Jumat, 29 April 2011

Sangat Butuh Pada Allah

Di saat kesulitan melanda, di saat hati telah merasa putus asa, yang diharap hanyalah pertolongan Allah. Hamba hanyalah seorang yang fakir. Sedangkan Allah adalah Al Ghoniy, Yang Maha Kaya, yang tidak butuh pada segala sesuatu. Bahkan Allah-lah tempat bergantung seluruh makhluk. 

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Hai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala menerangkan bahwa Dia itu Maha Kaya, tidak butuh sama sekali pada selain Dia. Bahkan seluruh makhluklah yang sangat butuh pada-Nya. Seluruh makhluk-lah yang merendahkan diri di hadapan-Nya.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Seluruh makhluk amat butuh pada Allah dalam setiap aktivitasnya, bahkan dalam diam mereka sekali pun. Secara dzat, Allah sungguh tidak butuh pada mereka. Oleh karena itu, Allah katakan bahwa Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji, yaitu Allah-lah yang bersendirian, tidak butuh pada makhluk-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah sungguh Maha Terpuji pada apa yang Dia perbuat dan katakan, juga pada apa yang Dia takdirkan dan syari’atkan.”

Seluruh makhluk sungguh sangat butuh pada Allah dalam berbagai hal.
Makhluk masih bisa terus hidup, itu karena karunia Allah.
Anggota badan mereka begitu kuat untuk menjalani aktivitas, itu pun karena pemberian Allah.
Mereka bisa mendapatkan makanan, rizki, nikmat lahir dan batin, itu pun karena kebaikan yang Allah beri.
Mereka bisa selamat dari berbagai musibah, kesulitan dan kesengsaraan, itu pun karena Allah yang menghilangkan itu semua.
Allah-lah yang memberikan mereka petunjuk dengan berbagai hal sehingga mereka pun bisa selamat.
Jadi, makhluk amatlah butuh pada Allah dalam penghambaan kepada-Nya, cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Seandainya mereka tidak melakukan penghambaan semacam ini, niscaya mereka akan hancur, serta ruh, hati, dan kondisi mereka pun akan binasa. 

Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh pada makluk-Nya) adalah Allah tidak butuh pada ketaatan yang dilakukan oleh orang yang taat. Tidak memudhorotkan Allah sama sekali jika hamba berbuat maksiat. Jika seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini beriman, tidak akan menambah kerajaan-Nya sedikit pun juga. Begitu pula jika seluruh makhluk yang ada di muka bumi kafir, tidak pula mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendir. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An Naml: 40).

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al ‘Ankabut: 6).

فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوْا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. At Taghobun: 6).

إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ

Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 8).

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 2577).

Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh-Nya Allah pada segala sesuatu) adalah Allah tidak butuh pada infak dari orang yang berinfak dan begitu pula Allah tidak mendapatkan bahaya jika ada orang yang pelit. 
Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ

Dan siapa yang kikir, sesungguhnya Dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang butuh (kepada-Nya).” (QS. Muhammad: 38).

Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh-Nya Allah pada segala sesuatu) adalah terbebasnya Allah dari berbagai ‘aib dan kekurangan. Barangsiapa yang menetapkan sifat tidak sempurna bagi Allah, maka itu berarti telah mencacati sifat ghina Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempuyai anak". Maha suci Allah; Dia-lah yang Maha Kaya; Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi.” (QS. Yunus: 68).

Tidak ada yang sebanding dengan Allah dan tidak pula yang jadi tandingan bagi-Nya. Itulah bentuk ghina Allah yang lain. Lantas bagaimana seseorang menyamakan makhluk yang fakir dengan Allah. Bagaimana mungkin Allah yang ghoni Yang Maha Kaya disamakan dengan hamba. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?". Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Maidah: 17).

Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh-Nya Allah pada segala sesuatu) adalah hamba-Nya amat butuh berdoa pada-Nya setiap saat. Allah pun berjanji untuk mengabulkannya. Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah dan Allah janji akan memberikan ganjaran.

Barangsiapa yang mengetahui Allah memiliki sifat ghina (tidak butuh pada segala sesuatu selain Dia), maka ia akan mengenali dirinya yang fakir dan benar-benar butuh pada Allah. Jika hamba telah mengetahui bahwa ia sangat fakir dan sangat butuh pada Allah, itu adalah tanda bahagia untuknya di dunia dan akhirat.

Rahmat Allah Mengalahkan Murka-Nya

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluq, Dia menulis di dalam Kitab-Nya, yang berada di sisi-Nya di atas ‘Arsy (yang isinya): “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” (Shahih al-Bukhari no. 2955 dari Qutaibah bin Sa’id dari Mughirah bin ‘Abdur Rahman Al Qurasyiy dari Abu Az Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Limpahan puji ke hadhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Mahaluhur, Yang Maha melinmpahkan kebahagiaan, Yang Maha Memiliki kebahagiaan, Yang Maha memiliki ruh dan jiwa (setiap makhluq-Nya),  Maha memiliki sanubari (setiap makhluq-Nya), Maha memiliki jasad (setiap makhluq-Nya), Maha menceraikan ruh dengan jasad, dan Maha memindahkan hamba dari alam ke alam, dari alam ruh ke alam rahim, dari alam rahim ke alam dunia,  dari alam dunia ke alam barzakh, dari alam barzakh ke alam akhirah, dan alam itu satu demi satu pasti kita lewati.

Kita telah melewati alam ruh, namun kita tidak menyadarinya. Kita telah melewati alam rahim, di dalam rahim ibunda kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Sampailah kita di alam yang menjadi penentu, yaitu alam dunia ini. Jangan sampai kita tidak menyadarinya. Karena setelah ini adalah ketentuan alam selanjutnya, yang tidak bias lagi menjadikan ketentuan kita berubah lagi, yaitu ‘alamul barzakh. Dan setelah itu adalah alam akhirah yang kekal abadi, tiada akan pernah ada akhirnya.

