Jumat, 27 Mei 2011

Karena Ada Allah di Hatiku

Celoteh anakku terus berlanjut.  Dan aku pun masih tertarik untuk terus mencatatnya.

Dia masih tertarik dengan tema Kiamat, Surga, Neraka dan Padang Mahsyar. Berkali-kali aku bersyukur mendapat kesempatan emas saat dia begitu penasaran dengan hal-hal tersebut. Maklumlah sebagai working mom, kesempatan seperti ini nggak setiap saat bisa didapat kan? So jadilah aku selalu menunggu-nunggu momen indah ini.

Momen di mana balita kami siap berubah menjadi spon (menyerap segala yang kami tumpahkan padanya). Kadang kala momen ini datang dengan sedikit stimulus dariku,  namun tak jarang pula tanpa stimulus sedikit pun kesempatan ini tiba-tiba hadir di depan mata.

Seperti hari Sabtu lalu. Saat itu aku sedang memandikan Mirza sekaligus adiknya, Jasmine. Tiba-tiba Mirza memulai pembicaraan SERSAN (serius tapi santai) kami.

Mirza : "Bunda, kalau anak yang pemaaf itu nanti kan masuk surga ya bun.."

Bunda : "Insya Allah mas.."

Mirza : "Bunda, aku ingat nih, Nabi Muhammad  itu kan orangnya pemaaf ya bun.."

Bunda : "Betul mas, inget nggak ceritanya gimana? "

Mirza : "Iya, Nabi Muhammad itu kan dulu sering diejek sama orang, bahkan malah diludahi kan bun, tapi waktu orang itu sakit Nabi Muhammad maafin dia, dan dia didoakan biar cepet sembuh trus orang itu jadi malu sama Nabi Muhammad kan bun..?"

Aku takjub dengan daya ingat anakku ini. Cerita tentang Nabi Muhammad ini kusampaikan padanya sudah lamaa sekali, mungkin lebih dari 6 bulan. Dan nggak pernah diulang karena aku lebih sering mengulang cerita tentang Nabi Daud dan Nabi Yunus yang menurut Mirza ceritanya seru banget.

Subhanalloh, betapa Allah telah memberi kelebihan kepada seorang balita dengan daya ingatnya yang melebihi kemampuan orang tua. Ohh, sungguh sayang bila aku tak memanfaatkannya untuk menanamkan nilai-nilai islam dalam dirinya.

Dialog berlanjut.

Bunda : "Subhanalloh, mas Mirza kok inget sih cerita itu? itu kan sudah lama banget bunda ceritanya? "

Mirza : "Bunda, mau tau nggak kenapa aku masih inget cerita Nabi Muhammad?"

Bunda : "Iya, kenapa mas? "

Mirza : "Itu karena di hatiku ada Allah.. , di hati bunda juga ada Allah, di hati Ayah juga ada Allah, di hati semua orang harusnya ada Allah , iya kan bun ?"

Subhanalloh, ya Allah.. Ya Rabbi...jawabannya begitu menggetarkan hati !
Ya Allah, berilah cahaya terang di hatinya, tetapkan namaMu agar terus melekat di hatinya hingga kelak anakku dewasa. Amin Ya Rabb.....

(EduMuslim.org)

Tantrum

Definisi literalnya kemarahan, kemurkaan. Secara istilah mungkin begini: bagaimana seseorang mengeluarkan amarah yang hebat (untuk mencapai maksudnya). Saya persempit lagi di sini dalam lingkup tantrum balita (dan juga tantrum orang tuanya dalam menghadapi tantrum balitanya). Secara saya sedang punya kesulitan yang cukup menguji kesabaran saya dalam mendampingi si sulung 4,5 tahun.

Entah kapan mulainya sulung kami ini mulai bertantrum ria. Terasa oleh saya sih mulai adeknya lahir. Dan semenjak sulung mulai masuk TK. Tangisannya yang lumayan menjengkelkan tanpa jeda, ck bener-bener awet. Istiqamah banget sulung menangis sampai tercapai keinginannya. Hmmh, ego yang luar biasa. Saya masih menganggap itu wajar karena masa perkembangan balita memang demikian adanya. Terutama mulai umur 2 tahun. Sampai umur berapa, itu masih bervariasi. Kemungkinan besar tergantung pada bagaimana orang-tua atau pendampingnya (care taker/custody) memberikan treatmen terhadap tantrum balita ini.

Terus terang, kalau saya lagi capek fisik atau pun lagi futur ruhiyah, tantrum balita ini bener-bener membuat ‘monster’ dalam diri saya bangun. Jadi, saat si monster ini kemudian mengambil alih kendali hati terhadap semua indera saya, dia mulai mengancam sulung. Bahwa kalau sulung ga berhenti dari rengekannya, dia akan mencubitnya, atau memukulnya (tentu saja dia ga bakalan membunuhnya, kurasa). Apakah itu menghasilkan keberhasilan? Apakah ancaman-ancaman itu membuat sulung menghentikan terornya? Saya yakin Anda sudah tahu jawabannya. Tentu saja tidak. Sebaliknya, sulung makin memperkeras volume jeritannya. Oh My God! Mercy me! Allah tolong kasihani saya. Batin saya.

Memang luar biasa proses yang terjadi dalam diri saya saat itu. Di saat si monster menggerung marah dan melontarkan kata-kata yang tak cukup bijak, kata-kata yang tak diedit, sisi lain hati saya berteriak memberi peringatan. Sabar Bunda! Dia cuma seorang anak kecil. Masih 4,5 tahun. Dia bahkan ga tau mana yang benar dan mana yang salah. Jangan harapkan dia bersikap kayak kita yang udah dewasa. Maha Suci Allah yang menciptakan nafsu lawwamah pada diri manusia untuk bisa mengingatkan diri sendiri saat berbuat kesalahan.

Saya benar-benar menyadari, bahkan saat si monster lebih memegang kendali, bahwa balita memang butuh selalu diingatkan, diarahkan tentang mana yang benar, mana yang salah. Jangankan yang balita, yang dewasa saja masih harus sering diingatkan.

Tapi terkadang saya bener-bener ga bisa menahan diri lagi. Benarlah sabda Rasulullah saw. setelah perang Badar pada para sahabat, bahwa jihad yang terbesar adalah jihad melawan diri sendiri. Acap kali saya kalah melawan diri saya sendiri. Terutama dalam menundukkan kemarahan, si monster dalam diri saya. Ha ha. Saya jadi ingat suatu masa lalu, sahabat dekat saya mengatakan bahwa muka saya kalau lagi marah bener-bener kayak hantu. Mungkin lebih tepatnya kayak setan ya. Ya, saya pernah sangat marah padanya sampai gemetar badan dan suara saya saat kemarahan itu mencapai ambang batasnya. Tak heran, seseorang bisa sampai bener-bener kerasukan/kesurupan. Kondisi dimana dia tidak punya kendali apapun terhadap dirinya sendiri. Tak ingat lagi siapa dirinya. Na’udzu billahi min dzaalik. Semoga kita terlindung dari yang demikian.

Energi kemarahan kadang membuat saya takjub. Besar sekali. Sering saya coba mengalihkan energi itu pada hal lain, misal mencuci piring dan alat dapur kotor yang menggunung. Subhanallah. Bisa selesai dalam waktu yang sangat singkat. Atau untuk membuka tutup galon air minum. Dalam kondisi normal saya akan memerlukan alat bantu, misalnya pisau, untuk mengoyak tutup plastik yang cukup tebal itu. Subhanallah, jika sedang marah saya sanggup menyentakkan tutup itu tanpa pisau. Dan hanya sekali sentak, langsung lepas. Bukan berarti saya menyukai kondisi hati saya saat marah sih.

Sekedar untuk mengilustrasikan besarnya energi marah itu saja. Jadi, jangan heran jika seseorang bahkan bisa melukai bahkan membunuh jiwa lain saat dia marah. Bila sudah gelap mata, tak bisa lagi akal sehatnya mengukur kekuatannya. Seseorang bahkan bisa membanting barang berat hingga hancur lebur. Atau dia bisa meninju pintu sampai pintu itu jebol. Apakah kondisi itu sangat familier? Jangan-jangan saya sedang membicarakan kemarahan Anda ya? Ha ha. Tak perlu malu lah. Ini sangat manusiawi. Tapi tentu saja, sebagai manusia kita diberikan panduan/tuntunan bagaimana untuk mengendalikan monster dalam diri kita ini. Beruntung kita punya Pencipta Yang Maha Pemurah, juga Penyayang. Dia mengutuskan seseorang untuk bisa memandu manusia mencapai kondisi terbaik dalam dirinya. Self control.

Tentang tantrum balita, saya tahu sekali bahwa sebenarnya saya jauh lebih beruntung dari mereka yang tantrum balitanya lebih dashyat. Pernah saya melihat balita nangis dan menggelosorkan badannya di Mall. Berteriak-teriak dan menendang-nendang ngga karuan membuat muka ibunya merah padam.

Sulung saya pun lebih over tantrumnya saat ada orang lain. Apakah itu ayahnya, atau kakek-neneknya atau orang lain di luar lingkar keluarga besar. Hanya saja, tantrumnya, alhamdulillah, tidak sampai secara fisik banget seperti balita di Mall tadi. Hanya tangis dan rengekannya jauh lebih keras dan lebih awet.

Lalu, bagaimana solusinya? Membentak dan mencubit atau memukul tentu bukan pilihan jika kita memilih ikut panduan/tuntunan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Saya yakin, haqqul yakin, Rasulullah saw tak sekalipun membentak balita. Kita pasti pernah merasakan diri kita mencapai versi terlembut saat hati kita tersentuh oleh suatu hal. Tapi lebih sulit mempertahankan si lembut itu saat si monster muncul, rasanya.

Solusi yang ditawarkan dalam panduan/tuntunan kita antara lain: berlindung pada Yang Maha Kuat dari kemarahan yang ditiupkan setan pada kita, berlindung dari provokasi setan yang merindu-dendam agar bisa membawa kita ke kerak jahannam.

Apa lagi? Saya membayangkan setan pun bisa terluka, bisa berdarah, tapi tentu dengan cara-cara yang syathoni lah. Dan bacaan Al-Qur’an bisa benar-benar melukai dan membuat setan berdarah-darah, dan meninggalkan kita, lari terbirit-birit dari sumber bacaan Al-Qur’an. Ayat kursiy, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas memang terkenal sebagai ajian pelindung dari setan, tentu saja dengan cara membacanya dengan penghayatan, bukan dengan tulisan atau fotokopian yang disimpang di dompet, atau ikat pinggang, atau dipajang di atas pintu rumah. Kalau dipajang gitu, apakah maksudnya setan disuruh untuk baca sendiri? Geli saya jadinya. Sudah pasti setan ga mau berhenti sebentar untuk baca Al-Qur’an kan.

