Sabtu, 19 Maret 2011

Hati vs Nash

Suara hati memang sangat penting. Pendapat apapun yang disampaikan orang terhadap suatu perkara, suara hati tetap harus lebih diutamakan. Karena sejatinya, dialah yang paling jernih menentukan langkah yang benar atau salah.

Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut. Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.

Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu, segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya – lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195) 

Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at – shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.

Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)

Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga, akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada. Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36). Wallahu a’lam bishawab.

Syahwatun Nisa

Adalah lumrah, bila seorang musafir harus tahu benar karakter perjalanan yang akan dilaluinya. Salah satu karakter perjalanan itu adalah munculnya fitnah dan ujian. Bila tak disikapi dengan benar, bisa jadi arahnya akan menyimpang.

Kemunculan fitnah merupakan sunnatullah. Maka ia sangat tergantung lemah atau kuatnya iman sang musafir. Bila imannya prima, hubungan dengan Allah kuat, ujian apapun takkan dapat menjerumuskan. Beda halnya ketika iman melemah. Sedikit saja ujian menerpa, dapat membuatnya terjungkal.

Allah telah menakdirkan terjadinya fluktuasi iman. Tinggi dan rendahnya keimanan, adalah fenomena yang pasti dialami setiap orang. "Iman itu bertambah dan berkurang," demikian sabda Rasulullah SAW. Karena itu, satu satunya cara -di samping senantiasa, berusaha memperbarui iman-, adalah harus tetap waspada menghadapi berbagai gejala munculnya fitnah.

Saudaraku,

Syaikh Adil Abdullah al-Laili dalam kitab Musafir fi Qithari Da’wah, menguraikan, salah satu fitnah besar yang menghadang seorang mukmin adalah fitnah syahwat. Fitnah inilah yang pertama kali menerpa ayah kita Adam ‘alaihissalam. Terdorong melayani rongrongan syahwat fisik perut, setelah tertipu iblis, ia memakan buah yang dilarang Allah.

Allah menyebutkan, manusia tercipta dari tanah yang gosong (hama’in masnun). Tanah yang gosong, logikanya memiliki anasir tanah dan api yang menjadikannya gosong. Maka manusia memiliki sifat tanah (ardh), dan sifat api (naar). Syahwat manusia berputar di antara keduanya. Yang tekait dengan materi tanah, akan membawanya condong pada segala hal yang bersifat keduniaan. Keinginan memiliki harta, kekayaan, kecintaan pada anak dan istri, dan sebagainya. Dalam taraf tertentu, potensi syahwat ini dapat menggiring manusia terjerembab dalam perbuatan keji, seperti mencuri atau berzina. Adapun syahwat api (syahwat nariyah), wujudnya gejolak jiwa yang meletupkan kemarahan, rasa sombong, membangkitkan ambisi untuk dihormati, cinta jabatan, dan semisalnya.

Saudaraku,

Fitnah paling dahsyat -menurut Rasulullah-dalam hal syahwat, adalah fitnah yang pertama kali menyesatkan Bani Israil, yakni wanita. Syahwat wanita dapat menjadikan orang terjerumus dalam berbagai perilaku dosa.
Para juru dakwah, bukan tak mungkin terjerumus dalam fitnah wanita. Apalagi hidup di zaman seperti saat ini. Allah juga telah menjelaskan, "Allah menghiasi manusia dengan cinta syahwat pada wanita." (Ali Imran : 14). Rasulullah sendiri mewanti-wanti kepada umatnya tentang hal ini, "Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berat kepada kaum lelaki dari pada fitnah wanita." (Muttafaq Alaih). Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, "Fitnah wanita lebih dahsyat ketimbang fitnah anak. Sebab, wanita memiliki dua fitnah, sedangkan anak memiliki satu fitnah. Dua fitnah yang ada pada wanita: Pertama, ia dapat memunculkan rusaknya hubungan antara dua orang bila dalam suatu perkara wanita menuntut suaminya melakukan hal itu. Kedua, fitnah ambisi mengumpulkan harta, dengan cara halal maupun haram. Sedang fitnah anak hanya satu, mendorong orang mengumpulkan harta." (Tafsir Qurthubi, 4/29) 

Saudaraku,

Cinta kepada istri itu halal dan harus. Tapi adakalanya kecintaan dan kedekatan itu menjadi penghalang dari perbuatan ma’ruf. Indikasinya, terlalu takut bahaya menimpa keluarga, ingin selalu dekat dengan istri, lebih mengutamakan syahwat dunia dari amal akhirat. Kondisi ini bahkan bisa berlanjut pada pemutusan silaturahim, atau menyakitkan orang tua, enggan berinfaq.

Fitnah ini sering datang sembunyi-sembunyi, nyaris tak terasakan. "Yang pertama kali memakan buah itu adalah Hawa, akibat tipu daya iblis kepadanya. Pertama kali iblis berkata kepada Hawa, karena dialah yang mudah ditipu. Itulah fitnah pertama yang menimpa lakilaki dari wanita. Iblis pun lalu mengatakan, ‘Apa yang menghalangi kalian berdua dari pohon yang akan membawa keabadian ini.’ Iblis datang kepada mereka dari pintu yang mereka sukai. ‘Cintamu pada sesuatu, akan membuatmu buta dan tuli."’ (Tafsir Al-Qurthubi: 1/308) 

Renungkanlah,

Iblis lantaran tahu, tipu daya dari sisi wanita lebih efektif dan mudah sampai pada seorang pria. Ketika itu, telinga dapat tertutup dari kebaikan. Mata jadi buta dari yang ma’ruf. Mungkin ada pengalaman hidup yang bisa jadi pelajaran kita. Ketika banyak da’i rela meninggalkan amal shalih, demi istrinya. Melanggar maksiat, karena terlalu banyak mendengarkan apa yang diinginkan istrinya. Atau, mungkin yang lebih rendah dan lebih bahaya dari itu, ada suami yang cenderung merendahkan orang lain hanya karena mendengar apa yang dikatakan istrinya. Akhirnya, seorang suami jadi merasa nikmat membicarakan -dengan istrinya- aib-aib saudaranya, membuang waktu, menghilangkan pahala, dan menambah dosa …., naudzubillah.. 

