Senin, 21 Februari 2011

Koreksi Ucapan ''Maa Syaa Allah'' Ketika Kagum terhadap Sesuatu

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semiga terlimpah kepada Rasulullah, beserta keluarga dan para sahabatnya serta umatnya yang senantiasa berpegang dengan sunnah-sunnahnya.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ وَمِنْ نَفْسِهِ وَمِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ العَيْنَ حَقٌّ
"Apabila salah seorang kalian melihat kekaguman pada saudaranya, pada dirinya, dan hartanya, hendaknya dia mendoakan barakah untuknya, karena pengaruh 'ain itu benar adanya." (HR. Ahmad 3/447, al-Hakim 4/215 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam al Silsilah al Shahihah no. 2572 dan al Kalim al Thayyib no. 244)

Menurut petunjuk hadits di atas, jika kita melihat kekaguman pada diri saudara kita, hartanya, anaknya, kendaraannya, atau yang lainnya maka kita mendoakan keberkahan. Manfaatnya, agar tidak tertimpa penyakit ‘ain, yaitu penyakit yang disebabkan oleh pengaruh buruk pandangan mata yang yang takjub dengan diiringi iri dan dengki terhadap apa yang dilihatnya. Namun, terkadang pandangan yang tidak disertai rasa dengki-pun, dengan izin Allah, bisa menyebabkan pengaruh buruk ‘ain, walaupun orang tersebut tidak bermaksud menimpakan ‘ain. Bahkan ini terjadi pada para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang sudah terkenal akan kebersihan hati mereka.

Namun, ada sebagian orang apabila kagum dengan sesuatu lalu dia berucap, Maa Syaa Allaah Laa Quwwata Illaa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala dalam surat al-Kahfi dan dengan hadits Anas.

Pertama, Firman Allah Ta'ala:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
"Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu Maa Syaa Allaah Laa Quwwata Illaa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." (QS. Al Kahfi: 39)

Ayat tersebut tidak tepat dijadikan dalil untuk mengucapkan dzikir di atas ketika melihat sesuatu yang mengagumkan agar selamat dari pengaruh 'ain yang timbul dari kedegkian. Sebabnya, karena ayat tersebut tidak memiliki kaitan dengan tema bahasan tentang kedengkian. Sesungguhnya Allah menghancurkan kebunnya dikarenakan kekufuran dan sikapnya yang melampaui batas.

Menurut keterangan dari Syaikh Utsaimin, dzikir di atas disyari'atkan bagi sesorang yang kagum dan ta'ajub dengan hartanya sendiri. Fungsinya, sebagai  ungkapan rasa syukur dan pengakuan bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah Ta'ala. Sebagaimana kisah dua pemilik kebun ketika salah seorang diantara mereka berkata kepada yang lainnya:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
"Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu Maa Syaa Allaah Laa Quwwata Illaa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." (QS. Al Kahfi: 39)

Adapun doa yang diucapkan untuk mencegah ‘ain ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan dari hartanya adalah dengan mendoakan keberkahan, sebagaimana dalam hadits pertama di atas.

Kedua, dalil dari hadits Anas bin Malik radliyallah 'anhu. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang melihat sesuatu yang membuatnya kagum, hendaknya dia berucap: Maa syaa Allaah Laa Quwwata Illa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) karenanya dia tidak tertimpa kedengkian 'Ain." (Hadits ini sangat lemah) Imam al Haitsami berkata, "Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari riwayat Abu Bakar al Hudzali, dia seorang yang sangat lemah. (Majmu' al Zawaid: 5/21) karenanya tidak bisa digunakan dasar untuk membenarkan dzikir di atas ketika melihat sesuatu yang membuat takjub.

Jika Melihat Kebaikan Pada Orang Lain
Jika ia melihat sesuatu yang menakjubkan pada orang lain, maka hendaklah ia mendoakan keberkahan. Di antaranya dengan mengucapkan: Baarakallah 'alaihi (Semoga Allah memberkahi atasnya), Baarakallah Fiihi (Semoga Allah memberikan berkah padanya), Allahumma Baarik 'Alaihi (Ya Allah berkahilah atasnya) atau kata-kata yang sejenisnya.

Dan jika ia melihat sesuatu yang menakjubkannya dari perkara dunia, maka hendaklah mengatakan:
لَبَّيْكَ إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشَ الآخِرَةِ (Labbaika, innal ‘aisy ‘aisyal Aakhirah). Artinya, "Kupenuhi panggilan-Mu (yaa Allah), sesungguhnya kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/107, al-Baihaqi 7/48 dan al-Hakim 1/465, dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi).

Fungsinya, untuk mengingatkan dirinya bahwasanya kehidupan dunia bagaimanapun juga akan hilang dan tidak ada kehidupan yang hakiki di sana, dan kehidupan yang hakiki adalah di akhirat nanti. Wallahu a'lam bil shawab.

Kontroversi Peringatan Malam Isra' - Mi'raj



Alhamdulilah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya hingga akhir zaman.

Isra' dan mi'raj merupakan bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah 'Azza wa Jalla yang menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawa Rasul-Nya dan mulianya derajat beliau di sisi-Nya. Isra' dan mi'raj juga menjadi tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa dan ketinggian Allah atas seluruh makhluk-makhluk-Nya. Allah Ta'ala berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Isra': 1)

Terdapat riwayat yang mutawatir bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dimi'rajkan ke langit, lalu seluruh pintunya dibukakan untuk beliau sehingga beliau sampai ke langit ke tujuh. Kemudian Allah mengajaknya berbicara sesuai dengan kehendak-Nya, dan mewajibkan shalat lima waktu kepada beliau yang sebelumnya diwajibkan sebanyak lima puluh waktu. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terus menerus bolak-balik kepada Allah agar diberi keringanan sehingga Allah menetapkannya menjadi lima waktu; lima kali shalat dengan pahala lima puluh kali shalat, karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Puji dan syukur bagi Allah atas segala nikimat-Nya. 

