Kamis, 21 April 2011

Muslim STMJ VS Muslim Kaaffah

“Saya sudah dua tahun taat menjalankan ibadah, tapi masih belum bisa lepas dari maksiat... Gimana Pak?”

Aslama-Yuslimu-Islaaman berarti tunduk, patuh, menyerah atau rela diatur. Orang yang tunduk, patuh, menyerah dan rela diatur oleh ketentuan Allah disebut muslim. Berarti, seorang muslim hanya patuh pada aturan Allah saja.

Berarti pula, seorang muslim tidak patut menundukkan totalitas kepatuhan hidupnya selain kepada Allah, kecuali sepanjang aturan itu bersesuaian dengan kehendak Allah atau dalam rangka ketaatan kepada-Nya. 
Selain itu, never! Laa thoo’ata limakhluuqin fii ma’shiyati al-khaaliq.

“Saya adalah muslim” adalah pernyataan gampang dan paling umum diakui. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan itu, cukuplah menunjukkan kartu indentitas yang mencatat kata Islam. Selesai.
Tetapi, “benarkah bahwa saya telah muslim sesuai catatan lauhul mahfuzh dan rekam jejak malaikat Rakib?” Ini menjadi lebih sulit dan secarik KTP itu tidak akan pernah bisa menjawabnya tuntas di dunia apalagi di akhirat.

Di mahkamah Allah nanti, KTP tidak bisa “berbicara”, meskipun camat yang menandatanganinya adalah pak haji bergelar profesor doktor lulusan luar negeri.Catatan dan rekaman Rakib dan ‘Atidlah yang akan menentukan apakah seseorang itu muslim atau bukan.

Di dunia, tidak sedikit orang yang lebih mengandalkan KTP dibanding akurasi catatan Rakib dan ‘Atid soal sebutan muslimnya. Tetapi di saat yang bersamaan, banyak KTP justeru mempermalukan identitas kemuslimannya saat ia meringkuk di penjara karena kasus kejahatan yang membelitnya.

Lalu, pada saat ia merasa merana di balik jeruji besi akibat ulahnya itu, barulah ia ingat Rakib dan ‘Atid, akrab dengan sajadah dan seketika itu pula ia melupakan KTP. Bersyukur ia masih bisa menata kepatuhannya pada Sang Pemberi Identias muslim kembali pada jalan yang lurus. Sungguh kufur apabila penjara bahkan bertambah menjadikannya lebih binal dari sebelumnya.

Perintah, anjuran dan larangan Allah adalah instrumen untuk mengukur seorang itu muslim atau bukan secara kasat mata. Selama perintah dan anjuran dikerjakan dan larangan itu dihindari dengan kesadaran atas iman kepada-Nya, maka pantaslah ia dinilai sebagai muslim.

Seorang muslim mu’min yang patuh menjadikan instrumen itu sebagai satu paket hidup; ibadah yes, maksiat no. Tidak patut ia mengambil ketaatan hanya pada sisi patuh pada perintah dan anjuran tetapi patuh pula pada hawa nafsu melanggar larangan-Nya alias ibadah yes, maksiat yes.

Apalagi abai pada perintah dan anjuran, patuh pada hawa nafsu melanggar larangan alias ibadah no, maksiat yes. Ada pula yang berkubang dalam zone of zero, memilih untuk menekan nafsu dari mengerjakan segala larangan tetapi abai pada segala perintah dan anjuran-Nya alias, maksiat no, ibadah no. Ibadah, yes, maksiat yes. Saat di masjid ia khusyu dengan takbir, ruku dan sujud lalu melangkah ke kedai khomer, mabuk dan meracau kehilangan akal.

Saat di ta’lim ia berceramah dengan sorban harum anggun di bahunya, lalu beringsut ke rumah bordil merayu, merajuk dan bergumul dalam selimut zina yang melenakan. Bisa jadi di waktu khusus ia bertalbiyyah, thawaf, sa’i dan wukuf dui ‘Arafah tetapi di bawah meja perkara pengadilan ia berselingkuh dengan praktek risywah dan jual beli perkara.