Saudaraku,

Seorang da’i, betapapun kuat kepribadiannya, tajam pikirannya, harus waspada dari fitnah wanita. Jauhi segala kondisi yang dapat memunculkan fitnah itu. Hindari segala keadaan yang menjadi prolog untuk dosa dan kesalahan, apapun alasannya. Para ulama telah mengingatkan laki-laki dari wanita, hatta dengan alasan mengajarkannya kalamullah Al- Qur’anul karim. Ulama zuhud, seperti Maimu’ bin Mahran, mengatakan, "Tiga hal yang jangan sampai dirimu melakukannya, antar lain, …. jangan engkau mendatangi wanita meskipun engkau beralasan: "Aku ingin mengajarkannya kitabullah." (Siyar A’lal Nubala, 5/17)

Jaga jarak dengan kerabat yang bukan mahram, betapapun urf atau adat yang berlaku menganggapnya wajar dan biasa saja. Waspadai terhadap fitnah yang datang dari pihak istri, termasuk dalam kerangka kerjasama dakwah. Sebab, laki-laki memang lemah di hadapan wanita. "Dan manusia diciptakan dalam kondisi lemah". Imam al-Qurthubi meriwayatkan bahwa Thawus berkata, "Ayat ini khusus dalam masalah wanita." Juga diriwayatkan dari Ibnu Abas bahwa ia membaca ayat tersebut, lalu kata lemah disana beliau artikan sebagai tidak sabar menghadapi wanita. (Tafsir Qurthubi, 5/149) 

Saudaraku,

Kita tak memungkiri janji Rasulullah, "Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihat. Namun, mendidik wanita agar jadi shalihat, sama beratnya dengan menjauhi fitnah mereka. 

Wallahu a’lam bisshawab


Peduli

Kalau bisa diibaratkan seperti mobil atau motor, perilaku hidup sebagian orang selalu ingin ngebut. Selalu ingin cepat sampai. Tak peduli dengan urusan warna-warni pepohonan yang dilewati. Tak mau tahu dengan pengendara lain yang mungkin tersinggung. Bahkan, tak sadar dengan rambu-rambu jalan yang sempat terlanggar.

Dalam keadaan seperti itu, mungkin perilaku-perilaku di atas bisa dianggap wajar. Karena seluruh potensi tubuh sedang menuju satu titik: tujuan atau target. Satu titik tadi memaksa seluruh komponen tubuh untuk tidak memperhatikan yang lain. Kecuali, menjaga kecepatan. Pandangan mata selalu ke depan, pikiran tertuju pada gas dan rem, dan beberapa jari siaga di tombol klakson.

Masih juga dalam kesimpulan wajar jika banyak korban berjatuhan. Mulai dari penyeberang jalan yang tertabrak, kambing yang tewas di tempat, dan kucing yang hancur tergilas. Sekali lagi wajar dan wajar, karena pandangan terpusat pada tujuan atau target.

Ketidakpedulian makin sempurna ketika sejumlah angan merayap memenuhi pikiran: Kalau sudah sampai, saya bisa istirahat panjang. Kalau target terpenuhi, saya akan dikenal sebagai orang yang berprestasi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Angan-angan terus bergumul menenggelamkan kesadaran.

Sebenarnya, kesadaran ingin mengajak si empunya menikmati seribu satu kepedulian. Kepedulian tentang pepohonan jalan yang berteriak kurang air. Kepedulian soal nafas sebagian burung yang terbang dengan nafas tersengal. Dan kepedulian dengan deru mesin kendaraan yang tidak lagi normal.

Kalau saja kesadaran tidak tertimbun angan-angan. Kalau saja fokus tidak saja berpusat pada target. Kalau saja kecepatan laju kendaraan bisa selaras dan seimbang. Ah, kepedulian akan terasa begitu indah.

Rambu - Rambu Lintasan Hati

Prasangka memang hanya lintasan hati. Karenanya, berprasangka sebenarnya manusiawi. Tak ada orang yang mampu meredam atau menahan yang namanya lintasan hati. Tak ada orang yang tak pernah memiliki prasangka buruk terhadap orang lain. Tak seorang pun bisa menghilangkan sama sekali lintasan hatinya. Itu sebabnya, para sahabat mengajukan keberatannya kepada Rasulullah saat turun ayat "Dan bila engkau menampakkan apa yang ada dalam hatimu, atau engkau menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu." (QS. Al-Baqarah : 284) Para sahabat yakin tak mampu menghalangi lintasan hatinya, jika itu termasuk dalam hitungan amal mereka. Akhirnya Allah menurunkan ayat selanjutnya, "Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sebatas kemampuannya."

Imam Ghazali mengurai penjelasan buruk sangka dalam satu sub tema tentang ghibah, membicarakan keburukan orang lain. Menurutnya, buruk sangka tak lain adalah ghibah bathiniyah (membicarakan keburukan orang dengan hati). "Sebagaimana Anda diharamkan untuk menyebut keburukan-keburukan orang lain, maka demikian pula Anda diharamkan untuk berburuk sangka pada saudara Anda," begitulah kata Imam Ghazali. 

Apa yang harus dilakukan agar bisa menghindari bahaya buruk sangka?

Pertama, tumbuhkan empati kepada orang yang menjadi objek buruk sangka. Rasakanlah bila objek buruk sangka itu adalah diri Anda sendiri yang sangat mungkin mengalami banyak kekurangan. Tips ini sama dengan apa yang dianjurkan oleh Imam Ghazali, ketika ia membahas masalah ghibah. Untuk menghindari ghibah, menurut Imam Ghazali, salah satunya dengan merasakan bagaimana bila yang menjadi objek pembicaraan itu adalah diri sendiri. Bila kita senang mendengarnya, maka teruskanlah bicara. Tapi bila tidak, maka jauhilah pembicaraan negatif itu. Sama dengan kondisi ghibah dalam hati, cara menghindarinya bisa dengan membandingkan kondisi kita dengan kondisi orang yang menjadi objek prasangka.

Kedua, teliti dari mana sumber perasaan negatif, atau buruk sangka itu muncul. Bila ia datang dari informasi seseorang, langkah yang paling baik adalah melakukan pertanyaan lebih detail tentang asal usul berita miring itu. Apakah nara sumber berita itu benar-benar telah mengetahui secara autentik tentang kejadian yang memunculkan prasangka itu? Atau bisa juga ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan tentang benar tidak-nya berita negatif tersebut. Bila Anda merasakan bahwa informasi itu belum tentu benar, berupayalah menghapuskan memori informasi itu dari pikiran Anda.

Ada riwayat hadits menarik yang disampaikan oleh Imam Ahmad dengan sanad shahih. Suatu ketika ada seorang lelaki melewati suatu kaum yang sedang berada dalam sebuah majlis. Orang laki-laki itu mengucapkan salam, mereka pun menjawab salam orang tersebut. Tapi tak berapa jauh orang itu pergi, salah seorang dalam majlis itu berkata, "Sesunguhnya aku membenci orang itu karena Allah." Orang yang mendengar perkataan itu terkejut dan mengatakan, "Buruk sekali apa yang engkau ucapkan. Demi Allah akan aku adukan hal ini pada Rasulullah."

