Selasa, 25 Oktober 2011

Perisai Diri Di Jantung Jerman (3)

Oleh : Ineu Ratna Utami
 


Ya, Guten Morgen?!”... terucap salam dari seraut wajah bermata hijau yang menyembul di balik pintu setelah beberapa saat diketuk. Tatapannya tertuju pada seorang wanita Jerman bernama Frau Larscheid yang tak lain adalah pimpinan lembaga tempat ia berkiprah. Saat itu Frau Larscheid yang ramah dan kharismatik sedang mengantarku ke kelasnya, sebuah ruang kursusu bahasa Jerman bagi pemula.

Frau Larscheid menjawab salam wanita tadi begitu pula aku. Wanita itu kini menguakkan pintu lebih lebar, terlihat keseluruhan postur tubuhnya yang tinggi besar. Ia hanya sepintas memandangku tanpa membalas senyumku. Dalam hitungan detik kembali matanya tertuju pada Frau Larscheid. Dengan seksama ia mendengarkan penjelasan Frau Larscheid bahwa hari itu muridnyanya akan bertambah yaitu aku, walaupun sudah telat seminggu dari batas akhir masa pendaftran. Frau Larscheid pun meminta ia untuk mengizinkanku membawa anakku ke ruang kursus hingga para Kinderbetreuung yang sampai saat itu masih kerepotan mengasuh beberapa anak dari para peserta kursus, siap menerima putraku.
 
Dibanding dengan teman-teman yang bersamaan denganku datang ke Berlin, aku sendiri yang belum ikut kursus bahasa karena semua tempat kursus yang ada, tidak memfasilitasi Kinderbetreuung untuk anak di bawah usia 2 tahun, sedangkan saat itu anakku masih berumur setahun. Jadilah aku belajar otodidak, hingga suatu hari ketika sedang berjalan-jalan bersama putraku tak jauh dari apartemen tempat kami tinggal di Sparr Strasse, kubaca sebuah pamflet yang memberitahukan ada kursus gratis khusus untuk perempuan asing, dan tempat kursus tersebut memperbolehkan membawa anak di bawah umur 2 tahun. Alhamdulillah, aku merasa gembira saat itu, karena berat rasanya hidup di negeri orang tanpa bisa berkomunikasi dengan bahasa yang digunakan negeri tersebut. Sebenarnya saat membaca pamflet itu, pendaftaran sudah ditutup. Namun mendengar informasi dari seorang sahabatku tentang masih ada peluang kursus di situ, akhirnya aku nekat mendatangi tempat itu. Dan, itulah awal aku mengenal sosok guru kursus bahasa Jermanku yang pertama.
 
Setelah Frau Larscheid menyudahi percakapan dengannya dan berlalu diiringi ucapan selamat belajar padaku, wanita bermata hijau dan berambut coklat terang itu menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Ia tertegun beberapa saat, sorot matanya seolah tak percaya melihat sosok di hadapannya, wanita Asia dengan gamis dan jilbab lebar menggendong anak kecil akan menjadi peserta kursusnya. Ku balas tatapannya dengan senyum dan sorot mata berusaha meyakinkan bahwa aku serius, ingin belajar. Tak lama kemudian ia mempersilahkanku masuk. 
 
Wanita itu sekilas mengenalkanku pada peserta kursus lainnya dan ia pun mengenalkan dirinya. Kini kuketahui sedikit tentangnya, ia bernama Svetleona, seorang profesor di bidang literatur berkebangsaan Russia. Ia bergabung dalam sebuah komunitas peduli orang asing di Berlin sebagai pengajar tata bahasa Jerman untuk pemula. Selain dirinya, ada juga Aimee-berkebangsaan Perancis mengajar kelas percakapan, Marco berdarah campuran Itali-Jerman mengajarkan kami melukis dan Huebert memandu kelas komputer.
 
Kesan pertamaku pada sang profesor, ia begitu 'angker' saat mengajar. Berkali-kali pandangannya tertuju padaku, memastikan bahwa anakku tak kan membuat keonaran. Alhamdulillah, putraku diberi ketenangan oleh-Nya. Ia duduk dalam pangkuanku sambil mencoret-coret kertas yang kuberikan padanya, terkadang ia asyik dengan mainan yang kubawa. Sesekali aku minta ijin pada Svetleona untuk menyusui putraku di dalam kelas tersebut. Hal ini cukup menyedot perhatiannya juga peserta kursus lainnya. Sementara itu, putraku nyaman di balik jilbabku.
 
Dari hari ke hari, suasana kelas saat Svetleona mengajar semakin terasa menegangkan. Terutama saat kemampuan kami diuji dengan cara bergiliran mengisi setiap soal grammer yang sudah ia siapkan di papan tulis. Suasana kelas terasa hening dan ketegangan semakin terasa saat ia mendamprat atau bergumam dengan muka kesal.
 
Berbeda saat kami mengikuti sesi percakapan yang dipandu Aimee yang lembut dan humoris. Semua peserta antusias dan tak takut bercakap-cakap menggunakan bahasa Jerman. Aimee selalu memotivasi kami untuk berani berbicara dan ia selalu berpesan pada kami, jangan takut salah!
 
Begitu pula saat mengikuti kelas melukis bersama Marco, rasanya waktu cepat berlalu dan tiba-tiba saja di hadapan kami ada selembar karya masing-masing. Serasa tak percaya kami bisa melakukan sesuatu sesuai arahan Marco, dan tanpa disadari, kami telah bercakap menggunakan bahasa Jerman dengan Marco. Hal ini dikarenakan Marco pandai memanfaatkan suasana, selalu mengajak kami bicara tentang apa yang sedang kami tuangkan dalam lukisan yang kami buat. Komentar-komentarnya membuat para peserta kursus tersenyum senang, terasa sekali aroma motivasi yang ditebarnya menyemangati kami.
 
Sungguh kontras sikap teman-temanku saat usai belajar bersama sang profesor dibanding bersama guru-guru lainnya. Setiap jam istirahat tak pernah absen telingaku dari keluhan teman-teman kursus akan sikapnya. Dan berulangkali pula aku berusaha membesarkan hati mereka. Sambil berbagi makanan bekal dari rumah bersama mereka, kuajak teman-temanku berpikir positif tentang Svetleona. Memang tak kusangkal pendapat mereka tentang Svetleona, tiga orang Afrika, empat orang Turki, satu orang Malaysa ditambah seorang muslim Macedonia merasa tak nyaman dengannya termasuk aku sendiri, begitu juga peserta kursus ruang sebelah (satu level di atas kami) yang pernah menjadi muridnya.
 
Tapi aku selalu berusaha untuk menjalankan pesan suamiku agar selalu mengingat-ingat kebaikan seseorang dan aku pun berusaha menepis “keangkeran” Svetleona itu. Aku hanya ingin menempatkan ia di hatiku sebagai guru yang harus kuhormati dan kucintai karena ia tanpa pamrih mengajariku memahami bahasa Jerman. Ia telah meluangkan waktunya untuk kami karena proyek sosial itu tak memberi imbalan apa pun untuknya, sedangkan kami memperoleh banyak ilmu darinya. Rasanya tak adil jika kami hanya menyoroti “keangkerannya” saja.
 
