I. Mengapa dan untuk apa menikah dan berkeluarga?

- Melaksanakan perintah Allah swt dan Rasul-Nya
Firman Allah swt: “… maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS an-Nisa’ 3);
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[*] di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui” (QS an-Nur 32) [* Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin].
Sabda Rasulullah saw: “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang telah mampu, maka hendaklah ia menikah!” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim); dalam hadis lain: “Menikahlah kalian dengan wanita-wanita!” (HR Imam Abu Dawud dan al-Hakim)
- Mengikuti sunnah para Nabi, Rasululullah saw, para Sahabat dan Salaf Shalih
Firman Allah swt: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS ar-Ra’d 38)
Sabda Rasulullah saw: “Menikah itu adalah sunnahku. Siapa yang tidak mau [mengikuti] sunnahku, maka dia bukan termasuk [ummat]ku” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim); “Sebaik-baik umat ini adalah yang terbanyak istrinya” (HR Imam al-Bukhari).
Khalifah Umar ibn al-Khaththab ra: “Aku menikah supaya memperoleh anak keturunan.”
Abdullah ibn Abbas ra berkata: “Belum sempurna ibadah seseorang sehingga ia berkeluarga.”
Abdullah ibn Mas`ud ra berkata: “Kalaupun umurku tinggal sepuluh hari lagi, aku tetap akan menikah agar aku tidak menemui Allah swt sebagai bujangan.”
Mu`adz ibn Jabal ra setelah ditinggal mati oleh kedua istrinya berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Carikan aku seorang istri, sebab aku tidak ingin menemui Allah sebagai bujangan.”
Imam Ahmad ibn Hanbal rh berkata: “Aku tidak suka menjadi bujangan walaupun cuma satu malam”
- Untuk menenangkan batin, menghibur dan menyegarkan perasaan
Firman Allah swt: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS ar-Rum 21)
Sabda Rasulullah saw: “Setiap orang yang bekerja pasti mengalami tekanan, namun setiap tekanan mesti ada jedanya. Maka siapa yang jalan keluar dari stressnya mengikuti sunnahku, sesungguhnya ia telah mendapatkan petunjuk.” (HR Imam Ahmad, at-Thabarani dan at-Tirmidhi)
Berkata Sayyidina Ali ibn Thalib krw: “Istirahatkanlah hati kalian sejenak, sebab hati manusia akan menjadi buta kalau terlalu dipaksakan.”
- Untuk menjaga diri dan memelihara kehormatan
Rasulullah saw telah bersabda: “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang telah mampu, maka hendaklah ia menikah! Karena sesungguhnya menikah itu akan menjaga pandangan dan memelihara syahwat farj” (HR Imam Bukhari dan Muslim); dalam hadis lain: “Allah berhak menolong tiga golongan: orang yang berjihad di jalan Allah, hamba mukatab yang ingin membayar harga tebusannya, dan orang yang menikah dengan tujuan untuk dapat memelihara kehormatan dirinya.” (HR Imam at-Tirmidhi, Ibn Hibban, dan al-Hakim)
Imam al-Ghazali meriwayatkan pernah ada seorang pemuda mengeluh perihalnya kepada Ibn Abbas ra, bahwa ia nyaris melakukan zina dan sering masturbasi. Maka berkata Ibn Abbas ra: “Celaka kamu! Lebih baik kamu menikah meskipun dengan seorang hamba sahaya, dan itu lebih baik daripada kamu berzina!” (Ihya’ Ulumiddin, cet. Kairo 1967, jilid II, hlm. 38)
- Untuk menyempurnakan keimanan
Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menikah maka ia telah menyempurnakan separuh dari iman[nya] ” (HR Imam at-Thabarani); “Siapa yang menikah berarti dia telah menyempurnakan sebagian agamanya, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada sebagian yang lain.” (HR Imam al-Bayhaqi dan Ibn al-Jawzi)
- Untuk mendapatkan keturunan yang baik
Firman Allah swt: “Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (QS Ali Imran 38); “Dan Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah engkau membiarkan aku hidup seorang diri [maksudnya: tanpa mempunyai anak keturunan] padahal Engkau adalah Waris Yang Paling Baik.” (QS al-Anbiya’ 89); “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami pasangan (suami/isteri) kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS al-Furqan 74)
- Untuk melahirkan generasi penerus risalah Firman Allah swt tentang Nabi Zakaria as: “Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawali-ku[*] sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS Maryam 5-6) [* Di sini yang dimaksud oleh Nabi Zakaria as dengan mawali ialah orang-orang yang akan mengendalikan dan meneruskan misi da’wah sepeninggalnya.Yang beliau khawatirkan adalah kalau orang lain yang kelak menggantikannya tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, karena tidak seorangpun di antara mereka yang dapat dipercayainva, oleh sebab itu dia meminta dianugerahi seorang anak].