Nah, apa lagi tuntunan untuk meredakan atau melibas sama sekali si monster dalam diri kita? Tahukah Anda, bahwa kemarahan adalah juga sebuah dosa? Bukan dosa besar memang. Tapi kalau dosa kecil ini bertumpuk-tumpuk? Bukankah akan jadi dosa yang lumayan berat? Jadi, baik sekali seandainya kita berusaha beristighfar, memohon ampun pada Yang Maha Pengampun, agar dosa-dosa kecil ini dihapus dari kita, sekaligus mengingatkan diri sendiri agar bisa menekan atau membunuh sama sekali si monster ini, seandainya mungkin.

Tuntunan lainnya lagi antara lain: Mengubah posisi badan. Jika tadinya berdiri, berusahalah untuk duduk. Jika masih terasa marah, berusaha rebah. Jika masih marah lagi, sebaiknya berwudhu’ dan shalat.

Yang sering terjadi, saat si monster muncul, kita sering terlanjur marah dan lupa untuk sekedar berlindung dari setan yang meniup-niupi dada kita. Lawan! Berusaha untuk ingat pada Allah, minta perlindungannya dari setan, dari diri kita sendiri.

Itu kira-kira solusi untuk tantrum orang tua yang menghadapi tantrum balitanya. Lalu, bagaimana mengarahkan tantrum balitanya sendiri? Hmmm, karena saya sendiri juga sedang learning by doing it, saya hanya bisa memberika alternatif yang memungkinkan, bagi saya terutama

Pernah nonton Nanny 911 di Metro TV? Sabtu, jam setengah lima sore kalau tak salah. Sering dicontohkan bagaimana sang Nanny menjinakkan tantrum balita-balita dalam keluarga-keluarga yang kesulitan dalam menangani balita mereka. Saya pun kadang habis akal memikirkan caranya sampai saya melihat cara-cara sang Nanny.

Pada dasarnya, dia akan membiarkan si balita meluapkan tantrumnya dulu. Berusaha mengajaknya bicara, kalau memungkinkan. Jika terlalu berontak dan balita mengganggu atau menyakiti orang tua atau saudaranya yang lain, maka Nanny akan menghukumnya. Menyuruhnya duduk di kursi hukuman. Hanya duduk saja di sana sampai dia diam dan bisa diajak bicara. Sering kali balita (atau anak seusia SD) berontak melarikan diri, tapi hanya untuk didudukkan lagi di kursi itu. Dan hal ini bisa butuh waktu banyak. Bisa belasan kali sampai si balita/anak menyerah, duduk diam di kursi itu. Wah, hanya menceritakannya saja, saya harus menarik napas dalam-dalam Baru setelah itu si balita/anak diajak bicara baik-baik, tanpa menyalahkan. Kita juga harus mendengarkan apa yang membuat dia kesal/marah/sedih. Kadang anak belum tahu emosi apa yang dia rasakan itu. Makanya kita perlu mengenalkan pada anak jenis-jenis emosi.

Memang bukan latihan yang gampang untuk bisa membantu anak melewati masa-masa penuh tantrum ini. Tapi bukankah memang itu tujuan Allah memberikan amanah ini pada kita? Selamat menikmati proses segala macam tantrum, dari balita, anak, remaja, hingga dewasa. Good luck

Hilangnya Hafalan Al Qur’an Karena Musik

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kitaMuhammad, keluarga dan  sahabatnya.

Kisah ini adalah kisah berharga yang kami tujukan bagi para penghafal Al Qur’an. Terserah ia adalah penghafal qur’an yang kaamil (sempurna), atau hanya 10 juz, 5 juz atau bahkan beberapa surat saja.

Ia adalah seorang yang Allah telah beri nikmat untuk menghafalkan Al Qur’an sejak kecil. Ia sudah menghafalkannya dengan tertancap mantap di dalam hati. Sampai katanya, ia tidak pernah melupakan satu ayat pun dalam bacaannya dan hafalannya. Dan ini sudah dikenal oleh guru dan orang-orang sekitarnya.

Suatu waktu, ia berpindah ke negeri lain untuk bekerja. Di sana ia tinggal bersama beberapa orang ikhwan dan sahabatnya. Beberapa hari berlalu, beberapa temannya menyetel kaset yang berisi lagu-lagu sehingga ia pun mendengarnya. Pada awalnya, ia enggan memperhatikan musik tersebut. Bahkan ia sendiri menasehati teman-temannya akan terlarangnya musik. Namun apa yang terjadi beberapa waktu kemudian? Perlahan-lahan, ia terbuai dengan musik. Bahkan ia pun mendengar bagaimana senandung indah dari musik tersebut. Ia dan teman-temannya sampai-sampai mendengarkan musik tersebut sepanjang malam hingga datang fajar.

Hal di atas berlangsung selama tiga bulan lamanya. Setelah itu, ia kembali ke negerinya. Suatu saat ia shalat. Setelah membaca Al Fatihah, ia membaca surat lainnya. Apa yang terjadi? Ketika itu ia tidak mampu melanjutkan bacaan selanjutnya dari surat tersebut. Ia pun mengulanginya lagi setelah itu, ia pun tidak bisa melanjutkannya. Hingga ia menyempurnakan shalatnya. Setelah itu ia membuka mushaf Al Qur’an Al Karim dan mengulangi ayat yang tadi ia membaca. Ia pun mengulangi bacaan ayat tadi dalam beberapa shalat. Yang ia dapati seperti itulah. Setiap kali ia mengulangi hafalannya, ternyata sudah banyak ayat yang terlupa.

Setelah itu ia pun merenung. Ia memikirkan bagaimanakah dulu ia adalah orang yang telah hafal qura’an dengan begitu mantap. Namun sekarang banyak yang terlupa. Ia pun akhirnya menangis tersedu-sedu. Ia kemudian menunduk pada Allah sambil menangis. Ia menyesali dosa, segala kekurangan dan kelalaian yang ia lakukan. Ia betul-betul menyesali bagaimana bisa lalai dari amanat Al Qur’an yang telah ia emban. Ia pun akhirnya menjauh dari sahabat-sahabatnya tadi. Ia kembali mengulang hafalan Qur’annya siang dan malam dalam waktu yang lama. Ia pun meninggalkan musik. Ia akhirnya benar-benar bertaubat pada Allah. Namun usaha dia untuk mengulangi hafalan saat itu lebih keras dari sebelumnya

Benarlah kata penyair Arab:
Jika engkau diberi nikmat, perhatikanlah
Ingatlah bahwasanya maksiat benar-benar menghilangkan nikmat.
Perhatikanlah untuk selalu taat pada Rabb Al Baroyaa
Karena Rabb Al Baroyaa itu amat pedih siksa-Nya.

Benarlah kata Imam Asy Syafi’i:
Aku pernah mengadukan pada Waki’ tentang buruknya hafalaku
Maka ia pun menunjukiku untuk meninggalkan maksiat
Ia mengabarkan padaku bahwa ilmu adalah cahaya
Cahaya Allah tidak mungkin ditujukan pada orang yhang bermaksiat.

Benar pula kata Ibnul Qayyim:
“Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”

Semoga jadi renungan berharga bagi kita semua, pecinta Al Qur’an dan yang ingin menghafalkannya secara sempurna atau sebagiannya. 
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Aku Milik Allah

Tenggelamkanlah aku ke dalam cintaMu,
Kerana aku tidak sanggup menduakannya,
telah berkali-kali Engkau menegurku,
berkali-kali juga aku mengabaikannya

Tenggelamkanlah aku ke dalam cintaMu,
kerana aku tahu betapa pahitnya cinta dunia,
Dunia yang penuh dusta tiada cahaya,
terus kan memesongi daku kearah kegelapan

Tenggelamkanlah aku dalam cintaMu,
kerana itulah sebenar-benar cinta,
Ingin sekali aku menggapai nur kasihMu,
Yang tidak pernah padam dalam mengingati aku.

Tenggelamkanlah aku dalam cintaMu,
kerana tidak sekali ku akan lemas tertewas,
dengan cinta dunia yang ternyata,
mencuri setiap hela nafasku terhadapMu.      
Ya Allah, janganlah KAU uji aku dengan sesuatu yang tak mampu aku tempuhi, dan andainya KAU berikan aku ujian, maka kelompokkan bersama ujian itu kekuatan untuk ku tempuhinya"" Ya Allah, jadikanlah daku manusia yang bermanfaat kepada manusia yang lain" .

Do'a Para Nabi dan Rasul Allah

  Doa Para Nabi dan Rosul Allah. Di bawah ini saya sajikan beberapa pilihan doa doa yang pernah dicontohkan oleh para Nabi dan Rosul Allah SWT:

1. Doa Nabi Adam AS

" Robbana dholamna anfusana wailam tagfirlana watarhamana lana kunnana minal khosirin "

Artinya :
Ya Allah , kami telah mendholimi pada diri kami sendiri, jika tidak engkau ampuni kami dan merahmati kami tentulah kami menjadi orang yang rugi.

2. Doa Nabi Nuh AS

" Robbi inni audzubika an as alaka maa laisalli bihi ilmun wa illam tagfirli watarhamni akum minal khosirin " (surat Hud; 47)

Artinya :
Ya Tuhanku sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari sesuatu yang aku tidak mengetahui hakekatnya, dan sekiranya tidak Engkau ampuni dan belas kasih niscaya aku termasuk orang – orang yang merugi

3. Doa Nabi Ibrahim AS

" Robbana taqobal minna innaka anta sami’ul alim wa tub alaina innaka antat tawwaburrokhim " (al baqarah; 128-129)

Artinya :
Ya Tuhan kami terimalah amalan kami sesungguhnya Engkau maha mendengar dan Mengetahui, dan termalah taubat kami, sesungguhnya Engkau penerima taubat lagi Maha Penyayang.

" Robbi ja alni muqimas sholati wa min dzuriyyati, robbana wa taqobal doa, Robbannagh firli wa li wa li dayya wa li jamiil mukminina yauma yaqumul hisab " (ibrahim ; 40 -41)

Artinya :
Ya Tuhanku jadikanlah aku dan anak cucuku orang – orang yang tetap mendirikan sholat, ya Tuhanku perkenankanlah doaku , ya Tuhanku beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan seluruh orang mukmin, pada hari terjadinya hisab.