Alam ruh berakhir dengan pindahnya kita ke alamur rahim. Alam rahim hanya selama beberapa bulan saja. Umumnya 9 bulan, tetapi terkadang hanya 7 bulan (premature/sebelum matang). Dan setelah itu, lahirlah ke alam dunia. Dan di alam dunia pun tidak ada satu pun yang kekal. Wa maa fawqot turoobi turoobu. Semua yang ada di atas tanah akan kembali ke tanah. Semua yang dibangun di atas bumi akan kembali ke perut bumi. Dan semua yang ada di alam ini tidak satu pun yang kekal. Namun amal pahala kita itulah yang akan membuat kita kekal, di dalam keluhuran atau dalam kehinaan, dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Saudara-saudariku yang kumulyakan, ketahuilah, semua yang ada di tubuh kita akan dilepaskan. Ketahuilah, pakaian kita, harta kita, jabatan kita, semuanya akan dilepaskan. Dan setelah itu, ingatlah, semua yang bersifat dosa akan membawa mushibah yang sangat berat. Dan semua yang bersifat ibadah akan membawa keberuntungan yang sangat indah.

Saudara-saudariku yang kumulyakan, ketahuilah, piagam penghargaan teragung, dialah wisuda termulya dan tersuci, adalah kalimat Laa ilaaha illallaah di dalam husnul khatimah (penutupan usia yang baik). Itulah awal dari segala keluhuran yang tiada akan pernah ada berakhir, dan akan berlanjut dengan kehidupan yang abadi dalam kebahagiaan.

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آَسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
Perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, samakah dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya? (QS. Muhammad: 15).

Allah berfirman:

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ

Salah satu perumpamaan saja, surga yang Allah ciptakan bagi hamba-hamba-Nya yang baik itu

فِيهَا أَنْهَارٌ

Padanya ada sungai-sungai yang mengalir. Banyak riwayat mengatakan bahwa  sungainya itu mengalir di depan istana-istana surga, mengalir sampai di bawah istana-istana surga, dan sampai ke dalam istana-istana surga.

فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آَسِنٍ
 Tidak pernah berhenti, air itu terus mengalir, airnya sangat tawar dan lebih ni’mat dari air yang ada di dunia.

وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ
Dan ada juga aliran-aliran sungai susu yang tidak pernah berubah rasanya.

وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى

Aliran sungai madu yang sangat suci dan indah. Terbayang? Coba bayangkan! Ini bukannya kita mengkhayal. Ini kalamullah Subhanahu wa Ta’ala. Ini ada. Disiapkan, sudah diciptakan, sudah dibangun dengan konstruksi luhur Robbul ‘alamin Subhanahu wa Ta’ala. Sungai-sungai dari madu, sungai-sungai dari susu, sungai-sungai dari air yang tidak pernah ada hentinya, masuk ke dalam istana-istana, masuk ke dalam ruangan-ruangan, sampai ke halaman-halamannya, tidak ada kotorannya, tidak ada pernah ada virusnya, tidak perlu dimasak dan lainnya, dan rasanya lebih ni’mat dari semua rasa yang ada di dunia.

Di dunia, Allah menciptakan banyak rasa. Ada rasa manis, ada rasa asin, ada rasa pahit, dan lainnya. Di sana ada rasa-rasa yang belum pernah Allah berikan di dunia.

مَا لا عَينٌ رَأَتْ وَلا أُذُنٌ سَمِعَت وَلا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
Sesutau yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya dan belum pernah terlintas dalam lubuk hati manusia. (Shahih Bukhari no. 3005, 4406, 4407, 6944).

Allah siapkan bagi hamba-hamba-Nya yang shalih hal-hal yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, belum pernah terlintas dalam pemikiran.

Allah juga berfirman:

فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. As-Sajdah: 17).

Manusia itu tidak tahu apa yang disimpan oleh Allah untuk mereka, jika mereka mau berbuat baik, balasan bagi perbuatan baik mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiapkan suatu anugerah yang disiapkan sebagai hadiah cinta dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang ingin dekat pada-Nya, banyak mengingat-Nya. Maka perbanyaklah kita mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, maka kita diingat Allah.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152).

Orang sering berfikir: kita punya banyak hajat. Tapi ingat, kalau kau punya banyak hajat, jangan mengingat Allah lebih sedikit dari mengingat hajat. Perbanyak mengingat Allah, perbanyak dzikir-nya. Kenapa? Hajat itu bisa Allah berikan sebelum kau minta, karena Allah Mahatahu. Kau tidak tahu kebutuhanmu besok, tetapi sudah Allah siapkan: hajatmu besok ini, besok selesai.

Tetapi ketika seseorang banyak mengingat hajatnya, dan Allah dilupakan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala jarang mengingatnya.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Ingatlah aku,” kata Allah, “Niscaya Aku mengingat kalian.” Kalau Allah banyak ingat kita, misalnya kita punya teman yang baik, sering ingat kita, selalu teman kita akan memikirkan kita, selalu berfikir kira-kira apa yang bisa dia Bantu dan berikan untuk kita. Ketika dia mendengar bahwa kita sakit, maka segera dia datang menjenguk kita.

Coba bayangkan kalau Yang Mahatahu yang selalu mengingat kita. Maka perbanyak ingat kepada Allah. Kesuksesan dunia adalah hal yang sangat mudah dianugerahkan Allah kepada kita. Justeru kesuksesan dijanjikan sangat besar kepada para pecinta Sayyidina Muhammad shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam. Masa depan kalian cerah. Sekali lagi, masa depan kalian cerah. Aamiin.

Itu sudah terjadi sepanjang alam semesta diciptakan. Sejak diciptakan alam semesta, mereka semua banyak yang merindukan Nabi Muhammad. Semua alam mengenal dan merindukan Nabi Muhammad, kecuali para pendosa. Dan bagi mereka yang mencintai dan merindukan Nabi Muhammad, Allah kabarkan suatu kegembiraan bagi mereka, bahwa mereka akan selalu dalam keamanan dan keselamatan.

كُلُّ مَنْ يَعْشَقْ مُحَمَّد في اَمَانٍ وَسَلام
Semua yang merindukan Nabi Muhammad selalu diamankan oleh Allah dan diberi keselamatan. Hidupnya diberi keni’matan. Tetapi tentunya ada usaha semampunya, hanya saja kebetulan masa kita ini masa kebangkitan ummat yang baik. Masa ini dijanjikan kema’muran oleh Sayyidina Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam.