- Untuk membantu dalam kegiatan ibadah dan da’wah
Firman Allah swt: “Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah dalam melaksanakannya.” (QS Thaha 132); “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apapun yang diperintahkan-Nya.” (QS at-Tahrim 6)
Sabda Rasulullah saw: “Hendaklah setiap orang dari kalian mempunyai hati yang senantiasa bersyukur, lidah yang selalu berzikir, dan pasangan yang beriman dan shalih/ah yang dapat menolongnya dalam urusan akhiratnya” (HR Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
- Imam al-Ghazali rh menyebutkan 5 faedah yang akan diperoleh seseorang jika ia berkeluarga: [1] memperoleh anak dan keturunan, [2] menyalurkan nafsu syahwat ke jalan yang dibenarkan oleh agama, [3] membangun rumah tangga sendiri, [4] menambah jaringan keluarga, dan [5] meningkatkan kemampuan mengontrol diri. (Lihat kitabnya: Ihya’ Ulumiddin, cet. Kairo 1967, jilid II, hlm. 31-42)
II. Mencari Jodoh & Memilih Calon Suami/Isteri : Apa Kriterianya? - “Maka menikahlah dengan wanita-wanita yang kamu nilai baik” (QS an-Nisa 3)
- “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (QS an-Nur 3)
- “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS an-Nur 26)
- “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba sahaya wanita yang beriman lebih baik dari seorang wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita-wanita yang beriman) selagi mereka belum beriman. Sesungguhnya seorang hamba lelaki yang beriman lebih baik dari orang yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS al-Baqarah 221)
- “Boleh jadi Tuhannya, jika kalian diceraikannya, kelak memberi ganti kepadanya isteri yang lebih baik daripada kalian, muslimah yang patuh, beriman, taat beragama, bertaubat, beribadat, berpuasa, janda maupun perawan.” (QS at-Tahrim 5)
- “…maka kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, yakni wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya …” (QS an-Nisa’ 25)
- Sabda Rasulullah saw: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah yang beragama!” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim)
- Sabda Rasulullah saw: “Jangan menikah dengan wanita karena kecantikannya, sebab boleh jadi kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi dirinya sendiri. Dan jangan mengawini wanita karena hartanya, sebab boleh jadi hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong. Nikahilah [wanita] karena agamanya, sebab sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik [untuk dikawini] asalkan ia beragama.” (HR Imam al-Bayhaqi)
- Sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik istri kalian adalah yang banyak melahirkan anak dan penuh cinta kasih” (HR Imam al-Bayhaqi); “Kawinilah perempuan yang subur dan penuh cinta kasih, karena sesungguhnya di hari kiamat kelak aku akan bangga dengan banyaknya bilangan kalian dibanding umat-umat lain” (HR Imam Ahmad dan Ibn Hibban)
- Sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik istri kalian adalah wanita yang apabila dipandang menyenangkan hati suaminya, apabila disuruh tidak membantah, dan apabila ditinggal pergi setia menjaga dirinya dan harta suaminya” (HR Imam an-Nasa’i); “Sebaik-baik wanita adalah mereka yang cantik paras rupanya dan tidak mahal maskawinnya” (HR Imam Ibn Hibban); “Kebaikan seorang wanita antara lain ditandai dengan mudahnya proses pelamarannya, ringannya mahar untuknya, dan cepat melahirkan anak.” (HR Imam Ahmad dan al-Bayhaqi); “Wanita yang paling banyak membawa berkah adalah yang paling menawan wajahnya dan paling sedikit maharnya” (HR Abu Amr at-Tuqani)
- Sabda Rasulullah saw kepada Jabir ibn Abdillah ra yang mengawini seorang janda: “Kenapa tidak mengawini perawan saja? Supaya engkau bisa menjadi hiburan untuknya dan dia menjadi hiburan untukmu!” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim)