Barangkali pula ia rajin puasa, Senin-Kamisnya dawam tetapi gemar membungakan uang dan melipatgandakan harta benda dengan cara-cara menghisap. Atau ia gemar hadir di majlis-majlis dzikir dan ilmu, tetapi ringan tangan pada anak dan isteri, pelit, berlidah pahit dan suka mengadu domba. Di manakah efektifitas shalat, haji, tadarrus, puasa dan dzikirnya?

Ada apa sebenarnya? Allahu a’lam. Manusia tidak sanggup menyelami sisi batiniah sesamanya secara purna selain yang kasat mata zahirnya belaka.

Hal yang tetap harus ditumbuhkan, bahwa seorang muslim menjadi kuat karena keta’atannya pada Allah dan kekhusyu’annya dalam ibadah. Tetapi godaan agar seorang muslim tetap menjadi kuat dalam ketaatan dan ibadahnya datang bertubi-tubi dari depan, belakang dan dari arah samping kanan-kirinya.

Semakin kuat seorang muslim dalam ketaatan dan ibadahnya, semakin kuat godaan menimpanya. Tetapi semakin ikhlas dan istiqomah dalam ibadahnya itu, semakin dia kebal godaan seberapa besarpun godaan itu menghampirinya. Setan sang penggoda pun mengakui hal ini:

Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka" (terjemah QS. Al Hijr [15] : 39-40)

Sekarang, maksiat banyak dipoles halus dan menjadi samar. Kemasannya mirip-mirip agama. Tampilannya bukan lagi hitam seperti hitamnya khomer, judi, zina, fitnah, membunuh, mencuri, korupsi atau berbagai wajah kezaliman manusia atas manusia.

Begitu samar dan halusnya, salah-salah, banyak di antara kita yang terjabak bahkan tanpa sadar terkagum-kagum lalu mengikuti tanpa reserve. Tahukah kita kemaksiatan model itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah kemaksiatan ilmu.

Kemaksiatan ilmu adalah penyelahgunaan kecerdasan untuk melawan Tuhan. Kitab suci kalam Tuhan sudah sampai kepada kita, misalnya bahwa diharamkan wanita muslimah dinikahkan dengan pria non-muslim.

Tetapi orang cerdas itu berani membalikkan hukum itu bahwa untuk konteks zaman sekarang pernikahan antar iman itu adalah halal demi kerukunan dan toleransi. Demi menyesuaikan konteks supaya Islam tidak ketinggalan zaman, begitu katanya. Atau keberanian salah seorang di antara mereka yang menumpahkan pemikiran bahwa lesbi, homoseksual dan pernikahan sesama jenis adalah halal, sebab di mata Tuhan orang dipandang mulia karena takwanya, bukan karena orientasi seksualnya.

Ada lagi mereka yang mengagumi pemikiran Barat sekuler dan menerimanya bulat-bulat tanpa kritik, tetapi getol mengktirik para ulama bahkan menghina para sahabat. Kemaksiatan dalam bentuk ini lebih buruk pengaruhnya dari sekedar mencuri seekor ayam, yang paling-paling bonyok digebukin orang sekampung lalu masuk penjara.

Bagaimana jika seseorang sudah terlanjur menjadi muslim STMJ, alias sholat terus, maksiat jalan? Yang pasti, memilih berhenti jadi muslim adalah keliru (na’udzubillaah). Tetapi terus menjalani lakon sebagai muslim STMJ juga tidak benar.

Yang benar, tanggalkan predikat itu, ganti dengan predikat muslim kaaffah. Meskipun untuk menuju ke arah sana, perlu waktu dan kesabaran yang tidak sedikit.

Beberapa hal yang mungkin dapat membantu jiwa keluar dari belitan maksiat dan supaya tetap pada ketaatan misalnya dengan bertobat. Taobat merupakan sarana dan fasiltas kemurahan Allah untuk manusia yang tidak mungkin sepi dari kesalahan. Dan Allah tidak pernah menutup pintu maaf untuk ummat yang rindu pada ampunan-Nya meskipun dosanya sundul ke langit. Percayalah, Allah bersama persangkaan hamba kepada-Nya, dan Allah bersamanya ketika dia mengingat-Nya.

Demi Allah, Allah sangat gembira menerima taubat seseorang, melebihi kegembiraan seseorang yang menemukan kembali barangnya yang hilang di suatu tempat yang luas. Barangsiapa mendekat kepada-Nya sejengkal, maka Allah akan mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekat kepada-Nya sehasta, maka Allah akan mendekat kepadanya sedepa. Apabila ia datang kepada-Nya dengan berjalan, maka Allah akan datang kepadanya dengan berlari. Demikian seperti bunyi riwayat Imam Muslim dalam Sahihnya.