Tapi kalau nanti di akhirat, orang yang kaya dan miskin sudah lupa dengan kaya dan miskinnya, sudah lupa dengan segala kesuksesan di dunia atau pun kesusahannya. Tidak peduli dengan banyaknya mushibah yang pernah terjadi di dunia atau yang sudah kebingungan dengan keni’matan yang terjadi di dunia, takut tidak mendapat bagian keni’matan lagi di akhirat sana. Sudah lain lagi kalau sudah pindah ke alam sana.

Tetapi tentunya kita hidup di dunia sekarang, belum berpindah. Maka kita juga memikirkan kehidupan di dunia kita untuk tidak terganggu ibadah kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Minta kepada Allah akan kemudahan, kema’muran, kebahagiaan, supaya mudah dalam ibadah. Itu boleh. Nabi shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam pun berbuat demikian.

Nabi mendoakan Sayyidina Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu seraya bersabda:

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
Ya Allah, perbanyak hartanya (Anas bin Malik) dan perbanyak keturunannya dan limpahi keberkahan untuk harta dan keturunan yang Engkau berikan padanya. Demikian di dalam Shahih Bukhari.

Kamis, 28 April 2011

Musibah Dan Kesedihan



Kena musibah koq loyo...??!! Datang cobaan koq sedih berkepanjangan. Mana semangatmu? Semangat memang bisa padam oleh kesedihan, karena kesedihan itu ibarat demam yang akan melumpuhkan diri dari aktivitas kehidupan. Supaya terhindar dari hal ini kita perlu menanamkan prinsip bahwa kesedihan adalah suatu pilihan bukan keharusan. Mau pilih kesedihan atau semangat untuk bangkit??? Anda sendiri yg memutuskannya.

Tidak mau tertimpa musibah dan bersedi! Rasanya semua orang menginginkannya, selalu terhindar dari musibah. Tapi coba simak perkataan seorang ulama, "Orang yg ditakdirkan untuk masuk Surga, pasti akan banyak merasakan musibah/kesulitan. " Anda ingin meraih surga..?? Jadikan musibah sebagai media meraih Surga. Karena sesungguhnya musibah bisa berfungsi meningkatkan pahala dan bahkan menjadi pengampun dosa kita. Bangunlah dari kesedihan, tumbuhkan semangat dalam menghadapi musibah...karena sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat!!!

Allah berfirman:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. "
(QS. 2:214)

Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu

Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah ta`ala telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).

الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
”Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita…." (An-Nisa: 34)

Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:

اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
"Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
"Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Ali 'Imran: 159)

Dalam tanzil-Nya, Allah subhanahu wa ta`ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik." (An-Nisa: 19)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: "Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah ta`ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf." (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku)."

Termasuk akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak 'Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: "(Termasuk cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat 'Isya, beliau shallallahu 'alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Demikian yang diperbuat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً
"Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah." (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: "Ayat Allah ta`ala: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan." (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya." (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan:

خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)

Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya Aisyah:

عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
"Hendaklah engkau bersikap lembut ." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)
Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
"Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
"Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)

وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
"Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya." (Shahih, HR. Muslim no. 2593)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.

Al-Qadhi berkata: "Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya." (Syarah Shahih Muslim, 16/145).

Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. 'Aisyah radhiallahu anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:

"Majulah kalian (jalan duluan)". Maka mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada 'Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing): "Ayo, kita berlomba lari". Kata Aisyah: "Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau". Waktupun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama 'Aisyah. Beliau bersabda kepada para shahabatnya: "Majulah kalian". Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku: "Ayo, kita berlomba lari". Kata 'Aisyah: "Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku". Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: "Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red)." (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).

Allah ta`ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.

المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
"Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan."

Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Dan hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).

Rasul yang mulia, shallallahu 'alaihi wasallam, juga bersabda:

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
"Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri)." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:

وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا
"Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya."

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata: "Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah."

Beliau melanjutkan: "Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ) seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya." (Fathul Bari, 9/306)

Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya, Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: "Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya". Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)

Dengan adanya tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kalian." (Ar-Rum: 21)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
"Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya." (Al-A`raf: 189)

Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.

Kuserahkan Diriku Kepada-Mu Ya Allah

Manusia adalah makhluk yang serba lemah. Sungguh sangat tidak pantas bila ada orang yang menyombongkan diri tidak butuh dengan pertolongan Allah. Berserah diri kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit merupakan jalan menuju keselamatan.

Menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah I kita kenal dengan istilah tawakkal. Jadi, tawakkal adalah menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah dalam mengambil segala macam manfaat dan menolak segala macam mudharat. Tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang diperintahkan oleh Allah I dan merupakan ibadah hati yang kebanyakan orang terjatuh dalam kesalahan yaitu syirik kepada Allah I dari sisi ini. Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Madarijus Salikin (2/14) menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad t berkata: “Tawakkal adalah amalan hati. Allah I berfirman:

“Kepada Allah-lah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Mengapa Harus Tawakkal

Bila kita memegang konsep Qadariyyah (kelompok yang menolak takdir Allah I atau berkeyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan sendiri yang tidak terkait dengan kekuasaan dan kehendak Allah), maka kita akan mengatakan: “Untuk apa kita tawakkal padahal kita memiliki kemampuan.” Tentu konsep seperti ini adalah konsep yang batil. Atau seperti yang diucapkan oleh Qarun dengan keangkuhannya:

“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)

Sehingga ia tidak butuh kepada tawakkal. Tentunya yang benar tidak seperti itu.
Tawakkal di samping sebagai perintah Allah I juga merupakan perkara yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Bagaimana itu? Marilah kita berlaku jujur terhadap diri kita, yaitu bahwa kita diciptakan oleh Allah I dalam keadaan lemah di atas kelemahan. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan: “Lemah tubuhnya, lemah keinginannya, lemah kesungguh-sungguhannya, lemah imannya, dan lemah kesabarannya. Oleh karena itu pantaslah Allah I meringankan (aturan syariat) yaitu perkara yang dia tidak sanggup untuk memikulnya dan tidak sanggup untuk dipikul oleh keimanannya, kesabarannya dan kekuatannya.”