4. Doa Nabi Yunnus AS

" Lailaha illa anta subhanaka inni kuntum minadh dholimin " (al anbiya;87)

Artinya :
Tidak ada Tuhan Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau sesungguhnya aku orang yang dholim

5. Doa Nabi Zakariya AS

" Robbi latadzarni wa anta choirul warisin " (an biya ; 89)

Artinya :
Ya Allah janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri, sesungguhnya engkau pemberi waris yang paling baik

" Robbi habli miladunka duriyattan, thoyibatan innaka sami’ud du’a " (ali imron;28)

Artinya :
Ya Tuhan berilah aku seorang anak yang baik dari sisiMu, sesungguhnya Engkau maha pendengar Doa

6. Doa Nabi Musa AS

" Robis shrohli shodri wa ya shirli amri wah lul uqdatam mil lissani yah khohu khouli " (Thoha ; )

Artinya :
Ya Tuhanku lapangkanlah dadaku, dan lancarkanlah lidahku serta mudahkanlah urusanku

" Robbi inni dholamtu nafsi fa firlhi " (al qhosos ; 16)

Artinya :
Ya Allah aku menganiaya diri sendiri, ampunilah aku

" Robbi Naj jini minal qumid dholimin " (


Artinya :
Ya Tuhan lepaskanlah aku dari kaum yang dholim

" Robbi ini lima anzalta illayya min khoirin faqir " (al qhosos; 24)

Artinya :
Ya Tuhanku sesungguhnya aku memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku

" Robbi firli wa li akhi wa adkhilna fi rohmatika, ya arhamar rokhimin " (

Artinya :
Ya Tuhanku ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmatMu, dan Engkau Maha Penyayang diantara yang menyayangi

7. Doa Nabi Isa AS

" Robbana anzil alaina ma idatam minas samai taqunu lana idzal li awalina, wa akhirina, wa ayyatam minka war zukna wa anta khoiru roziqin " ( al maidah ; 114)

Artinya :
Ya Tuhanku turunkanlah pada kami hidangan dari langit, yang turunnya akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang – orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau, berilah kami rejeki dan Engkaulah pemberi rejeki yang paling baik.

8. Doa Nabi Syuaib AS

" Robbana taf bainana, wa baina kaumina bil haqqi , wa anta khoirul fatihin " ( A araf; 89 )

Artinya :
Berilah keputusan diantara kami dan kaum kami dengan adil, Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik – baiknya.

9. Doa Nabi Ayyub AS

" Robbi inni masyaniyad durru wa anta arhamur rohimin "

Artinya :
Bahwasanya aku telah ditimpa bencana, Engkaulah Tuhan yang paling penyayang diantara penyayang.

10. Doa Nabi Sulaiman AS

" Robbi auzidni an askhuro ni’matakallati an amta allaya wa ala wa li dayya wa an a’mala sholikhan tardhohu wa ad khilni birrohmatika fi ibadikas sholikhin " (an naml; 19)

Artinya :
Ya Tuhan kami berilah aku ilham untuk selalu mensyukuri nikmatmu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada kedua ibu bapakku dan mengerjakan amal sholeh yang Engkau ridloi, dan masukkanlah aku dengan rahmatMu kedalam golongan hamba-hambMu yang Sholeh.

11. Doa Nabi Luth AS

" Robbi naj jini wa ahli mimma ya’malun "

Artinya :
Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari perbuatan yang mereka kerjakan

" Robbin surni alal kaumil mufsidin " ( assyu araa ; 169 )

Artinya :
Ya Tuhanku tolonglah aku dari kaum yang berbuat kerusakan

12. Doa Nabi Yusuf AS

" Fatiros samawati wal ardli anta fiddunya wal akhiro tawwaffani musliman wa al hiqni bissholihin " (yusuf ; 101)

Artinya :
Wahai pencipta langit dan bumi Engkaulah pelindungku di dunia dan akhirat wafatkanlah aku dalam keadaan pasrah (islam), dan masukkanlah aku dengan orang – orang sholeh.

13. Doa Nabi Muhammad SAW

" Robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hassanah wa qina adza bannar " (hadist) ( Q.S. Al Baqarah ayat 201 )

Artinya :
Ya Tuhanku berikanlah aku kebaikan di dunia dan akhirat, dan jauhkanlah aku dari api neraka

" Robbana latuzig qullubana ba’daidz haddaitana wahabblana miladunka, rohmatan innaka antal wahab " ( Ali Imron ; 8 )

Artinya :
Ya Tuhanku janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan berilah kami rahmat, sesungguhnya Engkau adalah dzat yang banyak pemberiannya.

Kumpulan Doa Doa Para Nabi dan Rosul Allah SWT yang bisa kita lakukan setiap hari saat beribadah dan setelah sholat. Insya allah doa doa yang kita panjatkan bisa terkabul oleh Allah SWT, Amin.

Allah Jugakah Yang Mentakdirkan Manusia Berdosa?

Ada sebuah wacana menarik ketika seorang anak muda melontarkan pertanyaan kepada seorang Ustadz.

“Ustadz, Allah jugakah yang mentakdirkan manusia dosa ?”, tanya pemuda itu membuka percakapan.

“Manusia itu sudah diberi akal untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang berpahala dan mana yang dosa. Jadi manusia itulah pada hakekatnya yang mendhalimi dirinya sendiri, sehingga dia terjerumus dalam dosa”, jawab sang ustadz dengan senyum ramah di bibirnya.

“Jadi, kuncinya pada akal manusia ?”.

“Ya, justru itulah yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk lain”.

“Lalu, siapa yang menggerakkan akal sehingga dia bisa memilih jalan sorga atau neraka ?”, anak muda itu terus mengejar dengan pertanyaan.

“Faktor utama kualitas output itu ditentukan oleh kualitas input. Itulah hukum dasar produksi; yang juga berlaku untuk akal kita. Analoginya, kalau bahannya cuma semen, pasir dan air, mustahil bagi kita untuk membuat ubin marmer. Ubin marmer inputnya ya marmer. Artinya, agar otak kita memutuskan jalan sorga, inputnya harus amal kebaikan. Misalnya pengajian, tartil Qur’an, majelis taklim, teman sholeh/sholekhah dan segala tuntunan Qur’an – Hadist.”

“Siapa yang menggerakkan hati sehingga mampu memilih input dengan kualitas surga ?”

“Allahlah Sang Muqollibal Qulub (Pembolak Balik Hati)”, jawab Sang Ustadz dengan mantap.

“Jadi artinya Allah penentu “input surga” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia mampu memilih jalan ke surga. Allah juga penentu “input neraka” sebagai konsumsi otak manusia sehingga dia memilih jalan dosa. Bisakah saya menyimpulkan bahwa Allah juga yang menentukan manusia dosa ?”,

Si anak muda tadi berusaha menyimpulkan dari obrolan dengan sang ustadz.

Sang ustadz hanya tersenyum dengan kerut didahinya. Ia lalu mengatakan, "Demi Allah; tidak ada selembar daun keringpun yang jatuh tanpa izin-Nya. Tidak ada setetes darahpun yang mengalir dalam tubuh ini tanpa izin-Nya. Tidak ada kematian seserat neuronpun di otak kita tanpa seizin-Nya. Tidak ada setitik pikiran dan seucap katapun yang sanggup dilontarkan manusia tanpa seizin-Nya. Allahlah yang memberi hidayah manusia sehingga suatu kebaikan ringan dia kerjakan."

Mari ikuti beberapa uraian berikut. Shalat sudah menjadi kebutuhan, ucapan santun menjadi trade mark dan ibadah apapun terasa nikmat. Namun kadang kondisi ini membuat manusia makin lalai. Bukan lalai pada Tuhannya, tapi yang paling sering adalah lalai pada saudara sesama muslimnya. Dia berfikir bahwa orang setingkat dia harus hidup dengan komunitasnya. Dia takut kalau orang yang keimanannya dibawahnya, atau jauh dibawahnya akan memberi dampak negatif bagi perkembangan rohaninya. Walhasil, dia hanya hidup di kalangan komunitas exclusive bikinannya sendiri. Kalau kondangan saja, dia selalu ngumpul sesama “jalur” dan tidak membaur. Sukanya mengorek kekurangan kelompok lain dan merasa diri/kelompoknyalah yang paling hebat.

Inilah sisi lain yang dengan kasih sayang-Nya, Allah berusaha mengubah dengan “takdir lain”. Dia takdirkan dosa dengan apapun penyebab yang mungkin. Shalat tahajjud sampai kelelahan dan tertidur sebelum adzan subuh. Akhirnya terbangun Jam 06.30 pagi.. Langsung mandi, berangkat kerja dan tidak sempat lagi shalat subuh. Dapat sunnah tapi yang wajib ditinggalkan. Ibarat dapat tambal baju, tapi tidak pakai baju. Karena amalan sunnah itu hanyalah amalan tambahan sebagai tambal bolongnya amalan wajib. Bolong karena kurang ikhlas, riya’ atau hal lain.

Mari kita lihat saudara-saudara kita yang sedang dijalur “kurang beruntung”. Pekerjaan utama sebagai penjaja tubuh. Dapat duit untuk judi sambil minum-minuman keras. Setelah duitnya habis dia “jualan” tubuh lagi. Begitulah kesehariannya dia jalani dengan normal menurut ukurannya sendiri. Tidak ada kata dosa.

Duapuluh tahun berikutnya ketika usianya menginjak empatpuluhan, nilai jualnya sudah turun drastis. Persaingan makin ketat dengan munculnya “daun-daun muda” baru. Cari duit sudah sulit. Badanpun mulai sakit-sakit. Setelah di-cek ke dokter, ternyata kena AIDS. Hari demi hari tubuhnya kian kurus.

Detik demi detik dari setiap sisa nafasnya hanyalah untuk menanti kereta kematian. Dia terhenyak, “kepada siapa lagi aku minta pertolongan ?” Akhirnya dengan rasa malu dia menyebut sebuah nama yang sudah terkubur selama duapuluh tahun. “Allah……….Allah……….Allah……”, mulutnya gemetaran menyebut dengan air mata meleleh penuh ketulusan. Dia yakin se-yakin yakinnya hanya Allahlah yang sanggup menolong. Sajadahpun dia cari lalu digelar untuk shalat, taubat dan taubat. Tak ada sedikitpun kesombongan terbesit dihatinya. Karena memang tidak ada yang pantas dia sombongkan dihadapan siapapun. Dosanya menumpuk sedang amal sorganya baru dia mulai. Inilah sisi yang lebih “lain” lagi sehingga Allah mengubah takdirnya. Dari sesat menjadi hidayah. Subhanallah.