Kita hanya manusia biasa yang mencoba mengikuti manusia-manusia pilihan Tuhan. Lagi pula, manusia paling istimewa juga pernah menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia bukanlah yang tidak pernah berbuat dosa, melainkan mereka yang bertaubat dan memperbaiki kesalahan dan dosa-dosanya. Karena itu, tidak ada manusia yang paling sombong selain orang yang selalu merasa benar dan tidak mau bertobat.

Pertobatan harus diiringi dengan penyesalan dan tekad kuat untuk tidak lagi mencicipi kesalahan yang sama dan berulang. Setelah itu, menghiasai diri dengan berbagai kebajikan yang dapat menghapus dan menutupi kesalahan yang lalu-lalu. Tentu, semua kebajikan itu benar-benar dilandasi dengan keikhlasan dan dilakukan dengan benar.

Jangan kira, tarikan magnet maksiat akan berhenti, bahkan bisa jadi semakin menggila. Maka langkah selanjutnya memasang ”alarm” ihsan untuk tetap mengingatkan kita bahwa ada Rakib dan ’Atid yang mengapit di kanan dan kiri. Meskipun mereka tidak nampak, in lam takun taraahu fainnahuu yarook. Mereka mengawasi, mengaudit setiap amal bahkan sekedar lintasan maksud di dalam benak.

Siapapun tidak bisa sendirian melawan kemauan nafsu yang berupaya menjauhkan dirinya dari Allah. Ia butuh teman, maka sebaiknya berkumpul dan bertemanlah dengan orang-orang soleh.

Orang-orang yang bisa menstimulasi berbuatan ma’ruf kepada sahabatnya. Dan mereka yang sabar tanpa pamrih mengingatkan kawulanya jika sudah mulai lagi bermain-main di bibir jurang kemaksiatan.

”Teman” yang paling konsisten memberikan kekuatan untuk tetap menjadi muslim kaaffah adalah Allah (ma’iyah). Dialah satu-satunya zat yang tidak bosan, tidak tidur, tidak lelah, tidak lalai dan tidak marah menuntun setiap manusia yang tengah terasing.

Dengan Do’a dan meminta ma’unah-Nya, adalah wasilah untuk tetap akrab pada-Nya dan setia dalam taat pada-Nya. Allahu a’lam.

Kiamat : Antara Tangisan Dan Seruling

Pernahkah sahabat menemukan hal istimewa dari anak-anak kita? Aku yakin pernah, meskipun varian, intensitas, volume, segmen dan emosi yang berbeda-beda. Dan menyaksikan keistimewaan dalam kepolosan jiwa mereka, inilah yang aku katakan istimewa.

Pernahkah menyaksikan anak-anak kita menangis? Pasti sering. Tapi, apa yang membuat mereka menangis? Pasti pula banyak macam ragamnya.

Di suatu sore, diantara bau keringat sisa lelah mengajar. Debu masih menempel berbaur dengan minyak alami kulit wajahku. Kepenatan masih mencubit-cubit pinggang, punggung dan kedua belah tangan dari mengendalikan bebek besi yang setia mengantar pulang dan pergi mengais rizki. Baru saja kubenamkan bokong di atas kursi plastik, anakku; Rayyan bercerita.

”Ayah, tadi aku nangis”, hi hi hi, lucu. Melihat mimik wajahnya aku tersipu. Ya Tuhaan, aku seperti melihat bayangan wajahku sendiri. Seolah-oleh aku tengah diajak berdialog dengan jiwaku. Rayyan tak ubahnya aku diusianya sekarang. Mirip. Isteriku pernah mengadu padaku, banyak guru SDnya menyebut Rayyan dengan “Abdul Kecil”.

“Nangis? Memang kenapa mas?”. Aku biasa memanggilnya dengan menambah kata mas; mas Rayyan, mengikuti budaya bundanya yang orang Jawa. Memang terdengar agak ganjil. Lazimnya, sebutan mas diakhiri nama dengan vokal o. Mas Parto, mas Joko, mas Tarmo, mas Trisno dan sebagainya. Lha ini, mas Rayyan. Ah biarlah, sing penting pantes.