Apakah kita bisa berbuat dengan kelemahan itu tanpa bantuan dari Allah I? Jawabnya tentu saja tidak. Oleh karena itu bila berbuat sebagai sarana untuk mendapatkan yang diinginkan tidak akan bisa dilakukan melainkan dengan bantuan Allah, bagaimana lagi bisa memetik hasil sebagai tujuan dari usaha tersebut tanpa bantuan dari Allah I. Allah I berfirman:


“Dan Allah hendak menerima taubat kalian sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 27-28)

“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah kemudian menjadikan kalian sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia menjadikan kalian sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendakinya dan Dialah Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.” (Ar-Rum: 54)
Ayat di atas sangat jelas sebagai bantahan terhadap konsep Qadariyyah yang memiliki kesombongan terhadap kekuatan yang ada pada dirinya dan ingin melepaskan diri dari Allah I. Oleh karena itu untuk apa engkau menyerahkan diri dan urusanmu kepada kemampuan diri sendiri padahal dirimu lemah tidak berdaya? Qarun dengan kemampuannya menumpuk harta yang diberikan Allah I dan menyandarkan semua wujud keberhasilannya kepada ilmunya, pada akhirnya harus menelan kepahitan hidup yang di saat itu ia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dan tidak bisa menelurkan idenya agar bisa kembali berbahagia dengan harta dan pendukungnya. Bukankah pengetahuan kita terbatas? Allah I menjelaskan:
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Semua ini menggambarkan kepada kita tentang sangat butuhnya kita kepada Allah I dan tidak akan mungkin meski sekejap mata untuk terlepas dari Allah I. Terlebih lagi kita berasal dari sifat kelemahan dan tidak mengetahui apa-apa.

Kedudukan Tawakkal dalam Agama

Tawakkal memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, bagaikan kepala terhadap jasad. Bahkan tawakkal merupakan cerminan iman dan syarat keimanan seseorang. Allah I berfirman:

“Kepada Allahlah kalian bertawakkal (menyerahkan diri) jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Allah I juga berfirman:
“Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)

Rasulullah r bersabda:
“Suatu kaum masuk ke dalam al-jannah (surga) di mana hati-hati mereka bagaikan hati-hati burung.” (Shahih, HR. Muslim)

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Sebagian ulama memberikan makna hati mereka bagaikan hati burung’ adalah orang-orang yang bertawakkal.” (Riyadhush Shalihin)

Ibnul Qayyim t mengatakan bahwa Allah menjadikan tawakkal sebagai syarat dari iman, menunjukkan bahwa tidak ada iman ketika tidak ada tawakkal. Dan dalam ayat yang lain Allah I berfirman: “Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)

Allah I menjadikan keshahihan (kebenaran) Islamnya (seseorang) adalah dengan tawakkal. Dan tatkala tawakkal seorang hamba kuat, imannya akan menjadi lebih kuat dan apabila tawakkalnya lemah maka ini bukti bahwa imannya lemah dan mesti terjadi. Allah telah menghimpun (di dalam Al Qur’an) antara tawakkal dan ibadah, tawakkal dan iman, tawakkal dan takwa, tawakkal dan Islam dan antara tawakkal dan hidayah. (Thariqul Hijratain, hal. 327)

Allah I berfirman dalam Al Qur’an yang menjelaskan pertolongan-Nya, pembelaan-Nya, dan kecukupan yang akan diberikan-Nya kepada orang yang bertawakkal:

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 3)

Tawakkal Diiringi dengan Usaha

Tawakkal yang tidak diiringi dengan usaha termasuk kekurangan dan kejelekan agama seseorang, sebagaimana kita ketahui bahwa tawakkal tidak bisa lepas dari iman dan Islam seperti penjelasan di atas. Nu’man Al-Watr menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah: “Ibnu Taimiyyah t mengatakan: ‘Meninggalkan sebab-sebab (usaha dalam bertawakkal) termasuk corengan terhadap syariat-Nya dan menyandarkan diri kepada sebab-sebab itu termasuk kesyirikan kepada Allah.’ Ibnul Qayyim t mengatakan: ‘Termasuk sebesar-besar kejahatan dalam agama adalah meninggalkan sebab (usaha) dan menyangka bahwa yang demikian itu termasuk meniadakan tawakkal’.” (Syarah Al-Qaulul Mufid, hal. 62)

Ibnul Qayyim t mengatakan: “Barangsiapa yang meninggalkan sebab/usaha (dalam tawakkal) maka tawakkalnya belum lurus. Akan tetapi termasuk dari kesempurnaan tawakkal adalah tidak condong kepada sebab-sebab itu, memutuskan keterkaitan hati dari sebab-sebab itu.” Kemudian setelah itu beliau mengatakan: “Dan tidak akan tegak dan bernilai dalam menjalani usaha itu melainkan harus di atas tawakkal.” (Madarijus Salikin, 2/120)

Dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal itu harus dibarengi dengan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Umar Ibnul Khathtab z:

“Bila kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana dia memberikan rizki kepada burung; pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 5254)

Tawakkal dan Macam-macamnya


Tawakkal sebagai satu bentuk ibadah tentu memiliki celah bagi seseorang untuk bermaksiat di dalamnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Oleh karena itu para ulama membagi tawakkal menjadi beberapa bagian:

Pertama, tawakkal ibadah.
Yaitu tawakkal yang membuahkan ketundukan dan pengagungan serta kecintaan dalam mencari segala manfaat dan menolak segala bentuk mudharat. Tawakkal ini hanya diberikan kepada Allah semata.

Kedua, tawakkal syirik.
Yaitu tawakkal ibadah yang diberikan kepada selain Allah dan ini termasuk syirik besar. Barangsiapa memberikannya kepada selain Allah, maka dia telah keluar dari Islam, telah musyrik dan kafir.

Apabila seseorang menyandarkan dirinya dengan bertawakkal dalam hatinya kepada selain Allah dalam masalah rizki dan kehidupannya maka ini termasuk syirik kecil. Jenis tawakkal seperti ini diistilahkan oleh sebagian ulama dengan syirik khafi (yang tersembunyi).