Setelah kupikir dengan segenap kejernihan hati, pemicu suasana tegang di kelas tak lain adalah ulah kami sendiri. Svetleona geram sekali bila kami datang terlambat, ia sangat disiplin dalam masalah waktu. Tak ada alasan terlambat baginya, karena jarak rumah kami ke tempat kursus tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan jarak rumahnya yang sangat jauh, hampir di luar Berlin. Ia juga sering kesal bila kami lupa dengan pelajaran yang pernah diberikan sebelumnya, ia anggap kami tak serius belajar dan yang lebih membuat ia murka manakala kami melanggar sopan-santun. Svetleona merasa tak nyaman bila saat ia mengajar, tiba-tiba di antara kami ada yang (maaf) buang ingus dengan suara nyaring. Musim semi memang sering menyebabkan orang yang sensitif terhadap polen bunga atau debu menjadi bersin, demikian juga saat musim gugur, banyak orang terkena flu, dan bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari hidung itu seolah menjadi lazim di sini pada musim-musim tersebut. Namun Svetleona tak ingin murid-muridnya melakukan hal yang kurang etis itu di hadapannya. 
 
Ternyata, ketika aku berusaha menghargai dan menghormati segala kelebihannya serta menerima apa adanya Svetleona, berusaha memahami apa keinginannya dan harapan-harapan terhadap murid-muridnya, hasilnya sebanding dengan apa yang kulakukan terhadapnya. Svetleona sekalipun tetap bermuka dingin namun kurasakan ada selarik hangat dari hatinya. Entah sejak kapan, ia memiliki kebiasaan baru, selalu memelukku dan berbicara atau menyapaku penuh keramahan. Hal ini membuat teman-teman kursusku heran, tak terkecuali aku sendiri. 
 
Bahkan ketika diadakan acara kelulusan naik level sekaligus perpisahan dengannya, Svetleona membuatkan kue khas Moskow untuk kami dan ia menyebutkan semua bahan untuk membuat kue itu aman untuk dimakan muslim. Sementara itu ia tunjukkan sikap tertarik dengan klepon dan nasi goreng yang kubawa demikian pula terhadap makanan ala Turki, Afrika dan Macedonia. Di akhir acara ia berharap kami akan tetap melanjutkan kursus di tempat tersebut.
 
Beberapa bulan berselang, aku kembali ke tempat di mana Svetleona dan kawan-kawannya mengabdikan diri. Tak lain untuk sekedar memenuhi undangannya melalui sepucuk surat yang dilayangkan ke rumahku seminggu sebelumnya. Kupenuhi undangan tersebut, namun sebenarnya kedatanganku saat itu hanya ingin menyampaikan bahwa aku tak bisa menyambut ajakannya untuk melanjutkan belajar di tempat itu lagi. 
 
Suasana lengang terasa sepanjang koridor, hanya sayup-sayup terdengar suara dari beberapa kelas yang tertutup pintunya. Ketika akhirnya wajah dingin itu ada beberap meter di hadapanku, dengan segera ia berlari begitu melihatku dan memelukku penuh suka cita. Ia memintaku menunggu di sebuah ruang karena masih ada hal yang harus dikerjakannya. Kumanfaatkan waktu menunggu itu untuk membuka mushaf dan kubaca perlahan-lahan.
 
Ketika kuakhiri tilawahku dan berniat untuk berbalik arah, aku terkejut karena Svetleona telah berdiri mematung di belakangku, entah berapa lama, aku tak menyadari kehadirannya. Sesaat kemudian, ia menarik sebuah kursi dan meminta aku duduk kembali. Mata hijaunya menatapku lekat lalu ia bertanya, “Apa yang kamu baca itu? Kenapa perasaanku menjadi tentram?”. Svetleona yang sudah lama tak mempercayai adanya tuhan, memintaku memperlihatkan apa yang kubaca. Aku pun menunjukkan mushaf biru yang selalu kubawa serta dalam tasku. “Ini adalah panduan hidup kami agar hidup selamat”, jawabku. 
 
Bisakah kamu membacakannya lagi? Saya ingin mendengarkannya!” Aku mengangguk setuju, lalu kupilihkan surat Al-Ikhlas dan kusampaikan arti dari surat itu. Ia terbelalak, tersirat penasaran di paras mukanya dan terlihat ia hendak menanyakan sesuatu namun hal itu urung karena telpon genggamnya berbunyi dan ia segera bergegas pamit.
 
Sungguh tak kusangka, Svetleona yang di awal kami berjumpa begitu sinis, menatapku dingin tanpa senyum, kini ia merasakan ketentraman saat mendengar tilawah dan memintaku mengulanginya. “Hmmm...apa yang tadi hendak ditanyakannya ya?” rasa penasaran menyergapku, namun sayang setelah usai menjelaskan maksud kedatanganku, aku harus pamit karena satu janji yang harus segera kupenuhi. Dan, lebih disayangkan lagi ternyata aku tak pernah ke tempatnya lagi dikarenakan aku harus mulai bersiap-siap dengan masa melahirkan bayiku yang sudah semakin dekat.
 
Dengan segala keterbatasanku saat itu, aku hanya mampu berharap dan mendoakannya semoga rasa tentram yang menyelimuti hatinya saat mendengar al-Qur'an dibacakan hingga minta diulangi, begitupula dengan pertanyaan yang tak sempat dilontarkannya itu, adalah awal ketertarikan Svetleona pada Islam. Semoga akan ada seseorang yang menjadi pemandu baginya untuk mendapatkan hidayah-Nya.

Sekalipun rasa penasaran masih menggelayuti hati tentangnya, tetapi yang pasti kurasakan perubahan positif dari sikap Svetleona padaku dari waktu ke waktu. Setelah kurenungkan tak lain semua itu merupakan pertolongan Allah semata yang telah menuntunku membangun sikap dalam diriku bagaimana sebaiknya berinteraksi dengannya, antara lain selalu berusaha tepat waktu, bersungguh-sungguh saat belajar, bersikap sopan dan bertutur santun.
 
Sikap-sikap tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam ajaran akhlak mulia seorang muslim. Dan ternyata ketika kita terapkan dalam keseharian, maka hal itu akan berbuah respek dari orang yang sebelumnya terlihat antipati. Oleh karenanya, beberapa sikap yang telah kusebutkan tadi itu pun kujadikan sebagai bagian dari perisai hidupku di negeri minoritas muslim.

====================
Keterangan:
Guten Morgen = selamat pagi
Kinderbetreuung = pengasuh/ yang menjaga anak-anak

Perisai Diri Di Jantung Jerman (2)

Oleh : Ineu Ratna Utami

Bismillah walhamdulillah...

Beberapa hari setelah beradaptasi dengan tempat kami tinggal, suamiku mengajak berjalan-jalan mengenal lingkungan sekitar. Selama menyusuri jalan kami menemui beragam orang di samping orang-orang pribumi, yang bila kami lihat dari raut wajahnya, dapat diduga asal mereka seperti dari Turki, Arab, Korea maupun Afrika.