- Berdasarkan ayat-ayat dan hadis-hadis, Imam al-Ghazali rh menyimpulkan 8 kriteria: [1] kuat agamanya (mutadayyin) dan tidak fasiq, [2] baik akhlaknya, [3] cantik/tampan rupanya, [4] ringan maharnya, [5] masih perawan/jejaka, [6] subur/ berpotensi punya anak, [7] berasal dari keluarga/keturunan orang baik-baik, [8] bukan dari keluarga dekat sekali. (Lihat kitabnya: Ihya’ Ulumiddin, cet. Kairo 1967, jilid II, hlm. 48-53)
III. Pola Rumah Tangga dan Ciri-cirinya
1. Rumah Tangga Bisnis:
Sejak awal didirikannya rumah tangga semacam ini telah dihitung-hitung berapa keuntungan materi yang akan diperoleh, bila aku menikah dengan si dia, berapa tabunganku akan bertambah saat menikah dan setelah menikah. Apa pasanganku nanti dapat menambah hartaku atau malah akan mengurangi. Dan bila kami nanti punya anak, berapa anak yang kira-kira dapat menguntungkan usaha yang bakal kami jalankan saat ini dst. Rumah tangga seperti ini banyak sekali ditemukan di negara Barat yang hanya berfikir pada materi. Padahal Allah telah berfirman: “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, merekalah itu yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 34:37)
2. Rumah Tangga Barak:
Yang terdengar dari rumah tangga ini hanya perintah-perintah atau komando-komando layaknya jendral kepada kopralnya. Bila si kopral tidak melaksanakan atau lalai menjalankan tugas, maka konsekwensinya adalah hukuman, baik berupa umpatan atau bahkan pukulan. Di sini tidak ada suasana dialogis yang mesra, anggota keluarga yang berperan sebagai kopral, selalu merasa tertekan dan takut bila ada sang jendral di rumah, dan selalu berdoa dan berharap agar sang jendral segera berlalu keluar rumah.
3. Rumah Tangga Arena Tinju:
Bila suami dan istri merasa memiliki derajat, kekuatan dan posisi yang setara serta pendapatnya lah yang benar dan harus terlaksana. Bila ada perbedaan dan salah faham sedikit saja, maka digelarlah “pertandingan” yang dapat berupa baku cekcok, baku hantam atau baku UFO (piring terbang). Masing-masing berusaha membuat KO lawannya dengan berbagai taktik. Tidak ada kata damai sebelum salah satunya menyerah.
4. Rumah Tangga Islami:
Didalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik individu maupun seluruh anggota. Mereka berkumpul dan mencintai karena Allah, saling menasehati kejalan yang ma’ruf dan mencegah dari kemunkaran. Setiap anggota betah tinggal didalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Rumah tangga yang menjadi panutan dan dambaan ummat yang didalamnya selalu ditemukan suasana sakinah, mawaddah dan rahmah. Merupakan surga dunia, seperti yang sering kita dengar, Rasul pernah bersabda: Bayti jannati! Rumahku adalah surgaku. Rumah yang dimaksud di sini tentunya bukan bangunan fisiknya yang bak istana dengan taman yang luas dan kolam renangnya, tapi rumah disini adalah suasana atau “ruh” dari rumah tsb.
5. Ciri-ciri dan Cara-cara Rumah Tangga yang Islami:
a. Didirikan atas dasar ibadah
Rumah tangga didirikan dalam rangka ibadah kepada Allah, dari proses pemilihan jodoh, pernikahan (akad nikah, walimah) sampai membina rumah tangga jauh dari unsur kemaksiatan atau yang tidak islami. Sebagaimana tugas kita di muka bumi ini yang hanya untuk mengabdi/beribadah kepada Allah, maka pernikahan ini pun harus diniatkan dalam rangka tsb. Beberapa contoh yang tidak islami, pemilihan jodoh tidak berdasarkan diennya (agamanya), proses berpacaran, pemilihan hari “baik” untuk acara pernikahan,sebelum akad nikah ada acara widodareni atau mandi air kembang dan dalam acara walimahan ada upacara (adat) injak telur dan buang-buang beras (saweran) dsb.