Dari kedua contoh yang saling bertolak belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa takdir Allah itu adalah tuntutan kasih sayang-Nya. Dia Maha Tahu dengan cara apa Dia membuat manusia berjalan di trotoar yang benar dalam ukuran-Nya. Semuanya bertujuan agar sang mahluk tunduk pada Sang Khalik dengan setunduk-tunduknya. Penuh keihlasan. Ikhlas dengan tujuan hanya kepada Allah. Bukan hanya untuk mencari popolaritas ditengah-tengah manusia, karena namanya memang sudah miring dalam pandangan manusia.

Perbaikan demi perbaikan tidaklah berarti lagi dimata manusia. Lalu kepada siapa dan kepada siapa lagi dia harus minta pertolongan ? Inilah titik kulminasi kepasrahan yang diciptakan Allah pada sang hamba agar dia benar-benar kembali ke pangkuan-Nya. Dengan demikian pertolongan dan keagungan Tuhan bukan hanya sekedar kalimat-kalimat puisi, lagu atau nyanyian tapi lebih dari itu; dia akan rasakan dengan sepenuh hati. Kesimpulannya bahwa Allah tidak akan menjatuhkan takdir dengan sia-sia.

Dengan kasih sayang-Nya, tidak ada satupun dari takdir-Nya yang merugikan manusia. Semua bertujuan agar manusia kembali ke pangkuan-Nya dengan kesucian karena dia berangkat ke dunia dengan kesucian pula. Semua bertujuan agar manusia benar-benar sepenuhnya bergantung pada-Nya, sehingga tidak ada kemusyrikan dihatinya, walaupun sebesar zarrah.

ILAHI, HANYA ENGKAULAH YANG MAHA PENOLONG

Cukuplah Allah SWT yang menjadi penolong kami dan Allah SWT memang adalah sebaik-baik pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah SWT, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridlaan Allah SWT. Dan Allah SWT mempunyai karunia yang besar” (Ali-Imran :173-174)

Tidak ada satupun manusia yang tidak butuh perlindungan-Nya. Tidak ada satupun Manusia yang tidak butuh Pertolongan-Nya. Tidak ada satupun manusia yang tidak butuh sentuhan-Nya, terutama ketika kesusahan dan penderitaan menjadi hal yang tidak dapat dihindari…...                                                                                                          يا من يرى ما في الضمير ويسمع

أنت المعد لكل ما يتوقع“Wahai Dzat yang melihat dan mendengar apa yang ada dalam hati, Engkau adalah tempat persediaan sesuatu yang diperkirakan terjadi.”

يا من يرجى للشدائد كلها

يا من إليه المشتكى والمفزع

“Wahai Dzat yang diharapkan untuk menghilangkan segala kesusahan, wahai Dzat yang menjadi tempat mengadu dan berlindung.”

يا من خزائن رزقه في قول كن

أمنن فإن الخير عندك أجمع“Wahai Dzat yang gudang rezekinya berada pada firmanNya “KUN”, berilah anugrah karena sesungguhnya segala kebaikan terhimpun pada sisiMu.”

ما لي سوى فقري إليك وسيلة

فبالافتقار إليك فقري أدفع“Tidak ada bagiku perantara kecuali kefakiranku kepadaMu. Ya Allah, dengan kefakiranku kepadamu itu aku dapat memenuhi keperluanku.”

ما لي سوى قرعي لبابك حيلة

فلئن رددت فأي باب أقرع

“Tidak ada bagiku alasan kecuali aku mengetuk pintuMu. Sekiranya aku ditolak, pintu yang mana lagi yang harus kuketuk.”

ومن الذي أدعو وأهتف باسمه

أن كان فضلك عن فقرك يمنع

“Dan kepada siapakah aku memohon dan memanggil dengan namanya apabila karunaiMu terhalang dari keperluanku kepadaMu.

حاشا لجودك أن تقنط عاصيا

الفضل أجزل والمواهب أوسع

“Mustahil Ya Allah jika karena kemurahanMu Engkau memutuskan harapan orang yang berbuat maksiat, sebab anugrahMu lebih besar dan pemberianMu lebih banyak.”

“Mudah-mudahan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam dan keluarganya, yaitu orang-orang yang membawa Al-Qur’an sebagai cahaya yang bersinar."    


Tips Mendidik Anak Cara Rasullulah

Salah satu amal yang tidak pernah terputus pahalanya sekalipun kita telah meninggalkan dunia ini adalah anak yang shaleh. Doa anak yang shaleh merupakan salah satu doa yang insya Allah pasti terkabul. Karenanya, orangtua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, anak akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur yang pada gilirannya akan merugikan orangtua itu sendiri.

Sesungguhnya memang tidak mudah memikul beban untuk membesarkan anak hingga menjadi pribadi yang kita harapkan dapat meraih sukses dunia dan akhirat. Semua butuh kesabaran, kerja keras, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud menyederhanakan, berikut beberapa tips yang diaplikasikan oleh orangtua yang disarikan dari tata cara mendidik anak ala Rasulullah Saw.

1. Menanamkan Nilai-nilai Ketauhidan
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Selain itu, orangtua harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan Allah Swt. dan penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan menjauhi larangan-Nya. Terlebih dahulu, orangtua selaku guru (pertama) bagi anak-anaknya harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ini adalah pendidikan yang paling urgen di atas hal-hal penting lainnya.

2. Menjadi Sahabat dan Mendidik dengan Keteladanan
Setiap anak akan belajar dari lingkungannya dan dalam hal ini lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Sudah selayaknyalah orangtua memberi keteladanan kepada anak-anaknya. Para orangtua sebaiknya memberikan contoh yang baik sesuai dengan nasihat dan ucapannya kepada para anaknya. Akan sangat lucu jika yang disampaikan orangtua kepada anak-anaknya ternyata tidak dilakukan oleh orangtua itu sendiri. Dalam Islam, keteladanan dari orangtua sangat menentukan terlebih di zaman sekarang media tontonan tidak dapat diharapkan menjadi contoh yang baik bagi pembentukan akhlak anak-anak muslim.

3. Mendidik dengan Kebiasaan
Suatu kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak harus dibiasakan bangun pagi agar mereka gemar melaksanakan shalat Subuh. Anak harus dibiasakan ke masjid agar mereka gemar melakukan berbagai ritual ibadah di masjid. Pembiasaan itu harus dimulai sejak dini, bahkan pembiasaan membaca Al-Quran pun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Pembiasaan shalat pada anak harus sudah dimulai sejak anak berumur tujuh tahun.

4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Sebagai upaya menumbuhkan rasa percaya diri anak, Rasulullah Saw. menggunakan beberapa cara berikut. Saat sedang berpuasa, Rasulullah mengajak anak-anak bermain sehingga siang yang panjang terasa cepat. Anak-anak akan menyongsong waktu berbuka dengan gembira. Hal ini juga membuat anak memiliki kepercayaan diri sehingga sanggup berpuasa sehari penuh. Sering membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, resepsi, atau bersilaturahim ke rumah saudara sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan diri sosialnya. Mengajari Al-Quran dan As-Sunnah serta menceritakan sirah nabi untuk meningkatkan kepercayaan diri ilmiahnya. Menanamkan kebiasaan berjual-beli untuk meningkatkan kepercayaan diri anak terkait ekonomi dan bisnis. Di samping itu, sejak dini anak akan terlatih mandiri secara ekonomi.

5. Memotivasinya Anak Berbuat Baik
Seorang anak, meski kecil, juga terdiri dari jasad dan hati. Mereka dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci sehingga hatinya yang putih dan lembut itu pun akan mudah tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Anak-anak, terutama pada usia emas (golden age), cenderung lebih mudah tersentuh oleh motivasi ketimbang ancaman. Karenanya, hendaknya orangtua tidak mengandalkan ancaman untuk mendidik buah hati. Ketimbang mengancam, lebih baik orangtua memotivasi anak dengan mengatakan bahwa kebaikan akan mendapat balasan surga dengan segala kenikmatannya. Itu pulalah yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik para sahabat.

6. Sediakan Waktu untuk Makan Bersama Anak
Rasulullah Saw. senantiasa menyempatkan untuk makan bersama anak-anak. Cara tersebut akan mempererat keterikatan batin antara orangtua dan anaknya. Dengan begitu kita dapat meluruskan kembali berbagai kekeliruan yang mereka lakukan melalui dialog terbuka dan diskusi. Alangkah baiknya jika ibu dan bapak berkumpul dengan anak-anak ketika makan bersama sehingga mereka merasakan pentingnya peran kedua orangtuanya. Hal ini juga dapat mempermudah meresapnya segala nasihat tentang perilaku, keimanan, atau pendidikan.

7. Mendidik dengan Reward/Hadiah
Memberi hadiah adalah salah satu penghargaan yang dapat melunakkan hati anak sehingga mereka akan bersimpati kepada kita dan akhirnya mau melaksanakan nasihat yang kita berikan. Namun perlu diingat, tidak semua perbuatan baik anak harus dihargai dengan materi. Lakukan reward yang bervariasi, bisa dengan pujian, ciuman, belaian, uang, dan lain-lain.

8. Memilih Sekolah yang Islami
Saat anak menginjak usia sekolah, orangtua berperan dalam memilihkan sekolah, mengajarkan Al-Quran, mengembangkan pola pikir anak, memberikan data dan ilmu semaksimal mungkin. Meski anak sudah mulai sekolah (mendapatkan ilmu di sekolah), orangtua hendaklah selalu belajar tentang pendidikan anak karena semakin bertambah usia anak, maka akan semakin kompleks pula problem (pendidikan anak) yang harus kita hadapi.

9. Mendidik dengan Hukuman
Cara ini boleh dilakukan jika cara-cara di atas tidak berhasil. Memang di dalam Islam, menghukum diperbolehkan selama tidak berlebihan seperti sampai menyebabkan luka. Hukuman tersebut usahakan menimbulkan efek jera kepada anak agar ia tidak mengulangi perbuatannya. Akan tetapi harus diperhatikan adab-adabnya, jangan sampai berlebihan yang akhirnya akan membuat anak menjadi dendam.

10. Memahami Keadaan Anak Secara Baik dan Menggunakan Metode yang Tepat
Setiap anak memiliki karakter dan pribadi yang berbeda walaupun berasal dari orangtua yang sama. Cari metode yang tepat dan jitu sehingga anak dapat diarahkan dengan lebih mudah.

Arak Yang Makin Marak

Jika membeli nasi goreng yang di jual dipinggir jalan, gerobak, kaki lima, mulai untuk berani mengatakan : "Tidak usah memakai angciu". Angciu tidak memberi pengaruh terhadap rasa, ini hanya soal kebiasaan. [buku panduan ringkas memilih produk halal - Halal Watch]


Banyak yang meranggapan bahan ini tidak haram, karena sudah menguap selama proses pengolahan makanan. Betulkah begitu? Bila mendengar kata arak, pikiran akan langsung tertuju pada salah satu jenis minuman keras khas dari negeri Cina. Padahal sebetulnya, arak tidak hanya untuk konsumsi minuman saja, melainkan juga digunakan untuk penyedap masakan.