Sehelai Kain Identitas, Pengikat Persaudaraan

Sebagaimana orang yang tidak saling kenal, ketika berpapasan tentunya saling tak acuh. Itu pula yang kami alami. Tiap orang berjalan tanpa peduli sekitarnya, terkadang mereka berjalan begitu cepat dan tergesa. Namun hal tersebut tak selalu demikian adanya. Berkali-kali seulas senyum menghiasi raut muka orang yang tak kami kenal saat berpapasan dengan kami, bahkan terkadang mereka tak segan menyapa dengan mengucap salam yang lazim digunakan orang muslim saat bertemu.
 
Ya, seulas senyum mereka begitu berarti ketika kami terpisah ribuan kilo dari sanak saudara dan handai taulan. Seulas senyum yang biasa mudah kami dapati saat berada di tanah air ketika berjumpa dengan orang-orang yang kami kenal. 
 
Seulas senyum itu kini di sini menjadi sesuatu yang sanggup menjadi pengobat rindu akan kampung halaman. Karena seulas senyum tulus yang diberikan orang-orang yang belum kami kenal saat berada jauh dari tanah air menyadarkan diri kami bahwa kami masih memiliki saudara seiman. 
 
Bagaimana senyum itu tiba-tiba menghias wajah mereka saat berpapasan dengan kami padahal jelas kami tidak saling mengenal? Tentu saja sangat mudah diterka, ya karena aku menggunakan sehelai kain penutup kepala. Hal ini menjadi identitas yang mudah dikenal oleh siapa pun bahwa aku adalah seorang muslimah.
 
Sehelai kain penutup kepala itu mampu merekatkan dua orang yang saling tak mengenal saat berpapasan. Seperti kuceritakan di atas, kami merasakan sendiri ternyata sehelai kain penutup kepala tersebut dapat mengikat persaudaraan. Karena ketika suamiku berjalan-jalan sendiri, semua orang yang berpapasan dengannya tak pernah tahu kalau dia seorang muslim. Bahkan, pernah ia diajak bicara dengan bahasa Korea. Sontak suamiku gelagapan menjawab dan menyampaikan pada orang yang menyapanya bahwa dia bukan bagian dari bangsanya. Lain cerita bila dia berjalan bersamaku, kami akan sangat mudah dikenal sebagai sepasang muslim muslimah.
 
Pernah suatu ketika saat kami menyusuri ruas Mueller Strasse di kawasan Wedding. Di tengah hiruk pikuk orang-orang, kami berpapasan dengan seorang kakek. Tiba-tiba kakek yang sudah bungkuk itu berhenti lalu menatap kami agak lama lalu menyunggingkan seulas senyum. Jabat tangan pun terjadi antara suamiku dan sang kakek yang akhirnya kami ketahui ia berasal dari Palestina.
 
Sang kakek begitu terlihat gembira saat mengetahui asal kami. Ia memeluk suamiku penuh haru sambil berbisik pada suamiku agar suamiku menjagaku dan bayi kami dengan sebaik-baiknya. Ia tahu persis bahwa Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim dan peduli serta selalu mendukung perjuangan Palestina menghadapi negara penjajah yang kaumnya dilaknat Allah. 
 
Seringkali kami berpapasan dengan kakek tersebut setiap menyusuri ruas jalan itu. Tak kami sangka, kakek yang sudah sangat tua itu tetap mengenali kami di setiap perjumpaan yang terjadi. Ia selalu menyempatkan berbincang sebentar dengan suamiku.
 
Dilain waktu, pernah pula seorang muslimah menyapaku dengan ramah. Setelah berkenalan akhirnya kutahu ia berasal dari Maroko. Hangatnya persaudaraan yang ia perlihatkan dalam sikapnya membuatku terkesan hingga kini. Demikian pula dengan sikap muslimah dari belahan negeri lainnya seperti Turki, Libanon, Arab, Machedonia dan lain-lain, hampir setiap berpapasan dengan mereka akan tersungging sebuah senyuman. 
 
Sehelai kain identitas itu selain membuat senyumku dan mereka terkembang juga menjadi amal ibadah bagi kami. Bagaimana tidak? Karena Rasulullah SAW bersabda bahwa anak keturunan Adam memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya, “Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR Tirmizi dan Abu Dzar). Dalam hadis lain disebutkan bahwa senyum itu ibadah, “Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah.” (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi). Salah seorang sahabat, Abdullah bin Harits, pernah menuturkan tentang Rasulullah SAW, “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah SAW.” (HR Tirmidzi).
 
Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR Muslim). 
 
Sejak itu kusadari bahwa sehelai kain yang menutup kepala dapat menjadi awal perekat hati kami dengan saudara-saudara seiman di negeri minoritas muslim. Sehelai kain identitas diri itu menjadi bagian dari perisai hidupku di sana karena ia menjadikan kami serasa memiliki banyak saudara.

Perisai Diri Di Jantung Jerman (1)

Oleh : Ineu Ratna Utami

Bismillah walhamdulillah...

Ada banyak pertanyaan dilontarkan orang-orang di sekitarku saat ku kembali ke tanah air setelah beberapa tahun menyelami kehidupan di negara minoritas muslim, tepatnya di ibukota Jerman, Berlin.

Hal yang paling sering ditanyakan mereka adalah tentang hijab. Sepertinya mereka penasaran karena di awal berjumpa lagi denganku, penampilanku tetap seperti dulu saat aku akan meninggalkan tanah air. Pertanyaan yang sama terucap pula dari orang yang baru mengenalku ketika melihatku berbusana serba longgar dengan kain penutup kepala yang lebar.


Bagaimana di sana, tetap dengan penampilanmu seperti itu?” tanya yang sering mengawali perjumpaan dengan orang-orang yang sudah lama mengenalku. Sedangkan yang baru kenal, biasanya terucap tanya,“Maaf, selama di sana penampilannya seperti itu?”

Tersirat kecemasan saat mereka bertanya tentang hal tersebut. Kucoba mengurai rasa penasaran bercampur kecemasan itu dengan senyum sambil menjawab singkat, “Ya! tetap seperti ini.”

Rupanya jawaban itu menyebabkan rasa penasaran semakin menjadi. Masih dengan nada cemas muncul lagi pertanyaan, “Bagaimana sikap orang sana dengan penampilan seperti itu, memangnya enggak kenapa-kenapa?”

"Tentu saja kenapa-kenapa." jawabku sedikit berseloroh

Namun, melihat keseriusan mereka yang bertanya ingin mengetahui bagaimana orang-orang Jerman atau bangsa lainnya di negeri tersebut bersikap padaku, kali ini aku tak dapat menjawab sesingkat jawaban pertama. Karena beragam sikap yang kudapatkan saat sekedar berpapasan dengan merekadi jalan atau saat berinteraksi untuk berbagai keperluan kami terhadap mereka.
 
Untuk itu, insya Allah akan kutuliskan di sini beberapa kisah pengalaman dalam selarik perjalanan hidupku di sana secara berseri. Semoga dengan menuturkannya ada ibrah dan hikmah yang dapat diambil.