Malam terjadi Isra' dan Mi'raj tidak disebutkan oleh hadits shahih secara pasti dan tertentu, tidak pada bulan Rajab ataupun lainnya. Menurut keterangan para ulama, segala keterangan yang menyebutkan secara rinci dan pasti tentangnya tidak benar bersumber dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Allah memiliki hikmah yang dalam ketika menjadikan malam tersebut tidak bisa diketahui waktunya secara pasti oleh manusia.

Jikalau terdapat keterangan yang jelas tentang malam tersebut, maka kaum muslimin tidak boleh mengistimewakannya 
dengan pelaksanaan ibadah khusus dan merayakannya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakan malam Isra' - Mi'raj dan tidak pula menghususkannya dengan ibadah tertentu. Kalau seandainya merayakan malam Isra' - Mi'raj itu diperintahkan dalam Islam tentunya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskannya kepada umatnya, baik melalui sabda atau perbuatannya. Jika benar telah ada keterangan dari beliau, tentunya diketahui dan dikenal serta diriwayatkan para sahabat radliyallahu 'anhum. Padahal mereka telah menukil segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat dari Nabinya shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka tidak pernah meninggalkan dan menelantarkan sedikit dan sekecil apapun dari urusan dien (Islam). Bahkan, mereka adalah orang-orang yang sangat bersegera kepada kebaikan. Kalau saja perayaan Isra' dan Mi'raj disyariatkan tentunya mereka menjadi orang yang pertama kali merayakannya.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah manusia yang paling suka memberi nasihat kepada umat manusia, menyampaikan seluruh risalah yang diturunkan kepada beliau, dan menunaikan amanat. Seandainya mengagungkan malam Isra' - Mi'raj serta merayakannya termasuk ajaran Islam, pasti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak akan lalai menyampaikannya dan tidak akan menyembunyikannya. Dan ketika tidak ada keterangan tentang itu, dapat dipastikan bahwa perayaan malam Isra' - Mi'raj dan mengangungkannya bukan bagian dari ajaran Islam. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan ajaran agama-Nya bagi umat manusia, mencukupkan nikmat atas mereka, dan mengingkari orang yang membuat syariat baru dalam Islam yang tidak pernah diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Kitaabul Mubiin. Allah Ta'ala berfirman,
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3)

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih." (QS. Al-Syuura: 21)

Terdapat riwayat shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang warning terhadap bid'ah, bid'ah itu sesat, memperingatkan umat akan bahayanya, dan memerintahkan mereka agar menjauhinya. Terdapat dalam Shahihain, dari Aisyah radliyallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang mengada-adakan hal baru dalam urusan kami ini (Islam) yang tidak bersumber darinya, maka dia tertolak." Dan dalam riwayat Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari urusan kami (Islam), maka amalan tersebut tertolak."

Dan dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdillah radliyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda dalam khutbah Jum'atnya,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Selanjutnya, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebagi-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk urusan (agama) adalah yang diada-adakan, dan segala kebid'ahan adalah sesat." Imam al-Nasai menambahkan dengan sanad yang baik, 

وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
"Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka."

Dan dari al-Irbadh bin Sariyyah radliyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat penting yang membuat hati gemetar dan mata bercucuran. Lalu kami bertanya, "Ya Rasulallah, seolah-olah ini nasihat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami!" Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Aku wasiatkan kalian supaya bertaqwa kepada Allah, mendengarkan dan patuh, meskipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya. Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karenanya, berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham. Berhati-hatilah (jauhilah) perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap bid'ah adalah kesesatan." (HR. Abu Dawud dan Al-Tirmidzi, beliau menilainya sebagai hadits hasan shahih). Dan hadits-hadits yang semakna masih banyak lagi.

Terdapat keterangan yang pasti dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan ulama salaf sesudah mereka yang memperingatkan bahaya bid'ah dan agar menjauhinya. Hal ini dikarenakan perkara bid'ah membuat tambahan dalam Islam, menyariatkan sesuatu (membuat ajaran baru) yang tidak diizinkan oleh Allah yang berarti dia meyakini bahwa dien Islam ini masih terdapat kekurangan, tidak sempurna. Berarti juga menuduh bahwa agama Islam belum paripurna, dan ini termasuk kerusakan yang besar serta menentang firman Allah Ta'ala,
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3)

Semoga keterangan ini menjadi pencerah bagi siapa yang menghendaki kebenaran dalam menyikapi fenomena perayaan malam Isra'-Mi'raj yang pada tahun 1431 Hijriyah ini bertepatan pada malam nanti, (09/07/2010). Sesungguhnya perayaan-perayaan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para sahabat, dan para imam sesudah mereka. Sesungguhnya perayaan ini bukanlah ajaran dien Islam yang telah disampaikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan diwariskan para sahabat kepada generasi sesudah mereka hingga kepada kita. 

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan bagi kaum muslimin untuk saling memberi nasihat, menjelaskan syariat Allah kepada khalayak, dan Dia juga mengharamkan untuk menyembunyikan ilmu. Karenanya, kami memberanikan diri untuk memperingatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin terhadap perkara baru dalam Islam ini, yaitu perayaan malam Isra'-Mi'raj. Perkara ini sudah tersebar di negeri-negeri kaum muslimin sehingga mereka menyangka hal itu termasuk ajaran dien. Kami memohon kepada Allah agar berkenan memperbaiki keadaan kaum muslimin, menganugerahkan kepahaman terhadap ajaran dien ini, melimpahkan taufiq untuk berpegang teguh dengan kebenaran dan mejauhi penyimpangan-penyimpangan. Sesungguhnya Allah Dzat Mahakuasa atas semua itu. Wallahu'alam..