Seorang juru masak yang kebetulan Muslim di sebuah restoran Jepang mengakui bahwa arak itu haram hukumnya. Tetapi dia juga mengaku tidak bisa mengelak dan menyingkirkan bahan yang satu itu. Untuk masakan yang diolahnya, tanpa arak sama artinya dengan menyajikan hidangan yang hambar dan rasanya kurang 'Jepang'. Rasa arak memang sulit didefinisikan. Bukan karena alkoholnya, tetapi justru flavor dan aroma yang muncul itulah yang menghasilkan rasa tertentu. Malangnya, arak telah dikembangkan berabad-abad dan diyakini sebagai pelezat masakan.

Arak ditemukan hampir disemua suku bangsa sebagai bagian dari tradisinya. Di Cina, minum arak sudah menjadi budaya yang tak terpisahkan. Di Jepang budaya minum Sake telah terjadi selama berabad-abad. Begitu juga di Eropa dan belahan dunia lain. Penggunaan arak dalam masakan sepertinya sudah sulit dipisahkan. Banyak kegunaan yang diharapkan dari barang haram tersebut. Kegunaan pertama adalah melunakkan jaringan daging. Para juru masak meyakini bahwa daging yang direndam dalam arak akan menjadi empuk dan enak. Oleh karena itu daging yang akan dipanggang atau dimasak dalam bentuk tepanyaki seringkali direndam dalam arak.

Selain itu arak juga menghasilkan aroma dan flavor yang khas, yang oleh para juru masak dianggap dapat mengundang selera. Aroma itu muncul pada saat masakan dipanggang, ditumis, digoreng, atau jenis masakan lainnya. Munculnya arak itu memang menjadi salah satu ciri masakan Cina, Jepang, Korea dan masakan lokal yang berorientasi pada arak. Jenis arak yang digunakan dalam berbagai masakan itu bermacam-macam ada arak putih (Pek Be Ciu), arak merah, arak putih (Ang Ciu), arak mie (Kue Lo Ciu), Arak gentong, dan lain-lain. Produsenya pun beragam, ada yang diimpor dari Cina, Jepang, Singapura bahkan banyak pula buatan lokal dengan menggunakan perasan tape ketan yang difermentasi lanjut (anggur tape). Pengguna arak ini pun beragam, mulai dari restoran besar, restoran kecil bahkan warung-warung tenda yang buka di pinggir jalan.

Keberadaan arak sebagai bahan penyedap masakan masih jarang diketahui oleh masyarakat. Sementara itu ada kesalahan pemahaman di kalangan pengusaha atau juru masak yang tidak menganggap arak sebagai sesuatu yang haram. Kalau tentang daging babi, mungkin sudah cukup dipahami berbagai kalangan bahwa masakan itu dilarang bagi kaum muslim. Meskipun ada sebagian masyarakat yang melanggarnya, tetapi kebanyakan pengelola restoran tahu bahwa hal itu tidak boleh dijual untuk orang muslim.

Lain halnya dengan arak. Sebagian besar kalangan pengelola restoran tidak menganggap bahan masakan itu haram hukumnya. Apalagi dalam proses pemasakannnya arak tersebut sudah menguap dan hilang. Sehingga anggapan itu menyebabkan mereka tidak merasa bersalah ketika menghidangkan masakan itu kepada konsumen muslim. Anggapan itu tentu saja perlu diluruskan karena dalam Islam hukum mengenai arak atau khamr ini sudah cukup jelas, yaitu haram.

Saat ini berbagai masakan banyak menggunakan arak sebagai bahan penyedap. Meskipun dalam proses pemasakannya alkohol telah terbang, tetapi rasa dan aroma arak masih tetap menempel pada masakan tersebut. Hal yang sama akan terjadi pada masyarakat, karena dibiasakan dengan rasa dan aroma arak lama-lama masakan itulah yang dianggapnya enak. Konsumen akan lebih akrab dengan rasa dan aroma arak itu dibanding masakan lain. Kalau sudah demikian, maka benarlah anggapan sang juru masak tadi, bahwa masakan tanpa arak akan hambar.

Hambar dan enak yang serba relatif, yang tercipta karena mitos yang ditanamkan selama bertahun-tahun. Mungkin oleh arak secara langsung, mungkin dari masakan yang menggunakan arak, atau mungkin juga dari flavour atau bahan perasa yang mengarah kepada arak. Nah, ini tentunya menjadi peringatan bagi kita semua agar lebih berhati-hati dalam membeli masakan, sekaligus juga menjadi perhatian bagi para pengelola restoran yang menjual produknya kepada masyarakat umum agar tidak menggunakan arak tersebut.

Sudahkah Dirimu Bermanfaat Bagi Yang Lain?

وَ اَحْسِنُوْا، اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمُحْسِنِيْنَ
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [QS. Al-Baqarah : 195]

Ada hadits yang pendek namun sarat makna, sering diungkap dan motivasi taktis bagi iman yang sedang turun. Dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir.

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Sobat, benar sekali manusia itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua saling berketergantungan. Saling membutuhkan. Hanya omong kosong dibungkus kesombongan yang nyata ketika seseorang berujar “aku bisa hidup sendiri tanpa orang lain..bla3x”

Karena saling membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.

“Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang curang dan melanggar hak orang lain.”

Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan dan kejahatan.

Namun yang dibahas disini bukanlah “orang tidak adil”, tetapi orang yang luar biasa. Dimana dia adalah orang yang lebih banyak memberikan manfaat daripada mengambil manfaat dalam bermuamalah. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Salah satu cirinya adalah Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih (kecuali ridho Allah semata).

Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah SAW menyebut seperti itu? Setidaknya ada 4 alasan yang mendasari kenapa kita harus berjuang menjadi manusia sebaik-baiknya.

Pertama, karena manusia tersebut akan dicintai Allah swt. Rasulullah SAW pernah bersabda yang bunyinya kurang lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (lihat hadist diatas). Adakah tipe manusia yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah SWT?

Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang terbaik. Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika efeknya adalah lebih luas. Amal itu bisa menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak heran jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah SAW, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah SAW berkata membuat atau membeli (untuk disedekahkan) sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah sepuh dan tidak ada yang merawat, Rasulullah SAW menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu. Dan beberapa contoh kebaikan-kebaikan utama lainnya.

Ketiga, karena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan di masjidku ini.” (HR.Thabrani). Subhanallah, mari kita jaga dan kawal semua amal dalam keihlasan sampai akhir hayat.

Keempat, memberi manfaat kepada orang lain terkadang mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka atas ijin Allah swt pula, Allah swt  menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik.

عَنْ اَبِى ذَرّ قَالَ: قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ ص: اَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ اْلعَمَلَ مِنَ اْلخَيْرِ وَ يَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ ؟ قَالَ: تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى اْلمُؤْمِنِ. مسلم
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Rasulullah SAW pernah ditanya, “Bagaimanakah kalau seseorang beramal kebaikan (karena Allah) lalu dipuji orang ?”. Jawab Rasulullah SAW, “(Itu bukan riya’), tetapi itu sebagai pendahuluan berita gembira bagi seorang mukmin”. (HR.Muslim)

Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayit. Rasulullah SAW. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At Taubah : 105)

Persiapan Menuju Manusia Bermanfaat
Untuk bisa menjadi orang yang banyak manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita.

Pertama, tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.

Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.

Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung (QS.Al Hasyr : 9)

Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada kita.

Suatu ketika Rasulullah SAW menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah SAW. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah SAW. mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.

Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal  menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja meng-infakkan uang yang mereka miliki di jalan Allah swt. Sampai sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.

Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dapat dari tetangga kita. Marilah ber-empati, membayangkan apa akibat yang kita lakukan kepada orang lain. Sehingga bisa menjadi lebih baik di kemudian hari.

Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi minum orang yang haus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban fisik orang lain.

Marilah kita bersosialisasi, bermuamalah sesuai yang telah disyariatkan Allah swt. Orang yang benar-benar menuju taqwa bukanlah sekedar rajin ibadah tetapi juga rajin “membuktikan” hasil ibadah dengan perilaku sosial yang shaleh, bermanfaat bagi ingkungannya.

Jika sobat merasa tidak/belum/kurang bermanfaat bagi manusia lain, bahkan selalu menjadi kerugian bagi orang lain. Wajibkan diri introspeksi dan perbaiki diri. Karena itulah jalan pembuktian keimanan yang sebenarnya.

Kamis, 26 Mei 2011

Ketika Para Suami Lupa Memikirkan Yang Satu Ini

suami-istri"Aku sudah gak tahu lagi, rasa sedih sepertinya sudah lewat, hari ini mantan istriku menikah dengan eks kawan SD-nya, bayangin setelah gak ketemu selama 25 tahun lalu, mereka reuni gara-gara Facebook, hasilnya mereka berkencan, memadu kasih, dan akhirnya merencanakan hidup bersama, tanpa peduli bahwa mantan istriku sudah punya suami yang gantengnya kayak aku gini, wk wk wk... dan cerai akhirnya ku lemparkan dengan gembira pada istriku yang manis bermulut tipis," demikian status yang panjang lebar di Facebook Andi membuat banyak kawan-kawannya geleng-geleng kepala. 

Comment pun datang bergantian, ada yang bersimpati, menghujat ataupun nada bercanda tidak peduli. "Cari ajaa laggee.." demikian comment dari Sri Ningsih. "Dalam Islam ternyata istri yang selingkuh harus ditalak tiga, ya Ndi..?" comment dari Rita Rafida. "Selamat menempuh hidup baru sebagai duda," comment dari mas Irvan geng duda miskin. Namun ada juga comment yang bersifat simpati seperti, "Innalillahi wa innailahi roji'un, kok sampai sebegituya yaa, sabar yaa mas, semoga mendapat ganti yang lebih baik," komentarnya bu Imas.

Lalu, "sesungguhya lelaki yang baik akan mendapakan perempuan yang baik, lelaki yang jahat akan mendapat lelaki yang jahat, begitu janji Allah dalam Al qur'an surat An Nur ayat 30," comment dari ustadz Iqbal, pesantren Darul Ihsan. "Tabah yaa..." dan banyak lagi ungkapan-ungkapan comment di Facebooknya Andi.

Hari-hari Andi yang masih nyeri, antara sakit karena dikhianati dan juga sakit karena harga dirinya sebagai lelaki seperti dinjak-injak dengan suksesnya, serta tidak diakui keberadaanya oleh sang istri maupun sang pacar istri.