***

Sejak pesawat lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta hingga mendarat dengan sempurna di bandara Tegel-Berlin, Alhamdulillah tak ada kendala yang kujumpai. Namun, setelah suamiku menjemput dan mengajakku beserta bayi kami keluar untuk mencari taxi, disinilah mulai kudapati kendala.

Saat suamiku mencegat taxi pertama hingga entah keberapa kalinya, tak ada satu pun supir taxi yang bersedia mengantar kami ke tempat tujuan. Anehnya, mereka awalnya bersedia, akan tetapi begitu melihatku, kesanggupan itu langsung dicabut dan mereka berlalu begitu saja meninggalkan kami dalam keheranan dan ketidakmengertian.

Mendapat perlakuan demikian dari para supir taxi, membuatku jadi teringat akan pertanyaan dan saran dari saudara dan teman-temanku menjelang keberangkatanku menyusul suami yang sudah lebih dulu berada di Berlin. Saran dan pertanyaan mereka bernada khawatir aku akan mengalami diskriminasi dari orang-orang di sana jika ku tetap berpenampilan seperti keseharianku selama ini.

Jadilah sempat terselip sangka di tengah usahaku menahan udara dingin musim gugur yang menggigit. “Adakah mereka menolak mengantar kami karena penampilanku?” Pertanyaan itu hadir di hati karena pada saat kami mencegat taxi, ada 2 muslimah Indonesia beserta suaminya masing-masing, langsung mendapatkan taxi. Sementara itu hampir setengah jam kami mengalami penolakan berkali-kali dari para supir taxi begitu mereka melihatku.

Namun aku segera beristighfar dan menepis prasangka tadi dengan mengikatkan hati dalam doa, memohon pertolongan-Nya. Kuyakin Allah tak kan membiarkanku menghadapi kesulitan dikarenakan busana yang kukenakan ini. Aku yakin pertolongan Allah pasti akan datang sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47 :7).

Tak lama kemudian, seorang supir taxi melambaikan tangannya pada suamiku. Ia menyerahkan sehelai kartu nama sebuah agen taxi yang menyediakan fasilitas yang memenuhi aturan tata tertib berkendaraan yang tepat untuk kepentingan kami.

Rupanya para supir taxi itu tak mau mengantar kami bukan dikarenakan membenci atau tidak suka dengan penampilanku. Alasan mereka hanyalah karena taxinya tidak dilengkapi dengan kursi khusus untuk bayi. Ya! kursi khusus bayi, satu hal penting yang luput kami siapkan sebelum hari pertemuan itu. Mereka enggan mengantar kami karena tak ingin melanggar tata- tertib yang berlaku di negerinya.

Setelah agen tersebut dihubungi, kami masih harus menata kesabaran di hati, karena taxi yang dimaksud tak kunjung tiba sebagaimana sempat dijelaskan supir taxi yang menyerahkan kartu itu, bahwa belum tentu kami mendapatkannya dalam waktu cepat dikarenakan jumlahnya terbatas.

Meskipun demikian, kami tetap berucap syukur karena petunjuk tersebut telah mengurai kebingungan kami sebelumnya. Terlebih lagi buatku, petunjuk itu berhasil menguatkan sangka baikku pada Allah sekaligus menggugurkan sangka buruk pada para supir taxi tersebut yang sempat melintas.

Saat kami mulai tak sanggup menahan udara dingin dan hendak kembali masuk ke ruang bandara untuk sekedar menghangatkan badan, tiba-tiba sebuah taxi menghampiri. Seraut wajah Timur Tengah mempersilahkan kami masuk sambil mewanti-wanti supaya aku memegang erat bayiku. Senang campur heran mengaduk-ngaduk perasaan kami saat menuruti tawaran supir taxi tersebut.

Sepanjang perjalanan, tak henti kami panjatkan rasa syukur hingga taxi sampai ke tempat tujuan, sebuah apartemen di jalan Trift. Saat itu kurasakan sekali kuasa dan Kasih Sayang Allah di awal menginjakkan kaki di bumi Deutschland. Kalau bukan karena pertolongan Allah, kuyakin tak akan ada supir taxi yang mau melanggar aturan mengemudi yang sangat ketat di negeri ini.

Tak sanggup kubayangkan apa yang akan dialami jika kuturuti hembusan prasangka yang sempat melintas dalam hati saat peristiwa itu terjadi. Teringat pada firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi: "Qala Ta’ala ana ‘inda dhanni ‘abdi. In khairan fa khairan wa in syarran fa syarran" yang terjemahnya berarti "Aku bergantung pada prasangka hamba-Ku. Sekiranya berprasangka baik, akan berdampak baik dan sekiranya berprasangka buruk akan menjadi buruk". 
 
Dikarenakan penjagaan Allah sajalah, aku dapat melaksanakan seruan-Nya, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa..."(QS. Al-Hujuraat, 49:12)

Pengalaman yang dilalui hari itu membuatku berjanji pada diri sendiri untuk selalu mengedepankan baik sangka dan yakin sepenuh hati bahwa Allah akan selalu memberikan pertolongan-Nya selama kutaati perintah-Nya. Kedua hal tersebut menjadi bagian dari perisai hidupku saat merajut kehidupan di Berlin.

Wajah Bercahaya

Oleh : Ineu Ratna Utami

Tak biasanya sepulang menunaikan shalat maghrib di masjid bersama ayah dan kakaknya, putri kecilku menguak pintu tanpa mengucap salam. Tangisnya terdengar sejak masih di halaman. Ia langsung menghambur dan memeluk saya sambil mengadukan sesuatu. Sayangnya, apa yang ia sampaikan di sela tangisnya itu tak dapat saya dengar dengan jelas. 

Air matanya menetes menembus kain mukena yang masih membalut tubuh saya yang baru saja usai mengajari putri bungsu menghapalkan sebuah doa. Bahunya naik turun seirama tangisnya. Saya elus-elus ia, berharap dapat menenangkan hatinya agar tangis itu segera reda. 

Tak lama kemudian pangeran kecilku masuk sambil mengucap salam. Raut mukanya terlihat ikut prihatin dengan kesedihan yang dialami adiknya. Tanpa diminta ia langsung menjelaskan apa yang menyebabkan adiknya bersedih. 

Ternyata usai shalat maghrib tadi, mereka mampir ke sebuah mini market. Ayahnya hendak membeli suatu keperluan. Saat itulah si putri kecil merengek meminta ayahnya membelikan suatu produk kecantikan yang disinyalir dapat membuat wajah seorang wanita bercahaya dan tampak lebih muda. Ia ingin menghadiahkannya pada saya. Namun, sang ayah tak mengabulkan keinginannya itu.

Geli bercampur haru mendengar tuturan pangeran kecil tentang penyebab tangis si putri nan penuh perhatian ini. Rupanya, ia terjerat iklan yang sering tayang saat kami menyimak berita televisi. Tetapi terlepas dari bicara tentang perangkap iklan, saya merasakan niat mulia si putri yang baru berusia 4,5 tahun itu, betapa besar perhatiannya hingga mencari-cari produk kecantikan tersebut. Padahal anak seusia ia biasanya sibuk memilih mainan, makanan atau minuman kesukaan saat menyertai orangtua berbelanja, iya kan?