(PurWD/voa-islam.com)

Hukum Mengucapkan dan Menjawab Selamat Natal

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Nuansa Natal di negeri yang mayoritas muslim ini sudah sangat terasa kemeriahannya. Mall-mall dan pusat perbelanjaan menggelar event-event bertemakan natal. Semua itu untuk memeriahkan hari cristmast yang diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al Masih atau Jesus yang diklaim sebagai tuhan atau anak Tuhan.

Dalam akidah Islam Isa putera Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Ta’ala. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Bahkan Allah Ta’ala telah membantah di banyak ayat-Nya bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya,
وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (QS. al-Jin: 3)

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)

Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang lainnya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)

Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.

"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS. Maryam: 88-93)

Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya tersebut yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan. Keyakinan ini membatalkan peribadatan kepada Allah, karena inilah Allah Ta'ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua itu:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72) Makna al Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, Abul 'Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.

Namun di tengah-tengah zaman penuh fitnah ini, prinsip akidah yang sudah tertera sejak 1400 tahun yang lalu mulai digoyang dan dianulir. Atas dalih toleransi umat beragama, menghormati perayaan agama orang lain. Dengan dalih kerukunan antarumat beragama, sebagian umat Islam ikut-ikutan merayakan dan memeriahkan hari besar kufur dan syirik ini. Sebagian mereka dengan suka rela mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir atas hari raya mereka yang berisi kekufuran dan kesyirikan terebut.

Lebih tragis lagi, pembenaran saling mengucapkan selamat atas hari raya antar umat beragama dilontarkan oleh para tokoh intelektual Muslim. Tidak sedikit mereka yang bergelar Profesor dan Doktor.

Prof. Dr. SS, MA dalam isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Belanda, Jumat (17/12/2010), menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah, dibolehkan. Menurutnya masalah mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah, non-ritual. Yang pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadits yang melarang. Dan menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti di hari Natal. (Detiknews.com, Ahad: 19/12/2010)

Prof DR HM DS MA,  mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen.
"Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani," katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10/2005).

Fatwa Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir.

“Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Natal kepada orang-orang kafir? Dan bagaimana kita membalas jika mereka mengucapkan Natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa maksud merayakannya? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal itu?

Beliau rahimahullaah menjawab dengan tegas, “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:

“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak 'Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.”Demikian ungkapan beliau rahimahullaah.

Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridla terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya. Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut  kepada orang lain, karena Allah subhanahu wa ta'ala tidak ridha terhadap semua itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di dalamnya ataupun tidak.”

Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita dan Allah Ta’ala tidak meridhai hari raya tersebut, baik itu merupakan bid’ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam yang dengannya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kepada seluruh makhluk. Allah telah berfirman tentang agama Islam,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).

Seorang muslim haram memenuhi undangan mereka dalam perayaan ini, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena dalam hal itu berarti ikut serta dalam perayaan mereka. Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam momentum tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan permen, parsel, meliburkan kerja dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka. Dan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.

Dan barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. Wallahu'alam..

(Al-Majmu’ Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3 diunduh dari situs islamway.com) 
[PurWD/voa-islam.com]



Ikuti Budaya Orang Kafir, Maka Akan Seperti Mereka

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada kita nikmat yang paling agung, yaitu nikmat Islam. Nikmat ini tidak bisa ditandingi oleh nikmat-nikmat yang lain. Dengannya, kita berada di atas petunjuk. Mengamalkannya akan menghantarkan kepada keselamatan dan kebahagiaan dunia-akhirat.

Karenanya, kita harus senantiasa bersyukur atas nikmat ini dengan menjaganya dan memohon keteguhan dalam berpegang teguh dengannya hingga kematian menjemput. Karena Allah telah membuat satu adat kebiasaan, bahwa siapa yang hidup di atas sesuatu maka ia akan wafat di atasnya, dan siapa yang mati di atas sesuatu maka ia akan dibangkitkan sesuai dengan kondisi saat itu. “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102) Janganlah ada kesengajaan berpaling dari Islam, karena akan membuat rugi dunia-akhirat.

Sesungguhnya musuh-musuh Islam senantiasa berusaha merusak nikmat yang agung ini dengan berbagai cara dan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. Al-Taubah: 32)

Mereka hendak menjadikan kaum muslimin kafir, sebagaimana mereka telah kafir. Allah 'Azza wa Jalla berfirman, “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (QS. Al-Nisa’: 89)

Usaha mereka untuk menghancurkan Islam tersebut sudah dimulai sejak era Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu era Khulafa’ rasyidin, dan dilanjutkan pada era-era sesudahnya hingga zaman kita sekarang. Senjata yang mereka gunakan sangat beragam seperti ekonomi, budaya, atau kekuatan militer, dan yang lainnya. Namun tujuannya yang mereka inginkan sama, yaitu menghancurkan Islam dan memurtadkan kaum muslimin darinya.

Kesimpulan ini bukan tanpa alasan atau tuduhan yang tidak berdasar. Tapi, dengan kabar berita dan peringatan yang telah Allah sampaikan kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan Kabar tersebut menyebutkan, kelompok yang ingin merusak Islam bukan dari satu kelompok saja, tapi juga dari kalangan musyrikin, Yahudi, Nasrani, Atheis, dan dari kaum munafikin.