Ketiga, tawakkal yang diperbolehkan.
Yaitu menyerahkan satu bentuk urusan kepada orang lain dan orang tersebut mampu untuk melakukannya, maka hal ini diperbolehkan1. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah r ketika menyerahkan tugas untuk menyembelih apa yang masih tersisa dari hewan qurban beliau kepada ‘Ali bin Abi Thalib z sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Muslim, dari shahabat Jabir bin ‘Abdullah z. Juga sebagaimana beliau menyerahkan tugas penjagaan harta zakat fithri kepada Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan juga sebagaimana beliau telah mewakilkan kepada ‘Urwah bin Al-Ja’d z untuk membeli binatang qurban.

Walhasil, tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang terkait dengan hati, yang memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama. Tawakkal tidak akan sempurna melainkan harus disertai dengan ikhtiar (usaha) dengan menjalankan sebab-sebabnya. Tawakkal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan iman, Islam, ibadah, hidayah dan takwa. Wallahu a’lam. ?

Belajar Mencintai Dari Sang Pemilik Hati

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
Bismillahirrahmaanirrahiim....

Belajar Menciantai Dari Sang Pemilik Hati...
Tidak banyak orang yang belum mencinta pasangannya ketika menikah. Apalagi di zaman modern ini. Kebanyakan mereka sudah berhubungan beberapa lama dan cinta -lah yang memotivasi keduanya untuk melanjuntkan ke jenjang rumah tangga.

Maka aku termasuk orang yang sedikit itu. Orang modern namun terlibat dalam romantisme zaman dahulu. Istriku yang sekarang adalah orang yang baru ku kenal ketika aku memutuskan untuk melamarnya langsung kepada ayahnya. Tentu ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama judulnya, bukan pula terkena pelet dari si dara. Ini cuma masalah metode. Dan aku memilih metode ini. Aku cari, aku selidiki, aku datangi, aku pagari. vini vidi vici. Merdeka!!!! Penuh semangat 45. he he …

Namun… hati memang urusan Allah. Sebagaimana Allah menanamkan kecenderungan pada hatiku untuk kemudian memilih, begitu pula Allah menanamkan kecenderungan pada si dara dan orang tua -nya untuk menerima. Banyak yang komplain memang, tidak sedikit pula yang mempertanyakan. “Baru kenal kok sudah lamar, ih.. nakal.” Atau “Baru tau kok sudah mau, ih.. lucu” Dan sebagainya dan sebagainya. Sebagian bertanya tentang siapa aku. Tetapi kebanyakan meragukan kecocokan karena tak ada cinta yang jadi landasan.

What about me? Am i sure with my choice? Am i sure i can love her?

Begitulah, bahkan aku tak tau berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mendatangkan cinta di hati yang dalam. yang kupikirkan hanyalah komitmen. Ya.. komitmen, karena buku telah kuteken maka aku harus konsisten. Karena aku telah memilih maka aku harus melatih.

Melatih untuk mencinta, melatih untuk dicinta. Dan semua turunannya. Belajar untuk menerima, mendengar, berbagi, peduli, berkorban, merindu, mengharap, bertengkar, berdamai, bertengkar lagi (he he..). Dan variabel-variabel lain yang dibutuhkan agar konstanta cinta -pun menjadi datang.

Dan… hati memang urusan Allah. Maka aku -pun menjadi lelaki yang mulai mencintai perempuan yang kuperistri. Seperti menyaksikan bibit yang di tanam, “ternyata ia tumbuh”. Kecenderungan yang kuat. Seolah2 terlihat di depan mata. Semakin jelas dan semakin nyata. Kucintai ia.. atas kecantikannya, kebaikannya, pengabdiannya, dan karena cintanya.

Lalu aku kemudian tersadar, bahwa di sinilah awal masalah berakar. Yang dialami oleh setiap pasangan yang berikrar, bahwa mempertahankan cinta adalah jauh lebih sukar. Hati manusia bolak balik, perasaan turun naik, tumbuh dan layu. Di alami oleh semua pasangan, baik yang mengawali rumah tangga dengan cinta mendalam atau cinta yang baru diniatkan.

Maka hati memang benar2 urusan Allah. Sebagaimana Allah mendatangkan cinta Allah pula yang kuasa menjaga dan mencabutnya. Karena itulah, maka aku -pun harus berurusan dengan-Nya (he he). Aku melihat, memahami dan menyadari bahwa aku harus melatih mencinta, melatih semakin mencinta dan melatih tetap mencinta. Dan ini benar2.. memerlukan energi yang besar, karena aku harus mencinta.. hingga akhir usia.

Maka aku memohon kepada Allah, pemilik urusan hati, agar aku tetap mencintai..

Hingga Dia memutuskan urusan-Nya atas kami..

Rabu, 27 April 2011

Ayam



Seekor induk ayam tampak sibuk dengan kelahiran tiga ekor anaknya yang baru saja menetas. Seperti komandan barisan, ia memimpin ketiga anaknya mencari makan di sekitar kandang. Kemana ia pergi dan bertingkah, seperti itu pula anak-anaknya mengikuti.;

Suatu kali, induk ayam ini menginginkan hal lain bagi anak-anaknya. Ia ingin ketiga anaknya kelak menjadi ayam istimewa, bukan ayam kebanyakan. Ia ingin anaknya bisa belajar terbang seperti burung, berlari kencang seperti kuda, dan mahir berenang seperti ikan.

Sang induk ayam pun mengajak anak-anaknya mengunjungi burung bangau. “Hei bangau sahabatku! Bisakah kau ajari salah satu anakku bagaimana terbang?”

Walau agak keheranan, sang bangau menuruti permintaan induk ayam untuk mengajari seekor anak ayam terbang. Sang bangau mengajak anak ayam itu menaiki sebuah bukit. Dan setelah mengajari bagaimana mengepakkan sayap, sang bangau ‘mendorong’ sang anak ayam untuk lompat dari atas bukit. Ia berharap, sang anak ayam bisa terbang, sebagaimana ia diajari induknya ketika masih kecil.

Ternyata, bukan terbang yang bisa dilakukan sang anak ayam. Ia terjatuh dari atas bukit dan membentur sebuah batu cadas di dasarnya. Anak ayam itu pun mati.

Tanpa peduli dengan kematian itu, kini sang induk ayam mengajak dua anaknya mengunjungi kuda. “Hei kuda sahabatku, maukah kau mengajari salah satu anakku bagaimana berlari kencang?” ucap sang induk ayam sedikit agak memaksa.