Tangisnya mulai mereda, sepertinya ia merasa lega ada yang membantu menyampaikan kesedihan hatinya. Sejenak saya lepaskan pelukannya, sekedar ingin menatap bola matanya. Sebuah senyuman saya sunggingkan disertai ucapan terimakasih atas perhatiannya itu lalu kembali saya dekap ia dengan sepenuh rasa sayang di hati. 

Sesaat kemudian saya lirik suami, memberi tanda padanya agar menjelaskan mengapa keinginan gadis kecil itu tak dipenuhinya. Spontanitas ingin membela anak terasa lebih merajai hati saat itu, padahal belum mengetahui jawaban sang ayah yang menyebabkan perasaan si putri terluka (mungkinkah ini yang dinamakan bagian dari naluri seorang ibu?).

Setelah berdehem beberapa kali, suamiku menceritakan alasannya bahwa ia tak membawa dompet, hanya berbekal uang yang ada di saku baju kokonya saat mendadak mampir ke toko tersebut. Belum usai ia bertutur, si putri kecil kembali meradang, “tapi aku kan ingin beli barang itu,... biar wajah bunda bercahaya kalo pake itu, huhuhhu...” tangisnya pecah kembali.

Sama halnya dengan saya, suamiku tersenyum menanggapi protes si putri kecil, beberapa detik kemudian sambil menatap saya, ia berkata, “Bunda itu akan terlihat bercahaya cukup dengan air wudhu'.” 

Sejenak saya tertegun, tak menyangka suamiku akan berkata demikian, meskipun dalam hati saya setuju dengan apa yang ia ucapkan, namun naluri ingin membela anak muncul kembali. Tanpa berpikir panjang, segera saya katakan, “ya itu memang benar, tapi...merawat wajah dengan produk-produk itu pun tak ada salahnya bukan?” Ia tak menjawab pertanyaan saya, hanya ada seulas senyum yang terkembang lalu pamit dan bergegas mengajak anak-anak keluar karena adzan isya telah berkumandang. Saya pun bersiap-siap mengajak putri bungsu untuk shalat berjamaah di rumah.

Usai shalat isya, pembicaraan mengenai wajah bercahaya itu kembali melintas. Wudhu'... wudhu'...wudhu'... kata itu serasa menggema di hati dan memenuhi kepala. Saya rasa sewaktu belajar tata cara berwudhu' saat masa kecil, guru agama pernah mengajarkan keutamaan wudhu' ini, akan tetapi saya tak ingat persisnya. Segera saya beranjak untuk mencari tahu lagi tentang hal ini, perlahan saya baca beberapa sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam...

Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246) 

Dapat dipastikan tak ada satu produk kecantikan pun yang mampu menandingi cahaya yang terpancar dari wajah orang-orang yang terjaga wudhu'nya. Karena cahaya dari air wudhu tak hanya dirasakan di dunia tapi di hari kiamat pun mereka akan mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Mslim no. 249)

Tak hanya partikel-partikel debu maupun noda polusi yang dapat dikikis dari wajah, wudhu' pun dapat melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh produk kecantikan manapun untuk dapat membasuh hal yang tak pernah luput dari manusia seperti ditegaskan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin Malik: “Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad Darimi) 

Allah subhanahu wata’ala dengan rahmat-Nya yang amat luas, memberikan solusi yang mudah bagi kita untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa, diantaranya dengan wudhu’. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu’ maka ia akan bersih dari noda-noda dosa tersebut. Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).

Selain itu, dengan selalu menjaga wudhu' seseorang akan memperoleh kebahagiaan yang tak bisa diberikan produk kecantikan manapun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya? Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim no. 251) 

Siapa yang tak menginginkan wajah bercahaya yang mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Siapa yang tak ingin dosa-dosanya dihapus dan derajatnya dinaikan Allah? Saya yakin, semua umat Islam pasti menginginkannya, bukan? Subhanallah! Kilauan mutiara hikmah dari kejadian usai shalat maghrib itu kini ada di hadapan mata...

Senin, 24 Oktober 2011

♥●•٠·˙ Pelajaran Berharga dari Gadis Kecil ˙·٠•●♥

_________ƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀.•❤•.¸✿¸¸.ƸӜƷ________


Seorang gadis kecil pulang dari sekolah. Setibanya di rumah, ibunya melihat anak putrinya dirundung kesedihan. Maka ia pun bertanya kepada putrinya itu tentang sebab kesedihannya. Anak: “Aduhai ibuku, sesungguhnya ibu guru telah mengancam akan mengusirku dari sekolah karena pakaian panjang yang kupakai.”

Ibu: “Tetapi itu adalah pakaian yang dikehendaki oleh Allah, wahai putriku.”

Anak: “Benar, wahai ibu, akan tetapi ibu guru tidak menghendakinya.”

Ibu: “Baiklah, wahai putriku, guru itu tidak menghendaki, tetapi Allah meng­hendakinya. Lalu siapakah yang akan kamu taati? Apakah kamu akan mentaati Allah yang telah menciptakanmu dan membentukmu, serta yang telah mengaruniakan kenikmatan kepadamu? Ataukah kamu akan mentaati seorang makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat dan madharat kepada dirinya?”

Anak: “Sesungguhnya saya akan taat kepada Allah.”

Ibu: “Bagus, wahai putriku, kamu tepat sekali.” 

Pada hari berikutnya, gadis kecil itu pergi dengan mengenakan baju yang panjang. Tatkala ibu guru melihatnya, ia langsung mencela dan memarahinya dengan keras. Gadis kecil itu tidak mampu memikul amarah tersebut, ditambah lagi oleh pandangan teman-teman perempuannya yang mengarah kepadanya.

Tidak ada yang ia lakukan selain berteriak menangis. Kemudian, gadis kecil itu mengeluarkan kata-kata yang besar maknanya meski sedikit jumlahnya, “Demi Allah, saya tidak tahu siapa yang akan saya taati, anda ataukah Dia?”
Ibu guru itu pun bertanya, “Siapakah Dia itu?”

Anak itu menjawab, “Allah. Apakah saya harus taat kepada anda, sehingga saya mesti memakai pakaian seperti yang engkau kehendaki, tetapi saya berbuat maksiat kepada-Nya. Ataukah saya mentaati-Nya dan tidak mentaati engkau? Ah, biarlah saya akan mentaati-Nya saja, dan apa yang terjadi terjadilah.”

Aduhai, betapa agungnya kalimat yang keluar dari mulut si kecil itu. Sebuah kalimat yang menampakkan wald (ketaatan) yang mutlak kepada Allah. Gadis kecil itu bertekad untuk berpegang kuat dan taat ke­pada perintah Dzat Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa Akan tetapi….apakah bu guru itu hanya berdiam saja darinya?

Ibu guru itu meminta dipanggilkan ibu si anak kecil tersebut. Apa yang ia inginkan darinya?

Maka datanglah si ibu itu…

Ibu guru berkata kepada ibu anak kecil itu, “Sesungguhnya putri anda telah menasihatiku dengan nasihat paling besar yang pernah aku dengar di sepanjang hidupku.”

Benar, ibu guru telah mengambil pelajaran dan nasihat dari murid kecilnya. Ibu guru yang mengajarkan pendidikan dan telah mengambil bagian yang besar dari ilmu.