Allah berfirman tentang permusuhan kaum musyrikin,
وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)

Allah menerangkan tentang permusuhan Yahudi dan Nasrani terhadap kaum muslimin,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah; 120)

Yahudi dan Nasrani berusaha untuk mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran mereka (di antaranya adalah budaya dan tradisi mereka), dan berusaha mempropagandakannya kepada umat Islam.
وَقَالُوا كُونُوا هُوداً أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".” (QS. Al-Baqarah: 135)

Allah juga menyingkap permusuhan kaum munafikin kepada Islam dan kaum muslimin,
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.” (QS. Al-Nisa’: 88)

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاء
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (QS. Al-Nisa’: 89)

Allah menjelaskan secara umum tentang tabiat orang-orang kafir dan memperingatkan kaum mukminin akan tipu daya mereka,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ () بَلِ اللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ خَيْرُ النَّاصِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran: 149-150)

Penjelasan di atas merupakan kesaksian Allah atas musuh-musuh Islam terhadap tujuan dan keinginan mereka untuk menyesatkan kaum muslimin dan menghalangi mereka dari agamanya, supaya umat Islam sepakat dengan kekafiran mereka. kesaksian ini untuk menyelamatkan kaum muslimin dari tipu daya dan niat buruk musuh-musuh mereka. “Allah menerangkan (semua ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Nisa’: 176)

Pada zaman sekarang, banyak manusia tertipu dengan propaganda dan bujukan kaum kuffar. Banyak kaum muslimin yang terpukau dengan kemewahan dan kemajuan yang dimiliki orang-orang kafir. Sehingga tidak sedikit umat Islam yang membebek, meniru, dan menjalin kasih sayang dengan orang-orang yang dimurkai Allah Ta’ala. Padahal Allah telah memperingatkan,
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (QS. Al-Taubah: 55)

Sedangkan siapa yang menjalin kasih sayang dengan orang kafir, bukan bagian dari orang beriman. Allah Ta’ala berfirman,
لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَه وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Namun dalam realita, kita dapatkan banyak tokoh dan pemimpin yang beragama Islam mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya mereka. Padahal hal ini, -sebagaimana yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah- termasuk perbuatan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam jika dia ridha dengan kekafiran mereka. Atau yang lebih rendah dari itu, dia telah melakukan perbuatan haram (dosa besar) karena memberi selamat kepada orang yang bermaksiat. Bahkan dosa mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir itu lebih besar dosanya daripada mengucapkan selamat meminum arak, membunuh, dan melakukan zina.

Seharusnya keridhaan seorang muslim dan kebenciaannya mengikuti keridhaan Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan Allah tidak meridhai kekufuran, maka seharusnya dia juga tidak menunjukkan keridhaan terhadap kekufuran tersebut dan juga syi’ar-syi’arnya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)

Salah satu dari budaya kafir yang banyak digandrungi umat Islam, khususnya dari kalangan remaja adalah Hari Valentin. Yakni sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya –pada awalnya ini hanya berlaku di Dunia Barat-. Hari ini dirayakan setiap tanggal 14 Februari.

Sesungguhnya hari perayaan kasih sayang ini merupakan bagian dari hari raya Katolik Roma. Bahkan dalam Wikipedia disebutkan bahwa hari valentine merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal. Karenanya tidak diragukan lagi akan haramnya ikut-ikutan merayakan hari Valentin dengan mengungkapkan ucapan cinta dan memberikan hadiah, walaupun itu dilakukan sepasang suami istri. Apalagi kalau hal tersebut dikerjakan oleh mereka yang belum terikat status suami istri.

Dalam tulisan yang diposting voa-islam.com telah disebutkan tentang hukum merayakan Valentine's Day. Perayaan itu merupakan budaya orang kafir, yang kita (umat Islam) dilarang untuk mengambilnya. Kita dilarang menyerupai budaya yang lahir dari peradaban kaum kafir yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam. Sungguh, ikut merayakan hari valentin adalah tindakan haram dan tercela.
Sesungguhnya mengekor terhadap gaya hidup orang kafir akan membuat mereka senang dan dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmizi. Imam Shan’ani dalam Subul al-salam mengungkapkan, hadits ini memiliki banyak penguat sehingga mengeluarkannya dari kedhaifannya).

Tentang makna hadits ini, ada dua ulasan yang mashur dari banyak ulama. Makna pertama, bahwa siapa yang menyerupai orang kafir dalam dzahirnya, maka akan bisa menyebabkan keserupaan dalam batinnya, yakni dalam akidah dan keyakinan. Maknanya, siapa yang menyerupai orang kafir secara dzahir maka perbuatan itu akan membimbingnya untuk menyerupai orang kafir secara batin, lalu ia menjadi kafir sebagaimana mereka. Dan kita berlindung kepada Allah dari menjadi golongan mereka.

Makna kedua, siapa yang menyerupai orang kafir secara dzahir, maka ia bagian dari mereka dalam hal yang ia lakukan itu, bukan pada yang selainnya. Jika yang ditiru adalah kekufuran maka ia menjadi kufur, jika maksiat maka dosanya adalah maksiat.   Namun, ‘ala kulli hall seorang muslim sama sekali tidak boleh sengaja dan ridha untuk menyerupai orang-orang kafir dalam kesesatan mereka. wallahu Ta’ala a’lam. 

( PurWD/voa-islam.com )

Pendidikan Anak Dalam Islam

Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.

Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putri islam.

Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban”

Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:

· Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam adzab neraka.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)

Oleh karena itu, di dalam Al-Quran pula Allah kisahkan nasehat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi,
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”.(Luqman: 13)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita,

“Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”.

Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid.

Termasuk aqidah yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini adalah tentang di mana Allah berada. Ini sangat penting, karena banyak kaum muslimin yang salah dalam perkara ini. Sebagian mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ada di hati kita, dan beragam pendapat lainnya. Padahal dalil-dalil menunjukkan bahwa Allah itu berada di atas arsy, yaitu di atas langit. Dalilnya antara lain,

“Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy” (Thaha: 5)
Makna istiwa adalah tinggi dan meninggi sebagaimana di dalam riwayat Al-Bukhari dari tabi’in.
Adapun dari hadits,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang budak wanita, “Dimana Allah?”. Budak tersebut menjawab, “Allah di langit”. Beliau bertanya pula, “Siapa aku?” budak itu menjawab, “Engkau Rasulullah”. Rasulllah kemudian bersabda, “Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita mu’minah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).

· Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah

Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari tata cara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al-Bukhari).

“Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika mereka berusia sepuluh tahun (bila tidak mau shalat-pen)” (Shahih. Lihat Shahih Shahihil Jami’ karya Al-Albani).

Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Dengan melatih mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut.

· Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak

Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai menghapalkannya, seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan lain-lain.

· Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia

Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, dll.

Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan kepada mereka akhlaq-akhlaq mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya.

· Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan

Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan, seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya.

Termasuk ke dalam permasalahan ini adalah musik dan gambar makhluk bernyawa. Banyak orangtua dan guru yang tidak mengetahui keharaman dua perkara ini, sehingga mereka membiarkan anak-anak bermain-main dengannya. Bahkan lebih dari itu –kita berlindung kepada Allah-, sebagian mereka menjadikan dua perkara ini sebagai metode pembelajaran bagi anak, dan memuji-mujinya sebagai cara belajar yang baik!

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda tentang musik,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ اَلْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan al-ma’azif (alat-alat musik)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Abu Daud).
Maknanya: Akan datang dari muslimin kaum-kaum yang meyakini bahwa perzinahan, mengenakan sutra asli (bagi laki-laki, pent.), minum khamar dan musik sebagai perkara yang halal, padahal perkara tersebut adalah haram.

Dan al-ma’azif adalah setiap alat yang bernada dan bersuara teratur seperti kecapi, seruling, drum, gendang, rebana dan yang lainnya. Bahkan lonceng juga, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Lonceng itu serulingnya syaithan”. (HR. Muslim).

Adapun tentang gambar, guru terbaik umat ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda,
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
“Seluruh tukang gambar (mahluk hidup) di neraka, maka kelak Allah akan jadikan pada setiap gambar-gambarnya menjadi hidup, kemudian gambar-gambar itu akan mengadzab dia di neraka jahannam”(HR. Muslim).

إِنِّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَاباً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلْمُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para tukang gambar.” (HR. Muslim).

Oleh karena itu hendaknya kita melarang anak-anak kita dari menggambar mahkluk hidup. Adapun gambar pemandangan, mobil, pesawat dan yang semacamnya maka ini tidaklah mengapa selama tidak ada gambar makhluk hidupnya.

· Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian

Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah keberanian Nabi dan para sahabatnya dalam peperangan untuk menegakkan Islam agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri.

Tanamkan pula kepada mereka kebencian kepada orang-orang kafir. Tanamkan bahwa kaum muslimin akan membebaskan Al-Quds ketika mereka mau kembali mempelajari Islam dan berjihad di jalan Allah. Mereka akan ditolong dengan seizin Allah.

Didiklah mereka agar berani beramar ma’ruf nahi munkar, dan hendaknya mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta menakuti mereka dengan gelap.

· Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i

Hendaknya anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat.

Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” (Shahih, HR. Abu Daud)

Untuk anak-anak perempuan, biasakanlah agar mereka mengenakan kerudung penutup kepala sehingga ketika dewasa mereka akan mudah untuk mengenakan jilbab yang syar’i.

Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap anak-anak. Dan hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak atau mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka.

Semoga bisa bermanfaat, terutama bagi orangtua dan para pendidik. Wallahu a’lam bishsawab.

Dicopy dari: www.wiramandiri.wordpress.com.

Jaga Anakmu dari Pandangan Mata Jahat

‘Pandangan mata’ ternyata bukan perkara remeh. Darinya, bisa muncul berbagai macam bahaya atau kejelekan bagi yang dipandang. Sekilas memang tak masuk akal, namun banyak kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Si kecil tumbuh begitu lincah dan menggemaskan. Duhai, tak ada yang pantas diucapkan selain rasa syukur kepada Rabb seluruh alam! Betapa bahagia rasanya memandang dan menikmati segala tingkah dan celotehnya.

Tak jarang komentar kekaguman berdatangan dari setiap mata yang memandang. Namun ungkapan semacam itu terkadang dianggap tabu, hingga ayah atau ibu biasanya segera menyergah, “Jangan dipuji, nanti jadi sakit lho!” atau pun dengan tanggapan-tanggapan semacam.

Terkadang pula terjadi, ayah dan ibu dibuat bingung karena buah hati mereka jatuh sakit, rewel, atau turun berat badannya tanpa sebab yang pasti. Pengobatan di dokter ahli sekalipun seakan tak membawa hasil.
Ada apa sebenarnya di balik pujian? Benarkah pujian dapat menyebabkan si buah hati jadi celaka? Ataukah ada faktor lainnya? Haruskah kita mempercayai sesuatu yang rasanya sulit dicerna oleh akal itu?

Sesungguhnya semua itu bukan semata akibat dari pujian yang terlontar, akan tetapi berawal dari pandangan. Pandangan mata seseorang dapat berpengaruh buruk pada diri orang yang dipandang, baik pandangan mata itu menatap dengan kedengkian atau pun kekaguman. Allah  telah menyebutkan tentang adanya pengaruh pandangan mata ini melalui lisan Rasul-Nya yang mulia .

