Jumat, 15 April 2011

Kematian Itu Indah

Ada sebuah perbincangan yang menarik antara seorang ustadz dengan jamaah pengajiannya. Sang Ustadz bertanya kepada jamaahnya “Ibu-Ibu mau masuk surga?” Serempak ibu-ibu menjawab “mauuuu….” Sang ustadz kembali bertanya “Ibu-ibu ingin mati hari ini tidak?”. Tak ada satupun yang menjawab. Rupanya tidak ada satupun yang kepengen mati. Dengan tersenyum ustadz tersebut berkata “Lha gimana mau masuk surga kalo gak mati-mati”.

ustadz itu meneruskan pertanyaannya “Ibu-ibu mau saya doakan panjang umur?” Dengan semangat ibu-ibu menjawab “mauuu….” Pak Ustadz kembali bertanya “Berapa lama ibu-ibu mau hidup? Seratus tahun? Dua ratus atau bahkan seribu tahun? Orang yang berumur 80 tahun saja sudah kelihatan tergopoh-gopoh apalagi yang berumur ratusan tahun”.

Rupanya pertanyaan tadi tidak selesai sampai disitu. Sang ustadz masih terus bertanya “Ibu-ibu cinta dengan Allah tidak” Jawabannya bisa ditebak. Ibu-ibu serempak menjawab iya. Sang ustadz kemudian berkata “Biasanya kalo orang jatuh cinta, dia selalu rindu untuk berjumpa dengan kekasihnya, Apakah ibu-ibu sudah rindu ingin bertemu Allah?” Hening. Tidak ada yang menjawab.

Kebanyakan dari kita ngeri membicarakan tentang kematian. Jangankan membicarakan, membayangkannya saja kita tidak berani. Jawabannya adalah karena kita tidak siap menghadapi peristiwa setelah kematian. Padahal, siap tidak siap kita pasti akan menjalaninya. Siap tidak siap kematian pasti akan datang menjemput. Daripada selalu berdalih tidak siap lebih baik mulai dari sekarang kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.

Persiapan terbaik adalah dengan selalu mengingat mati. Yakinkan pada diri kita bahwa kematian adalah pintu menuju Allah. Kematian adalah jalan menuju tempat yang indah, surga. Dengan selalu mengingat mati kita akan selalu berusaha agar setiap tindakan yang kita lakukan merupakan langkah-langkah menuju surga yang penuh kenikmatan.

Hakekat kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan kembali menuju Allah. Dalam perjalanan yang singkat ini ada yang kembali dengan selamat, namun ada yang tersesat di neraka. Kita terlalu disibukkan oleh dunia hingga merasa bahwa dunia inilah kehidupan yang sebenarnya. Kita seakan lupa bahwa hidup ini hanya sekedar mampir untuk mencari bekal pulang. Kemilaunya keindahan dunia membuat kita terlena untuk menapaki jalan pulang.

Rasulullah pernah berkata orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati. Dengan kata lain orang yang paling cerdas adalah orang yang mempunyai visi jauh ke depan. Dengan selalu mengingat visi atau tujuan hidupnya ia akan selalu bergairah melangkah ke depan. Visi seorang muslim tidak hanya dibatasi oleh kehidupan di dunia ini saja namun lebih dari itu, visinya jauh melintasi batas kehidupan di dunia. Visi seorang muslim adalah kembali dan berjumpa dengan Allah. Baginya saat-saat kematian adalah saat-saat yang indah karena sebentar lagi akan berjumpa dengan sang kekasih yang selama ini dirindukan.

Terkadang kita takut mati karena kematian akan memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai. Orang tua, saudara, suami/istri, anak. Ini menandakan kita lebih mencintai mereka ketimbang Allah. Jika kita benar-benar cinta kepada Allah maka kematian ibarat sebuah undangan mesra dari Allah.

Namun begitu kita tidak boleh meminta untuk mati. Mati sia-sia dan tanpa alasan yang jelas justru akan menjauhkan kita dari Allah. Mati bunuh diri adalah wujud keputusasaan atas kasih sayang Allah. Ingin segera mati karena kesulitan dunia menandakan kita ingin lari dari kenyataan hidup. Mati yang baik adalah mati dalam usaha menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Mati dalam usaha mewujudkan cita-cita terbesar yakni perdamaian dan kesejahteraan umat manusia.

Akhirnya orang yang selamat adalah orang yang menyadari bahwa semua harta dan kekuasaan adalah sarana untuk bisa kembali kepada Allah. Jasadnya mungkin bersimbah keluh berkuah keringat, banting tulang menundukkan dunia namun hatinya tetap hanya terpaut pada sang kekasih  Allah SWT. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa kerja keras, berfikir cerdas dan berhati ikhlas.

Duhai Pemilik dunia, ajarkan kami untuk menundukkan dunia, bukan kami yang tunduk kepada dunia. Bila kilauan dunia menyilaukan pandangan kami, bila taburan permata dunia mendebarkan hati kami, ingatkan kami ya Allah. Ingatkan bahwa keridhoan-Mu dan kasih sayang-Mu lebih besar dari pada sekedar dunia yang pasti akan kami tinggalkan. Amin.

Renungan Islam

Assaalamualaikum,

Nabi bersabda: " Malaikat Jibril selalu memberitahuku 7 hal setiap kali menyampaikan firman Allah sehingga 7 hal tersebut kuanggap sangat penting atau hampir wajib."
  1. Berbuat baik pada tetangga
  2. Jangan sekali-kali menceraikan istri (rawatlah wanita secara baik)
  3. Jangan terlalu kerasi dengan budak atau buruh
  4. Jangan lupa bersiwak (membersihkan mulut)--- sholat 2 rakaat dengan bersiwak lebih besar pahalanay daripada shalat 70 rakaat tanpa bersiwak terlebih dulu---
  5. Jangan lupa shalat berjamaah--Nabi beranggapan bahwa shalat tidak sah jika tidak berjamaah---
  6. Selalu shalat malam
  7. Selalu berzikir kepada Allah---tidak bermanfaat suatu pembicaraan jika tidak dibarengi dengan dzikir (ingat) kepada Allah---

Nabi bersabda: " Allah menyukai seseorang orang karena 3 perkara."
  1. Orang yang punya kekuatan/kekuasaan yang dgunakan untuk taat kepada Allah. Misalnya  waktu kita masih sehat, memiliki waktu luang seabiknya dimanfaatkan untuk beribadah.
  2. Orang yang menangis dan menyesal setelah berbuat maksiat.
  3. Orang yang sabar ketika miskin ---orang miskin itu memiliki 3 perhiasan : tidak minta-minta (bekerja sendiri), syukur saat mendapat nikmat, sabar saat tertimpa musibah.--- * Nabi mengatakan: Bingkisan yang paling berharga bagi orang mukmin adalah fakir.--orang fakir yang sabar akan masuk surga dengan lebih mudah dan ketika di surga akan bersanding dengan Nabi Besar Muhammad saw.--

Nabi bersabda: " Nanti di hari kiamat Allah tidak akan melihat (kasihan) terhadap 7 orang (golongan). Mereka akan dimasukkan ke neraka."
  1. Orang yang suka sesama jenis---seperti kaum Nabi Luth---
  2. Orang yang menikah dengan tangannya sendiri---berbuat sendiri untuk mendapat kepuasan---
  3. Orang yang mengumpuli kuda
  4. Orang yang mengumpuli istrinya lewat jalan belakang
  5. Orang yang mengumpuli anaknya sendiri
  6. Orang yang mengumpuli istri orang lain
  7. Orang yang menyakiti tetangganya.

Nabi bersabda: " Aku melaknati terhadap 6 golongan."
  1. Orang yang menambah- nambah kitab Allah
  2. Orang yang tidak percaya terhadap kepastian Allah
  3. Raja / penguasa yang berbuat sewenag-wenang---yang salah dibuat benar, yang benar disalahkan atau yang mengangkat orang yanng dicela Allah (korupsi dan koluso)---
  4. Orang yang menghalalkan barang di tanah Haram (Mekah)
  5. Orang yang menghalalalkan yang diharamkan Allah
  6. Orang yang berpaling dari jalannya Nabi Muhammad.

Anakku...

Nak, jauh sebelum kau hadir dalam kehidupan ayah dan bunda, kami senantiasa bermohon kepada Allah Swt agar dikaruniai keturunan yang sholeh dan sholihah, yang taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, rajin beribadah dan belajar, serta dapat menjadi penerus dakwah Ilallaah.

Banyak rencana yang kami rancang, agar kelak bila kau hadir, kami sudah siap menjadi orang tua yang baik dan mampu mendidikmu dengan didikan yang sesuai dengan dinnul Islam, tuntunan kita seperti yang dicontohkan oleh Rosulullah Saw kepada kita.

Ayah dan Bunda ingin, kelak bila Allah mengamanahkan kepada kami seorang putri, maka dia akan berakhlaq seperti akhlaqnya Fatimah putri Rasulullah, dan bila Allah mengamanahkan seorang putra, maka dia akan seperti Ali.


Setelah tanda kehadiranmu mulai tampak, Bunda sering mual, muntah-muntah, sakit kepala dan sering mau pingsan, Bunda dan Ayah bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya, kami menjagamu sepenuh hati, serta senantiasa berharap, kelak kau lahir sebagai anak yang sehat, sempurna dan menyenangkan.

Sejak dalam rahim, kami mencoba menanamkan kalimat-kalimat tauhid kepadamu dan berupaya mengenalkanmu kepada Sang Pencipta, dengan bacaan ayat-ayat suci-Nya, dengan senandung-senandung shalawat Nabi, dengan nasyid-nasyid yang membangkitkan semangat da’wah dan rasa keimanan kepada Allah yang Esa.

Saat kau akan lahir, Bunda merasakan sakit yang amat sangat, seolah berada antara hidup dan mati, namun Bunda tidak mengeluh dan putus asa, karena bayangan kehadiranmu lebih Bunda rindukan dibanding dengan rasa sakit yang Bunda rasakan. Bunda tak henti-hentinya berdo’ a, memohon ampunan dan kekuatan kepada Allah. Ayah pun tidak tidur beberapa malam untuk memastikan kehadiranmu, menemani dan menguatkan Bunda, agar sanggup melahirkanmu dengan sempurna. Bacaan dzikir dan istighfar, mengiringi kelahiranmu.

Begitu kau lahir, sungguh rasa sakit yang amat sangat sudah terlupakan begitu saja. Setelah tangismu terdengar, seolah kebahagiaan hari itu hanya milik Bunda dan Ayah. Air mata yang tadinya hampir tak henti mengalir karena menahan sakit, berganti menjadi senyum bahagia menyambut kelahiranmu. Bunda dan Ayah bersyukur kepada Allah Swt, kemudian Ayah melantunkan bacaan adzan dan iqomat ditelingamu, agar kalimat yang pertama kali kau dengar adalah kalimat Tauhid yang harus kau yakini dan kau taati selama hidupmu.

Saat pertama kali kau isap air susu Bunda, Bunda merasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada tara. Bunda ingin memberikan semuanya kepadamu, agar kau segera tumbuh besar dan sehat. Bunda berupaya supaya ASI ini dapat mencukupi kebutuhanmu. Bunda berupaya untuk selalu dekat denganmu, dan selalu mengajakmu kemanapun Bunda pergi, supaya kapanpun kau lapar, Bunda selalu siaga memberikan air surgawi karunia Ilahi itu kepadamu.

Bunda berusaha untuk selalu siap siaga menjagamu, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Saat malam sedang tidur lelap, Bunda akan terjaga bila kau tiba-tiba menangis karena popokmu basah atau karena kau lapar. Saat sedang makan dan kau buang air besar, Bunda dengan rela menghentikan makan dan mengganti popokmu dulu. Dan semuanya, Bunda lakukan dengan senang hati, tanpa rasa risih dan jijik.

Sejak kau masih dalam ayunan, Bunda senantiasa membacakan do'a dalam setiap kegiatan yang akan kau lakukan. Bunda bacakan do'a mau makan ketika kau hendak makan, do’a mau tidur ketika kau mau tidur, dan do’a apa saja yang harus kau tahu dan kau amalkan dalam kehidupan keseharianmu. Bunda bacakan selalu ayat kursi dan surat-surat pendek satu persatu setiap malam, dikala mengantarmu tidur, ayat-per ayat dan Bunda ulang berkali-kali hingga kau sanggup mengingatnya dengan baik, dengan harapan kau besar nanti menjadi penghafal Al Qu’ran.

Bunda dan Ayah ingin, kau menjadi anak yang faqih dalam hal agama, menjadi generasi Qur’ani, dan menjadi penerus dakwah Ilallaah.

Inilah harapan Bunda dan Ayah kepadamu, sangat banyak dan sangat ideal. Oleh karenanya, kami senantiasa memohon petunjuk dan bimbingan dari Allah Yang Esa, yang Berkuasa dan Maha Agung, agar tidak salah langkah dalam mendidikmu.

Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wadzurriyaatinaa qurrota a'yun waj’alnaa lilmuttaqiina imaaman. Amiin

   

Ijinkan Aku Menciummu Ibu...

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku dipaksa membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang
mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi doa di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku
yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

Setan Takkan Membiarkanmu QiyamulLail

Seseorang lupa tempat penyimpanan hartanya, kemudian datanglah ia ke pada abu Hanifah rahimahullah, lalu abu hanifah bertanya kepadanya,'ini bukan persoalan fiqih yang harus aku jawab. sebaiknya engkau pergi dan kerjakan QiyamulLail hingga pagi, niscaya engkau akan ingat kembali dimana harta itu engkau sembunyikan'.

Orang itu lalu mengerjakan QiyamulLail, dan sebelum seperempat malam ia teringat kembali tempat penyimpanan hartanya, sehingga datanglah kembali ia ke tempat Abu Hanifah. Abu Hanifah berkata,'Aku tahu bahwa setan tak kan membiarkanmu berQiyamulLail. Celaka engkau,teruskan Qiyamullailmu sebagai bentuk syukurmu kepada Allah'

Maafkan Aku Bila Aku Mengeluh

Hari ini, di sebuah bus, aku melihat seorang remaja tampan dengan rambut sedikit ikal. Aku iri melihatnya. Dia tampak begitu ceria, dan aku sangat ingin memiliki gairah hidup yang sama. Tiba-tiba dia terhuyung-huyung berjalan. Dia mempunyai satu kaki saja, dan memakai tongkat kayu. Namun ketika dia lewat .... ia tersenyum. Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua kaki. Dunia ini milikku.

Aku berhenti untuk membeli sedikit kue. Anak laki-laki penjualnya begitu mempesona. Aku berbicara padanya. Dia tampak begitu gembira. Seandainya aku terlambat sampai di kantor, tidaklah apa-apa. Ketika aku pergi, dia berkata, 'Terima kasih. Engkau sudah begitu baik.
Menyenangkan berbicara dengan orang sepertimu. Lihatlah, aku buta.' Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua mata. Dunia ini milikku.

Lalu, sementara berjalan. Aku melihat seorang anak mirip bule dengan bola mata biru. Dia berdiri dan melihat teman-temannya bermain sepak bola. Dia tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Aku berhenti sejenak, lalu berkata, 'Mengapa engkau tidak bermain dengan yang lain, Nak ?' Dia memandang ke depan tanpa bersuara, lalu aku tahu dia tidak bisa mendengar. Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua telinga. Dunia ini milikku.

Dengan dua kaki untuk membawaku ke mana aku mau. Dengan dua mata untuk memandang mentari dan bukit-bukit. Dengan dua telinga untuk mendengar desir angin dan segala bunyi.
Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh.

Diantara Dua Tangis


Detik waktu bersama kelahiran seorang bayi dihiasi tangisan .Nyaring berkumandang menghiasi telinga si IBU. Merakah tersenyum hatinya gembira penawar sakit dan lesu serta berjuang dengan Maut. Lalu mulailah sebuah kehidupan yang baru didunia dengan sebuat resiko pahit dan kejamnya kehidupan ini, bercucurkan darah dan tetes air mata.

Air mata adakalanya penyubur hati, penawar duka. Adakalanya buih Kekecewaan yang menhimpit perasaan dan kehidupan ini. Air mata seorang manusia hanyalah umpama air kotor diperlimpahan. Namun setetes air mata kerana takut kepada ALLAH persis permata indahnya gemerlapan terpancar dari segala arah dan penjuru. Penghuni Syurga ialah mereka yang banyak mencucurkan air mata Demi ALLAH  dan Rasulnya bukan semata karena harta dan kedudukan.

Pencinta dunia menangis kerana dunia yang hilang. Perindu akhirat menangis kerana dunia yang datang.
Alangkah sempitnya kuburku, keluh seorang batil, Alangkah sedikitnya hartaku, kesal si hartawan (pemuja dunia).

Dari mata yang mengitai setiap kemewahan yang mulus penuh rakus, mengalirlah air kecewa kegagalan. Dari mata yang redup merenung Hari Akhirat yang dirasakan dekat, mengalirkan air mata insaf mengharap kemenangan, serta rindu akan RasulNya.

"Penghuni Syurga itulah orang-orang yang menang." (al- Hasr: 20) 

Tangis adalah basahan hidup,justeru:Hidup dimulakan dengan tangis, Dicela oleh tangis dan diakhiri dengan tangis.Manusia sentiasa dalam dua tangisan.   Sabda Rasulullah s.a.w. "Ada dua titisan yang ALLAH cintai, pertama titisan darah para Syuhada dan titisan air mata yang jatuh kerana takutkan ALLAH."
 
Nabi Muhammad bersabda lagi : "Tangisan seorang pendosa lebih ALLAH cintai daripada tasbih para wali."
 
Oleh karena itu berhati-hatilah dalam tangisan, kerana ada tangisan yang akan mengakibatkan diri menangis lebih lama dan ada tangisan yang membawa bahagia untuk selama-lamanya. Seorang pendosa yang menangis kerana dosa adalah lebih baik daripada Abid yang berangan-angan tentang Syurga mana kelak ia akan bertakhta. 

Nabi bersabda : "Kejahatan yang diiringi oleh rasa sedih, lebih ALLAH sukai dari satu kebaikan yang menimbulkan rasa takbur."
 
Ketawa yang berlebihan tanda lalai dan kejahilan. Ketawa seorang ulamak dunia hilang ilmu, hilang wibawanya. Ketawa seorang jahil, semakin keras hati dan perasaannya. 

Nabi Muhammad bersabda : "Jika kamu tahu apa yang aku tahu nescaya kamu banyak menangis dan sedikit ketawa."
 
Seorang Hukama pernah bersyair : "Aku heran dan terperanjat,melihat orang ketawa kerana perkara-perkara yang akan menyusahkan,lebih banyak daripada perkara yang menyenangkan."
 
Salafussoleh menangis walaupun banyak beramal,takut-takut tidak Diterima ibadatnya, kita ketawa walaupun sedar diri kosong daripada amalan. 

Lupakah kita
Nabi pernah bersabda : "Siapa yang berbuat dosa dalam ketawa, akan dicampakkan ke neraka dalam keadaan menangis."
 
Kita gembira jika apa yang kita idamkan tercapai. Kita menangis kalau Yang kita cita-citakan terabai. Nikmat disambut ria, kedukaan menjemput duka. 

Namun,Allah s.a.w. telah berfirman : " Boleh jadi kamu membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagimu,dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu,pada hal ianya amat buruk bagimu. ALLAH mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui." (AL BAQARAH : 216) 

Bukankah Nabi pernah bersabda: "Neraka dipagari nikmat, syurga dipagari bala."
 
Menangislah wahai diri, agar senyumanmu banyak di kemudian hari. Kerana engkau belum tahu, nasibmu dihizab kanan atau hizab kiri.Di sana, lembaran sejarahmu dibuka satu persatu, menyemarakkan rasa malu berabad-abad lamanya bergantung kepada syafaat Rasulullah yang dikasihi Tuhan. Kenangilah, sungai-sungai yang mengalir itu banjiran air mata Nabi Adam yang menangis bertaubat, maka suburlah dan sejahteralah bumi kerana terangkatnya taubat. Menangislah seperti Saidina Umar yang selalu memukul dirinya dengan berkata: 

"Kalau semua masuk ke dalam syurga kecuali seorang, aku takut akulah orangitu."
Menangislah sebagaimana Ummu Sulaim apabila ditanya : "Kenapa engkau menangis?" "Aku tidak mempunyai anak lagi untuk saya kirimkan ke medan Perang," jawabnya. 

Menangislah sebagaimana Ghazwan yang tidak sengaja terpandang wanita rupawan. Diharamkan matanya dari memandang ke langit seumur hidup,lalu berkata : "Sesungguhnya engkau mencari kesusahan dengan pandangan itu." 

Ibnu Masud r.a.berkata : "Seorang yang mengerti al Quran dikenali waktu malam ketika orang lain tidur,dan waktu siangnya ketika orang lain tidak berpuasa, sedihnya ketika orang lain sedang gembira dan tangisnya di waktu orang lain tertawa. Diamnya di waktu orang lain berbicara, khusuknya di waktu orang lain berbangga, seharusnya orang yang mengerti al Quran itu tenang,lunak dan tidak boleh menjadi seorang yang keras, kejam, lalai, bersuara keras dan marah. 

Tanyailah orang-orang soleh mengapa dia tidak berhibur : "Bagaimana hendak bergembira sedangkan mati itu di belakang kami,kubur di hadapan kami,kiamat itu janjian kami, neraka itu memburu kami dan perhentian kami ialah ALLAH." 

Menangislah di sini, sebelum menangis di sana!!!.............
 
Wallahu a'lam...

Hati Ibarat Rumah

Ada tiga macam rumah, Pertama Rumah raja, di dalamnya ada simpanannya, tabungannya serta perhiasannya. Kedua Rumah hamba, di dalamnya ada simpanan, tabungan dan perhiasan yang tidak seperti yang dimiliki seorang raja. Dan ketiga adalah Rumah kosong, tidak ada isinya.


Jika datang seorang pencuri, rumah mana yang akan dimasukinya?


Apabila anda menjawab, ia akan masuk rumah yang kosong, tentu suatu hal yang tidak masuk akal, karena rumah kosong tidak ada barang yang bisa dicurinya.


Karena itulah dikatakan kepada Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, bahwa ada orang-orang Yahudi mengklaim bahwa di dalam shalat, mereka 'tidak pernah terganggu', Maka Ibnu Abbas berkata: "Apakah yang bisa dikerjakan oleh syetan dalam rumah yang sudah rusak?"


Bila jawaban anda adalah: "Pencuri itu akan masuk rumah raja." Hal tersebut bagaikan sesuatu yang hampir mustahil, karena tentunya rumah raja dijaga oleh penjaga dan tentara, sehingga pencuri tidak bisa mendekatinya.


Bagaimana mungkin pencuri tersebut mendekatinya sementara para penjaga dan tentara senantiasa siap siaga di sekitar raja?


Sekarang tinggal rumah ketiga, maka hendaklah orang-orang berakal memperhatikan permisalan ini sebaik-baiknya, dan menganalogikannya (rumah) dengan hati, karena inilah yang dimaksudkannya.


Hati yang kosong dari kebajikan, yaitu hati orang-orang kafir dan munafik, adalah rumah setan, yang telah menjadikannya sebagai benteng bagi dirinya dan sebagai tempat tinggalnya. Maka adakah rangsangan untuk mencuri dari rumah itu sementara yang ada didalamnya hanyalah peninggalan setan, simpanannya dan gangguannya? (rumah ketiga). 


Hati yang telah dipenuhi dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa ta'ala dan keagungan-Nya, penuh dengan kecintaanNya dan senantiasa dalam penjagaan-Nya dan selalu malu darinya, Syetan mana yang berani memasuki hati ini? Bila ada yang ingin mencuri sesuatu darinya, apa yang akan dicurinya? (rumah pertama)
 
Hati yang di dalamnya ada tauhid Allah, mengerti tentang Allah, mencintaiNya, dan beriman kepadaNya, serta membenarkan janjiNya, Namun di dalamnya ada pula syahwat, sifat-sifat buruk, hawa nafsu dan tabiat tidak baik. Hati ini ada diantara dua hal. Kadang hatinya cenderung kepada keimanan, ma'rifah dan kecintaan kepada Allah semata, dan kadang condong kepada panggilan syetan, hawa nafsu dan tabiat tercela.(rumah kedua) 


Hati semacam inilah yang dicari oleh syetan dan diinginkannya. Dan Allah memberikan pertolongan-Nya kepada yang dikehendakiNya. "Dan kemenanganmu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi maha bijaksana." (Ali Imran:126)


Syetan tidak bisa mengganggunya kecuali dengan senjata yang dimilikinya, yang dengannya ia masuk dalam hati. Di dalam hati seperti ini syetan mendapati senjata-senjatanya yang berupa syahwat, syubhat, khayalan-khayalan dan angan-angan dusta yang berada di dalam hati.


Saat memasukinya, syetan mendapati senjata-senjata tersebut dan mengambilnya serta menjadikannya menetap di hati. Apabila seorang hamba mempunyai benteng keimanan yang mengimbangi serangan tersebut, dan kekuatannya melebihi kekuatan penyerangnya, maka ia akan mampu mengalahkan syetan. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata.

Bila Al-Qur'an Bisa Bicara !

Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku
Dengan wudu' aku kau sentuh dalam keadaan suci
Aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari
Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari
Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra


Sekarang engkau telah dewasa...
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku...
Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah...
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu
Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?

Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya 
Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu
Kadangkala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa 
Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan 
Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dalam kesepian 
Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.


Dulu...pagi-pagi...surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman
Sore harinya aku kau baca beramai-ramai bersama temanmu di surau.....


Sekarang... pagi-pagi sambil minum kopi...engkau baca Koran pagi atau nonton berita TV
Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia 
Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa.
Engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan...


Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surahku (Basmalah)
Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi
Tidak ada kaset yang berisi ayat Alloh yang terdapat padaku di laci mobilmu
Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu
Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku


Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja
Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu
Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun
E-mail temanmu yang ada ayat-ayatkupun kadang kau abaikan
Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu


Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku
Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV
Menonton pertandingan Liga Italia , musik atau Film dan Sinetron laga
Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk
Hanya sekedar membaca berita murahan dan gambar sampah


Waktupun cepat berlalu...aku menjadi semakin kusam dalam lemari
Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu
Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali
Itupun hanya beberapa lembar dariku
Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu
Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.


Apakah Koran, TV, radio , komputer, dapat memberimu pertolongan ? Bila
engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba Engkau akan
diperiksa oleh para malaikat suruhanNya 
Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selamat melaluinya.


Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu...
Setiap saat berlalu...kuranglah jatah umurmu...
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu
Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu.


Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati...
Di kuburmu nanti....
Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan
Yang akan membantu engkau membela diri
Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu Dari perjalanan di alam akhirat
Tapi Akulah "Qur'an" kitab sucimu
Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu


Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari
Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci
Yang berasal dari Alloh, Tuhan Yang Maha Mengetahui 
Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.


Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu...
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu
Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu
Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu


Sentuhilah aku kembali...
Baca dan pelajari lagi aku....
Setiap datangnya pagi dan sore hari
Seperti dulu....dulu sekali...
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos...
Di surau kecil kampungmu yang damai
Jangan aku engkau biarkan sendiri....
Dalam bisu dan sepi....
Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Sebutir Pasir

Penakluk pertama Mount Everest, puncak tertinggi dunia di  Pegunungan Himalaya, Sir Edmund Hillary, pernah  ditanya  wartawan apa yang paling ditakutinya dalam  menjelajah alam. Dia lalu mengaku tidak takut pada binatang buas, jurang yang  curam, bongkahan es raksasa, atau padang pasir yang  luas dan  gersang sekali pun!  Lantas apa? "Sebutir pasir yang terselip di  sela-sela jari  kaki," kata Hillary. Wartawan heran, tetapi sang penjelajah  melanjutkan kata-katanya, "Sebutir pasir yang masuk  di sela-sela jari kaki sering sekali menjadi awal  malapetaka. Ia bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama-lama  jari kaki terkena infeksi, lalu membusuk. Tanpa sadar, kaki pun tak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi  seorang penjelajah sebab dia harus ditandu." Harimau, buaya, dan beruang, meski buas, adalah  binatang yang secara naluriah takut menghadapi manusia. Sedang  menghadapi  jurang yang dalam dan ganasnya padang pasir, seorang  penjelajah sudah punya persiapan memadai. Tetapi, jika  menghadapi sebutir pasir yang akan masuk ke jari kaki, seorang penjelajah tak mempersiapkannya. Dia cenderung mengabaikannya.  
 
Apa yang dinyatakan Hillary, kalau kita renungkan, sebetulnya  sama dengan orang yang mengabaikan dosa-dosa kecil.  Orang yang melakukan dosa kecil, misalnya mencoba-coba mencicipi minuman keras atau membicarakan keburukan orang lain, sering  menganggap  hal itu adalah dosa yang kecil. Karena itu, banyak  orang yang  kebablasan melakukan dosa-dosa kecil sehingga lambat laun jadi  kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan, dosa kecil  itu pun akan  berubah jadi dosa besar yang sangat membahayakan  dirinya dan  masyarakat. 

Melihat kemungkinan potensi kerusakan besar yang  tercipta dari  dosa-dosa kecil itulah, Nabi Muhammad saw mewanti-wanti agar  ummatnya tidak mengabaikan dosa-dosa kecil seraya  tidak melupakan amal baik kendati kecil juga.  Dalam kisah disebutkan, seorang pelacur masuk surga hanya  karena  memberi minum anjing yang kehausan. Perbuatan yang cenderung dinilai sangat kecil itu ternyata di mata Allah punya nilai sangat besar karena faktor keikhlasannya. Bukankah semua roh yang ada di seluruh jagad ini, termasuk roh anjing  tersebut,  hakikatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Pencipta juga? Itulah  nilai setetes air penyejuk yang diberikan sang pelacur pada  anjing yang kehausan.

Bicara Dengan Bahasa Hati

Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukkan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah berasal dari hati anda.     
 
Bicaralah dengan bahasa hati, maka akan sampai ke hati pula. Kesuksesan bukan semata-mata betapa keras otot dan betapatajam otak anda, namun juga betapa lembut hati anda dalam


menjalani segala sesuatunya.Anda tak kan dapat menghentikan tangis seorang bayi hanya dengan merengkuhnya dalam lengan yang kuat. Atau, membujuknya dengan berbagai gula-gula dan kata-kata manis. Anda harus mendekapnya hingga ia merasakan detak jantung yang tenang jauh di dalam dada anda. 

Mulailah dengan melembutkan hati sebelum memberikannya pada keberhasilan anda.

Sang Penari

Aku sedang membeli kertas minyak untuk membungkus jajanan nasi bungkusku di warung Pak Kaji, ketika kudengar beberapa pemuda yang nongkrong di bawah pohon randu sambil bermain judi, melontarkan beberapa kalimatnya.

“Goyangannya memang tidak seaduhai goyangan emaknya dulu. Tapi pakaiannya itu, Gus. Seksi tenan…”
Kata “seksi” itu langsung disambut gelak tawa oleh beberapa pemuda lainnya.
“Sekali aku melihatnya waktu kutengok pamanku di Jakarta kemarin. Awalnya aku ragu, tapi setelah kuajak ngobrol, gadis itu benar-benar Cantika. Coba bisa lebih lama aku di Jakarta, bisa kuajak tidur dia. Hahaha…”
Kali ini tawa itu lebih keras dan membahana. Kemudian sambil masih mengisap rokoknya, pemuda yang sedari tadi berbicara itu melanjutkan,
“Nasibnya memang mujur seperti emaknya. Tapi mungkin saja ujung-ujungnya juga seperti si muka parut itu. Ha…”

Aku mempercepat aktivitas belanjaku sore itu untuk segera menutup telinga. Hatiku panas, tentu saja. Aku sudah lama sekali meninggalkan dunia seniku sebagai seorang penari tayub sejak terjadinya peristiwa itu. Tidak. Tak akan pernah kuulangi lagi. Aku mati-matian menahan luka yang kudapat dari cemoohan tetangga-tetanggaku yang tidak henti-hentinya memandangku sebagai sampah hingga menurut mereka, peristiwa itu pantas jika terjadi padaku. Aku disamakannya seperti pelacur. Padahal pekerjaanku bukanlah menjajakan tubuh seperti yang kulihat di dekat kontrakan Cantika sewaktu aku diajaknya pindah ke Jakarta . Dan aku tak betah melihat beberapa malam Cantika keluar rumah dengan alasan bekerja dan baru pulang keesokan harinya. Biasanya menjelang siang. Mataku juga sakit melihat perempuan-perempuan yang memoles wajahnya sedemikian rupa demi menarik pelanggannya. Mereka berdiri berjejer di sepanjang jalan dan melakukan satu negosiasi atas tubuhnya sendiri. Aku bukan hanya sakit karena melihat bayangan masa lalu hitamku, tapi lebih-lebih aku merasa pedih karena ketakutanku melihat kenyataan-kenyataan yang mungkin saja terjadi pada mereka seperti yang dulu menimpaku.

Dan sore itu, aku kesal bukan alang ketika ku tahu bahwa Cantika juga menjual tubuhnya, walaupun itu hanya kulit yang paling luar. Hasil dari pekerjaannya itulah yang ia pakai untuk untuk membiayaiku makan, membayar uang sekolah Lentika, adik satu-satuya. Aku marah semarah-marahnya. Tak dapat kutahan. Aku tidak rela gadisku dijamahi banyak orang walaupun itu atas nama profesioal. Dan yang paling membuatku tidak ikhlas adalah karena Cantika menikmati profesinya sebagai penari latar itu. Mirisnya lagi, tempat Cantika bekerja adalah sebuah diskotek.

“Kan mereka cuma memegang tubuh saja, Bu. Cantika nggak pernah mengizinkan lebih dari itu kok”, begitu kilahnya itu saat kucoba membujuknya untuk meninggalkan pekerjaan itu. Tapi Cantikaku tak bergeming, pun saat kemarahanku hampir mencapai puncak. Yang membuatku kalah justru kenyataan bahwa anakku itu mengetahui masa lalu ibunya sebagai seorang penari tayub dan itu dijadikannya argumen untuk memaksaku menyetujui profesinya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan tetap pada pendiriannya.

“Bukan hanya karena duit, Bu. Tapi Cantik sudah terlalu cinta dengan menari.”
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Cantika berwatak keras, sama seperti ibunya saat meladeni omongan kakek dan neneknya dulu.

****

Aku masih saja menggerutu ketika sudah sampai di tempat yang menjadi tujuan Bapak dan Ibu. Tempat mereka mengais rezeki tiap harinya. Tempat sampah. Pasokan sampah yang terus bertambah tiap hari di bantaran kali itu seperti halnya tumpukan emas bagi kedua orang tuaku. Tapi aku jijik. Walau berulang kali Bapak dan Ibu memarahiku karena tidak mau membantu mereka sedikitpun, aku tetap tak peduli. Walaupun tidak muntah, aku sudah cukup puas dengan mual yang kurasakan terus membelit perut sedari tadi. Aku muak melihat kenyataan bahwa ternyata, aku si Prameswari, gadis manis tiga belas tahun, dipaksa hidup bergelimangan sampah dan kemiskinan.

“Coba dulu kaucari-cari di sini, Nak. Siapa tahu banyak sampah yang masih bisa kita jual. Kau ini sudah besar, harus membantu ibu dan bapakmu.”

Tapi teriakan ibuku kuanggap angin lalu saja, tak kugubris sama sekali. Aku malah berlari meninggalkan karung sampahku.

Dari dulu aku memang merasa tidak sanggup hidup dibelit kemiskinan. Walaupun sehari-hari keluarga kami ditopang oleh adanya sampah dan makanan kami pun selalu alakadarnya, tapi kenyataan itu sama sekali tidak berpengaruh bagiku, paling tidak menyadarkanku bahwa aku harus prihatin dengan hidup. Yang kulakukan dari dulu hanyalah bermain, tak pernah mau membantu orang tuaku berbaur dengan sampah. Bahkan sikap yang masih kupelihara sampai sekarang adalah rasa iri kepada teman-teman kelas satu SD-ku yang walaupun miskin, tapi tidak semiskin keluargaku. Kemiskinan itu jugalah yang membuat aku DO dari sekolah karena biaya.

Aku tak sanggup. Aku tak sanggup dibayangi derita yang kudapatkan dari ejekan teman-temanku. Aku tak tahan hidup miskin telalu lama, hingga selalu kukuatkan keinginanku untuk mengubah hidup dari nasib yang begitu melarat.

Dan pertemuanku dengan Yu Narmi itulah yang menjadi awal berubahnya masa suram hidupku. Yu Narmi mengenalkanku pada tayub. Waktu itu. Yu Narmi mengatakan bahwa wajahku benar-benar asli Indonesia. Asli Jawa sehingga terlihat lebih eksotik. Kalau dipoles sedikit saja, walapun itu hanya dengan pupur murahan, aku pasti akan terlihat begitu cantik. Lagi pula, badanku juga begitu menarik hingga nanti, ketika sudah ada di panggung, pasti akan menyedot perhatian kaum Adam yang bermata jelalatan dan berkantong tebal untuk menyisipkan lembaran puluhannya ke dadaku.

Aku panas oleh kemiskinanku. Aku tergiur oleh mimpi yang dikenalkan oleh Yu Narmi.
Mulailah aku belajar menari, dengan diam-diam tentunya, karena bagaimanapun Bapak dan Ibu tidak akan pernah mengizinkanku menari tayub dan disawer oleh banyak laki-laki. Mereka tidak akan mau melihat anaknya melenggak-lenggokkan pinggulnya untuk membuat para laki-laki terpikat.

Tapi tekadku sudah kuat. Tanpa sepengetahuan bapak dan ibu, aku berlatih menari tiap harinya dibimbing oleh Yu Narmi, diajari memoles wajah, sampai bagaimana harus menampakkan mimik muka untuk menggoda para pelangganku nanti. Ketika sudah mahir dengan tarian-tarianku dan dianggap sudah siap pentas, Yu Narmi mengajakku ke pagelayan tayub. Sungguh menakjubkan, aku hanya harus menggoyangkan pinggulku, memasang senyum manis yang tak boleh habis dan menggerakkan badan supaya sesuai dengan tembang yang dibawakan. Dari situlah para pelangganku berdatangan. Mereka yang sudah terlihat tertarik ataupun yang masih ragu-ragu kulemparkan sampur, selendang warna kuningku, dan ku ajak menari bersamaku. Dari satu dua goyangan itulah aku mendapatkan rupiah, meninggalkan amanat orang tuaku untuk menjaga tubuh supaya tidak terjamah oleh laki-laki, walaupun hanya oleh matanya saja.

Awalnya aku bisa menyembunyikan bangkai dari Bapak dan Ibu, tapi ketika aku sudah mulai menjadi primadona di antara penari tayub lainnya, dan paguyuban juga sudah lebih ramai dari biasanya, Bapak dan Ibu marah besar. Mereka mengetahui info itu dari tetanggaku, seorang bujang yang banyak duit, terkenal badung dan tanpa tata krama yang menyawerku secara langsung. Aku tergagap tak bisa menjelaskan apa-apa lagi untuk membela diriku sendiri. Tapi aku telanjur cinta tayub. Bukan. Bukan itu sebenarnya. Aku terlalu cinta rupiah yang hanya bisa kudapatkan dengan mudah dari menayub saja. Dan aku tak mau meninggalkan pekerjaan itu, walau Bapak dan Ibu akan terus memusuhiku. Hingga suatu malam, ketika kemarahan beliau sudah memuncak, aku diusirnya. Tepat setelah aku pulang membawa banyak uang hasil saweran. Dengan kasar Bapak mengatakan bahwa beliau lebih rela makan uang dari hasil sampah daripada hasil menjual tubuh. Aku tak terima. Aku meradang dikatakan seperti itu, karena bagaimanapun, aku bukan pelacur. Aku hanya menjual kulitku, goyanganku, pinggulku, dan tidak pernah lebih dari itu.

Malam itu, kuputuskan hubungan darah dengan orang tuaku.
Aku semakin tergila-gila dengan tayub, karena dari situlah bisa kukumpulkan uang untuk membeli keperluanku yang tak bisa dipenuhi oleh Bapak ataupun Ibu. Aku cukup kaya untuk ukuran seorang gadis. Setelah diusir oleh Bapak dan Ibu dulu, aku datang kepada Yu Narmi dan mengadukan nasibku. Tentu dengan suka cita dipungutnya diriku. Dirawatnya aku sebagaimana merawat berlian yang paling mahal. Baginya, aku ini adalah aset yang sangat berharga. Dengan masih adanya diriku di paguyuban itu, tentulah semakin banyak uang yang akan didapatkan oleh Yu Narmi.

Lain halnya dengan rasa sumringah Yu Narmi atas kedatanganku, para wanita sesama penari tayub memandangku sinis. Kemakmuranku sering disambut dengan sindiran dan ucapan pedas. Walaupun berkali-kali Yu Narmi mencoba melerai pertengkaran sengit kami, tetap saja api kebencian sudah terlanjur membara di hati kami masing-masing.

“Coba saja berani menggeser kedudukanku di sini. Kau akan menyesal, Prameswari! Kau tak akan pernah bisa lagi menari di sini!” ucap Nunuk, salah satu penari.

Dan aku tak tahu rencana apa yang dibuat oleh mereka hingga terjadilah peristiwa mengerikan itu.
Malam itu aku terpaksa membeli obat nyamuk sendirian. Yu Narmi sudah tidur dan tak mungkin aku membangunkannya. Ia juga kelelahan. Sama sepertiku yang seharian tadi nayub. Badanku terasa pegal semua hingga aku butuh istirahat yang cukup dan nyaman. Tapi nyamuk-nyamuk di kamarku begitu banyak hingga membuatku tak bisa memejamkan mata. Menyebalkan. Apalagi ternyata obat nyamuk bakarku habis. Dan aku terpaksa membelinya di luar.

Waktu arlojiku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku keluar rumah. Tapi terlanjur, lagi pula, warungnya juga tidak terlalu jauh dan keinginan untuk tidur nyenyak malam ini supaya bisa nayub lagi esok membuatku memaksakan diri pergi ke luar seorang diri. Takut sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi.
Dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Andai saja aku bisa membaca mata benci saingan tayubku, mungkin aku akan berhati-hati tiap malamnya hingga tak nekat keluar seperti ini dan memilih tak bisa tidur dari pada bertemu serigala-serigala busuk di depanku. Aku tak bisa melawan ataupun berontak. Yang kutahu, malam itu aku digelandang ke semak-semak oleh beberapa pemuda di desaku. Aku kenal mereka, yang kerjaannya hanya bermain judi dan menggoda gadis-gadis yang melewati area judinya.

Malam itu aku merintih. Dipermalukannya diriku habis-habisan. Dibuatnya hidupku menderita seumur hidup dengan menanggung malu. Tak cukup melakukan itu, dengan sayatan pisau yang tajam, bajingan–bajingan itu merobek-robek wajahku.

****
Aku mengurung diri setelah mendengar obrolan para pemuda di depan warung Pak Kaji tadi. Sudah cukup panas telingaku mendengarkan omongan tetangga. Tapi walaupun pedih yang kurasakan tiap saatnya, aku tak bisa lagi memaksa Cantika pulang dan meningalkan pekerjaannya.

Sejatinya, aku ingin membuat Cantika bahagia, dengan uang. Karena alasan itu jugalah yang membawa Cantika minggat ke Jakarta.

Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah berharap agar Cantika tak mengalami nasib sepertiku. Entahlah, walau hal itu bisa terjadi pada siapa saja, tapi peristiwa bejat malam itu membuatku trauma. Aku seperti ketakutan kalau ada saudara atau keluargaku memilih profesi sebagai penari. Profesi yang dulu sempat kupilih dan mengantarkanku pada bisu. Bisunya dunia saat gerombolan laki-laki itu memaksa tubuhku meladeni mereka semua hingga yang kurasakan bukan hanya ragaku yang terasa sakit, tapi juga batinku ngilu. Yang lebih menghancurkanku, namaku tercemar sejak saat itu, karena setelah kejadian malam itu tak ada yang percaya kepadaku bahwa aku telah diperkosa dan ingin menuntut keadilan. Apalah artinya keadilan bagi gadis sepertiku yang datang dari kubangan sampah. Warga lebih percaya pada Nunuk, sesama penari tayub yang menganggapku sebagai saingan. Mereka lebih terhasut dengan kalimatnya yang mengatakan bahwa akulah yang menjual diri, bukannya diperkosa. Dan hidupku luntang lantung setelah itu. Aku tidak mungkin menayub lagi karena wajahku lebih mengerikan dari pada orang yang berparas jelek sekalipun akibat sayatan-sayatan pisau para bajingan itu.

Aku juga tak sanggup lagi datang untuk yang kedua kalinya ke rumah orang tuaku karena Ibu berkali-kali mengusirku. Alasan yang dikatakannya begitu mengejutkanku. Setelah mendengar bahwa aku menjadi pelacur dan menjual diriku pada beberapa gerombolan pemuda desa, Bapak tiba-tiba langsung tak sadarkan diri, dan tak bisa tertolong karena shock yang amat sangat. Tak tahu lagi bagaimana jalan hidupku jika sore itu aku tidak menerobos hujan dan berniat mengakhiri hidupku di jembatan. Tepat saat beberapa senti lagi tubuhku akan terjun bebas, tiba-tiba aku diperkenalkan oleh alam pada seorang laki-laki yang tidak tampan, tapi berhati emas. Laki-laki itulah yang menyelamatkanku sebelum aku benar-benar mati. Sebulan setelah itu ia mengawiniku, walau tahu bahwa mukaku sudah tak secantik dulu. Bahkan setelah peristiwa mengerikan itu, warga desa sering menghinaku dengan sebutan si muka parut. Tapi suamiku itu sama sekali tak peduli. Dia mencintaiku, memberiku dua anak, Cantika dan Lentika. Saat keduanya belum sampai melihat dunia sampai berumur lima tahun, Mas Sugeng, laki-laki itu meninggalkanku, tewas dilindas kereta api.

Ada alasan yang memungkinkan seseorang tetap mau menjalani hidup meski nasib selalu menggiringnya pada kekerasan. Motivasi. Beberapa sanak saudara, impian, anak, keluarga, dan hal-hal lain yang menjadi motivasi mengapa seseorang itu tetap bertahan hidup di antara kekejaman-kekejaman yang selalu menimpanya. Dan demi impian-impian untuk terus hidup bersama mereka itulah, seseorang yang paling menderita pun akan melawan arus kuatnya dunia.

Tapi bagaimana denganku? Aku sudah tak punya siapa-siapa. Saat hidupku kini menunggu detik detik berkurangnya usia, aku juga tak kunjung merasakan bahagia. Aku bukanlah anak yang sanggup berbakti kepada orang tua hingga mereka tak sudi menerimaku lagi sebagai anak. Aku juga tak memiliki keluarga dari Mas Sugeng karena yang diceritakannya padaku saat hendak menikahi adalah kenyataannya sebagai pedagang asongan dan tak memiliki siapa-siapa lagi. Lalu Cantika sudah tak mau menggubrisku, walaupun sesekali ia masih menyapa ibunya ini dengan manis. Kemudian Lentik, menyusul kakaknya ketimbang menemani ibunya di kampung.

Aku sudah tak kuat. Walaupun masih kumiliki dua gadis manis darah dagingku, aku masih tetap merasa sepi. Ketakutan yang kini menimpaku adalah bayangan-bayangan yang selalu saja menghantui tidurku tentang perihal yang menimpa dua putriku di dekat kontrakannya yang tidak aman itu. Aku benar-benar takut membayangkan apa yang akan terjadi dengan nasib keduanya. Aku tak mau melihatnya berduka. Aku trauma. Aku phobia. Dan aku tak ingin kedua terlindas nista oleh kejamnya manusia.

Saat pikiranku sudah tak tahu ada di mana, aku tersenyum saja sambil mengambil sebuah bungkusan yang sering kupergunakan untuk membunuh tikus-tikus di gubuk reot ini. Bahkan aku masih bisa tertawa saat menyadari betapa tercekiknya leherku setelah lima menit meminumnya.

Warga desa Klamengan geger. Pasalnya, mantan penari tayub yang sudah bertahun-tahun menjadi pemulung itu ditemukan mati bunuh diri di rumahnya. Sedikit sekali yang melayatnya. Di samping tak banyak yang suka terhadap wanita itu, tak ada juga keuntungan yang akan didapatkan dengan mendatangi rumah duka itu. Parahnya lagi, tak ada yang tahu alamat kedua anaknya di Jakarta hingga warga menguburkan secara alakadarnya seteleh sebelumnya sempat ditangani polisi.

Suasana panas di kereta api itu tidak menyurutkan senyum yang terpancar dari dua kakak beradik itu. Terlihat sekali bahwa mereka begitu bahagia. Tak ada yang terpancar dari wajah keduanya selain sinar puas dan rasa rindu yang amat sangat pada seseorang. Gadis itu ingin sekali cepat sampai di kampungnya untuk menyampaikan bahwa dirinya sudah keluar dari tempat kerjanya yang lama dan diterima di suatu biro pelayanan travel. Ia ingin menyampaikan berita gembira itu pada ibunya sekaligus menjemputnya ke Jakarta . Diyakininya bahwa kali ini, ibunya tidak akan menolak lagi karena uang yang didapatkannya lebih halal dari pada sebelumnya.

Gadis itu tersenyum sambil mengusap keringat adiknya. Sebentar lagi, kereta api akan sampai di tempat tujuan, membawa dua gadis itu, Cantika dan Lentika pada berita yang akan mengejutkannya.

(sumber : Annida)

Hilangnya Akibat Khilafku

“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”

Alunan azan membahana dari masjid seantero kota Surabaya. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tanganku menarik selimut dan menyempurnakan posisiku, menutupi seluruh bagian tubuhku.

“Allahu Akbar… Allhu Akbar!”
Seruan itu kembali mengoyak telingaku. Akhh… mataku terasa berat sekali. Kurasakan lelah yang mendera di sekujur tubuh. Kututup kedua telingaku dengan bantal. Aku tak hendak mendengarkan seruan itu.

“Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!” Aku tak sanggup lagi. Mataku telah tergembok rapat. Semalaman aku berkencan dengan seabrek tugas kantor yang harus kuselesaikan hari kemarin. Keadaan seperti ini sering terjadi saat aku sedang kelelahan tak bisa mengahantarkan tubuhku ke kedinginan air yang menyergapku. Aku kalah pada keadaan. Sebenarnya tidak juga begitu. Aku terserang penyakit malas. Karena kesibukanku yang makin menggila. Aku rasa, aku butuh istirahat yang cukup.

***

Kriiingg… kring…! suara jam weaker mengejutkanku hingga aku terbangun dari tidur yang tak begitu nyaman. Pukul tujuh. Artinya, aku harus segera bersiap-siap pergi ke kantor. Aku harus lekas menemui relasi dan klien-klienku, tak boleh terlambat. Tak lama kemudian, hand phoneku berdering.
“Hallo… dengan Rio, ada apa menghubungi saya pagi-pagi begini?”
“…………”
“ Baik saya segera ke kantor!”
Dalam sekejap BMW-ku melaju melewati jalanan kota yang mulai dilanda macet dan berbaur dengan aroma CO2. Udara yang seharusnya masih segar dan sehat sepagi ini, telah dilalap kentalnya kadar karbondioksida yang membanjiri Surabaya. Namun aku sudah bersahabat dengan segala keadaan ini, karena mencari uang adalah hidupku. Kesibukan duniawi yang membawaku kepada kenyamanan lahir, telah membuatku puas.
Dulu, waktu Ibu masih hidup, aku selalu dibanjiri oleh nasihatnya agar aku tak meninggalkan shalat. Tapi nikmatnya dunia kini membuatku berpikir, untuk apa aku shalat? Toh rezeki itu aku yang kejar sendiri. Ia tak akan datang ketika aku hanya berdiam diri dan shalat di rumah. Kalau aku begitu, jadilah aku orang yang miskin, yang hanya mengharap belas kasihan orang lain untuk dapat makan barang sehari. Tak mungkin uang akan turun dari langit seperti hujan. Mustahil. Dan jadi orang miskin itu hanya merusak martabat manusia. Membuat aib saja.

“Assalamualaikum! Selamat pagi, Bos!” sapa seorang karyawan.
“Pagi..” aku menjawab tanpa menoleh. Aku menerobos ruang dan waktu, berjalan angkuh layaknya seorang bos. Itulah hari-hariku. Ya, seperti yang aku ceritakan sebelumnya. Aku puas dengan semua kecukupan yang aku miliki sekarang. Limpahan harta. Kesenangan dunia membuatku perlahan melupakan bahkan tak merasa ada orang yang telah melahirkanku dulu. Bagiku, itu memang sudah takdir. Dan sekarang aku bisa mengubah takdir dengan tanganku. Haahh… aku senang dengan hidupku.

***

Ruang kantorku sengaja dirancang kedap suara, karena aku menginginkan kenyamanan ketika berada di dalamnya. Aku tak mau terganggu oleh deru mesin kendaraan yang berlalu hilir mudik di sekitar kantorku. Memang, letak kantorku sangat strategis. Dan aku tak sadar, bangunan seperti itu juga telah melalaikanku dari mendengarkan suara azan. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman hinggap di bagian tubuhku yang paling dalam. Menyeringai, menelusuk relung hatiku. Aku merasakan ketaknyamanan tak bertepi. “Jangan lupa sholat Nak!…” sekelebat bayangan wanita 50 tahun-an lewat di ruang otakku. Namun segera kuenyahkan perasaan dan bayangan itu.

“Tok..tok..tok!”
Partikel-partikel pada daun pintuku bergerak menghasilkan gelombang bunyi yang berfrekuensi tinggi dan mengejutkanku.
“Masuk!” jawabku sekenanya.
“Pak Rio, saya minta izin 15 menit keluar dulu…!”
“Dari kemarin kok izan, izin… Bapak tidak lihat apa kantor kita sedang banyak orderan?! Baru setahun jadi karyawan di sini sudah berani sering-sering izin!”
“Iya, saya tau, Pak… insya Allah nanti setelah saya kembali, saya selesaikan tugas saya.”
“Baiklah! Sepuluh menit!” Aku marah.

Entah apa yang membuatku marah. Mungkin rasa berkuasalah yang selama ini telah mengalahkanku. Selama ini memang aku selalu sensitif jika sedang berhadapan dengan karyawan-karyawanku. Aku selalu memposisikan diriku sebagai bos. Aku merasa bahwa aku berkuasa atas hidup mereka. Aku merasa hidup mereka ada di tanganku. Kapan pun aku bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan. Dan selama ini, jika ada karyawan yang ku-PHK, banyak dari mereka yang memohon-mohon padaku untuk dikembalikan pekerjaannya.

Tapi kurasakan keanehan kini, aku merasa tak enak hati setelah memarahi Pak Halim, seorang karyawan yang setiap pukul 12.00 dan 15.00 meminta izin untuk keluar sejenak. Yang mukanya selalu teduh menghadapi keegoisanku. Selalu sabar menghadapi luapan emosiku yang kerap meledak-ledak di hadapannya.

Setahuku dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku juga tahu dia mempunyai potensi yang besar untuk memajukan perusahaanku. Karena itulah, aku tetap mempertahankannya di perusahaanku. Pun ia tak pernah melalaikan tugasnya. Ia sangat bertanggung jawab. Lantas apa yang membuat aku marah-marah padanya hari ini dan tak jarang pada hari-hari lain?

“Lama sekali orang ini!” Aku membatin sambil menunggu Pak Halim yang sudah hampir setengah jam tak muncul- muncul juga di hadapanku.

Aku tahu, Pak Halim izin keluar hanya untuk menunaikan shalat; yang seharusnya aku pun melakukannya. Namun karena sering melalaikannya, aku jadi terbiasa tidak melaksanakan shalat. Aku tak merasa berdosa. Aku membiasakan diriku tuk tidak mendengarkan hatiku.

“Maaf, Pak! Tadi saya harus…”
“Ah… Alasan saja Anda ini! Mulai besok, Anda tidak boleh duduk di kursi itu lagi!”
Pak Halim paham apa maksud ucapanku dan ia lalu berpamitan setelah mengucapkan terima kasih.

***

Sejak kejadian itu, aku kini sering merenung. Aku sendiri kini yang harus memikirkan nasib perusahaanku. Dalam kondisi diriku yang seperti ini, bayangan wanita tua yang selalu mengingatkanku akan shalat pun selalu muncul setiap kali aku membutuhkan konsentrasi untuk memikirkan nasib perusahaan. Keputusan yang kuambil tak pernah tepat kini. Alhasil, perusahaanku pun gulung tikar. Utang di mana-mana.

“Aghhhhrrrhhh…!” Aku marah pada diriku sendiri. Aku terlalu egois. Kalau saja Pak Halim masih mendampingiku, aku tak akan sesusah ini. Ah… aku menyesal.

Kustarter BMW-ku, mesin berbunyi halus. Tanpa konsentrasi yang penuh, aku melaju.. Kali ini tak tahu aku akan pergi ke mana. Aku tak tahu, ingin aku kembali ke kampung halaman, meminta maaf pada ibuku, menziarahi kuburnya, aku malu. Pun begitu juga kepada saudara-saudaraku. Pak Halim, yang terkadang menjadi tempat curhatku, kini tak ada lagi di sampingku.

“Nak, bagaimanapun, jangan tinggalkan shalat! Itu adalah ibadah yang pertama kali dihisab.” Tiba-tiba bayangan Ibu muncul lagi di kaca depan mobilku. Menghalangi pandanganku ke depan.
“Nak! Kembalilah kejalan Tuhan-Mu!” Kali ini keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan.
“Nak! Ingatlah… semua harta benda hanya titipannya… kembalilah!”
“Tidaakk…!” Klakson dari mobil belakangku membuat konsentrasiku makin membuyar. Sorotan cahaya lampu dari mobil yang berlawanan arah denganku menyilaukan pandangan ini, saat bayangan Ibu hilang, yang kulihat hanya cahaya terang. Terang sekali, hingga aku tak nyaris buta. Klakson dari belakang terus beriringan.

“Ciiitttt! Brakkkk!!”
“Aduhh…” kurasakan nyeri yang tak terperi di bagian kepalaku. Cairan hangat mengalir dari kedua telingaku. Aku tak dapat menahan rasa nyeri yang amat sangat ini. “Bu,… maafkan aku…!”
“Ini peringatan buatmu, Nak! Kembalilah!” itu adalah kalimat terakhir ibu yang masih dapat kudengar dan kuingat. Ingatanku hilang seiring hilangnya bayangannya.

***

“Di mana aku? Mana Ibu ..?” Samar-samar kulihat wajah yang tak asing itu duduk di sampingku.
“Pak Halim? Kau kah yang membawaku ke rumah sakit ini?!”sembari bertanya-tanya pada diriku sendiri, mulutku terus berkomat-kamit.

Pak Halim hanya memandangiku haru. Air matanya mengalir. Sesekali ia seperti mengucapkan sesuatu kepadaku. Tapi aku tak mendengar apa-apa. “Astaghfirullohal’azhiim…!!!” ku berteriak mengharapkan ampunan dari Allah. Namun lagi-lagi, aku tak mendengar teriakanku sendiri. Tiba-tiba telingaku sakit. Dan aku baru sadar, kecelakaan malam itu membuatku tak dapat mendengar dan mungkin juga tak dapat berbicara. Aku tuli.

Tak ada yang lain yang bisa kulakukan. Hanya jeritan dalam hati yang mampu aku teriakkan. Tubuhku menggigil, kurasakan ngilu di ulu hatiku, seperti ditusuk sembilu. Dalam dan semakin dalam. Aku ingin shalat. Jam di dinding kamar putih itu menunjukkan pukul dua belas siang, waktu yang aku gunakan untuk memarahi Pak Halim yang izin keluar untuk melaksanakan shalat. Waktu ketika aku sering mengunci rapat-rapat telingaku dari suara azan yang mengalun syahdu. Dan kini suara itu benar-benar tak dapat lagi kudengar. Selama-lamanya.

sumber : majalah annida