Seorang guru yang ilmunya tidak dapat menghalanginya untuk mengambil nasihat dari seorang gadis kecil yang mungkin seusia dengan putrinya.

Salam penghormatan, semoga terlimpahkan kepada guru ini. Salam peng­hormatan juga untuk gadis kecil yang telah memberikan pendidikan Islamiyah dan telah berpegang kepadanya.

Salam penghormatan untuk sang ibu yang telah menanamkan dalam diri putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Seorang ibu yang yang telah mengajarkan kepada putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Wahai ibu-ibu muslimah, di depan anda lah anak-anak anda. Mereka seperti adonan tepung. Anda bisa membentuknya sebagai-mana yang anda kehendaki, maka bersegera-lah untuk membentuk mereka dengan bentuk yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ajarkanlah shalat kepada mereka
Ajari mereka ketaatan kepada Allah
Ajari mereka untuk bisa tetap tegar dan kokoh di atas kebenaran
Ajarkanlah semua itu kepada mereka, sebelum mereka menginjak usia baligh.
Karena jika pada saat mereka masih kecil tidak mendapatkan pendidikan yang baik, maka sesungguhnya anda sekalian akan menyesal dengan penyesalan yang besar, karena mereka akan menjadi anak-anak yang menyimpang pada saat mereka telah dewasa.

Gadis kecil ini tidak hidup pada zaman Sahabat dan juga Tabi’in. Sesungguhnya ia hidup pada zaman modern sekarang ini.
Ini menunjukkan bahwa, kita bisa menciptakan generasi-generasi semisal gadis kecil tersebut dengan izin Allah. Seorang gadis kecil yang bertakwa lagi berani untukmenampakkan kebenaran serta tidak takut akan cemohan dan ejekan orang orang, demi membela agama ALLOH.

Wahai saudariku yang beriman, inilah putrimu. 
Ia berada dihadapanmu, 
berilah ia air minum takwa dan kesalihan

Perbaikilah lingkungannya dengan cara menjauhkannya dari air yang kotor, serta bakteri yang membahayakan. 

Hari-hari telah berada dihadapan anda, 
Perhatikanlah apa yang akan anda perbuat,
terhadap amanah yang telah dititipkan kepada anda,
Oleh ALLOH Tuhan Pemilik langit dan bumi.

_________ƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀.•❤•.¸✿¸¸.ƸӜƷ________

♥●•٠·˙ Ayah Sayang Bunda˙·٠•●♥


NIkah adalah ibadah yang sakral dan suci, bagi yang ingin menikah pikirkanlah baik baik  tujuan untuk apa anda menikah...
Untuk keturunan kah??????   Atau  beribadah untuk mendekatkan diri pada Allah??????....Jika tujuan anda untuk keturunan maka sebelum berpoligami pastikan bahwa istri anda benar-benar meridhoinya...... Dan jika untuk mendekatkan diri pada Allah ada tidaknya anak bukanlah satu masalah yang perlu diperdebatkan... mungkin saja Allah belum mempercayaimu menjaga malaikat kecil sehingga belum dikaruniai oleh-NYA malaikat kecil itu


Cinta itu butuh kesabaran...Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita ???

Hari itu,,,aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita.. Aku menjadi perempuan yang paling bahagia..... Pernikahan kami sederhana tapi sangat meriah..... Ia menjadi pria yang sangat romantisan pada waktu itu.Menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula Ketika kami pacaran dia sudah sukses dalam karirnya. Kami berbulan madu di tanah suci,,itu janjinya ketika kami berpacaran Setelah menikah aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci.... Aku sangat bahagia dengannya,,dia sangat memanjakan aku.... Sangat terlihat rasa cinta dan sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang,kami pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Aku bahagia menikah dengannya.
 
5 Tahun sudah kami menikah, sangat tak terasa waktu berjalan, walaupun kami hanya berdua saja. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil di tengah keharmonisan rumah tangga kami. Karena dia anak lelaki satu - satunya dalam keluarga nya,,jadi aku harus berusaha untuk dapat meneruskan generasinya... Alhamdulillah suamiku mendukungku.... Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA. Tapi keluarganya mulai resah,, Dari awal kami menikah ibu & adiknya tidak menyukaiku,, aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka,,tapi aku menutupi dari suamiku..... didepan suamiku,,mereka sangat baik padaku,,tapi dibelakang suamiku,,aku dihina - hina oleh mereka... Pernah suatu ketika, 1 tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan,, , mobilnya hancur Alhamdulillah suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda. Ia dirawat dirumah sakit,,pada saat dia belum sadarkan diri,,aku selalu menemaninya siang & malam, kubacakan ayat - ayat suci Al - Qur'an,aku sibuk bolak - balik rumah sakit dan tempat aku melakukan aktivitas sosialku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karean kecelakaan. Ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami,,aku melihat didalam kamarnya ada ibu, adik - adiknya dan teman - teman suamiku, dan satu lagi aku melihat seorang wanita yang sangat akrab dengan ibunya. Mereka tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar,,tapi aku tak boleh sedih di depannya. Kubuka pintu yg tertutup rapat itu,sambil mengatakan "Assalammu'alaikum" mereka menjawab salamku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku,,, suamiku menatapku penuh manja,,mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari matanya selalu tertutup. Tangannya melambai,,mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya yang erat.

Setelah aku menghampirinya, ku cium tangannya sambil berkata "Assalammu'alaikum" , ia pun menjawab salamku dengan suaranya yg lirih tapi penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya. Ibu nya lalu berbicara sama aku ... "Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri" Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi, dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Dan akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan,,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan. Aku sibuk membersihkan & mengobati luka - luka di kepala suamiku,,,baru sebentar aku membersihkan mukanya,,tiba - tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar,ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Aku pun menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata " lebih baik kau pulang saja " Ada kami yang menjaga abang disini. Kau istirahat saja. " Aku pun tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat, karena sikologisnya masih labil,, Aku berdebat dengannya mengapa aku tidak boleh pamitan pada suamiku, tapi tiba - tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia mengatakan hal yg sama, ia akan memberi alsan pada suamiku mengapa aku pulang tak pamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah suamiku tetap saja membenarkannya, akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

Hari itu, aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi denagn yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihakan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami, sambil melihat ikan - ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu. Aku bertanya " Ada apa kamu memanggilku ?" Ia berkata " Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang " Aku menjawab " Ia sayang aku tahu, aku sudah mengemasi barang - barang kamu di travel bag dan kamu sudah pegang tiket bukan ?". "Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku kan pulang dengan mamaku " Jawab nya tegas "Mengapa baru bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana ?" tanyaku balik kepada nya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahu rencana kepulanggannya itu, padahal aku bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya. " Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti " jawab nya tegas. " Sekarang aku ingin seharian dengan kamu, karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan ?" lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih, dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan padanya. Bahagianya aku, dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya. Walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku, aku memutuskan agar ia saja yang pergi, dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami. Karena ini acara sakral bagi keluarganya. Jadi seluruh keluarga nya harus komplit, aku pun tak diperdulikan oleh keluarganya harus datang atau tidak, tidak hadir justru membuat mereka sangat senang, aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini. Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluannya yang akan dibawa ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku lalu aku peluk erat dirinya, hati ini bergumam seakan terjadi sesuatu,,tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah di tinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama sama kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian tidak punya teman, hanya pembantu saja teman ngobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya. Sampai keesokan harinya, aku menangis..menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelpon ku.