”Itu, kakak Mikal cerita tentang kiamat. Kakak ceritanya sambil nangis. Aku ikut nangis. Rafi juga nangis”, lhaa..., tiga bocah kecil nangisin soal kiamat. It’s amazing.

”Coba-coba, ceritain lagi, ayah penasaran apanya yang bikin mas Rayyan nangisin kiamat”. Ahaaa ..., tubuhku segar kembali seolah telah mandi. Rasa penatku bagaikan debu menempel di atas batu licin dihempas angin. Buzzzzzzzzzz ...., hilang semua.

Ini adalah golden opportunity meminjam istilahnya bu Neno Warisman. Tokoh yang dulu pernah sempat aku menjadi wali kelas anaknya; Ghiffari Zaka Waly, siswa cerdas yang jarang disadari kecerdasannya oleh gurunya sendiri waktu itu. Golden opportunity adalah kesempatan emas yang tidak boleh dilepas tanpa memberikan apa-apa kepada mereka. Saatnya mencelup jiwa Rayyan dengan warna celupan Allah melalui pintu kiamat. Aku tak ingin melewatkan tangisan kiamat anakku Rayyan menguap tanpa bekas. Harus. Hanya saja, kadang aku dan kita tidak terlalu peka menangkap golden opportunity yang diciptakan anak-anak kita. Kita sering abai walau tidak terlalu salah karena mungkin energi kita sudah habis diterkam lelah sepanjang waktu.

Eh alaaa, Rayyan berkaca-kaca. Dia benar nangis lagi.

”Habis, aku takut. Ceritanya serem. Kata kakak, nanti langit pecah Yan, bumi bergoyang-goyang. Matahari engga ada sinarnya lagi. Hancur semuanya. Ayah sama bunda berpisah. Aku tidak kenal kakak lagi. Terus kakak nangis, ya aku nangis. Rafi juga nangis”, Aku tersentuh. Hatiku seperti melayang ke alam bawah sadar mengembara diantar oleh tiga anak kecil kelas 1, 2 dan 3 SD.

“Mas Rayyan percaya, Allah sayang pada kita?”, kataku mulai mengarahkan nalarnya. Rayyan mengangguk dan mulutnya mengatakan ya. ”Jika Allah sudah sayang sama mas Rayyan, sayang sama mba Mikal dan Rafi. Sayang pada kita semua, kiamat itu tidak akan menyakiti kita. Kita akan diselamatkan oleh Allah yang menyayangi kita. Oke?”

”Aku ingin di sayang Allah terus”, anakku Rayyan bergumam. Nah ... umpanku dicaploknya. Aku berbinar. Hatiku girang tidak alang kepalang. Ini yang aku tunggu-tunggu.

”Mas, kita semua bisa disayang Allah selamanya. Tetapi agar kita disayang Allah ada syaratnya”, aku pancing lagi ingin tahunya.

”Apa yah syaratnya?”, gooooooool. Aku mendapatkannya.

”Mas Rayyan sudah punya kok syaratnya, cuma masih harus ditambah. Kemarin, mas Rayyan sudah puasa Ramadhan sebulan kurang sehari karena sakit. Mas Rayyan sudah mau ngaji lagi. Allah pasti sayang. Tapi jika mas Rayyan solatnya juga rajin, hmmmm, Allah pasti sayang terus sama mas Rayyan. Tapi jika kita semua tidak mau puasa, tidak mau ngaji, tidak mau solat, Allah juga tidak mau sayang sama kita”. Ya Rabb, semoga ini membekas dalam kalbunya.

Aku senang bisa melukis tauhid di atas kanvas jiwa Rayyan. Harapanku, semoga lukisan iman itu lebih mempertegas syahadat di hadapan Rabbnya saat ia di alam rahim. Dan semoga, lukisan itu akan dibawanya sampai mati, sampai dibangkitkan dan menjadi bekalnya saat kiamat nanti. Aku kira, semua orang tua akan senang melakukannya.