Selama ini pernikahan mereka biasa-biasa saja, tak ada pertengkaran yang hebat yang mewarnai hari-hari mereka, tak ada bentakan ataupun KDRT dalam rumah tangga mereka yang manis dan harmonis.

Namun bila cinta datang tiba-tiba, dan setan pun memiliki pekerjaan yang paling besar yaitu menceraikan suami istri, maka dalam hal ini, Andi sebagai suami yang baik-baik saja, tidak mampu berkata apa-apa, dan masih terheran-heran kok bisa yaa istriku yang di rumah saja, dan yang selama ini manis-manis serta baik-baik saja, bisa bersikap khianat padaku.

Sebenarnya ada satu hal yang Andi lupa, bahwa istri yang baik-baik saja diam di rumah juga bukanlah berarti negara sudah aman. Seorang istri tetap memerlukan pujian, perhatian, keromantisan, dan juga sikap mengalah yang dapat membuat istri merasa tenang.

Diayomi dan dimanjakan, itulah yang dirasakan Rina, mantan istrinya Andi. Rina mendapatkan pujian yang menyanjung, perhatian dan tatapan yang dalam, juga sikap melindungi dari sang bekas teman SD nya itu, di mana hal-hal seperti itu sudah tidak pernah didapatkan lagi dari Andi, suami yang dinikahinya 10 tahun yang lalu dengan menghasilkan 2 anak.

Disamping Andi sebagai kepala keluarga haruslah memberikan masukan-masukan yang Islami, entah berupa pengajian atau membimbing istrinya untuk sholat malam, hal lain ternyata keruntuhan rumah tangga itu tidak hanya dari pihak suami saja, namun bisa datang dari pihak istri, dan untuk menjaga keutuhan rumah tangga itu harus dilakukan oleh kedua belah pihak dangan sungguh-sungguh dan dilakukan setiap hari tanpa henti.

Dan ada satu lagi yang sangat penting yang Andi sungguh lupa akan yang satu ini, yaitu menjaga diri dan keluarganya dari api neraka, dengan mengajak istrinya selalu beribadah serta juga memberikan hak istri untuk mendapatkan siraman rohani, bahkan ketika goncangan itu tiba, Andi pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena Andi merasa telah memberikan apapun pada istrinya.

Bagi Andi pujian, keromantisan dan lain-lain sudah cukup diberikan, namun Andi sekali lagi lupa akan yang satu ini, memberikan bekalan pengajian atau mengikutsertakan istrinya dalam kajian rutin buat para muslimah. Ingatlah akan peringatan Allah,

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahriim [66] : 6)

Seuntai Kalung Yang Tak Tertebus

kalung-burung 
Ahmad memekik pelan, hampir saja motor ojek yang ditumpanginya terpeleset lumpur yang masih menyisa di jalan, jejak hujan beberapa jam lalu.

“Hati-hati Mas, konsentrasi” kata pemuda itu pada sang pengemudi, “memang mereka ayu-ayu, tapi keselamatan lebih penting, ya ‘tho?”

Yang ditegor hanya tersipu. Di depan mereka kebetulan memang sedang berjalan beriringan rombongan gadis berkerudung. Menambah indahnya warna-warni pemandangan menuju rumah ibunda Ahmad di Desa Kenjuran, desa tertinggi di Puncak Pegunungan Perahu, Jawa Tengah.

Semerbak aroma kebun cengkeh berbaur dengan wangi tanah yang terbasahi hujan menggoda cuping hidung Ahmad. Jalan bebatuan yang terus menanjak berkelok-kelok, bukit dan lembah silih berganti, ladang jagung, rumah-rumah pedesaan berdinding kayu beratap genting kodok, senyum anak-anak kecil, satu tikungan lagi, dan hati Ahmad pun bergetar ketika matanya akhirnya menambat di rumah ibunda yang teramat dicintainya. Kekasih hati yang biasa dipanggilnya dengan sebutan Ambu, panggilan sayang yang tak pernah dirubahnya sejak usianya masih sembilan bulan dan belum mampu dengan sempurna mengucapkan kata ‘ibu’.

“Alhamdulillah, ‘makasih, Mas,” kata Ahmad sambil menyelipkan sehelai uang sepuluhribuan, ongkos ojek ke rumahnya dari Terminal Sukorejo, terminal di kecamatan terdekat di kaki gunung.

Tidak seperti rumah warga lain di Kenjuran, rumah Ambu berdiri sendiri, tidak menempel dengan rumah tetangga. Terasnya cukup lapang, dimana Ahmad bisa memandang ke penjuru desa. Di sebelah timurnya rumah-rumah penduduk bertingkat-tingkat menuruni lembah, di sebelah utara menghampar hutan bambu, dan di barat adalah ladang-ladang penduduk di perbukitan yang berakhir di hutan cemara nan teduh di puncak bukit tertinggi. Hawanya sangat dingin, hampir sedingin Dieng bertahun tahun yang lalu. Jika kita berjalan-jalan bada Ashar di luar rumah, maka muka kita yang terbuka serasa diserbu dan ditampar-tampar oleh hembusan uap sedingin es.

“Assalaamualaikum,” salam Ahmad.

Tak ada sahutan namun pintu depan tak terkunci. Dibukanya pintu yang mendecitkan derit khas rumah tua. Rumah Ambu sendiri adalah rumah yang sangat Ahmad hafal setiap lekuknya, bahkan mungkin juga setiap bekas paku yang pernah tertoreh di sana. Namun ruang yang paling Ahmad suka adalah dapur.

Dapur Ambu sangat luas, beralaskan tanah yang dipadatkan. Ada dipan untuk menonton tv, tungku bata dengan dua lubang untuk membuat api, rak-rak panci dan wajan serta bak cuci piring di sudut ruangan di mana bilah bambu mengucurkan air gunung tiada henti. Langit-langit dapur digunakan untuk mengasapi bonggol jagung. Bonggol jagung yang telah kering akan digunakan sebagaimana kayu bakar untuk menghangatkan penghuni rumah. Namun kini penghuni tetap rumah ini dua orang saja. Ambu dan seorang kerabat yang berbaik hati menjaga dan menunggui Ambu.

Ambu sedang lelap. Ahmad bersimpuh di sisi dipan lalu mencium lembut dahi ibu tercintanya tanpa suara. Ambulah yang mendominasi pinta doanya pada Allah beberapa tahun terakhir. Munajat untuk kesehatan Ambu, dan terlebih untuk sebuah terang hidayah agar Ambu yang sangat dikasihinya ini mau menegakkan sholat.

“Ambu sudah tua, ‘Mad, sudah susah belajar sholat. Yang penting Ambu selalu berbuat baik pada orang lain, berdoa pada Gusti Allah,” begitu selalu kilah Ambu kalau Ahmad membujuknya untuk sholat.

Jika saja Ambu mau sholat, Ambu seolah tanpa cela di gudang memori Ahmad. Hutang budi yang teramat musykil bisa dibayar lunas. Apalagi sepeninggal almarhum ayah karena sakit mendadak ketika Ahmad masih balita, Ambulah satu-satunya orang yang setia menyayangi dan mendampinginya hingga ia dewasa.

Rasanya baru sekejapan mata berlalu sejak ia berangkat sekolah diantar Ambu. Masih terpatri kuat semua kenangan tentang masa kecil ceria bersama Ambu. Makan disuapi Ambu dan … Ambu yang selalu menyisakan sekepal nasi setiap makan.

“Untuk bebek tetangga,” begitu jawab Ambu pada Ahmad kecil yang bertanya kenapa sang ibu tak pernah lupa melakukan hal tersebut.

Di desa mereka, Ambu memang dikenal warga sebagai orang yang sangat suka berbagi. Walau almarhum ayah Ahmad mewariskan mereka sepetak tanah yang kemudian mereka sewakan pada petani, hasil yang didapat sesungguhnya hanya cukup untuk sekedar melakoni hidup sederhana sehari-hari. Tapi sampai Ahmad sebesar ini, Ahmad tahu, tak pernah sekalipun Ambu melewatkan satu hari pun tanpa sedekah. Apakah itu berupa uang, beras, gula, atau bahkan hanya berbagi kehangatan dengan tetangga di muka tungku di dapurnya yang luas dengan teh, kopi dan singkong rebus.

“Sudah lama beliau tidur, ‘Lik?’ tanya Ahmad pelan pada buliknya yang setia menjaga Ambu.

“Sekitar dua jam, ‘Mad. Alhamdulillah bisa tidur. Biasanya sangat gelisah, mungkin karena tahu buah hatinya akan datang,” jawab Bulik sambil tersenyum pada keponakan yang sedang mencium tangannya itu.

Ditatapnya dengan perasaan sayang sang keponakan yang kini sudah tumbuh menjadi seorang pemuda. Paras Ahmad sebetulnya biasa saja. Namun pembawaannya yang tenang ditambah mata teduh dan senyum yang selalu mengembang membuatnya terlihat gagah dan matang.

Rebah terbalut kebaya dan kain, Ambu terlihat makin kurus saja. Akhir-akhir ini Ambu selalu mengeluh dadanya nyeri. Sudah dibawa ke Puskesmas terdekat tapi tak banyak membantu. Hanya dokter berpesan supaya Ambu jangan banyak pikiran. “Betapa aku mencintaimu, Ambu”, desah hati Ahmad.

Dipandangnya fotonya berdua Ambu yang terpajang di samping dipan Ambu. Foto ketika ia hendak berangkat merantau ke Jakarta karena diterima di universitas negeri di sana. Di foto itu Ambu tampak masih sehat. Ingatan Ahmad pun melayang mundur empat tahun ke belakang.

******

Kala itu perasaan Ambu teraduk-aduk. Bahagia karena cahaya semata wayangnya lulus penerimaan universitas negeri di ibukota, pilu karena tahu bahwa perpisahan adalah keniscayaan yang menyerta. Walau sadar kerinduan akan selalu membuntuti, namun dilepasnya jua keberangkatan Ahmad dengan senyum merekah. Tak lupa dibekalinya Ahmad dengan sesuatu yang sudah disimpannya sejak lama, kenang-kenangan termanis dari almarhum suaminya.

“Nak, seluruh peninggalan ayahmu sudah habis, tinggal sepetak tanah untuk bekal hidup kita sehari-hari. Tapi Ambu sengaja menyimpan ini untukmu kuliah, Nak,” kata Ambu sambil menyodorkan sesuatu pada Ahmad.

Disekap haru, Ahmad merasakan dinginnya logam dalam genggamannya. “Apa ini, ‘Mbu?”