Berjauhan dengan suamiku, sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadi aku tak terlalu kesepian di tinggal pergi ke Sabang. Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami buruk,saat ia di sana aku pun jatuh sakit...rahimku sakit sekali seperti dililit oleh tali,,,tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini,sampai - sampai aku mengalami pendarahan,, aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki - lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stdium 3.... Aku menangis,,apa yang bisa aku banggakan lagi,,mertuaku akan semakin menghinaku,, ,suamiku yang malang,,yang berharap akan punya keturunan dari rahimku... Aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan aku hanya memeluk adikku. Aku kangen pada suamiku, aku menunggu ia pulang,,kapan ia pulang, aku tak tahu.. Sementara suamiku disana,,aku tidak tahu mengapa ia selalu marah - marah jika menelponku,, bagaimana aku akan cerita kondisiku jika ia selalu marah - marah terhadapku,, Lebih baik aku tutupi dulu,,dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita pada nya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung.... Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto - foto kami, ponselku berbunyi, menandakan ada sms yang masuk. Ku buka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms, ia menulis "aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku kabarin lagi". Hanya itu saja yang diinfokannya, aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yang aku tunggu pun tiba,,aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan aku akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yang buruk akhir - akhir ini. Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya ia pun mengucap salam, sebelum masuk aku pegang tangannya ke depan teras, ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan ku uci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami, setelah itu aku pun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksi nya ... Masya Allah ia tidak mencium keningku, ia langsung naik keatas, ia langsung mandi dan tidur,tanpa bertanya kabarku.. Aku hanya berpikiran, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasanya kami selalu berjama'ah, tapi karena melihatnya tidur sangat pulas, aku tak tega membangun kannya, aku helus mukanya, aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka'at.

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku liat dia dari balkon kamar kami dia bersiap - siap untuk pergi, aku memanggilnya tapi ia tak mendengar, lalu aku langsung ambil jilbabku, aku lari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku, aku mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi,,ada apa dengan suamiku...mengapa ia sangat aneh terhadapku ? Aku tidak bisa diam begitu saja firasatku ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku, kebetulan Dian yang angkat telpon nya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab "Loe pikir aja sendiri !!!" telpon pun langsung terputus. Ada apa ini ? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia pulang dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan ku. Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami, kami berbicara seperlunya saja, aku selalu di introgasinya, aku dari mana dan mengapa pulang terlambat, ia bertanya denagn nada yg keras, suamiku telah berubah. Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah di tuduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat, sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu yang aku pegang, aku hanya berdo'a agar suamiku sadar akan prilakunya.

2 Tahun berlalu, suamiku tak berubah juga, aku menangis tiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja kenal, kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna, walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiapi segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan ia tak pernah bertanya obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir. Bersyukurlah, aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji jadi aku tak perlu repot - repot meminta uang pada nya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku. Sungguh suami yang dulu aku puja, aku banggakan sekarang telah menjadi orang asing, setiap aku tanya ia selalu meyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba - tiba saja malam itu, setelah makan malam selesai, suamiku memanggilku. "ya ada apa Yah !" sahutku dengan memanggil nama kesayangannya "Ayah" "Lusa kita siap - siap ke Sabang ya !" Jawabnya tegas "Ada apa ?" Mengapa ?" sahutku penuh dengan keheranan Astaghfirullah. ..suami ku yang dulu lembut menjadi kasar, diya mebentakku,, tak ada lagi diskusi anatara kami. Dia mengatakan " Kau ikut saja jgn byk tanya !!! " Aku pun lalu mengemasi barang - barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis,sedih karena suamiku yang tak ku kenal lagi. 2 Tahun pacaran, 5 tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buat ku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami sekarang menjadi dingin, sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak tapi aku tak bisa, suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang - barang, dia bilang perbuatan itu menunjukkan ketidakhormatan kedapanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini sendiri.

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur, karena terus berpikir. Keluarga besar nya telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik - adiknya, aku tidak tahu ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun keluar bergabung dengan keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dlm lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua itu telah ada sebelum suamiku lahir. Tiba - tiba Tante Lia, tante yang sangat baik pada ku memanggil ku untuk segera berkumpul diruang tangah, aku pun ke ruang keluarga yag berada di tengah rumah besar itu, rumah zaman peninggalan belanda diaman langit - langit nya lebih dari 4 meter. aku duduk disamping suamiku, suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya pada nya, tiba - tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya membuka pembicaraan. "Baiklah,karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha ! " Nenek nya bicara sangat tegas.. Dengan sorot mata yang tajam. " Ada apa ya Nek ?" sahutku dengan penuh tanya.. Nenek pun menjawab " Kau telah gabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda - tanda kehamilan yang sempurna, sebab selama ini kau selalu keguguran !!' Aku menangis, untuk inikah aku diundang ke mari, untuk dihina atau di pisahkan dengan suamiku.

"Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu, sebelum kau menikah dengannya, tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur, dan akhirnya menikahlah ia dengaa kau." Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua. Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya. "Dan aku dengar dari ibu mertua mu kau pun sudah berkenalan dengannya" Neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamikku hanya diam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian. Nenek nya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari pembicaraannya ialah dengan wajah yang sangat menantang ia berkata " kau mau nya gimana ? kau di madu atau diceraikan ?" Masya Allah...... kuat kan hati ini, aku ingin jatuh pingsan, hati ini seakan remuk mendengar nya, hancur hati ku, mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.. Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu tersebut, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahu belakangan ini. "Fish, jawab !! " Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab Aku langsung memegang tangan suamiku, dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas....... .. "

Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami." Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cinta ku di bagi, pada saat itu juga suami ku memandangku dengan tetesan air mata, tapi mata ku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suami ku, "Ayah siapakah yang akan menjadi sahabat ku dirumah kita nanti Yah ? " Suamiku menjawab " Dia Desi ! " Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara " Kapan pernikahan nya berlangsung ? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek ?" Ayah mertuaku menjawab "Pernikahannya 2 minggu lagi." " Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruh nya mengurus KK kami ke kelurahan besok" setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi, air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar, aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi,,sakit. ..diiringi akutnya penyakitku. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini ?