Aku bersyukur masih ada anak yang menangis karena kiamat di zaman ini. Dunia sekarang adalah dunia lawakan, dunia sinteron dan dunia musik serta hiburan. Dunia seperti itu jarang mengajarkan tetesan air mata dan rasa takut pada Tuhan. Bahkan berita tentang kiamatpun diiringi gitar, gendang, perkusi, seruling dan goyangan. Pada akhirnya, berita tentang kiamat yang dihantarkan oleh musik tidak menggerakkan manusia mengingat kuburan, tetapi larut dalam kesyahduan suara seruling dan perkusi serta kesenangan.

Aku sempat melihat di televisi sang raja musik khusyu membawakan lagu kiamat. Tetapi tak ada satupun yang menangis. Bahkan walau dengan malu-malu, masih ada juga yang bergoyang. Tapi mungkin masih nyerempet-nyerempet relevan, sebab nanti di hari kiamat manusia bergoyang seperti mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Hiii, serem lagi.

”(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras”.(terjemah QS. Al Hajj [22]: 2)

Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.(terjemah QS. Abasa [80]:33-37).

Bagaimana kita tidak tersentak memahami berita dahsyat di atas? Bagaimana mungkin dahsyatnya kiamat dihiburkan dengan seruling, gendang dan perkusi? Sedangkan generasi terbaik ummat ini tidak kering-kering air matanya membayangkan kerasnya yaumul qiyaamah. Astaghfirullah.

Diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rosulullah bersabda: “Sesungguhnya aku melihat sesuatu yang tak bisa kalian lihat, mendengar apa yang tak kalian dengar, yaitu langit telah retak dan sudah semestinya langit berderak. Di sana tiada suatu tempat untuk empat jemari kecuali telah ada malaikat yang menyungkurkan dahinya bersujud kepada Allah. Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian pasti sedikit tertawa dan banyak menangis. Kalian juga tidak akan bersenang-senang dengan istri di tempat tidur, kalian tentu akan keluar ke jalan-jalan untuk memohon perlindungan kepada Allah” lalu mata Abu Dzar pun berlinangan tangis dan berkata: “demi Allah, seandainya bisa, lebih baik aku menjadi pohon saja yang diambil daunnya”(HR Tirmidzi: 2312).

Mikal, Rayyan, Rafi, semoga tangis kalian tidak sia-sia.

La Tahzan, Bunda..

Tadi Ibu diremehkan oleh Tante A… mungkin karena Ibu tidak memiliki banyak harta seperti Tante”. 

Terdengar lirih suara ibu, ada guratan sedih di wajahnya. Bisa kubayangkan betapa sedih hati ibu diperlakukan seperti itu. Sebagai anaknya, aku tak rela ibu tersayang tersakiti hatinya. 

Duhai Bunda, maafkan anakmu ini yang belum bisa membahagiakanmu dengan harta… Kupeluk erat ibu, kuyakinkan dengan sebuah ayat Allah bahwa Janganlah merasa lemah dan jangan pula bersedih hati sesungguhnya derajatmu tinggi, jika kamu orang yang beriman.” Ibu pun tersenyum.

Di sajadahku,ketika bermunajat kepada-Mu kembali kumohon kepada-Mu,”Ya Allah… sayangilah Ayah Bunda, Sayangilah keduanya sebagaimana mereka sangat meyayangiku di waktu aku kecil. Berikan untuk Ayah Bunda kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akhirat nanti… amiin.

Tante A memang hidup bergelimang harta. Ia tinggal di sebuah rumah megah di kawasan elit Jakarta, lengkap dengan barisan mobil mewah di garasinya. Tante A menjabat posisi penting di sebuah perusahaan besar, belum lagi bisnis sampingan lainnya. Terakhir kudengar ia menjalin bisnis dengan seorang pengusaha ternama dengan proyek bernilai miliaran rupiah. 

Di antara seluruh keluarga kami, kulihat Tante mendapat perlakuansangat istimewa, Ia menjadi orang VVIP dalam setiap acara keluarga. Kedatangannya begitu dinanti-nantikan, hidangan istimewa kegemaran Tante selalu tersaji untuknya.

Aku sendiri ikut bahagia dengan kesuksesan Tante. Aku menghormatinya, tapi tidak berlebihan. Harta benda yang kita miliki di dunia ini toh hanya titipan Allah semata, setiap saat Allah bisa memintanya kembali, dan Allah akan meminta pertanggungjawaban kita , dari mana kita memperoleh harta tersebut, dan bagaimana kita menafkahkannya.

Milik Allah-lah apa yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang MahaKaya, Maha Terpuji (Q.S Luqman :26.). Semua milik Allah… Segala harta benda yang kita miliki, kecantikan, ketampanan, ilmu pengetahuan , dan diri kitapun milik Allah, akan kembali kepada Nya… Lalu apa yang bisa kita banggakan? masihkah kita membanggakan dan menyombongkan diri?

Kenyataannya memang masih banyak orang yang silau harta. Mereka menganggap orang ‘besar’ adalah orang yang berharta banyak. Orang berharta begitu sangat dihormati dan dipuja-puji, tanpa dilihat lagi ahlak yang dimiliki… 

Tak ingatkah mereka kisah Qarun dan Fir’aun? Jika harta menjadi penentu derajat seseorang, apakah lantas Qarun dan Fir’aun juga merupakan ‘orang besar’? Mereka justru orang berharta yang celaka dibinasakan oleh Allah. Qarun beserta hartanya dibenamkan Allah ke dalam bumi, dan Fir’aun ditenggelamkan di Laut Merah.

Penentu derajat seseorang bukan harta, bukan pula jabatan… berharta dan berkuasa tapi tak beriman pastilah binasa seperti Qarun dan Fir’aun. Banyak contoh lain, dari negeri kita sendiri. Orang yang dulunya kita anggap ‘besar’ ,namun ternyata pada akhirnya harus menghabiskan masa hidupnya di penjara, karena mereka ternyata tidak amanah, memakan uang rakyat yang sama sekali bukan haknya. 

Kehidupan mereka berakhir tragis di penjara, ditambah lagi hujatan masyarakat. Bagaimana dengan kehidupan alam kubur dan kehidupan akhirat mereka? Mungkin lebih mengerikan…

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya pasti Kami berikan balasan penuh atas pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah disana apa yang telah mereka usahakan di dunia dan terhapuslah apa yang mereka kerjakan ( Q.S Hud 15-16).

Wallohu a’laam bishshowaab.

Kemulianmu di Rumahmu

“Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur (untuk berhubungan suami-istri), kemudian ia tidak memenuhi panggilannya, melainkan Dia yang ada di atas langit (Allah), akan murka kepadanya, hingga suaminya itu rida kepadanya “ (HR.Muslim)

Hadits itu disebutkan dosen fiqh beberapa minggu lalu ketika membahas tentang hak-hak suami istri. Beliau menjelaskan (dalam bahasa Arab yang artinya kurang lebih):

“Jadi, seorang istri wajib untuk memenuhi panggilan suaminya selama ia tidak memiliki udzur (seperti sakit, haid dan perkara lainnya yang dibolehkan syariat). Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa sekalipun ia (si istri) sudah di atas hewan tunggangannya, maka ia wajib memenuhi panggilan suaminya. Makanya kalau si istri sudah sampai airpot mau naik pesawat yang berangkat ke Amerika, misalnya, lalu suaminya menelepon, ‘Saya ingin ‘sesuatu’ sama kamu, ‘ maka itu wajib dipenuhi. “

Kami tertawa, merasa geli dengan contoh yang beliau berikan. Beliau memang sering menyebutkan contoh yang menggelitik (menurut kami) ketika mengajar.

“Karena itu, seorang istri harus memperhatikan hak-hak suaminya. Memperhatikan rumah dan anak-anaknya, karena itu merupakan tanggung jawabnya. Jangan sampai ia sibuk di luar rumah sehingga terbengkalailah hak suami, “ ujar beliau. “Dan jangan pula si suami sibuk bekerja di luar, ia juga sibuk di luar, lantas siapa yang akan membimbing anak-anak? Apakah mau diserahkan kepada pembantu? Sedangkan pembantu zaman sekarang kebanyakan mereka fasik, tidak mengerti agama. “

Beliau lalu berkata, “Makanya saya nasehatkan bagi tolibat (para mahasiswi) setelah lulus dari sini tetap mengutamakan dan memperhatikan rumah (keluarga) dibandingkan mengajar. “

Mendengar itu saya jadi penasaran. “Ustadz, kalau begitu, apakah tolibat memilliki tanggung jawab dakwah di luar (rumah)? " tanya saya.

Beliau menjawab, “Tidak, Urusan terkait dakwah (di luar) itu, ada di pundak kaum pria, bukan wanita. 

Makanya di kalangan salafussaleh dulu tak ada wanita yang keliling berdakwah, mengajar kesana-kesini meninggalkan rumahnya. Coba perhatikan Aisyah istri nabi. Beliau berdakwah, tapi itu di rumahnya, bukan di luar. Justru murid-muridnya lah ketika itu yang berdatangan ke rumahnya untuk menimba ilmu. “

Kemudian beliau berkata, “Kalau mengajar sekali atau dua kali seminggu sih, ya masih wajar. Tapi kalau setiap hari keluar, ke sana-sini, menghabiskan banyak waktu di luar, ketika sampai di rumah lalu suaminya ingin ‘bersenang-senang’ dengannya, apa yang akan ia katakan? ‘Ah, capek. ‘ Ini jelas keliru. Menunaikan hak suami itu merupakan kewajibannya. (sedangkan dakwah bukan kewajibannya).“

Saya bertanya lagi untuk lebih jelas, “Jadi, sebenarnya tanggung jawab dakwah kepada para wanita dan ummahat itu asalnya ada di tangan kaum pria? “

Beliau menjawab, “Ya, kewajiban mendidik para istri dan ummahat, itu asalnya ada pada para suami. Tapi kalau mereka (para suami) tidak bisa dan tidak memiliki ilmu untuk mengajarkannya, barulah itu diserahkan pada orang lain yang mumpuni. Dan kalau keadaannya sudah seperti itu (suami tak bisa mengajarnya), maka tak mengapa ia keluar untuk mempelajari perkara-perkara din yang vital baginya. “

Beliau juga berkata, “Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengais rezeki di luar rumahnya, kalau ia memang memiliki hajat untuk itu, seperti membantu perekonomian keluarga yang tidak bisa dipenuhi suaminya, “

Kemudian menerangkan, “Akan tetapi, asalnya ia harus selalu memperhatikan urusan rumahnya dan tidak disibukkan dengan perkara di luar. Makanya dalam syariat, hanya pria yang diperintahkan untuk melakukan amalan yang banyak melibatkan fisik di luar seperti jihad, shalat berjamaah, dan lain-lain, sedangkan wanita tidak. “

Beliau menjelaskan lebih lanjut, “Dengan tidak diperintahkannya wanita melakukan amalan di luar, bukan berarti wanita tidak mendapatkan keutamaan apa-apa, mereka bisa pula menandingi amalan kaum pria. 

Disebutkan dalam suatu hadits, ‘Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki. ‘ perhatikanlah keutamaan yang besar ini bagi wanita. “

Terima kasih ustadz, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas ilmu yang kau ajarkan. Ilmu yang sangat bermanfaat bagi kami.

Aduhai, seandainya saja para muslimah mendengar nasehatmu, ya ustadz, tentu itu akan bermanfaat untuk mereka, insya Allah.

Seandainya saja para muslimah menyadari keagungan hak-hak suami mereka tentu mereka tak akan melalaikannya karena alasan apapun, termasuk juga karena dakwah.

“Seandainya saja aku diperbolehkan memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya. “ (HR. Tirmidzi)

“Lihatlah kedudukanmu di sisi suamimu, karena ia adalah surga dan nerakamu. “ (HR. Nasai)

Seandainya saja mereka menginsafi kalau anak-anak itu harta berharga yang membutuhkan perhatian dan bimbingan intensif, tentulah mereka tak akan membiarkan anak-anak mereka kebingungan memilih dan menjalani orientasi kehidupan mereka sehari-hari.

“Bila meninggal anak Adam, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya. “ (HR.Muslim)

Seandainya saja mereka mengetahui bahwa melalui tangan-tangan telaten merekalah, Allah akan memunculkan para pejuang umat yang akan membebaskan Al-Quds dari kaum yang dimurkai Allah, mengusir penjajah kafir dari Irak dan Afganistan, melepaskan penderitaan orang-orang yang terzalimi di Chechnya dan di berbagai belahan bumi Allah lainnya, niscaya mereka tak akan menyianyiakan dan menelantarkan aset berharga itu.

Ah, seandainya saja mereka mengetahui bahwa kemuliaan dan kehormatan mereka itu ada di dalam rumah, niscaya mereka tak akan meninggalkannya karena alasan apapun dan karena siapapun, kecuali sekedarnya saja.