b. Terjadi internalisasi nilai Islam secara kaffah (menyeluruh). Dalam rumah tangga islami segala adab-adab islam dipelajari dan dipraktekan sebagai filter bagi penyakit moral di era globalisasi ini. Suami bertanggung jawab terhadap perkembangan pengetahuan keislaman dari istri, dan bersama-sama menyusun program bagi pendidikan anak-anaknya. Saling tolong-menolong dan saling mengingatkan untuk meningkatkan kefahaman dan praktek ibadah. Oleh sebab itu suami dan istri seharusnya memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang Islam. Sabda Rasulullah saw: “Semoga Alloh merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah).
c. Terdapat keteladanan (qudwah) dari suami maupun istri yang dapat dicontoh oleh anak-anak. Setiap hendak keluar atau masuk rumah anggota keluarga membiasakan mengucapkan salam dan mencium tangan, merupakan contoh yang akan membekas pada anak-anak sehingga mereka tidak canggung mengucapkan salam ketika telah dewasa. Bagaimana mungkin anak akan menegakkan sholat diawal waktu, sementara orang tuanya asik melihat TV pada saat azan berkumandang (ini contoh yang buruk). Keluarga islami merupakan contoh teladan di lingkungannya, selalu nilai-nilai positif saja yang terlontar dari para tetangganya bila membicarakan rumah tangga ini. Hal ini bisa terjadi bila adanya contoh-contoh yang islami dilakukan serta silaturahmi ke tetangga yang intensif.
d. Adanya pembagian tugas yang sesuai dengan syariat. Islam memberikan hak dan kewajiban masing-masing bagi anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Firman Allah swt: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nisa’ 32). Suami atau istri harus faham apa kewajiban dan haknya, sehingga tidak terjadi pertengkaran karena masing-masing hanya menuntut haknya terpenuhi tanpa melakukan kewajibannya. Firman Allah swt: “Dan hak-hak mereka sebanding dengan kewajiban-kewajiban mereka. Akan tetapi para suami, mempunyai satu derajat lebih tinggi dari isterinya” (QS al-Baqarah 228). Islam telah mengatur keseimbangan hak dan kewajiban ini, apa yang menjadi kewajiban suami adalah hak istri, dan begitu pula sebaliknya. Kewajiban suami tidak bisa dilakukan secara optimal oleh istri, begitu pula sebaliknya.
e. Tercukupnya kebutuhan materi (sandang, pangan, papan) secara wajar. Suami harus membiayai kelangsungan kebutuhan materi keluarganya sesuai kemampuannya, karena itu merupakan salah satu tugas utamanya. Firman Allah swt: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.” (QS al-Baqarah 233). Sabda Rasulullah saw: “Cukuplah seseorang itu berdosa apabila ia menelantarkan anggota keluarganya” (HR Imam Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i). Namun istri tidak boleh menuntut lebih dari pendapatan halal sebatas kemampuan sang suami. Firman Allah swt: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS ath-Thalaq 7)
f. Terciptanya hubungan mesra, saling pengertian dan tenggang rasa antara suami istri. Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau pribadinya. Begitu juga sebaliknya. Jika salah seorang dituntut untuk melakukan segala sesuatu sendiri maka ia akan buntu. Tidak boleh terlalu keras ataupun berlebihan dalam menegur dan meluruskan yang salah, karena itu berarti membengkokkannya dan membengkokkannya berarti menceraikannya. Rasulullah saw bersabda: “Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik.” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim). Masing-masing harus menyadari dan bisa memaklumi kelemahan yang lain, dan mesti bersabar untuk menghadapi pasangannya. Seorang suami seyogyanya tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali. Begitupun sebaliknya. Dalam hal ini maka berperilakulah lemah lembut. Sabda Rasulullah saw: “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik budi pekertinya dan paling lemah-lembut perilakunya kepada ahli keluarganya” (HR Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan al-Hakim). Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang dibencinya maka tidak tahu lagi dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Allah swt berfirman; “Dan bergaullah bersama mereka dengan baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa’ 19). Sebab kalau tidak, bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya, sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka. Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhakan diri dari prasangka yang tak beralasan. Dan kecemburuan terkadang berubah menjadi prasangka buruk yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan yang jelas dan benar. Bersabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik perlakuannya kepada ahli keluarganya” (HR Imam at-Tirmidzi)
g. Menghindari hal-hal yang tidak Islami. Kita tidak bisa hidup sendirian terpisah dari masyarakat. Betapapun taatnya keluarga tsb terhadap norma-norma agama, apabila sekitar lingkungannya tidak mendukung, pelarutan nilai akan lebih mudah terjadi, terutama pada anak-anak. Oleh sebab itu banyak kegiatan atau barang-barang yang tidak islami harus disingkirkan dari dalam rumah, misalnya penghormatan kepada benda-benda keramat, memajang patung-patung, memasukkan ke rumah majalah/koran/video atau saluran internet dan TV (ini yang susah) yang tidak islami, bergambar mesum dan adegan kekerasan, memperdengarkan lagu-lagu yang tidak menambah keimanan.