Pandangan mata, atau diistilahkan dengan ‘ain, adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap bagus disertai dengan kedengkian yang muncul dari tabiat yang jelek sehingga mengakibatkan bahaya bagi yang dipandang. (Fathul Bari, 10/210)

Hal ini dijelaskan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan telah jelas adanya secara syar’i maupun indrawi. Allah  berfirman:
“Dan hampir-hampir orang-orang kafir itu menggelincirkanmu dengan pandangan mereka.” (Al-Qalam: 51)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan selain beliau menafsirkan ayat ini bahwa orang-orang kafir itu hendak menimpakan ‘ain kepadamu dengan pandangan mata mereka.
Demikian pula Rasulullah  menjelaskan tentang keberadaan ‘ain ini, sebagaimana disampaikan oleh putra paman beliau, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi  bersabda:

“’Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2188, Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/164-165)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, hadits ini menjelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah , dan tidak akan terjadi kecuali sesuai dengan apa yang telah Allah takdirkan serta didahului oleh ilmu Allah tentang kejadian tersebut. Sehingga, tidak akan terjadi bahaya ‘ain ataupun segala sesuatu yang baik maupun yang buruk kecuali dengan takdir Allah . Dari hadits ini pula terdapat penjelasan bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan memiliki kekuatan untuk menimbulkan bahaya. (Syarh Shahih Muslim, 14/174)

‘Ain dapat terjadi dari pandangan yang penuh kekaguman walaupun tidak disertai perasaan dengki (hasad). Demikian pula timbulnya ‘ain itu tidak selalu dari seseorang yang jahat, bahkan bisa jadi dari orang yang menyukainya atau pun orang yang shalih. (Fathul Bari, 10/215)

Bahkan di antara para shahabat yang notabene mereka itu adalah orang-orang yang paling mulia setelah para nabi pun, terjadi ‘ain ini. Kisah tentang hal ini dituturkan oleh Abu Umamah, putra Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu:

“‘Amir bin Rabi’ah pernah melewati Sahl bin Hunaif yang sedang mandi, lalu ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seperti hari ini dan aku tak pernah melihat kulit seperti kulit wanita yang dipingit.’ Tidak berapa lama, Sahl terjatuh. Kemudian dia didatangkan ke hadapan Nabi . Orang-orang pun mengatakan kepada beliau, ‘(Wahai Rasulullah), segera selamatkan Sahl, ia telah terbaring.’ Nabi  bertanya, ‘Siapa yang kalian tuduh dalam hal ini?’ Mereka menjawab, ‘Amir bin Rabi’ah.’ Beliau pun berkata, ‘Atas dasar apa salah seorang di antara kalian hendak membunuh saudaranya? Apabila seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan dari diri saudaranya, hendaknya ia mendoakan kebaikan padanya.’ Kemudian beliau meminta air dan memerintahkan ‘Amir untuk berwudhu’, maka ‘Amir pun membasuh wajahnya, kedua tangan hingga sikunya, kedua kaki hingga lututnya, serta bagian dalam sarungnya. Lalu beliau memerintahkan untuk menuangkan air itu pada Sahl.” (HR. Ibnu Majah no. 3500, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3908/4020 dan Al-Misykah no. 4562)

Tergambar pula dengan jelas dalam kisah ini, apa yang dilakukan oleh Rasulullah  pada seseorang yang terkena ‘ain. Demikian pula dalam perintah Rasulullah :

“’Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan bahwa perkataan Rasulullah  ini menunjukkan, apabila seseorang diketahui menimpakan ‘ain, maka ia diminta untuk mandi, dan mandi ini merupakan cara pengobatan ‘ain yang sangat bermanfaat. Dituntunkan pula bila seseorang melihat sesuatu yang mengagumkan hendaknya segera mendoakan kebaikan padanya, karena doanya itu merupakan ruqyah (pengobatan) baginya. Beliau juga menyatakan bahwa ‘ain yang menimpa seseorang dapat mengakibatkan kematian. (Fathul Bari, 10/215)

Rasulullah  memerintahkan untuk melakukan ruqyah, yaitu pengobatan dengan Al Qur’an dan dzikir-dzikir kepada Allah, terhadap orang yang terkena ‘ain. Beliau memerintahkan hal itu pula kepada istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Rasulullah  memerintahkannya untuk melakukan ruqyah dari ‘ain.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5738 dan Muslim no. 2195)

Begitu pula yang beliau perintahkan ketika melihat seorang anak perempuan yang terkena ‘ain pada wajahnya. Peristiwa ini dikisahkan oleh istri beliau, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:

“Rasulullah  pernah melihat seorang anak perempuan di rumah Ummu Salamah yang pada wajahnya ada kehitam-hitaman. Beliau pun berkata, ‘Ruqyahlah dia, karena dia tertimpa ‘ain’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5739 dan Muslim no. 2197)

Diceritakan pula oleh Jabir bin ‘Abdullah ketika Rasulullah  menyuruh agar anak-anak Ja’far bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu diruqyah:

Nabi  berkata kepada Asma’ bintu ‘Umais, “Mengapa aku lihat anak-anak saudaraku kurus-kurus? Apakah karena kekurangan?”. Asma’ menjawab, “Bukan, akan tetapi mereka cepat terkena ‘ain.” Beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka!”. Asma’ berkata: Maka aku serahkan urusan ini kepada beliau, lalu beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka.” (Shahih, HR. Muslim no. 2198)

Bahkan Jibril  pernah meruqyah Rasulullah  ketika beliau sakit dengan doa:

“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitkanmu dan dari setiap jiwa atau pandangan yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (Shahih, HR. Muslim no. 2186)

Rasulullah  senantiasa memohon perlindungan dari ‘ain, sebagaimana dikabarkan oleh shahabat yang mulia, Abu Sa’id Al-Khudri z:

“Rasulullah  senantiasa berlindung dari jin dan pandangan manusia, hingga turun surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Ketika keduanya telah turun, beliau menggunakan keduanya dan meninggalkan yang lainnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2059 dan Ibnu Majah no. 3511, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2830)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan bahwa menjaga diri dari ‘ain boleh dilakukan dan bukan berarti meniadakan tawakkal kepada Allah. Bahkan sikap demikian ini termasuk tawakkal, karena tawakkal adalah bersandar kepada Allah  disertai melakukan ‘sebab’ yang diperbolehkan atau diperintahkan. Rasulullah  pun memohonkan perlindungan untuk Al-Hasan dan Al-Husain dengan doa:

“Aku memohon perlindungan bagi kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari setiap pandangan yang jahat.”

Demikian pula yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap kedua putranya, Nabi Ishaq dan Nabi Isma’il ‘alaihimus salam. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/165-166)

Betapa ayah dan ibu akan berduka bila pandangan mata itu menimpa buah hatinya. Tentu mereka akan berusaha sekuat tenaga di atas jalan Allah dan Rasul-Nya untuk menghindarkannya, jauh sebelum ‘ain itu datang menerpa. Buah hati tercinta, semogalah selamat selamanya.

Wallahu a’lamu bish shawab.

Doa Ketika Terkejut

Adik-adik, tahukah kamu apa yang hendaknya diucapkan ketika kamu melihat sesuatu yang mengejutkan?

“Aduh kaget aku…!” atau “Astaga naga..!” Barakallahu fiikum. Bukan itu yang diucapkan ketika kita terkejut, tapi ucapkanlah doa berikut:

"Laa ilaha illallah."

(H.R. Bukhori – Muslim)

Lindungi Anak - Anakmu

"Semua (dosa) ummatmu akan diampuni kecuali orang yang berbuat (dosa) terang-terangan, yaitu melakukan perbuatan dosa pada malam hari, lalu Allah menutup-nutupinya, kemudian pada esok harinya dia bercerita kepada kawannya, 'Tadi malam aku berbuat begini... begini...,' lalu dia membongkar rahasia yang telah ditutupi Allah 'Azza wa Jalla." (Mutafaq 'alaih)

Kini telah biasa tertayang kisah vulgar di media massa. Sekelompok ABG yang berkumpul di sebuah tempat, bercerita panjang lebar tentang apa yang telah dilakukan di malam hari bersama kawan lelakinya. Mereka telah melakukan zina. Perbuatan yang hanya layak dilakukan suami istri, dijalaninya di sebuah tempat rekreasi. Temannya yang lain dengan penuh antusias menceritakan 'kisah' serupa.

Seolah tidak ada beban mereka mengemukakan itu, bahkan ada kesan sebagai suatu kebanggaan! Inilah bentuk baru penyakit modern. Anak remaja yang masih termasuk kategori ABG pun telah begitu berani membeberkan kisah-kisah mesum yang semestinya tidak terjadi.

Anak-anak kita yang masih kecil itu jangan dikira hanya diam terhadap perkembangan yang terus bergerak maju di lingkungannya. Apa yang ada diserapnya dengan lahap. Memori pikirannya berjalan normal sama halnya dengan orang dewasa -kekeliruan kita selama ini selalu menganggap mereka adalah manusia kelas dua yang belum matang pikirannya-. Akibatnya sungguh sangat fatal. Mereka berkembang liar di tengah lingkungannya sendiri. Mereka beramai-ramai mendemonstrasikan makna-makna kehidupan dalam imajinasi kenikmatan yang dijabarkan dengan versinya sendiri. Sehingga ketika mereka pulang, orang tua pun kehilangan kemampuan untuk mengendalikan. Kita kemudian seperti tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ada temali yang terputus. Benang nasihat terlepas sebelum keyakinan dan keimanan kita berikan sebagai bekal menghadapi gelombang kehidupan.

Sebagai orang tua kita dituntut untuk selalu mawas diri agar keluarga dapat selamat dari bahaya peradaban yang semakin kelam ini.
 

Pelajaran dari Luqman al-Hakim

Semestinya kita tidak melepas anak-anak kita begitu saja sebelum memberinya bekal yang cukup. Sekalipun mungkin berbagai nasihat sering dinilai sebagai kolot, namun selagi hal itu akan menyelamatkan perjalanan hidup mereka dan keselamatan aqidah, tetap harus ditegakkan. Kelonggaran kita selama ini cenderung terdorong oleh perasaan-perasaan; cinta kasih dan rasa sayang berlebihan, yang justru menyusahkan mereka di kala dewasa. Mereka menjadi lebih mudah goyah dan kehilangan kendali.

Mengenai hal ini Luqman memberikan pelajaran:
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'" (QS Luqman: 13)

Sebelum anak-anak kita lepas dan berinteraksi dengan kehidupan, kita berkewajiban menanamkan ke dalam jiwa mereka rasa ketergantungan hanya kepada Allah swt. Hendaklah mereka jangan dilepas begitu saja hingga keliru mengambil sandaran dan pegangan selain kepada Allah dan kitab-Nya.

Arahkan pendidikan aqidah ini sebagai basis yang kuat sebelum mereka mengayunkan langkah pertamanya. Menanamkan keyakinan perihal kekuasaan Allah ini harus diutamakan. Sebab kekokohan aqidah akan membawa pengaruh yang sangat besar bagi motivasi hidup anak, utamanya untuk memelihara dan menyelamatkan imannya dari banyak godaan. Bila nama Allah sudah tegak, maka pribadi mereka akan terbentuk dengan tegak dan kokoh pula.

Selanjutnya Luqman berkata:
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqman: 17)

Jadikanlah shalat menjadi 'perisai' yang selalu ditegakkan ke manapun pergi. Di sini tentu perlu ketelatenan menuntun dan membimbing mereka. Sampai terlihat bahwa shalat telah menjadi bagian dari kegiatan dan kehidupannya. Bila shalat mereka telah baik, ada jaminan mereka bisa membawa diri.

Sejujurnya kita sering tidak bisa memahami kalimat yang kurang bisa dipertanggungjawabkan, mislanya, "Bukankah mereka masih kecil, mengapa harus dipaksakan untuk beribadah, nanti kalau sudah besar juga akan jalan sendiri!"

Sekalipun tidak terucap tapi sikap yang mencerminkan pengesahan pernyataan seperti itu sering tampil. Anehnya, di lain waktu dengan enteng kita 'mempersilakan' anak-anak membaca buku atau menyaksikan tayangan yang justru cenderung merusak. Alasannya, anak-anak itu perlu istirahat dan menambah wawasan!

Padahal apakah artinya alasan istirahat dan menambah wawasan bila dibandingkan dengan mahalnya persiapan benteng iman yang kelak akan dibawa sampai di yaumul akhir?

Anak-anak yang tegak shalatnya, kalaupun ada masa-masa puncak yang membuatnya terjebak untuk melakukan perbuatan yang mungkar, mereka tidak akan sampai terseret jauh. Sekalipun banyak gempuran bila shalatnya tetap utuh dan terpelihara, ada jaminan dirinya tetap aman. Shalat yang dikerjakan dengan baik dan penuh khusyuk (tegak) akan menjadi pengontrol dan pengendali sikap dan tindakannya.
 

Wastabilqul khairat

 
Yang kita harapkan adalah agar anak-anak kelak terut menciptakan suasana yang baik, mencegah kemungkaran, dan dapat bersabar terhadap apa yang menimpa dirinya. Sehingga sebagai orang tua berarti kita telah menciptakan susana hidup bagai surga. Anak-anak menjadi baik, keluarga baik dan lingkungan pun baik.

Kita tidak inginkan yang terjadi justru sebaliknya, anak dan generasi penerus kita menjadi generasi yang malah menumbuhsuburkan kejahatan dan kemungkaran. Generasi yang semata menjadi budak nafsu dan keserakahan, yang hanya mementingkan kepuasan yang sifatnya sangat semu. Generasi yang mementingkan dirinya sendiri.

Rasulullah saw mensinyalir karakter mereka itu seperti yang termaktub dalam hadits berikut: "Akan tiba suatu zaman atas manusia, di mana perhatian mereka hanya tertuju pada urusan perut dan kehormatan mereka hanya benda semata-mata. Kiblat mereka hanya urusan wanita dan agama mereka adalah harta emas dan perak. Mereka adalah makhluk Allah yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian yang menyenangkan di sisi Allah." (HR Ad-Dhailami)

Generasi seperti itu hanya akan membawa pencemaran bagi lingkungannya. Lingkungan menjadi tidak sehat, terganggu dan kotor.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari generasi yang seperti ini selain dari musibah saja.
 

Ramadhan di Tengah Krisis

Tak terasa kurang dari dua pekan lagi kita akan berjumpa dengan bulan Ramadhan. Betapa bahagianya, karena janji-janji Allah yang begitu menggiurkan akan kembali bisa kita nikmati selama bulan suci itu.

Kini yang perlu kita pertanyakan adalah, sudahkah kita mempersiapkan diri? Mestinya memang persiapan dilakukan sejak dulu-dulu, setidaknya secara mental. Kini tinggal mencoba mengevaluasi, apakah memang kita sudah melakukan hal-hal prinsip untuk menyongsong Ramadhan dengan efektif ataukah belum. Misalnya, apakah kebiasaan-kebiasaan yang hanya melenakan dan membuat kita jauh dari Allah sudah kita hindari? Momen Ramadhan merupakan saat tepat untuk mendidik pribadi kita menuju kedekatan yang 'permanen' dengan Allah.

Pemahaman kita terhadap Ramadhan memang seharusnya demikian. Bukan sebaliknya, menunggu Ramadhan untuk melakukan kebaikan, karena di bulan itu pahala dilipatgandakan. Karena bila begitu, maka selepas Ramadhan kita akan kembali seperti semula. Padahal dengan tiadanya bekas Ramadhan dalam perilaku hidup kita selepas Idul Fitri, dapat disimpulkan bahwa kita telah ggaal meraih berkah bulan suci. Ibarat mandi, kita hanya sekedar sudah melaksanakan mandi itu, tetapi kotoran-kotoran belum sempat hilang.

Ramadhan adalah pembiasaan. Sebulan penuh kita diajari untuk menahan diri, melakukan hanya yang baik-baik, menghindari pertentangan dan perkelahian, meninggalkan kasak-kusuk, menjauhi bicara dan bertingkah jorok, meninggalkan jauh-jauh penyelewengan, dan dilatih untuk senantiasa merasa dilihat dan diperhatikan Allah swt. Bukan berarti sikap-sikap positif itu tidak perlu ada di luar bulan Ramadhan, sama sekali tidak. Karena untuk membiasakan butuh waktu, amka Ramadhan dimanfaatkan untuk pelatihan itu. Sekali lagi kita pahami, Ramadhan adalah arena bagi kita untuk berlatih diri, berdisiplin dengan kebaikan. Selepas Ramadhan, silakan kebiasaan baik itu dilanjutkan, sebagai buah yang selayaknya memang kita petik.

Mumpung Ramadhan baru akan hadir, marilah kita siapkan mental, untuk memanfaatkan bulan suci itu sebaik-baiknya. Kita upayakan penuh untuk bisa menangguk hasil sebanyak mungkin, memperoleh berkah di tengah segala cobaan yang sedang melanda. Ramadhan kali ini memang bertepatan dengan masa sulit karena krisis moneter, tetapi nampaknya kita sudah cukup berpengalaman untuk berkelit dari kesulitan. Orang tua kita dahulu mengalami yang jauh lebih menyakitkan, yakni di masa dan akhir masa penjajahan. Toh mereka bisa survive hingga mampu mengantarkan kita menjadi dewasa sekarang. Justru kesulitan itu biasanya yang bisa memaksa kita untuk merenung, menekuni kembali jalan yang benar, dan bangkit menentang ketidakbenaran di segala bidang. Ramadhan memberi wadah bagi kita semua.