Orang yang telah lewat itu kemudian dipertemukan oleh Rasulufah dengan orang yang memiliki prasangka buruk itu. "Mengapa kamu membencinya?" tanya Rasul. "Aku tetangganya, dan mengenalnya. Demi Allah aku tidak pernah melihatnya melakukan shalat kecuali yang diwajibkan," katanya. Orang itu berkata, "Tanyalah wahai Rasulullah, apakah ia pernah melihatku mengakhirkan sholat di luar waktunya atau aku pernah salah berwudhu, ruku’ atau sujud?" Orang yang berprasangka buruk itu mengatakan, "Tidak." Kemudian ia mengatakan, "Demi Allah aku tidak pernah melihatnya berpuasa sebulan kecuali pada bulan yang dipuasai oleh orang baik dan durhaka." Orang yang dituduh itu mengatakan, "Tanyakan wahai Rasulullah, apakah dia pernah melihatku tidak puasa pada bulan Ramadhan, atau aku mengurangi haknya?" Orang itupun menjawab, "Tidak."
Tapi ia masih menambahkan lagi alasan kebenciannya. "Demi Allah aku belum pernah melihatnya memberi orang yang meminta minta atau orang miskin sama sekali, aku juga tidak pernah melihatnya menginfakkan sesuatu di jalan Allah kecuali zakat yang juga dilakukan oleh orang yang baik dan durhaka," katanya. Orang yang dituduh itu mengatakan, "Tanyakan padanya ya Rasulullah, apakah dia pernah melihatku mengurangi zakat atau aku pernah menzalimi pemungut zakat yang memintanya?" Orang itu menjawab, "Tidak." Akhirnya Rasulullah berkata pada orang yang melontarkan kebencian tanpa alasan yang jelas itu. "Pergilah, barangkali dia lebih baik dari pada dirimu," ujar Rasulullah.

Ketiga, bila sumber informasi itu muncul dari dalam hati sendiri tanpa sebab-sebab yang jelas, kecuali sekadar penampilan lahir atau kecurigaan belaka. Beristigfar, dan mohon ampunlah pada Allah swt atas kekeliruan lintasan hati negatif itu. "Seseorang tidak boleh meyakini keburukan orang lain kecuali bila telah nyata dan tidak dapat diartikan dengan hal lain kecuali hanya dengan keburukan," begitu nasihat Imam Al-Ghazali.

Beliau mencontohkan, jika seseorang mencium bau minuman khamar dari mulut seseorang, ia masih belum boleh memastikan bahwa ia telah minum khamar, karena masih ada kemungkinan untuk dikatakan bahwa dia berkumur-kumur saja dan tidak meminumnya, atau mungkin dia dipaksa meminumnya.

Menurut Imam Ghazali, sesuatu yang tidak disaksikan dengan mata kepala dan tidak didengar dengan telinga sendiri, tapi muncul di dalam hati, maka itu tidak lain merupakan bisikan setan yang harus ditolak, karena syetan adalah makhluk yang fasik. Allah swt berfirman, "Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya." (QS.Al-Hujurat:6)

Keempat, sadarilah bahwa lahiriyah seseorang tidak selalu identik dengan batinnya. Islam sama sekali tak mengajarkan penilaian seseorang dari aspek lahirnya. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian, tapi melihat pada hati kalian." Dalam hadits shahih yang lain disebutkan pula bagaimana Rasulullah menggambarkan bahwa kondisi orang yang secara lahiriyah kurang baik, berdebu, rambutnya kumal, dan banyak dipandang hina oleh seseorang, tapi orang tersebut adalah orang yang paling didengar doanya oleh Allah swt. Sebaliknya, orang yang bersih, dan menarik penampilan lahiriyahnya, ternyata orang itulah yang memiliki penilaian tidak baik di mata Allah swt.

Naif sekali, merasa curiga dan berburuk sangka karena alasan lahir. Allah swt bahkan menjelaskan bahwa di antara orang munafik biasanya memiliki penampilan yang memukau. "Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum." (QS. Al-Munafiqun : 4)

Kelima, terimalah fakta bahwa setiap orang pasti pernah lepas kontrol sesekali. Tidak perlu mengembangkan perasaan dan dugaan terlalu besar dengan suatu kesalahan yang dilakukan seseorang. Kesalahan itu adalah hal lumrah bagi manusia. Karenanya, coba arahkan perhatian itu pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Terlalu besar memperhatikan kesalahan orang lain, merupakan salah satu sebab seseorang menjadi mudah mencurigai dan berburuk sangka. Ingatlah prinsip yang diajarkan Rasulullah saw, Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aib dan kesalahan dirinya, ketimbang sibuk oleh aib dan kesalahan orang lain.

Keenam, salah satu pemicu buruk sangka adalah rasa was-was atau bayangan ketakutan yang akan kita terima akibat pihak tertentu. Untuk mengatasinya, tumbuhkan keyakinan kuat bahwa Allah swt Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas seluruh gerak gerik hambanya. Apa saja yang terjadi merupakan kehendak dan kekuasaan Allah swt. Keyakinan ini akan memunculkan kepasrahan dan ketenangan, serta tidak mudah membayangkan resiko pahit yang belum tentu benarnya. Keyakinan ini juga yang akan mengusir perasaan was-was dan bayangan menakutkan yang tak jelas ujung pangkalnya.

Ketujuh, untuk mematahkan gangguan syetan, terapi yang paling penting adalah dengan dzikir kepada Allah dan berusaha memperbanyak amal-amal ketaatan. Keduanya akan sangat menciptakan suasana hati yang hidup, bersih dan jernih. Hal ini lebih jauh akan menumbuhkan kualitas iman yang semakin tidak mudah bagi syetan untuk bersemayam di dalam hati. Di sinilah, seseorang akan mendapat cahaya Allah swt sehingga pandangannya akan mengarah pada firasat yang benar. Takutlah dari firasat seorang mu’min karena ia melihat dengan Nur Allah. (HR. Turmudzi)

Kedelapan, mintakan ampun kepada orang yang menjadi objek prasangka tanpa alasan yang jelas. Itu salah satu kafarat ghibah yang disebutkan oleh Imam Ghazali rahimahullah. Menurutnya, doa tersebut dapat menjengkelkan syetan sehingga syetan tidak bisa memasukkan lintasan negatif atas seseorang. Prasangka, menurutnya sama dengan ghibah dalam hati. Maka, tebusannya antara lain dengan memohon ampunan kepada Allah atas saudara yang dicurigai itu. Wallahu’alam.

Laghwi

Kehidupan memang memberikan banyak pilihan. Ada yang sulit, sedang, dan mudah. Sekian banyak manusia yang pernah singgah di dunia ini, selalu terkotak pada tiga pilihan itu.

Ada yang mengambil pilihan sulit, apa pun risikonya. Mereka rela menyiksa diri demi kebahagiaan yang diidam-idamkan. Bentuknya pun bermacam-macam. Ada yang tidak mau menikah. Ada yang mengharamkan makanan dari yang hidup seperti binatang. Dan lain-lain. Begitu pun dengan sedang dan mudah. Pilihan mudah boleh dibilang yang paling populer, paling disukai. Tak peduli dengan urusan orang lain, lingkungan yang serba susah; pokoknya bisa hidup senang. Mereka bisa tega merampas hak orang lain, menghalalkan segala cara, demi kesenangan hidup.

Islam memberikan pilihan hidup sendiri. Tidak kaku dengan tiga pilihan tadi: sulit, sedang, dan mudah. Kehidupan dunia dalam Islam adalah sebuah persinggahan perjalanan seorang anak manusia. Dalam persinggahan itu, ada berbagai ujian. Persis seperti perantau yang tiba dari perjalanan jauh. Dan persinggahan memberikan aneka makanan dan minuman. Kalau si perantau melampiaskan lapar dan dahaganya di persinggahan itu, ia bisa lupa. Bahwa, akhir perjalanannya bukan di situ. Tapi tempat lain yang harus dengan susah payah ia capai.

Itulah yang pernah disampaikan seorang sahabat Rasul, Ibnu Umar r.a. Ia menceritakan pengalamannya ketika bersama Rasulullah saw. dalam sebuah perjalanan. Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. memegang bahuku sambil bersabda, ‘Di dunia ini, jadilah kau seperti orang asing atau perantau. Jika berada di waktu pagi, jangan mengharap akan bertemu sore. Dan, jika berada di waktu sore jangan mengharap akan sampai pagi. Pergunakan kesempatan masa sehat untuk masa sakit, dan masa hidup untuk bekal mati." (Bukhari)

Sampai di situ, terkesan seperti Islam memilih kehidupan yang sulit. Padahal, tidak sepenuhnya seperti itu. Ketika hidup menjadi sebuah persinggahan, yang perlu diperhatikan adalah unsur keseimbangan. Karena singgah pun mencari keseimbangan baru. Allah swt. berfirman, "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (QS. 55: 7-9)

Dari keseimbangan itu, hidup menjadi proporsional: tidak melulu ke yang sulit, sedang, dan mudah. Tapi mengalir menurut takaran yang telah Allah tetapkan dalam fitrah manusia. Hal itulah yang pernah diluruskan Rasulullah saw. kepada seorang sahabatnya, Abdullah bin Amr bin Ash. Saat itu, Abdullah ingin mengamalkan Islam dengan sangat baik: berpuasa selamanya, tidak menikah, dan mengabaikan tidur. Rasulullah saw. mengatakan, "Demi Allah, aku ini orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi, aku berpuasa dan berbuka. Aku shalat dan tidur. Dan, aku mengawini wanita-wanita. Barangsiapa mengabaikan sunnahku maka dia bukan dari golonganku." (Mutafaq ‘alaih)

Cuma masalahnya, kecenderungan-kecenderungan untuk hidup santai sangat kuat. Tanpa memberikan peluang untuk bersantai pun, umumnya orang selalu tertarik untuk bermudah-mudah. Awalnya hanya selingan, tapi berlanjut menjadi kebiasaan. Ada contoh yang mudah. Seorang mukmin sangat wajar ketika mengisi malam-malamnya dengan qiyamul-lail atau shalat malam. Di saat kebanyakan orang tidur, ia justru menangkap suasana hening itu untuk berdekat-dekat dengan Allah swt. Ia curahkan segala beban kehidupan yang begitu berat kepada sebuah kekuatan yang Maha Segala-galanya.

Namun, karena sesuatu hal, ia butuh selingan. Salah satunya, dengan menonton sepak bola. Sesuatu yang mulanya selingan ini akan bermakna lain ketika bisa mengorbankan banyak hal. Bayangkan, jika seorang mukmin menghabiskan waktu tengah malamnya hanya untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Penyelenggaranya bukan mukmin, dan sebagian besar pemainnya pun orang kafir. Dan itu tidak satu malam. Tapi bisa berlanjut dan menjadi rutin.

Tanpa sadar, ada sesuatu yang bergeser. Dan sesuatu itu merupakan hal besar. Bahwa, kehidupan ini bukan untuk main-main dan santai. Melainkan ada misi besar. Itulah ibadah. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. 51:56)

Menjaga titik keseimbangan memang bukan perkara gampang. Orang bisa terpental dari titik ekstrim satu ke titik ekstrim lainnya. Dari berlebih-lebihan dalam keseriusan hidup kepada kehidupan yang sangat-sangat cair. Sedemikian cairnya hingga tak punya nilai sedikit pun. Baik nilai ukhrawi, maupun duniawi. Tidak ada pahala sebagai buah ibadah. Tidakjuga penghasilan sebagai hasil kerja. Itulah yang disebut laghwi, sebuah pekerjaan yang tidak punya nilai apa pun. Buat dunia, apalagi akhirat.

Ada dampak buat mereka yang terbudaya dengan laghwi. Dampak itu mengalir dalam jiwa. Pelan tapi pasti. Itulah kegelisahan dan kesedihan. Suatu hal yang justru sebelumnya ingin dikubur dalam bentuk santai dan bermudah-mudahan. Rasulullah saw. mengatakan, "Seorang yang kurang amalnya maka Allah akan menimpanya dengan kegelisahan dan kesedihan." (HR. Ahmad)

Kembali Kepada Al-Qur'an dan Sunnah

“Al-Quran dan Sunah yang suci merupakan rujukan setiap Muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam.” 
Al-Quran asalnya adalah bentuk mashdar dari kata kerja Qara-a. Allah Swt. berfirman,

Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan-nya itu (Al-Qiyamah: 18), seperti lafadz kufran dan rujhan. Ada-pun artinya adalah himpunan. Disebut Quran karena ia menghimpun dan memuat surat-surat.

Penggunaannya khusus untuk nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., sebagaimana nama Taurat untuk kitab yang diturunkan kepada Musa a.s. dan Injil untuk kitab yang diturunkan kepada Isa a.s.

Sebagian ulama berkata, “Al-Quran ini dinamakan Quran diantara kitab-kitab Allah yang lain, karena ia menghimpun buah kitab-kitab-Nya, bahkan menghimpun buah semua ilmu. Sebagaimana Allah Swt..berfirman,

Dan menjelaskan segala sesuatu (Yusuf: 111), dan firman-Nya, Untuk menjelaskan segala sesuatu (An-Nahl: 89). "

Para ulama mendefinisikan Al-Quran dengan berbagai definisi. Definisi paling lengkap adalah, Al-Quran merupakan firman Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad Saw., ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan suatu ibadah. Definisi ini telah menghimpun karakteristik terpenting Al-Quran yang menjadikannya istimewa, meskipun teristimewa juga dalam banyak hal selainnya.

Adapun Sunah, makna asalnya adalah cara dan perjalanan hidup. Termasuk menerangkan makna ini, sabda Nabi Saw., Barangsiapa menjalani suatu cara hidup yang bak dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya.

Dalam terminologi syariat, yang dimaksud Sunah adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Nabi Saw., baik dengan ucapan, perbuatan, maupun taqrir (penetapan) bagi hal-hal yang tidak tercantum dalam Al-Quran. Karena itu orang mengatakan bahwa dalil-dalil syariat adalah Alkitab dan Sunah, yakni Al-Quran dan Hadits.

Para ulama ushul fiqh mendefinisikan Sunah sebagai sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw. baik berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir (penetapan). Contoh yang berupa ucap-an adalah, Sesunguhnya segala amal perbuatan ditentukan oleh niat-nya. Contoh yang berupa perbuatan adalah hal-hal yang diriwayatkan oleh para sahabat mengenai tata rara ibadah dan lainnya. Sedangkan contoh taqrir adalah pengakuan beliau terhadap ijtihad para sahabat mengenai shalat asar pada perang bani Quraidhah dan pengakuan beliau terhadap Khalid bin Walid yang memakan biawak.

Al-Quran dan Sunah yang diterangkan dalam prinsip kedua ini sebagai rujukan setiap Muslim untuk mengetahui hukum-hukum Islam. Apa yang dimaksud dengan merujuk di sini? Bagaimana ia terjadi? Apa dalilnya?

Sebelum menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu kami akan menjelaskan makna bahasa dari lafadz marji’, definisi syar’i kata Muslim dan hukum yang diambil dari kedua sumber perundang-undangan, yakni Al-Quran dan Sunah.

Lafadz marji’ merupakan salah satu bentuk masdar raja’a. Hal ini telah dinukil oleh Sibawaih, berkenaan dengan masdar-masdar yang terbentuk dari kata kerja fa’ala yaf’alu mengikuti wazan maf’ilun. Marji’ berarti kembali ke asal atau memperkirakan permulaan, baik tempat, perbuatan, maupun ucapan. Kernbali dengan Dzat-Nya, dengan salah satu bagiannya atau salah satu perbuatannya. Sebagai contoh, firman Allah,

Hanya kepada Allah-lah marji’ (tempat kembali) (Al-Ma’idah: 48), artinya ruju’ukum (kembalimu).

Muslim ialah orang yang berserah diri, patuh, dan tunduk. Maksudnya adalah orang yang komitmen dengan Islam serta menyerahkan diri dan hatinya kepada Allah dalam segala hal. Allah berfirman,

Dan siapakah yang lebih haik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah sedang dia pun mengerjakan kebaikan (An-Nisa‘: 125).

Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semess alam. Tiada sekutu bap-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah." (Al-An’am: 162-163)

Tanpa ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah dalam keputusan hukumnya, tidak disebut Islam.

Maka demi Tuhanmu, mereka dada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa’:65)

Hukum Allah hanya diketahui dengan perantara wahyu jika itu disampaikan oleh Rasulullah Saw. yang jujur dan amanah.

Hukum-hukum syar’i adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah yang dijelaskan dalam kitab-Nya dan Sunah Rasul-Nya, baik yang tersurat maupun tersirat, berupa ijmak atau qiyas.

Setelah kami jelaskan makna marji’, Muslim, dan hukum secara ringkas, maka kami akan kembali menerangkan arti ruju’, bagaimana ia terjadi dan apa dalilnya.

1. Kembalinya Muslim kepada Al-Quran dan Sunnah untuk mengetahui hukum dan mengambil keputusan saat terjadi perselisihan, merupakan prinsip yang tidak bisa diperselisihkan di antara kaum Muslimin, namun kembali (ruju’) pelaksanaannya sebagai berikut:

  1. Kadang dilakukan secara langsung, yaitu dengan kembalinya seorang ulama yang ahli kepada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya untuk mengambil hukum secara langsung dari keduanya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Swt.,

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (An-Nisa‘: 59).

Para ulama mengatakan bahwa maknanya adalah kernbali kepada Al-Quran dan Sunah. Allah berfirman,

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keaman-an atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Sekiranya mereka menyerahkan kepada Rasul dan ulil amri di antara mere-ka, tentu orang-orang akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri) (An-Nisa: 83).

Orang alim yang kapabel, maksudnya adalah orang yang telah mencapai derajat nazhar (berpikir, mempertimbangkan).
  1. Tidak langsung, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai keahlian untuk mencermati Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, serta belum sampai kederajat pemahaman yang dapat membantunya mengambil hukum secara lang-sung. Ini hanya terjadi pada kalangan awam dari orang-orang buta huruf dan semisalnya. Perantara mereka kembali kepada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya untuk mengetahui hukum Allah dalam suatu persoalan adalah para ulama. Hal itu diambil dari firman Allah,

Maka bertanyalah kepada orang yang mern punyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43).

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Sebagaimana para sahabat telah sepakat akan hal itu. Dahulu orang-orang awam meminta fatwa kepada mereka, kemudian mereka pun menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan tidak ada seorang pun yang mengingkari. Orang yang awam tidak boleh meminta fatwa kecuali kepada orang yang menurut pertimbangan yang kuat, termasuk ahli takwa. Apabila di negeri itu terdapat beberapa orang mujtahid, maka ia boleh bertanya kepada siapa saja yang ia inginkan di antara mereka, tidak harus menanyakannya lagi kepada yang lebih tahu, sebab boleh bertanya kepada orang yang utama, meskipun ada yang lebih utama.

2. Kembali (ruju’) bukan berarti kembali kepada teks harfiah sebagaimana yang tersurat dalam Al-Quran dan Sunah saja, seperti persangkaan sebagian orang. Ruju’lebih umum dari itu, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di berbagai buku mereka. Ruju’ mencakup kembali kepada nash dalam Al-Quran dan Sunah, atau dengan sesuatu yang direko-mendasikan oleh nash dalam Al-Quran dan Sunah, yakni berpegang kepada ijmak, qiyas, istidlal, atau dengan sesuatu yang disempurnakan oleh kaidah-kaidah umum, yang telah ditunjukkan oleh nash. Semua itu termasuk kembali kepada Alkitab dan Sunah.

Al-Amidi (rahimahullah) saat menjelaskan dalil syar’i yang menjadi rujukan ulama untuk mengetahui hukum bagi masalah tersebut mengatakan bahwa dalil syar’i itu mungkin berasal dari Rasulullah Saw. Apabila demikian, ia tidak lepas dari dua kemungkinan, yaitu dari wahyu yang dibacakan atau bukan.

Jika ia termasuk wahyu yang dibacakan, maka itu disebut Alkitab, namun jika dari wahyu yang tidak dibacakan, maka itu disebut Sunah. Jika bukan dari Rasulullah Saw., maka ia tidak lepas dari dua kemungkinan: mungkin dari sesuatu yang sumbernya harus ma’shum, yang disebut ijmak, atau sesuatu yang tidak harus ma’shum. Apabila termasuk kate-gori sesuatu yang tidak harus ma‘shum, maka ia tidak lepas dari dua kemungkinan: mungkin bentuknya adalah sesua-tu yang diketahui kemudian dianalogikan dengan sesuatu yang telah lebih dahulu diketahui dan hukumnya berdasar-kan suatu hal yang menghimpun keduanya, atau bukan demikian. Apabila ia seperti yang pertama maka ia adalah qiyas, dan jika seperti yang kedua, itu disebut istidlal.

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa masing-masing jenis ini – bagi kami – merupakan dalil munculnya hukum syar’i. Adapun pokoknya tidak lain adalah Al-Quran, karena ia kembali kepada firman Allah Swt. yang menentukan hukum-hukum. Sunah menerangkan tentang firman Allah Swt. dan hukum-Nya. Sandaran dari ijmak kembali kepada keduanya. Adapun qiyas dan istidlal, intinya kembali kepada komitmen dengan apa yang dipahami dari nash atau ijmak. Nash dan ijmak merupakan pokok, sedangkan qiyas dan istidlal merupakan cabang yang mengikuti keduanya.

3. Kembali secara langsung kepada Al-Quran dan Sunah untuk mengetahui hukum yang benar dan memahami nash-nash dengan benar, tidakberlaku mutlak hagi semua ulama. Tidak setiap ulama mampu melakukan itu, mengingat kemampuan mereka juga berbeda-beda. Tidak semua ulama sama dalam memahami lafadz-lafadz Al-Quran, meskipun jelas keterangannya dan terperinci ayat-ayatnya. Perbedaan tingkat pemahaman merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan. Di samping itu, kesiapan ilmiah dan orientasi orang juga berbeda-beda. Hanya sedikit orang yang dapat memenuhi syarat-syarat pemahaman secara sempuma. Karena itu, di antara ulama tafsir yang tepercaya, pemahaman dan tafsirnya pun kita dapati tidak demikian. Bahkan kita dapati juga pad a salafusaleh dari kalangan tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Kalangan para sahabat pun ada orang-orang yang lebih layak untuk diambil pemahaman dan penafsirannya dibanding yang lain. Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki, Allah adalah Dzat yang mempunyai karunia yang besar.

Oleh karena itu, salah satu syarat yang asasi bagi orang yang hendak memikirkan kandungan Kitabullah untuk memahami nash-nashnya, mentadaburi ayat-ayatnya, dan menggali hukum-hukumnya adalahh dengan mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab dengan tidak mengada-ada dan tidak ceroboh.
Perlu diketahui bahwa sunatullah yang telah berlaku adalah setiap rasul diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya agar dapat berbicara dengan mereka secara baik. Allah berfirman,

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka (Ibrahim: 4).

Kitab suci yang diturunkan kepada rasul itu pun dengan bahasanya dan bahasa kaumnya. Jika bahasa Nabi Muham-mad Saw. adalah bahasa Arab, maka kitab suci yang diturunkan kepadanya juga dengan bahasa Arab. Dengan (bahasa Arab) itu pula Dzat yang menetapkan turunnya Al-Quran berfirman,

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya (Yusuf; 2).

Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad), agar kamu menjadi salah seorang di anta-ra orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu’ara’: 192-194), sehingga lafadz-lafadz Al-Quran itu pun berbahasa Arab.

Segi-segi makna dalam Al-Quran bersesuaian dengan segi-segi makna pada orang-orang Arab. Oleh sebab itu, pema-haman terhadap Al-Quran harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan segi-seginya. Hal ini merupakan asas yang dilalui oleh para pendahulu kita, diikuti oleh umat. Dipertegas juga oleh Asy-Syahid Al-Banna, yang memberikan kaidah dalam memahami Kitabullah saat ini, agar tidak tergelincir sebagaimana terjadi di masa-masa keterbukaan dan perkembangan Islam, masa kemalasan, kebekuan, dan kelesuan ilmiah yang menimpa umat Islam belakangan ini berupa simbol-simbol tasawuf, penafsiran-penafsiran fiqh, dan kedangkalan ilmiah, tidak mendalam. Berkenaan dengan hal ini, Mujahid, imam ahli tafsir berkata, “Tidaklah halal bagi sese-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir berbi-cara mengenai Kitabullah, bila ia tidak mengetahui bahasa Arab."

Apabila Anda telah mengetahui hal itu maka ketahuilah bahwa Al-Quran ada dua bagian: yang pertama, telah ada penafsiran dari orang yang dapat diakui tafsimya. Sedangkan yang kedua tidak demikian.

Bagian pertama ada tiga kemungkinan: mungkin diriwayat-kan dari Nabi Saw., dari para sahabat, atau dari tokoh-tokoh tabi’in.

Kemungkinan yang pertama perlu diteliti kesahihan sanadnya.

Kemungkinan kedua, penafsiran sahabat perlu diperhatikan. Jika menafsirkannya dari segi bahasa, maka mereka adalah ahli bahasa, sehingga tidak ada keraguan untuk dijadikan pegangan. Jika menafsirkannya dengan hal-hal yang disaksikannya, berupa sebab-sebab turunnya dan hal-hal lain yang menyertainya, ini juga tidak diragukan. Pada tataran ini, jika penafsiran-penafsiran sekelompok orang dari para sahabat bertentangan, namun dapat dikompromikan, itulah yang diha-rapkan. Namun jika tidak dapat, maka perkataan Ibnu Abbas-lah yang didahulukan. Sebab Nabi Saw. telah memberikan kabar gembira kepadanya akan hal itu saat beliau Saw. ber-sabda, Ya Allah, karuniakanlah dia kepahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.

Jika sulit dikompromikan, maka bagi yang memiliki kapasitas untuk berijtihad boleh mengambil mana saja yang ia kehendaki.

Adapun kemungkinan ketiga, yaitu penafsiran dari tokoh-tokoh tabi’in. Apabila mereka tidak menisbatkannya kepada Nabi Saw., maka – bagi pengkaji – hal-hal yang diperbolehkan dalam masalah terdahulu. Demikian pula di sini, dan yang paling tepat adalah ijtihad.

Kedua, bagian yang tidak ada riwayat dari para mufasir tentangnya. Ini sangat sedikit. Adapun cara memahaminya adalah memperhatikan mufrodat (kosakata) lafal-lafal dari bahasa Arab, maksud, dan penggunaannya sesuai dengan konteks kalimat.