h. Berperan dalam pembinaan masyarakat: Keluarga islami harus memberikan kontribusi yang cukup bagi perbaikan masyarakat sekitarnya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl 125). Setiap anggota keluarga islami diharuskan memiliki semangat berda’wah yang tinggi, karena profesi utama setiap muslim/ah adalah sebagai da’i. Suami harus dapat mengatur waktu yang seimbang untuk Allah swt (ibadah ritual), untuk keluarga (mendidik keluarga serta bercengkrama bersama istri dan anak-anak), waktu untuk ummat (mengisi ceramah, mendatangi pengajian, menjadi pengurus mesjid, panitia kegiatan keislaman) dan waktu mencari nafkah. Begitu pula dengan istri harus diberi kesempatan untuk bekiprah dijalan da’wah ini memperbaiki muslimah disekitarnya. Bila pemahaman keislaman antara suami dan istri sekufu, maka tenaga untuk melakukan manuver da’wah keluar akan lebih banyak, karena suami tidak perlu menyediakan waktu yang terlalu banyak untuk mengajari istrinya. Begitu pula istri mendukung dan memperlancar tugas suami dengan ikhlas. Hubungan suami istri semacam ini bukanlah semata-mata hubungan duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa yang luhur, suatu pertalian luhur yang dapat berlanjut sehingga ke kehidupan akhirat kelak, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an: “Itulah surga ‘Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh, baik itu orangtuanya, istri/suaminya dan anak cucunya.” (QS ar-Ra’d 23)
6. TIPS MENJAGA HUBUNGAN HARMONIS SUAMI-ISTERI
a. Berusaha untuk sabar dalam berbagai situasi. ‘Sabar’ yang dimaksud adalah: mau menerima kenyataan, lapang dada, tulus ikhlas, rela (nrimo), tahan menderita, tidak mudah mengeluh, tidak cepat tersinggung (irritable atau hypersensitive), tidak mudah marah, cepat memaafkan, mau mengakui kesalahan sendiri dan sanggup meminta maaf, berani bersikap jujur, setia (loyal dan faithful), teguh pada janji, dan punya pendirian/prinsip. Firman Allah swt: “Dan kami jadikan kalian satu sama lain sebagai cobaan. Apakah kalian sanggup bersabar? Dan adalah Tuhanmu maha Melihat” (QS al-Furqan 20)
b. Bersikap moderat kepada satu sama lain: Jika terlalu lunak, bisa diinjak; jika terlalu keras, bisa digilas! Jika terlalu banyak dan cepat sekali cemburu, bisa berantakan; namun jika tidak pernah cemburu, dilaknat Rasulullah saw. Terlalu possessive tidak baik, terlalu permissive pun tidak baik juga. Jadi, sewajarnya dan selayaknya saja. Sebab, kata Imam al-Ghazali rh, “segala sesuatu, jika sudah melampaui batasnya, akan berbalik kepada lawannya” (fa-kullu maa jaawaza haddahu, in?akasa ?alaa dhiddihi).
c. Berusaha untuk memberikan sesuatu (a gift or present) kepada satu sama lain. Sebab, semua manusia yang normal pasti suka dan berbunga-bunga hatinya jika menerima hadiah, apakah itu dari orangtua, guru, teman, kekasih, suami, istri (ataupun—untuk sebagian orang di sini—lotto!). “Saling memberi hadiah-lah kalian satu sama lain, niscaya tumbuh cinta diantara kalian!” (tahaaduu tahaabbuu!), demikian pesan Rasulullah saw dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari dan al-Bayhaqi.
Wabillahi t-tawfiq wa l-hidayah, wa s-salamu alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh.