“Ucapan Nabi dalam hadits: ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, -pent). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya para wanita memiliki salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh). Di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita (yang meiliki kebiasaan seperti itu) mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan (rahim) dengannya.” (Subulus Salam hal. 160)

Para ahli fikih berkata: “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat (kebiasaan) yang tetap dan pasti, maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa ulama Salaf, halaman 54)

Apabila kebiasaan wanita yang seumur dan paling dekat kekerabatan dengannya itu bukan enam atau tujuh hari (misalnya sepuluh hari), maka dia tetap harus berpedoman dengan kebiasaan wanita tersebut yaitu sepuluh hari. Allahu Ta’ala A’lam.

Kondisi keempat dan kelima: 

Jika wanita tersebut memliki kebiasaan haid tertentu, namun haidnya tidak teratur bilangannya (muktaribah), maka jika masih memungkinkan melakukan tamyiz, maka kondisinya disesuaikan dengan wanita dengan kondisi kedua di atas.

Kondisi keenam: 

Wanita yang memiliki kebiasaan, namun lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus-menerus keluar, maka ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan darahnya (mubtada-ah). Ada yang berkata: Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Majmu’ Syarhil Muhadzdzab 2/396). Yang rojih, menurut Syaikh Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, adalah mengembalikannya pada kebiasaan wanita yang lain namun dalam hal ini lebih dipersempit. Misalnya wanita itu hanya ingat bahwa ia haid di awal bulan, namun lupa tanggal berapa. Kemudian keluar darah terus menerus. Ibu wanita tersebut memiliki haid yang teratur setiap awal bulan pada tanggal tertentu, demikian pula dengan saudara wanitanya hanya saja di akhir bulan. Maka wanita tersebut harus menetapkan tanggal haidnya sesuai tanggal haid ibunya, meski kekerabatan rahim dan umurnya lebih mendekati saudara wanitanya.

Kondisi ketujuh: 

Jika ia tahu bilangan/durasi haidnya dan letaknya (awal, tengah atau akhir), namun ia lupa tepatnya tanggal berapa ia haid, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian mengatakan bahwa dia harus mengambil tanggal haidnya di awal bulan (meski ia yakin biasa haid di tengah bulan). Akan tetapi, menurut Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ yang lebih mendekati pada kenyataan sebenarnya adalah mengambil tanggal pasti dari awal, tengah, atau akhir bulan. Misal wanita tersebut yakin ia haid di tengah bulan namun lupa tanggal berapa. Maka yang lebih mendekati kebenaran adalah ia menetapkan tanggal haidnya adalah tanggal 13, daripada menetapkan tanggal haidnya di awal bulan.

Hukum-Hukum Istihadlah

Hukum wanita yang istihadlah sama seperti hukum wanita yang suci kecuali pada hal berikut ini:

1. Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain (pembalut) berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah radhiyallaahu’anha: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas karena dia mampu menyerap darah’. Hamnah radhiyallaahu’anha berkata, ‘Darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,’Gunakan kain’. Hamnah berkata,’darahnya lebih banyak dari itu’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Gunakan penahan’.”

Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah: 222). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ hal. 50)

Apakah Wajib Mandi Setiap Akan Shalat?

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan: “Darah itu dari urat. Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)

Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata: “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana dinukil dari mereka oleh Al Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf.” (4/19-20)

Adapun hadits yang ada tambahan lafadz: “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.” Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq -seorang perawi hadits ini- salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh: “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221) jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)

As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah: “Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadz: “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah dalil karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya: “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” (Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh Al Albani dan lain-lain)

Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah, tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.

Apakah Wajib Wudlu Setiap Akan Shalat?

Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anhaShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya: “‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan, ‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari: 228) bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi

Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadz: “Berwudlulah” setelah lafadz: “Cucilah darah haidmu”. Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadz hadits di atas adalah: “Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)

Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan. Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya: “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang kami tinggalkan penyebutannya.”

Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl: “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah: ((“watawadl-dla’i/ berwudlulah”)). An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan: ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan: ‘Berwudlulah’ ” (Syarah Muslim 4/22)
Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di atas. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224- 226).

Kesimpulannya: 

Perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah yang datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh para ulama. Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat dan sudah lewat penyebutan kami tentang masalah mandi bagi wanita istihadlah ini. Walhamdulillah.

Khitan Bagi Wanita

Bagi masyarakat muslim Indonesia, khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar, meskipun di sana sini masih banyak yang perlu diluruskan berhubungan dengan pelaksanaan sunnah bapak para nabi (Ibrohim ‘alaihissalam). Namun, bagi kaum hawa, khitan menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan bisa saja masih menjadi sesuatu yang tabu dilakukan oleh sebagian orang, atau bahkan mungkin ada yang mengingkarinya. Padahal tentang disyariatkannya khitan bagi kaum wanita adalah sesuatu yang benar-benar ada dalam syariat islam yang suci ini, dan setahu kami (penulis) tidak ada khilaf ulama mengenai hal ini. Khilaf di kalangan mereka hanya berkisar antara apakah khitan itu wajib dilakukan oleh kaum wanita ataukah sekedar sunnah (mustahab). Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit penjelasan tentang permasalahan ini.
 