“Kalung emas ini diberikan ayahmu pada Ambu. Seluruh tabungan beliau kala itu ditukarnya menjadi kalung ini dan diserahkannya pada Ambu, “ suara Ambu agak bergetar dicekat rindu. “Tak disangka seminggu kemudian ayahmu meninggalkan kita untuk selamanya, Nak, “ lanjut Ambu, “mungkin beliau sudah mendapat firasat akan kepergiannya.”

Dada Ahmad menyesak, didekapnya Ambu penuh kasih. Dirasakannya tangan Ambu mengusap lembut punggungnya.

“Sekarang kalung ini milikmu, Nak. Gunakanlah sebaik-baiknya. Kalung ini juga boleh kau jual kapan saja kau memerlukannya,” kata-kata Ambu membalut hati Ahmad, membuatnya trenyuh sangat, “Hanya ini yang dapat Ambu berikan padamu, semoga bermanfaat ya, Nak…”.

Pagi itu disaput kabut dingin Kenjuran, ibu dan anak terbenam dalam hangatnya pelukan cinta. Dari balik Pegunungan Perahu, matahari pagi mengintip iri kemesraan mereka. Kilap benang cahayanya menari-nari mengitari mereka berdua, seakan ikut menghayati setetes cinta Ilahi yang dititipkan pada dua mahlukNya itu.

******

Walaupun di desanya Ahmad tergolong berkecukupan, tidak demikian halnya ternyata ketika kuliah. Biaya hidup di Jakarta amatlah tinggi, belum lagi keperluan untuk fotocopy, survai, rental computer, dll. Ahmad jadi teramat sibuk. Kuliah, organisasi, mencari rizki adalah deru hidupnya sepanjang hari.

Kalung emas pemberian Ambu tak lagi dalam genggamannya. Bukan, Ahmad tak menjualnya. Rasanya sampai kapan pun tak akan tega ia menjual kalung pemberian Ambu itu. Ahmad hanya menggadaikannya. Uangnya ia pergunakan untuk membayar uang pangkal kuliah yang kalau di desanya nilainya setara dengan harga seekor sapi.

Sampai ia menjelang lulus, kalung itu belum juga dapat ditebusnya. Hanya mampu ia perpanjang dengan membayar uang pemeliharaan selang empat bulan sekali. Uang pemeliharaan itu pun biasanya baru terkumpul beberapa hari sebelum tanggal jatuh tempo, sebelum tiba waktunya kalung itu untuk dilelang. Ketika akhirnya uang itu disetorkan, barulah Ahmad bisa bernafas lega. Ah, kalung Ambu masih aman walau tak di tangan sendiri.

Untuk kehidupan sehari-hari Ahmad rajin menjemput rizki. Disela-sela kesibukan kuliah ia mengajar les privat, membuat spanduk, berjualan diktat, juga berjualan pulsa. Setengah tahun sekali ia pulang menjenguk Ambu, tak lupa melengkapi diri dengan aneka oleh-oleh mulai dari makanan kering, selendang, sampai buku-buku dan majalah islam, mukena serta sajadah.

Ya, semenjak ikut kajian rutin di mushola kampus, Ahmad jadi semakin mendalami indahnya Al Islam. Hal yang sangat langka dan mewah di desa Kenjuran. Maklum, pemahaman agama warga di desa tersebut sangat sederhana. Karena lokasinya yang tinggi dan terpencil, wilayah tersebut belum terjangkau oleh para mujahid penyebar dakwah. Yang ada hanyalah pembahasan tak berujung, tentang mana yang lebih baik, NU atau Muhammadiyah. Mungkin itu juga penyebabnya, Ambu tercinta belum tergerak untuk sholat bersujud menghadap Ilahi.

Namun karena giat mengikuti pengajian kampus itu pulalah Ahmad jadi dirundung pilu. Bagaimana tidak? Di sinilah ia baru dihenyakkan oleh penuturan jernih seorang ustadz bahwa amal manusia yang pertama dihisab oleh Allah swt adalah shalatnya. Tanpa shalat, maka semua amal pun tertolak. “Masya Allah, Rabb, ampuni Ambu hamba, “ jerit hati Ahmad.

Sejak itu dalam setiap doa dan sujudnya, hanya benderang hidayah untuk Ambu yang Ahmad pohonkan. Masalah lain dirasa kecil. Uang SPP yang terlambat dibayarkan, beban ujian akhir semester di depan mata, atau bahkan jika Ahmad sedang tergolek sakit sekalipun, hidayah untuk Ambu tak pernah bergeser dari urutan teratas daftar doanya.

Buku dan majalah Islam yang dibawakan Ahmad memang dibolak-balik dan dibaca Ambu, namun sajadah dan mukena sejauh ini hanya diterima dengan ucapan terima kasih dan senyuman. Hanya itu…

******

Ahmad dikepung kesibukan. Besok ia ujian akhir. Hari yang sama dimana jadwal lelang kalung Ambu di pegadaian juga menghantui. Persiapan ujian ia bauri dengan cari uang sana sini. Pembayaran uang pemeliharaan kalung sudah mundur satu minggu dari tanggal jatuh tempo. Besok hari terakhir penyetoran kalau Ahmad sungguh ingin menyelamatkan kalung itu.

Siang itu ia terpuruk di kamar kos. Kelelahan. Menyempatkan diri sejenak merehatkan tubuh sebelum bergegas ke pegadaian, berkejaran dengan pukul tiga, jam tutup tempat itu.

Namun Ahmad lega, terkumpul sudah akhirnya lima ratus ribu rupiah. Walau harus ditutup dengan menjual hp-nya seharga seratus lima puluh ribu. Tak apalah, insya Allah bisa beli lagi kalau ada rejeki. Sore nanti prioritas belajar dulu, ujian akhir esok menanti.

Baru sesaat ia berbaring, Shobur temannya menyeruak masuk.

“Akhi, sudah dengar belum?” katanya dengan nafas tersengal. Akhi ialah panggilan lazim untuk saudara seiman di pengajian kampusnya.

Masih dengan dada turun naik menata nafas, tanpa menunggu jawaban Ahmad, Shobur meneruskan kabar yang dibawanya, “Teman kita Edi Basuki terancam ngga boleh ikut ujian besok, akh, uang spp masih menunggak Rp. 500.000,- !’

“Masya Allah,” empati Ahmad, “Kok bisa begitu, akhi?”

“Sawah orangtuanya kena wereng, sudah enam bulan lebih ia tidak mendapat kiriman. Apalagi dagangan Edi kini juga kurang laku, kasihan ..”

Teman-teman Ahmad memang rata-rata sudah mulai berniaga untuk menutupi kekurangan kiriman orang tua mereka. Maklum, kebanyakan memang perantau yang tak bisa hanya mengandalkan wesel bulanan mereka. Edi sendiri sepengetahuan Ahmad berjualan kaset-kaset islami, barang yang mulai ditinggal penggunanya sejak maraknya CD dan RBT.

Ahmad merasa kantungnya yang berisi uang 500.000 rupiah terasa panas. Dibayangkannya kesedihan keluarga Edi kalau ia sampai tidak diperbolehkan ikut ujian akhir besok pagi. Tak terperikan bagaimana perasaan Ambunya kalau hal tersebut terjadi pada dirinya.

Wajah muram Edi dan pendar cemerlang kalung emas Ambu silih berganti dengan kontrasnya melekat di pelupuk mata Ahmad. “Allah, apa yang harus kulakukan?” lirih Ahmad.

Namun sosok Ambu yang pemurah berkelebatan di bilik nuraninya. Ahmad merasa, jika saja Ambu berada di posisinya, besar kemungkinan Ambu akan menyerahkan uang setengah juta itu untuk Edi. Ambu, yang selalu menyisihkan sekepal nasi untuk bebek tetangga, Ambu yang selalu memasak dengan kuah banyak agar bisa berbagi dengan tetangga, bahkan tanpa pernah mendengar bahwa Nabi yang mulia memang menyarankannya.

Ahmad menerawang menembus jendela kamar kos, mencari kemantapan fatwa hatinya. Tak sengaja ekor matanya terhantuk pada pemandangan di luar kamar, seraut sarang laba-laba berkilauan ditimpa mentari tampak telah berhasil menjerat makan siang bagi sang pemilik sarang. Sebuah keyakinan yang sulit digambarkan keindahannya tiba-tiba menguat kokoh memenuhi hatinya.

“Maha Besar Engkau Allah, wahai pemberi rizki,’ seru Ahmad lembut, “sungguh benar firmanMu bahwa tak satu mahluk pun yang tak Kau jamin rizkinya. Terimalah sedekahku untuk Edi ini, ya Rabb, kuserahkan kembali kalung Ambu padaMu…. Maafkan aku Ambu, akhirnya aku tak dapat lagi menjaga kalung pemberianmu”

******

Sore itu Ahmad lega karena sudah mengambil keputusan yang terbaik. Sudah saatnya menggamit buku untuk persiapan besok. Tapi sekali lagi Shobur menerobos kamarnya, kali ini dengan senyum mengembang, “Akhi, telepon dari Kenjuran!” katanya.

Setengah berlari Ahmad menuju ruang belajar bersama tempat telepon di pasang di dindingnya. Mungkin telepon ini dari Ambunya yang menghubungi lewat hp tetangga. “Assalammualaikum,” sapanya.

“Waalaikum salaam,” suara Ambu membelai telinga dan juga hati Ahmad, namun tak ayal Ahmad menangkap ada gurat kesedihan tersirat.

“Ambu kangen, nak,’ bergetar suara Ambu.

Sepasang ibu anak yang terpisah jarak itu sejenak terdiam bersama.

“Ambu baik-baik saja?,” Ahmad menghalau kesenyapan.

Ambu tak menjawab. Mungkin menahan tangis yang siap meluap.

“Ambu,” bisik Ahmad, “ Ahmad mengerti Ambu sudah rindu. Ahmad pun sudah sangat ingin pulang dan bertemu Ambu.” dari gagang telepon terdengar desah nafas Ambu. “Ahmad berjanji akan pulang setelah ujian ini selesai ya, Ambu, insya Allah.”

Masih tak ada jawaban, tapi Ahmad yakin Ambu mendengar setiap kata yang ia ucapkan.

“Ambu,’ tutur Ahmad perlahan, “kalau yang Ambu rindukan dari kepulangan Ahmad adalah kasih sayang Ahmad, sesungguhnya kasih sayang itu dari Ar Rahman, ‘Mbu… Sungguh, mungkin Allahlah yang Ambu rindukan.”