Demikian itu karena poros pemahaman Al-Quran dalam hal yang tidak ada nash tentangnya didasarkan kepada kaidah-kaidah bahasa Arab, baik dilihat dari segi satuan-satuan lafal maupun susunannya dalam kalimat.

Dari segi satuan lafal (kosakata), terbagi menjadi tiga segi:
a. Dari segi makna yang ditetapkan dari kata-kata tunggal beserta sinonimnya, hal ini berkaitan dengan ilmu bahasa Arab.
b. Dari segi struktur dan bentuk-bentuk yang terdapat dalam kosakata kata yang menunjukkan berbagai makna. Inilah ilmu sharaf (tashrif).
c. Dari segi kembalinya kata bentukan kepada kata dasar, yaitu ilmu isytiqaq.

Atau dapat juga dari segi susunannya (morfologi), dapat dilihat dari empat segi:
a. Dengan mengetahui cara menyusun kata-kata menurut i’rab-nya dan mengimbanginya, jika dilihat dari kemampuannya mendatangkan makna asal, yaitu sesuatu yang ditunjuk oleh lafal yang disusun menurut letaknya (jabatan masing-masing kata dalam kalimat), dan ini berkaitan dengan ilmu nahwu.
b. Dengan memandang cara menyusun kata-kata dari segi makna yang diberikan, yakni yang menyertai makna asal, yang berbeda-beda sesuai situasinya dalam susunan para ahli balaghah. Inilah tugas ilmu ma’ani untuk memperlihatkan keindahannya.
c. Dengan memandang cara menyampaikan tujuan, sesuai dengan kejelasan dalil, hakikat, dan tujuannya; dengan melihat segi-segi hakikat dan majaznya, isti’arah (personifikasi) dan kinayah (perumpamaan), maupun tasybih (pemisalan)nya. Ini berkaitan dengan ilmu bayan.
d. Dengan memandang kefasihan lafal, makna, istihsan, dan yang mengimbanginya, ini berkaitan dengan ilmu badi’.

Itulah dasar-dasar yang perlu diperhatikan untuk memahami Kitabullah, baik dalam menafsirkan maupun menggali hukum-hukum syar’i aplikatifnya.

Apabila tidak berpegang pada dasar-dasar ini, orang yang hendak mengemukakan pandangannya mengenai Kitabullah akan terjerumus ke dalam takaluf dan ta’asuf yang secara syar’i diperingatkan dalam sabda Nabi Saw., Aku dan orang-orang yang saleh di antara umatku berlepas diri (jauh) dari takaluf (mengada-ada).

Takaluf adalah membebani diri dengan hal-hal yang berat (memperberat diri) dan menjatuhkan perkara yang berlawanan dengan adat. Karena itu takaluf juga dipakai untuk orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat

Membicarakan makna Al-Quran yang tidak ada nash tentangnya dan hanya berpegang pada pendapat tanpa bersandar kepada ilmu tentang bahasa Arab termasuk takaluf. Tentang hal ini Imam Syafi’i berkata, ”Orang yang tidak mengetahui hal ini dari bahasa orang Arab, padahal dengan bahasa Arab itulah Al-Quran dan Sunah diturunkan, kemudian memaksakan pendapatnya dalam ilmu bahasa Arab, berarti ia memaksakan sesuatu yang sebagiannya tidak ia ketahui. Barangsiapa memaksakan sesuatu yang tidak diketahui dan sesuatu yang belum dibuktikan oleh pengetahuannya, maka kesesuaiannya dengan kebenaran – jika memang sesuai – dari arah yang tidak diketahuinya adalah kesesuaian yang tidak terpuji.” Wallahu a’lam.

Kekeliruannya tidak ditoleransi bila ia berbicara tentang sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahui mana yang salah dan mana yang benar.

Imam Syathibi berkata, “Apa yang dikatakannya itu benar, sebab berbicara mengenai Al-Quran dan Sunah tanpa ilmu berarti takaluf. Padahal kita dilarang takaluf, ini termasuk dalam pengertian hadits, Hingga apabila tidak ada lagi orang yang berilmu, maka orang akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh.”Apabila mereka tidak menguasai bahasa Arab dan sebagai rujukannya dalam memahami Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya, maka ia akan merujuk kepada pemahaman ajam dan akalnya semata yang tidak berpegang kepada suatu dalil sehingga ia menyimpang dari kebenaran.

Masing-masing dari takaluf dan ta’asuf adakalanya terjadi dengan melemparkan sesuatu yang dimaksudkan dan diingin-kan oleh lafadz atau kalimat-kalimat Al-Quran kepada sesuatu yang tidak dimaksudkan dan tidak pula dikehendaki.

Hal inilah yang sering terjadi di kebanyakan kalangan ahli bid’ah. Mereka meyakini suatu mazhab yang bertentangan dengan kebenaran yang dianut oleh kelompok moderat, yang tidak pernah bersatu di atas kesesatan – seperti para pendahulu umat ini dan imam-imamnya. Mereka sengaja mengambil Al-Quran kemudian menafsirkannya sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Terkadang berdalil dengan ayat-ayat untuk mendukung mazhab mereka, padahal ayat-ayat terse-but tidak menunjukkan akan hal itu.

Pada saat yang lain mereka menakwilkan ayat-ayat yang berlawanan dengan mazhab mereka, sesuatu yang mereka gunakan untuk mengubah perkataan dari tempat-tempatnya, adalah sebagaimana yang dilakukan orang-orang Khawarij, Rafidhah, Jahmiyah, Qadariyah, Murji’ah, dan lain-lain. Misal-nya pembicaraan mereka tentang masalah asma’wa sifat, melihat Allah, Al-Quran, sebagai makhluk, dan sejenisnya.

Berbagai takaluf dan ta’asuf yang mereka lakukan terhadap nash-nash Al-Quran dan penafsirannya, sesuai dengan keya-kinan yang batil bagi masing-masing persoalan tersebut dan lainnya. Di antara pemutarbalikan makna Al-Quran dan seje-nisnya yang terburuk, penyebabnya adalah apa yang dikata-kan oleh para filosof, kaum Qaramithah, dan kaum Rafidhah, bahwa mereka telah menafsirkan Al-Quran dengan berbagai penafsiran yang membuat setiap orang berilmu tak habis pikir. Misalnya perkataan mereka tentang firman Allah,

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (Al-Masad: 1). Menurut mereka, yang dimaksud ayat ini adalah Abu Bakar dan Umar.

Kemudian tentang firman Allah,

Sesungguhnnya Allah berfi’rman bahwa sapi bet ina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah a pa yang diperintahkan kepadamu (Al-Baqarah: 68). Kata mereka, ia adalah Aisyah r.a.

Firman Allah,

‘Maka perangilah pemimpin orang-orang kafir itu’ (At-Taubah: 12). Kata mereka, yang dimaksud adalah Thalhah dan Zubair…. Masih banyak lagi khurafat sejenis yang berisi penafsiran lafadz dengan sesuatu yang tidak dimaksud sama sekali oleh-nya, karena lafadz-lafadz ini sama sekali tidak menunjuk tokoh-tokoh di atas.

Ketahuilah bahwa selamanya tidak boleh menafsirkan Al-Quran dengan semata-mata berdasar pada pendapat dan ijti-had, tanpa dasar ilmiah yang dapat dijadikan sandaran, karena firman-Nya Swt.,

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya (Al-Isra‘: 36).

Sesungguhnya setan it u banya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Al-Baqarah: 169)

Hal inilah yang mereka (para ulama) pahami dari sabda Nabi Saw., Barangsiapa berkata tentang Al-Quran fanpa ilmu, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka (HR. Baihaqi dari sebagian hadits Ibnu Abbas).

Barangsiapa berkata mengenai Kitabullah dengan pendapatnya sendiri kemudian tepat, maka ia telah bersalah. (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Turmudzi yang mengomentarinya sebagai hadits gharib dari hadits Jundub).

Agar seorang Muslim terbebas dari ancaman yang keras ini, maka ketika hendak mengemukakan pendapat mengenai Kitabullah dan membicarakan maknanya ia harus mendalami hal-hal berikut:
1. Ilmu bahasa Arab yang cukup untuk hal itu, berupa ilmu-ilmu yang telah kami jelaskan pada keterangan terdahulu.
2. Ilmu ushul fiqh untuk mengetahui batas segala sesuatu, bentuk-bentuk kalimat perintah, larangan, dan berita; mujmal dan mubayan; umum dan khusus; zahir dan mudhmar; muhkam dan mutasyabih; mu’awal, haqiqah dan majaz; sharih dan kinayah; mutlak dan muqayad.
3. Ilmu-ilmu AI-Quran, nasih dan mansuh, sebab-sebab turunnya ayat, makna-makna gharibul quran, dan sebagainya.
4. Ilmu-ilmu pendukung lainnya yang dapat dipergunakan untuk mengetahui istidlal dan istimbat.

Demikian minimal ilmu yang diperlukan. Meskipun masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Karena itu hendaknya hanya mengatakan bahwa ayat ini kemungkinan begini, dan tidak boleh memastikannya, kecuali mengenai suatu hukum yang terpaksa harus diputuskan fatwa tentangnya. Dalam hal ini ia boleh memastikan untuk tetap memperbolehkan penda-pat yang bertentangan dengannya di sisi Allah.

Kemudian, dalam memahami Sunah hendaknya dikembalikan kepada tokoh-tokoh ahli hadits yang dapat dipercaya.

Hal ini karena keseluruhan Al-Quran, lafadznya mutawatir. Adapun Sunah nabawiah, sangat sedikit yang mutawatir lafadznya. Atas dasar itu dilakukanlah sejumlah penelitian untuk mencapai hadits yang dapat diterima pemahaman hukum-hukum syar’inya. Para ulama bekerja sama untuk menjelaskannya dalam sebuah ilmu yang telah mereka bukukan, disebut ilmu riwayah wa dirayah. Sebuah ilmu yang sangat luas dan harus dipahami secara baik oleh setiap orang yang hendak mengkaji Sunah Rasulullah. Agar dengan perantaraan-nya ia dapat mencapai nash-nash nabawi dan dapat dijadikan pegangan untuk menjadi dasar serta dalil atas hukum-hukum syar’i.

Adapun yang dimaksud, kembali kepada tokoh-tokoh ahli hadits yang dapat dipercaya adalah kembali kepada kitab-kitab tepercaya mereka, yang membicarakan tentang sumber yang satu ini. Melalui kitab-kitab mereka itulah, seorang Mus-lim dapat mengenali kesahihan hadits dan orang-orang yang ahli dalam bidang jarh wa ta’dil (menentukan cacat dan tidak-nya seorang rawi hadits).

Para ulama Islam telah menghimpun hadits-hadits sahih dalam kitab-kitab khusus, sebagaimana mereka telah menjelaskan hadits-hadits yang palsu dan hadits-hadits dhaif dalam kitab-kitab yang lain. Dengan menelaah kitab-kitab ter-sebut, berikut ketetapan para ulama hadits berkenaan dengan status hadits yang ada di dalamnya, berupa hadits sahih, dhaif, maupun maudhu’, maka seorang Muslim dapat mengetahui hadits-hadits tepercaya yang dapat diamalkan. Di antara buku-buku kumpulan hadits yang tepercaya dan terpenting adalah kitab-kitab induk yang enam, (sesuai urutan yang terpenting) adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Jami’Turmudzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Nasa’i. Demikian pula Muwatha’Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, dan kitab-kitab ter-kenal lainnya. Adapun yang paling sempurna di antara semua itu adalah Sahih Bukhari, sebuah kitab paling sahih yang telah disepakati oleh ahli ilmu sesudah Kitabullah, kemudian selanjutnya Shahih Muslim.

Ketika berkaitan dengan Sunah disyaratkan juga mengetahui bahasa Arab. Bahkan bahasa Arab merupakan salah satu alat untuk memahami Sunah Rasulullah Saw., karena ia diucapkan oleh orang Arab yang paling fasih dan balig, yaitu Muhammad bin Abdullah Saw. la menjelaskan Kitabullah yang diturunkan dengan bahasa Arab yang nyata.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap bahasa Arab termasuk hal-hal yang asasi untuk memahami Sunah nabawiah. Segala yang diperlukan untuk memahami nash-nash Al-Quran, juga diperlukan untuk memahami Sunah Rasulullah Saw. Hal itu seperti ilmu ushul fiqih dan cabang-cabangnya. Oleh sebab itu, semua harus dikuasai.

Akhirnya, para pendahulu umat ini merasa perlu ada beberapa ilmu yang dibukukan, karena ia bagai kunci untuk mema-hami Kitabullah dan Sunah Rasulullah Saw. Karena itu, ia menjadi wajib bagi pengkaji Kitabullah dan Sunah Rasulullah Saw. untuk mengetahui dan memahaminya dengan baik sesuai dengan kaidah, sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya maka ia adalah w ajib. Ilmu-ilmu tersebut adalah:

1. Ilmu-ilmu Al-Quran.
2. Ilmu-ilmu hadits, dirayah, dan riwayah.
3. Ilmu-ilmu bahasa Arab dan metode berbicara yang ada di dalamnya.
4. Ilmu ushul fiqih.

Karena itu seorang Muslim yang hendak mengkaji Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya harus memahami ilmu-ilmu tersebut dengan baik, agar pemahamannya terhadap Al-Quran dan Sunah menjadi lurus dan mampu menggali hukum-hukum syar’i dari keduanya. Wallahul-Muwaffiq.