Pengertian Khitan

Khitan secara bahasa diambil dari kata (ختن ) yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (clitoris) dan al-khitan adalah nama dari bagian yang dipotong tersebut. (lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).
Berkata Imam Nawawi, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.”(Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340)

Dalil Disyariatkannya Khitan

Khitan merupakan ajaran nabi Ibrohim ‘alaihissalam, dan umat ini diperintahkan untuk mengikutinya, sebagaimana dalam QS. An-Nahl: 123,

ثم أوحينا إليك أن اتبع ملّة إبراهيم حنيفا
“Kemudian Kami wahyukan kapadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrohim, seorang yang hanif.”

Disebutkan dalam Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Saroh ketika menghadiahkan Hajar kepada nabi Ibrohim ‘alaihissalam , lalu Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia bersumpah ingin memotong tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia akan memotong hidung dan telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh untuk melubangi telinganya dan berkhitan. Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قاال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خمس من الفطرة : الاستحداد والختان، وقص الشارب،ونتف الابط،وتقليم الأظفا ر.

Dari Abu Harairah radhiyallahu’anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ” lima hal yang termasuk fitroh yaitu: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)

Hukum Khitan bagi Wanita

a. Ulama yang mewajibkan khitan, mereka berhujjah dengan beberapa dalil:

1. Hukum wanita sama dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ummu Sulaim radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6/256 dengan sanad hasan).

2. Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut khitan bagi wanita, diantaranya sabda beliau:

إذ التقى الختا نا ن فقد وجب الغسل
“Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi 108, Ibnu Majah 608, Ahamad 6/161, dengan sanad shahih).
عن عائسة رضي الله عنها قالت,قال رسول الله صلي الله هليه و السلم : إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان الختان فقد وجب الغسل.

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila seorang laki-laki duduk di empat anggota badan wanita dan khitan menyentuh khitan maka wajib mandi.” (HR. Bukhori dan Muslim)
عن أنس بن مالك, قال رسول الله صلي الله عليه والسلم لأمّ عاطية رضي الله عنها : إذا خفضت فأشمي ولا تنهكي فإنّه أسرى للوجه وأحضى للزوج.

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu’anhu berkata, Rosulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu ‘athiyah,”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Al-Khatib)

3. Khitan bagi wanita sangat masyhur dilakukan oleh para sahabat dan para shaleh sebagaimana tersebut di atas.

b. Ulama yang berpendapat sunnah, alasannya:

Menurut sebagian ulama tidak ada dalil secara tegas yang menunjukkan wajibnya, juga karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air kencing yang najis yang terdapat pada tutup kepala dzakar, sedangkan suci dari najis merupakan syarat sahnya sholat. Sedangkan khitan bagi wanita tujuannya untuk mengecilkan syahwatnya, jadi ia hanya untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah kewajiban. (Syarhul Mumti’, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/134)

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah pernah ditanya, “Apakah wanita itu dikhitan ?” Beliau menjawab, “Ya, wanita itu dikhitan dan khitannya adalah dengan memotong daging yang paling atas yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, biarkanlah sedikit dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi suami.’ Hal ini karena, tujuan khitan laki-laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala dzakar. Sedangkan tujuan khitan wnaita adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena apabila wanita tidak dikhitan maka syahwatnya akan sangat besar.” (Majmu’ Fatawa 21/114)

Jadi, khilaf mengenai hukum khitan ini ringan, baik sunnah atau wajib keduanya adalah termasuk syariat yang diperintahkan, kita harus berusaha untuk melaksanakannya.

Waktu Khitan

Terdapat beberapa hadits yang dengan gabungan sanadnya mencapai derajat hasan yang menunjukkan bahwa khitan dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, yaitu:
  1. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhuma, bahwasannya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan aqiqah Hasan dan Husain serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.(HR. Thabrani dan Baihaqi)
  2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Terdapat tujuh perkara yang termasuk sunnah dilakukan bayi pada hari ketujuh: Diberi nama, dikhitan,…” (HR. Thabrani)
  3. Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan dan mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya dengan perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Namun, meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tidak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Thabrani).

Berkata Imam Al-Mawardzi, ” Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur. (Fathul Bari 10/342).

Walimah Khitan

Acara walimah khitan merupakan acara yang sangat biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, atau mungkin juga di negeri lainnya. Persoalannya, apakah acara semacam itu ada tuntunannya atau tidak ?
Utsman bin Abil ‘Ash diundang ke (perhelatan) Khitan, dia enggan untuk datang lalu dia diundang sekali lagi, maka dia berkata, ” Sesungguhnya kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi walimah khitan dan tidak diundang.” (HR. Imam Ahmad)

Berdasarkan atsar dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah khitan adalah tidak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi sanad tidak shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tidak adanya walimah khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan yang disandarkan dan dikaitkan dengan khitan, maka membutuhkan dalil untuk membolehkannya. Semoga Allah ta’ala memudahkan kaum muslimin untuk menjalankan sunnah yang mulia ini.