Ujung telepon di Kenjuran masih hanya memperdengarkan nafas berat Ambu. Namun dengan seluruh ketulusan, Ahmad meneruskan kata-katanya. “Ambu, kalau yang Ambu rindukan dari kepulangan Ahmad adalah keceriaan Ahmad, sesungguhnya keceriaan itu dari Al Hayyu, yang Maha Hidup. Dialah yang sesungguhnya Ambu rindukan, percayalah pada Ahmad, ‘Mbu…”

“Mad…,” serak suara Ambu mengiba, “Ambu ingin bertemu Ahmad…”

“Ambu, Ahmad tahu bagaimana kita dapat berjumpa, hati kita dapat saling berbicara, walaupun Ambu nun jauh disana, “ terbetik ide di kepalanya.

“Maksudmu, nak?” ada harapan di pertanyaan Ambu.

“Sholat, ‘Mbu… sholat….,” bujuk Ahmad lagi. “Saat sholat, kita berdua terhubung dengan Rabb yang sama, yang akan menyatukan kita. Tidak ada yang dapat membatasi kita dengan Allah ketika shalat, ‘Mbu. Mohonlah pada Allah, untuk mengganti kerinduan Ambu pada Ahmad dengan sebaik-baik pengganti”.

Hening. Namun kemudian terdengar suara Ambu, “Ambu sayang kamu, ‘Mad. Baik-baik di sana, yaa. Doa dan restu Ambu selalu menyertaimu. Assalammualaikum”

“Terimakasih, ‘Mbu, waalaikum salaam”

******

Sebulan setelah telepon itu, di sinilah Ahmad berada. Di Kenjuran mendampingi Ambu. Bulik menelepon bahwa kesehatan Ambu memburuk, membuat Ahmad menangguhkan segala urusan mengenai kelulusan dan segera pulang ke Kenjuran.

Sesorean tadi ia menghibur Ambu, menceritakan kisah lucu, menggosok punggung Ambu agar hangat, mengurut kaki beliau, menyuapi, dan lain-lain. Semuanya agar Ambu bahagia.

Namun sesungguhnya Ahmad masih menyimpan kelam di lubuk hatinya. Ahmad sangat prihatin dengan sakit Ambu yang tampak parah. Namun yang lebih menekan jiwanya adalah tentang sholat Ambu, bagaimana kalau malaikat menjemput Ambunya ketika Ambu belum mengenal sholat?

Malam itu Ahmad mempersiapkan diri untuk tahajud, juga sahur untuk berpuasa sunnah esoknya. “Terimalah ikhtiar hamba ini, Allah,” doa Ahmad.

****

Ketika Ahmad bangun, hawa dingin sangat menusuk. Berwudhu di akhir malam tak mungkin dilakukan dengan air pegunungan yang sedingin es. Tangan Ahmad merinding kedinginan bahkan kakinya sampai hampir tak terasa keberadaannya. Ahmad pun berwudhu dengan air ceret yang hangat.

Dinyalakannya tungku dengan bonggol jagung kering. Ooh, betapa nikmatnya sahur di depan kehangatan tungku batu itu. Dapur yang luas dingin dan gelap, namun di muka Ahmad api berkobar gegap gempita berderik-derik bonggol jagung menjadi bara. Ahmad duduk di dingklik kayu di muka tungku sambil melahap nasi ditemani sayur lombok ijo. Nikmatnya luar biasa. Direguknya teh panas dengan gula aren. Betapa nikmatnya ketika teh panas itu mulai menyusupi rongga mulut Ahmad, tenggorokan, rongga dada hingga ke perut. “Tiada nikmatMu yang hamba dustakan, Rabbi…,” desah Ahmad.

Dengan tubuh hangat Ahmad mulai berzikir, mencicipi kenikmatan tak terperi melafalkan nama-nama Allah yang indah. Bergetar jiwanya. Merugilah mereka yang tak berusaha mengenal Dia. Sungguh Allah tak pernah tidur. Ketika semua mahluk lelap dalam senyapnya malam, tak putusnya Dia mengabulkan segala doa, menunjukkan jalan terindah menuju keridhoanNya.

Digarang di muka api, tubuh Ahmad semakin menghangat sementara hatinya dihangatkan oleh bacaan Al Quran. Usai sahur dan mengaji, Ahmad pun berdiri menghadap Allah lewat sholat tahajud. Betapa nestapa Ahmad mengingat ibunya yang sedang sakit, yang belum jua sholat. “Berikanlah kesembuhan pada Ambu, atau khusnul khatimah jika Engkau menghendaki sebaliknya, ya Allaah,” Ahmad mengiba.

Dimalam yang syahdu itu surat An Naas terasa begitu menggetarkan. Ahmad jadi merasa sangat menghayati sujudnya seorang hamba kepada Rabbnya, sujud dengan segala kerendahan dan penyerahan diri. “Sesungguhnya aku sayang Ambu, tapi Engkaulah pemilik Ambu ya, Allah. Pastilah Engkau lebih sayang lagi padanya, Allah…,” air matanya bergulir.

Malam semakin mendekati ujung, Ahmad malah merasa makin gamang karena merasa istigfarnya belum juga ditanggapi Allah. “Ya, Allah, mohon kiranya Engkau berkenan memberi pertanda, bahwa Engkau mendengar doa kami,” pinta Ahmad khusuk.

Menunggu azan subuh, Ahmad terus menggiatkan istighfar, memohon ampunan bagi Ambu dan dirinya. Jemarinya tanpa sadar membuka-buka lembar tafsir Al Quran. Ahmad takjub tak terkira ketika matanya terantuk pada kalimat : “ … dan yang mohon ampunan di waktu sahur…”.

“Bukankah itu yang sedang hamba kerjakan ya, Allah?”, bisik Ahmad. Bergegas matanya menelusuri ayat tersebut secara menyeluruh dan tak dapatlah perasaannya saat itu dilukiskan karena begitu terguncangnya hatinya membaca surat Ali Imron ayat 15 -- 16 di mana Allah berfirman :

‘Katakan : “Inginkah aku kabarkan padamu apa yang lebih baik dari yang itu?” Untuk orang yang bertakwa (pada Allah), di sisi Tuhan mereka ada syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan istri-istri yang disucikan serta keridhoan Allah, dan Allah Maha melihat akan hambaNya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta’at, yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, dan yang memohon ampun di waktu sahur.

Subhanallah, air mata Ahmad bercucuran. Malam itu begitu nyata Ia menjanjikan ampunan yang sangat besar bagi setiap hamba yang bermohon kepadaNya. Ah, cepat sekali malam berlalu. Adakah di dunia ini yang lebih berharga daripada ridho dan ampunanNya?

Azan subuh memanggil. Ahmad keluar menuju masjid yang hanya dipisahkan sepetak tanah kosong dengan rumahnya.

Subuh yang indah. Ditutup dengan jamaah bersama-sama ber-shalawat dengan shalawat yang nadanya mirip tembang Jawa dan tidak pernah Ahmad temukan di masjid manapun di Jakarta. Shalawat yang selalu membuatnya rindu Rasulullah SAW dan rindu shalat berjamaah di Kenjuran.

Ciri unik lain shalat berjamaah di masjid ini adalah ramainya suara batuk para jamaah. Maklum, dinginnya bukan kepalang. Namun, dari arah shaf jamaah wanita di belakang, ada satu suara batuk yang khas yang tak mungkin salah Ahmad kenali.

“Subhanallah, Ambu?” heran Ahmad. Tak sabar disibaknya tirai pemisah dan dijumpainya Ambu dan bulik duduk dalam mukena mereka.

Diraihnya segera tangan ibunya dan diciuminya bertubi-tubi. Melihat mata Ahmad yang penuh keheranan, bulik berkata tanpa ditanya, “Ahmad ingat terakhir kali Ambu telpon Ahmad? Setelah itu Ambumu langsung mau sholat, Mad. Alhamdulillah. Sudah sebulan ini sholat wajib tiada yang bolong”.

“Terimakasih Allah, hidayah yang sangat indah,” bisik Ahmad dalam hati. Senyum bahagianya tak jua menyusut. Lamaaa sekali.

******

Seminggu sudah Ahmad membahagiakan Ambu di Kenjuran. Setengah jam yang lalu Ambu telah melepasnya kembali berangkat ke Jakarta. Nyeri dadanya belum mereda, tapi ia menyadari banyak yang harus diurus Ahmad di kampusnya berkaitan dengan kelulusannya.

Ambu shalat dhuha di muka jendela kamar yang terbuka. Disyukurinya kebesaran Allah lewat pemandangan bukit, petak-petak ladang jagung dan langit biru dari balik jendela. Zikirnya diiringi suara gemericik air pegunungan yang mengaliri desa melalui pipa dari bambu, menyaingi ributnya suara bebek-bebek yang meleter di pekarangan. Ambu tersenyum, membayangkan bahwa air dan bebek itu sebetulnya mungkin sedang berzikir juga. Tiba-tiba ia merasa dadanya sangat sakiit, sakiiit. Tak ada lagi bunyi…

******

Ahmad memaksa sopir ojek ngebut laksana angin mendengar kabar jatuhnya Ambu yang disampaikan salah seorang tetangganya. Ketika ia tiba, rumahnya sudah ramai oleh warga. Rupanya kabar telah tersiar. “Ambu?” Ahmad menerobos masuk ke kamar Ambu.

Kebingungan, Ahmad mencoba untuk tenang, duduk di lantai, menggenggam tangan Ambu dan membimbing beliau tahlil. Dalam pejam Ambu, Ahmad melihat ada air bening yang menggulir keluar dari mata beliau.

“Kalung Mad, kalung…,” suara Ambu sangat lirih, nyaris tak terdengar.

“Kalung apa, Ambu sayang?” tanya Ahmad, mengusap pipi Ambu.

“Kalung… da…ri..a a a.yah,” jawab Ambu makin pelan, terpatah-patah.

Mendengarnya, Ahmad tak kuasa untuk tidak tergugu. Pemuda gagah itu pun menangis, “Maafkan Ahmad, Ambu…ampuni Ahmad….kalung itu sudah tidak ada.” sesal Ahmad miris.

“Bu..kan..i..tu.., Mad,” sela Ambu di tengah nafasnya yang mulai satu-satu. Matanya masih erat terpejam.

“Kalung itu..ber..ca..ha..ya..terang…se..ka.li.., indah..,” ruangan senyap mendengar tutur Ambu. “Mad, ka..lung…i…tu…menuntun… Am…bu.. ke.. tempat… te…rang…. ca..ha..ya…”

Subhanallah, Ahmad jadi terkenang kalung yang tak dapat ditebusnya karena menolong Edi. “Allah, ternyata Engkau menebusnya untuk kami…Engkaukah Allah, pembeli kalung yang dilelang itu?”