Walau agak keheranan, sang kuda pun mengajak salah satu anak ayam ke tanah lapang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan kaki agar lebih cepat berlari, sang kuda mengikatkan sebuah tali yang menghubungkan antara ia dengan tubuh anak ayam. Dan, ia pun ‘memaksa’ anak ayam itu berlari kencang. Cara itulah yang ia dapatkan ketika ia diajari induknya ketika masih kecil.

Ternyata, bukan kecepatan berlari yang didapat si anak ayam malang itu. Justru, ia terseret dan tubuhnya tergesek bebatuan di sekitar tanah yang dilalui kuda. Sang anak ayam itu pun mati.

Kini, tinggal satu peluang yang dimiliki induk ayam. Ia dan anaknya yang tinggal satu pun pergi meninggalkan kuda untuk mengunjungi ikan. Sang induk ayam berharap, anaknya yang satu ini bisa belajar berenang seperti ikan.

“Hei ikan sahabatku, maukah kau mengajari anakku berenang?” teriak sang induk ayam ke ikan sahabatnya di tepian sebuah sungai.

Walau agak keheranan, sang ikan pun terpaksa mengajak anak ayam itu belajar berenang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan tubuh ketika dalam air, sang ikan ‘memaksa’ anak ayam menceburkan diri ke air sungai. Cara itulah yang pernah diajarkan kepada sang ikan ketika ia masih kecil.

Ternyata, bukan kemahiran berenang yang didapatkan anak ayam, justru, ia tak bisa nafas karena tersedak air yang terus masuk ke saluran nafas kecilnya. Anak ayam itu pun mati.

Kini, tinggal si induk ayam melamun dalam kesendirian. Ia masih terpaku dalam kebimbangan: anak-anaknya yang tidak bermutu, atau ia yang salah memperlakukan anak-anaknya.

**

Tidak banyak pemimpin yang mampu menimbang dengan adil antara keinginan dan obsesinya yang begitu tinggi dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang dipimpinnya.

Alih-alih ingin meraih hal yang istimewa dari yang ia pimpin, justru orang-orang yang mengikutinya ‘berguguran’ tergilas obsesi para pemimpinnya.

Ulat



Seorang gadis cilik tampak asyik bermain di halaman rumah yang penuh bunga. Ada bunga mawar, melati, ros, dan lain-lain. Sesekali, ia pandangi bunga itu satu per satu. “Aih, cantiknya bunga ini!” ucap gadis cilik sambil menyentuh tangkai bunga.

Tapi, ia pun terkejut saat akan memetik bunga yang hampir di genggamannya itu. Seekor ulat bulu begitu asyik menikmat dedaunan di sekitar bunga. Sebegitu lahapnya, sang ulat tak menyadari kalau ia sedang diperhatikan seseorang.

Langkah sang gadis kecil pun menyurut. Ia pun mencari-cari sesuatu untuk menghentikan kerakusan ulat bulu yang bisa merusak bunga kesayangannya itu. “Ha, ada kayu!” ucapnya sambil mengarahkan kayu kecil itu ke tubuh sang ulat. Dan….

“Jangan, sayang! Biarkan sang ulat itu menampakkan kerakusannya!” ucap seseorang yang ternyata ibu gadis itu. Saat itu juga, gadis kecil itu pun menghentikan langkahnya dan merapat ke sang ibu. “Tapi, Bu…” ujarnya sambil menggenggam jari sang ibu.

“Anakku, biarkanlah. Saat ini, kita sedang diajari Tuhan tentang siapa ulat bulu,” jelas sang ibu sambil membelai rambut gadis kecilnya.

“Apa selamanya dia serakus itu, Bu?” sergah sang gadis kecil kemudian.

“Tidak, anakku. Ia serakus itu karena ingin sukses menjadi kupu-kupu yang indah!” jelas sang ibu sambil senyum.

**

Begitu banyak pelajaran bertebaran dalam dinamika alam raya ini. Ada yang mudah ditafsirkan, dan tidak sedikit yang butuh perenungan.

Serangan ulat bulu seolah memberikan kita sebuah teguran. Bahwa keindahan fisik berupa penampilan, citra, wibawa, dan segala kemegahan jasadiyah lain yang dicita-citakan; semestinya tidak diraih dari menghalalkan segala cara dan penuh kerakusan.

Sebab Utama Laki-Laki Ditarik Ke Neraka Oleh Wanita

Di akhirat nanti ada 4 (empat) golongan lelaki yang akan ditarik masuk ke neraka oleh wanita. Lelaki itu adalah mereka yang tidak memberikan hak kepada wanita dan yang tidak menjaga amanah itu.
Mereka adalah :

1. Ayahnya
Apabila seseorang yang bergelar ayah tidak mempedulikan anak-anak perempuannya di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajarkan sholat, mengaji, dan sebagainya. Dia membiarkan anak-anak perempuannya tidak menutup aurat. Tidak cukup kalau dengan hanya memberi kemewahan dunia saja. Maka dia akan ditarik ke neraka oleh anaknya.

(Duhai lelaki yang bergelar ayah, bagaimanakah keadaan anak perempuanmu sekarang? Adakah kau mengajarnya bersholat?...menutup aurat?...pengetahuan agama?...Jika tidak salah satunya, maka bersedialah untuk menjadi bahan bakar neraka jahannam).

2. Suaminya
Apabila sang suami tidak mempedulikan tindak tanduk istrinya. Bergaul bebas, memperhiaskan diri bukan untuk suami tapi untuk pandangan kaum lelaki yang bukan mahram. Apabila suami berdiam diri, walaupun dia seorang yang alim dimana sholatnya tidak pernah bertangguh, maka dia akan turut ditarik oleh istrinya bersama-sama ke dalam neraka.

(Duhai lelaki yang bergelar suami, bagaimanakah keadaan istri tercintamu sekarang? Dimanakah dia? Bagaimana akhlaknya? Jika kau tidak menjaganya mengikut syari'at, maka terimalah hakikat bahwa kau akan sehidup semati bersamanya di 'taman' neraka sana).