Aku berjalan menuju ke meja rias, ku buka jilbabku, aku bercermin sudah tidak cantikkah aku ini, ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok, ku lihat wajahku,,ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis, kepalaku sudah botak dibagian tengahnya. Tiba - tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suami ku datang, ia berdiri dibelakangku, ,tak kuhapus air mata ini aku langsung memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan "terimah kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku, jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti ! iya kan ?" Suami ku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya knp rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo, dalam hati ku mengapa ia sangat cuek ? ia sudah tak memanjakan ku lagi.. Lalu dia bilang bilang "sudah malam, kita istirahat yuk " ! "Aku sholat isya dulu baru aku tidur" jawab ku tenaang. Dalam sholat, dalam tidur aku menangis, ku hitung waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalo Desi orang Sabang juga. Sudahlah ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku, diamana rasa sayang dan cintanya itu
 
Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di laptop aku menulis saat - saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang tidur pulas, apa salahku sampai ia berlaku kejam kepada ku. Aku save di my document yang bertitle "Aku mencintaimu Suamiku " Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar, aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, mungkin aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama,, lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku. "Apakah kamu sudah siap ?" Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata : "Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kaki nya sebagaimana kamu mencuci kaki ku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do'a di ubun - ubunya sebagaimana yang kamu lakukan pada ku dulu lalu setelah itu....." tak sanggup aku ingin meneruskan pembicaraan ini, aku ingin menagis meledak Tiba - tiba suamiku menjawab "lalu apa Bunda ?" Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk,aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar - binar... "bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan ?" pinta ku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar. Dia mengangguk dan berkata " Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda ?" sambil ia menghelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sidikit membungkuk karena diya sangat tinggi, aku hanya sedada nya saja. Dia tersenyum, sambil berkata " Kita liat saja nanti ya !" dia memelukku dan berkata, "bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama" lalu ia mencium keningku, aku langsung memeluk nya erat dan berkata " Ayah, apakah ini akan segera berakhir ? Ayah kemana saja ? Mengapa ayah berubah ? Aku kangen sama ayah ? Aku kangen belaian kasih sayang ayah ? Aku kangen dengan manjanya ayah ? Aku kesepian ayah ? Dan satu hal lagi yang harus ayah tau bahwa aku tidak pernah berzinah ! Dulu waktu awal kita pacaran,aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari." Bukan bearti aku pernah berzina ayah. Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata " Aku minta maaf ayah telah membuatmu susah" Saat itu juga, diangkatnya badanku,ia hanya menangis. Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba - tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan ku, dan ia bertanya " bunda baik - baik saja kan" tanya nya dengan penuh khawatir. "aku pun menjawab, bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik Yah" aku tak bisa bicara sekarang. Karena dia akan menikah. Aku tak mau buat diya khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

Setelah tiba dimasjid, ijab qabul pun dimulai. Aku duduk di sebrang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakn "Ayah Jangan" tapi aku ingat akan kondisi ku. Jantung ini berdebar kencang, ketika mendengar ijab qabul tersebut. Begitu ijab qabul selesai, aku menarik napas panjang, Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini, ya,,aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang - orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku sangat aneh, wajahku yang selalu tersenyum tapi hatiku menangis. Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tak mencuci kaki nya. Aku sangat heran dengan prilaku nya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini ? Sementara itu Desi sambut hangat di dalam keluarga suamiku,tak seperti aku yang di musuhinya. Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa !! Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tau apa yang mereka lakukan didalam. 1/3 malam, pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah, ku dekati lalu ku lihat.... Masya Allah, suamiku tak tidur dengannya,ia tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus mukanya yang lelah, tiba - tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget. "kamu datang ke sini, aku pun tau " ia langsung berkata seperti itu, aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail, ia mengatakan "maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang denagn mama,papa Dan juga adik - adikku" Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah, apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, aku telah meresakan kehadirannya saat ini. Tapi masih bisakah engaku ijinkan aku untuk mersakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini. Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus ?" Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata "Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi ?" " Aku kangen sama kamu Bunda " Aku tak mau menyakitimu lagi, kamu sudah terluka oleh sikapku yang egois" Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu suamiku berkata, " Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda... Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalo bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti harta ayah, dan satu lagi ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya klo bunda gk mw berbuat seperti itu, dan seperti itu di beri tanda kutip ( "seperti itu" ), ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung, dan ayah berpikir klo bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluar ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda " Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan didirinya, hanya karena omongan keluarganya, yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini. Aku hanya menjawab "Aku sudah ceritakan itu kan Yah, akutidak pernah berzinah, dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa kamu, banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu. Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluaraganya juga. Karna aku tak mau mati dalam hati yang penuh denagn rasa benci.
 
Keesokan harinya,ketika aku ingin bangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali..aku pendarahan.. suamiku kaget... Suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.... Jauh sekali aku mendengar suara zikir suamiku.... Aku merasakan tanganku basah... Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan " Bunda,,Ayah minta maaf ,,,,!!" Berapa kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hati ku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku. Aku berkata dengan suara yang lirih " Yah....Bunda ingin pulang,,bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya Yah...." "Ayah jangan berubah lagi ya !!! Janji ya Yah... !!! Bunda sayang banget sama Ayah ">Tiba - tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakit nya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi, aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku, kulihat wajahnya yang tampan, linangan air matanya. Sebelum mata ini tertutup ku lafazkan kalimat syahadat dan ditutup denagn kalimat tahlil.

 
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka,, Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacran samapai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafas ku. Untuk Ibu mertuaku : "Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma, dari dulu aku selalu berdo'a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya bukti nya Ma. Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma ? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi dengan ku, menantumu kau bersikap sebaliknya."

Setelah ku buka laptop,ku baca curhatan istriku

> Ayah,,mengapa keluargamu sangat membenciku

> Aku dihina oleh mereka ayah.

> Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu ?

> Pernah suatu ketika, aku bertemu Dian di jalan,
aku menegornya karena dia adik iparku tapi aku disambut denagn wajah ketidak sukaannya.Sangat terlihat Ayah.

> Tapi ketika engaku bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku.

> Mengapa seperti itu ayah.

> Aku tak bisa berbicara ttg ini padamu, karen aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.

> Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku.

> Aku cemburu paad Desi yang sangat akrab dengan mertuaku

> Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku

> Aku sangat marah....

>Jika aku membicarakn hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya.

> Aku tak mau sakit hati lagi.

> Ya Allah kuatkan aku,,maafkan aku

> Engkau Maha Adil.

> Berilah keadilan ini padaku Ya Allah

> Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.

> Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja - manja lagi padamu.

> Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.

> Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku.

> Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.

> Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu

> Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui

> Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku

> Aku harus sadar diri

> Ayah,,sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu

> Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku ?

> Ayah aku masih tak rela Tapi aku harus ikhlas menerimanya

> Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya

> Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku

> Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir

> Sebelum ajal ini menjemputku Ayah...aku kangen ayah

> Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu Bun

> Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi ke Pulau Kayu ini

> Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

> Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.

> Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

> Bunda... Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah...

> Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

> Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, dalam kesendirianmu. ...

> Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.

> Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..

> Bunda,,kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.

> Aku menyesal telah asik dalam keegoanku..

> Bunda maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat ditidurmu yang panjang.

> Maafkan aku , tak bisa bersikap adil dan membahagiakan mu, aku selalu mengiyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

> Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana ?

> Apakah Bunda tetap menanti ayah disana ? Tetap setia di alam sana ?

> Tunggulah Ayah disana Bunda......

> Bisakan ? Seperti Bunda menunggu ayah di sini...... Aku mohon.....

> Ayah Sayang Bunda....