3. Saudara Lelakinya
Apabila ayahnya sudah tiada, tanggung jawab menjaga saudara wanita jatuh ke bahu saudara lelakinya. Jikalau mereka hanya mementingkan keluarganya saja dan adiknya dibiarkan pergi dari ajaran Islam, tunggulah tarikan adik perempuannya di akhirat kelak.

(Duhai lelaki yang mempunyai adik perempuan, jangan hanya menjaga amalmu, dan jangan ingat kau terlepas. Kau juga akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak jika membiarkan adikmu bergelimang dengan maksiat dan tidak mau menutup aurat).

4. Anak-Anak Lelakinya
Apabila seorang anak tidak menasihati ibunya perihal kelakuan yang haram di sisi Islam, bila ibunya membuat kemungkaran, mengumpat, memfitnah, dan sebagainya, maka anak itu akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak, dan menantikan tarikan ibunya ke neraka.

(Duhai anak-anak lelaki, sayangilah ibumu...nasihatilah dia jika salah atau terlupa...karena ibu juga manusia biasa, tak lepas dari dosa. Selamatkanlah dia dari menjadi 'kayu api' neraka. Jika tidak, kau juga akan ditarik menjadi temannya).

Lihatlah betapa hebatnya tarikan wanita, bukan saja di dunia namun di akhirat pun tarikannya begitu hebat. Maka kaum lelaki yang bergelar ayah/suami/saudara lelaki/dan anak harus menjalankan kewajiban dan tanggung jawab mereka.

Firman Allah:
"Hai anak Adam, peliharalah diri kamu serta keluargamu dari api neraka dmana bahan bakarnya ialah manusia, jin, dan batu-batu...".

Sains, Qur’an dan Kesenjangan

Mereka pemuda necis, duduk di sebuah kafe dengan arsitektur postmodernisme. Music jazz berdegup anggun sementara sajian kopi dari mesin blender otomatis mencemari udara dengan bau harum pegunungan. Masing-masing pemuda itu terpekur di depan laptop yang terhubung lewat akses point gelombang radio, menuju internet global. Di luar mereka, di bawah tanah mungkin sedang menderu mesin kereta subway menembus berbagai tempat dengan kecepatan yang tak pernah terpikir oleh manusia abad pertengahan.

Itulah dunia kita saat ini. Ia telah bergeser dari keterbatasan menjadi kelapangan. Berbagai penemuan dan loncatan pemikiran yang hadir berulang setiap hari membuat hidup manusia menjadi semakin mudah. Semua itu tidak bisa terlepas dari pergulatan dalam diri manusia yang kemudian hadir sebagai ilmu – ilmu pengetahuan, sains, mengawali jawaban manusia terhadap pertanyaan sekaligus misteri alam.

Rasa ingin tahu akan sebab-sebab – begitu kata William Hazlit, yang berujung pada pemahaman, membawa manusia untuk memuaskan kehendaknya; mengatur alam. Manusia bisa mengenal dan kemudian mengendalikan alam dengan sains, ialah yang merubah wajah dunia menjadi begitu maju seperti saat ini. 

Setidaknya, kemajuan itulah yang dipercayai manusia. Karena kemajuan sains adalah kemajuan seluruh langkah hidup manusia, yang tampak maupun tidak. Edison yang menemukan lampu dan menjadikan dunia malam terang benderang, mungkin tak sadar bahwa ia juga telah merubah struktur sosial dan interaksi manusia di malam hari.

James Watt yang menemukan mesin uap juga mungkin bermimpi bahwa ia telah mendefinisikan kembali arti buruh dan merintis revolusi industri. Begitu pula Neils Bohr, dan para pemikir fisika abad ke-20, mungkin tak terpikir untuk memberi sumbangan pada apa yang dinamakan perang dingin dan sentimen senjata nuklir di abad ke-21. Sains menentukan kemajuan tidak hanya pada sisi teknologi dan ekonomi – yang memang sangat berpokok padanya, namun juga kepada segala cabang kebudayaan manusia. 

Dari hukum sampai ke seni, dari kehidupan kekeluargaan sampai cara menjalankan agama, dari kedudukan perempuan sampai ke politik internasional, dari pendidikan sampai ke perawatan kesehatan jasmani rohani, manusia sangat terpengaruh sains, karena ia membawa apa yang dinamakan dengan kemajuan. 

Kemajuan itu, yang dapat disetir melalui sains, yang kemudian mengarah kepada suatu bentuk sistem kehidupan, apakah baik atau buruk. Kemajuan sains yang sejak momentum renaisans Eropa disetir oleh peradaban barat juga telah menyetir peradaban dunia – pada banyak aspek – menuju sebuah arah tertentu. Meskipun ia menamai diri sebagai kemajuan ideal, pada hakikatnya ia tidak dapat kita maknai sebagai kemajuan secara telanjang, karena ia juga membawa antikutub dari kemajuan yang tidak selalu murni dari keberpihakan.

Seperti Palestina yang tak pernah selesai dari konflik, atau Irak, atau Afganistan, yang dikompori oleh gembong besar kemajuan sains, Amerika dan Eropa – juga israel. Apakah kemajuan sains membawa kemajuan kemanusiaan? Kita menjadi bertanya-tanya. Begitu pula kemiskinan, yang banyak melanda negara dunia ketiga, yang ternyata mayoritas adalah negara muslim. Mungkinkah sains dimanfaatkan sebagai pupuk yang menyuburkan ekonomi negara tertentu dan memiskinkan negara tertentu? 

Fakta lain, bahwa sains membawa perubahan pada pola hidup manusia yang jauh dari kemanusiaan adalah hal yang layak diperhatikan. Anak tak lagi asing dengan kekerasan video games, orang dewasa lebih suka pornografi, perang dengan senjata dan teknologi canggih, mungkin adalah bagian kecil dari kompleksitas apa yang dinamakan dengan kemajuan itu – jika tidak ingin menyebutnya dengan efek samping. Belum lagi kengerian dan ketakutan akan perang modern yang merupakan konflik kemanusiaan yang maha dahsyat, berbagai bencana ekologis yang diakibatkan oleh aplikasi sains modern berikut keterasingan manusia dari alam, dan dirinya sendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dan lagi, sains modern juga mencoba mematikan agama, seperti ucapan Oscar Wilde di akhir abad 19 “Science is the record of dead religions”, tampak demikian jelas bahwa memang ada keberpihakan pada pemisahan antara agama dan dunia. Bahwa dengan sains anda tak membutuhkan lagi agama. Sehingga kita patut bertanya tentang ke arah mana sebenarnya sains modern menuju.

Dalam Qur’an, pernyataan tentang arah kemajuan itu telah disinggung sebagai sebuah orientasi materil. Dan bahwa keterangan selenjutnya yang kita dapat adalah: segala yang disandarkan pada materi pasti akan musnah. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (10:70).

Menelisik akar filsafatnya, sains modern – begitu pula peradaban barat modern, memang telah lahir dengan perangkat sekulerisme yang tak pernah memberikan peluang sedikitpun pada dunia trans-empirik. Dalam pemahaman paling dasarnya tentang wujud (ontology), pemikiran barat modern jelas membatasi dirinya dengan dunia empiris saja. Baginya, yang tampak dan diserap oleh panca indera itulah yang wujud. Di luar itu tak disebut wujud, tapi ilusi belaka.

Sementara yang ilusi itu pada Islam disebut sebagai kemurnian iman dan hidayah. Dalam Islam, ontologi tidak sekedar yang tampak dan dapat dicerap oleh alam empiris, tapi lebih dari itu. Ada "the ultimate reality" di balik yang empirik ini. Hakekat mutlak mendasari alam zahir. Yang wujud itu tidak sekedar fisik, tapi transfisik atau metafisik. Alam fisik ini hanya pengejewantahan 'af'al sifat-sifat Allah yang metafisik. Oleh karena itu, Allah Swt. Itu absolut, dan alam ini sebaliknya. Allah pencipta dan alam ciptaannya. Allah kekal dan alam tidak kekal.

Dari titik ini, jika pemahaman yang dibangun memang demikian, seharusnya kita melihat pada dunia Islam teknologi dan sains berkembang dengan harmoni. Dan sepertinya kita akan kecewa karena melihat Islam hari ini malah babak belur dihajar sains dan teknologi. Harmoni ilmu pengetahuan itu hanya telah terjadi berabad lalu di struktur geopolitik yang hampir menjamah seluruh dunia: Cina, India, Mesir, Persia, Eropa.

Mengingatnya, hanya akan seperti nostalgia. Sebagaimana dipaparkan selama berabad-abad kegemilangan Islam sejak kurun masa Jabir ibn Hayyan hingga Suhrawardi- berbagai macam sains telah dikembangkan, sementara sains-sains matematika dan fisika dikaji dan ditelaah ditengah-tengah tumpukan sains simbolis dan di bawah prinsip-prinsip metafisika dan kosmologi yang diperoleh dari wahyu Al Qur'an.

Landasan ini, yang menjadikan peradaban Islam – kala itu – kokoh dalam kemajuannya, tidak timpang, dan selalu berorientasi pada kemaslahatan dunia-akhirat.

Sayangnya kali ini tidak lagi. Jika di pertengahan abad 20 Einstein bicara “Science without religion is lame. Religion without science is blind” sesungguhnya ia sedang membicarakan Islam. Islam yang seharusnya mampu membuat integrasi antara rasio dan wahyu menjadi kelahiran budaya yang agung, dan itulah yang diinginkan.

Einstein – dan mungkin juga banyak orang kala itu – khawatir akan suatu bahaya karena kesenjangan agama dan sains, seperti mengatakan bahwa sains dan agama sama-sama dibutuhkan manusia untuk menuju kemajuan yang dimaksud tadi. Kita boleh saja menduga, namun mungkin itu hanya sepenggal mimpi yang tak pernah terwujud jika nyatanya dunia hari ini tidak disetir oleh kemajuan sains Islam, namun oleh sains modern yang empiric holic dan anti wahyu.

Peradaban Islam yang berpusat pada Qur’an, yang bersandar pada ajaran Rasulullah Muhammad yang murni dan membawa ajaran tauhid seperti juga yang diajarkan para rasul pendahulu tidak berada pada poros kerjanya.

Tampaknya seperti yang dibilang Sutan Takdir Alisyahbana, Al Qur’an dan sains saat ini senjang dan berjarak sehingga masing-masing hidup dalam keterasingannya. Sains pada kepuasan kehendak, sementara Qur’an pada mereka dengan keterbatasan dan penindasan akal. Islam – dengan struktur ide dan semangatnya – seharusnya mewarnai kehidupan umat manusia hari ini, bukan.

Mungkin itu pula yang ada di benak anda, atau siapapun yang juga berfikir demikian. Tapi itu hanya menjadi nostalgia jika tidak ada langkah untuk mengkonduksi keduanya. Menjadi pertanyaan adalah apakah Islam sudah kembali menjamah ilmu pengetahuan untuk dieksploitasi dan dielaborasi sehingga terjadi titik equilibrium antara keimanan dengan realita, antara wahyu dengan akal, seperti pada logika awal Islam tentang ontology, tentang kosmologi.

Apakah Islam telah menjadi nafas gerak yang membentuk peradaban ilmu (kembali), yang kemudian melahirkan peradaban yang adil secara rasional maupun spiritual? Inilah pertanyaan kita bersama. Inilah pergulatan abadi manusia, antara pengabdian pada Dzat Yang Hakiki dan keinginan untuk melakukan sesuai kehendak diri sendiri tanpa batas.

Kesenjangan antara sains dan Al Qur’an ini yang menjadi koreksi pada kehidupan keIslaman muslimin hari ini. Euforia sains dan cengkeram kebudayaan barat membuat manusia muslim kehilangan semangat keIslamannya dan menggodam habis ketulusan hati untuk tunduk pada ilahi.

Sehingga kebudayaan sains yang lahir dan peradaban yang dibangun adalah peradaban yang jauh dari nilai keadilan sesuai dengan kebenaran hakiki. Keadilan yang dilahirkan adalah keadilan semu, kemanusiaan yang diwujudkan adalah kemanusiaan komersil, bahkan persahabatan yang tersemat adalah persahabatan pragmatis. Jika sains hari ini menjauh dari Qur’an, jika bangunan Islam yang kokoh dengan keilmuannya hancur lebur, siapakah yang hendak menyelamatkannya?

(eramuslim.com)