Surat Untukmu Nak, “Engkau Adalah Harapan”

Untuk calon anakku yang belum tahu dari rahim wanita mana engkau akan lahir dan melihat dunia, nak kutulis surat ini kepadamu agar engkau tahu bahwa aku juga seperti calon ibumu yang mungkin juga merindukan kehadiranmu, insya Allah.

Nak, besar harapan ayahmu ini kepadamu, agar kelak bila engkau hadir di dunia mampu mengetarkan istana kesyirikan dan tiran yang telah menindas Umat Islam, di manapun mereka berada. Melawan mereka dengan teman atau sendirian, walau engkau harus menebus itu semua dengan kematian.

Nak, walau nantinya ayahmu ini tidak mampu memberikan kasih-sayang seperti ibumu berikan, tapi yakinlah semua yang ayah lakukan adalah agar engkau mendapatkan yang terbaik, agar engkau menjadi manusia seutuhnya.

Nak bila engkau telah hadir di dunia, ayah ingin mengatakan kepadamu seperti Luqman Hakim menasehati anaknya yang di abadikan oleh Allah SWT dalam kalamNya yang suci. Ku tulis lagi nak kata-kata Luqman kepada anaknya agar engkau bisa mengambil pelajaran darinya, agar engkau meneladani mereka yang namanya telah melambung tinggi ke langit dan mengharumkan diri dengan keteladanan.

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah). Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar’.”

(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui’.

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Nak, mungkin kata-kata di atas yang dapat ayahmu berikan kepadamu, karena ayahmu ini tidak punya dunia dan tahta untuk diwariskan kepadamu kelak, namun ayah yakin bila engkau meneladani perkataan Luqman Hakim kepada anaknya, semua bangsa-bangsa akan tunduk di bawah kakimu dan dunia dalam gengaman tanganmu, tapi ayah berharap bukan itu tujuan hidupmu, ada tujuan yang lebih mulia daripada kenikmatan dunia yaitu kampung surga yang kekal abadi dan bertetangga bersama Rasulmu kelak di sana.

Itu saja nak harapan ayah kepadamu, mungkin terlalu berlebihan dan berat bagimu, tapi ayah yakin setiap manusia pasti berproses dalam menuju kesempurnaan walau harus mengorbankan semua yang dimiliki dan dicintai, dan ayah yakin engkau bisa melaluinya bila ikhlas hanya mengharap wajahNya yang mulia.

Mungkin untuk hal-hal yang lain ibumu lebih tahu daripada ayahmu ini, karena bagaimanapun jua, ayah tidak bisa setiap waktu ada di sampingmu dan menemani dalam melewati hari-harimu di dunia, ada yang membuat ayah akan selalu di luar rumah hingga intensitas pertemuan kita mungkin tak sebesar engkau bersama ibumu.

Satu lagi nak, bila suatu saat ada sesuatu terjadi pada ayah, engkau harus tabah, jaga ibumu dengan baik, taati dia dan jangan buat dia bersedih. Dan bila ayah tidak kembali ke rumah untuk selamanya itu bukan karena ayah tidak hirau dengan ibumu dan engkau tapi ini adalah panggilan yang ayah sudah berjanji bila masa itu telah tiba tidak akan menunda walau sedetikpun dalam menyambutnya.

Semoga pertemuan kita dipercepat oleh Allah SWT, agar Rasulullah SAW membanggakan ayah kelak karena punya banyak keturunan yang patuh dengan sunnahnya tanpa ada pertanyaan dan bantahan.

Dan surat yang amat sangat sederhana ini ayah tulis untukmu agar kelak bila engkau membacanya agar tahu betapa ayah sangat mencintaimu dan banyak berharap kepadamu.

Dari ayahmu yang sangat ingin melihat engkau kelak menjadi pejuang yang tegar di jalan tauhid dan jihad.

Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami

Perkawinan itu telah berjalan empat tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: "kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?". Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.Sang suami berkata kepada sang dokter: "Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran.

Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: "… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: "Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:" betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan".

Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: "istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …". 

Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah dihadapannya.Akhirnya sang istri berkata: "OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih".Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: "Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …".Sang istri pun bed rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: "Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja"."Haah, pergi?". Kata sang istri."Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat". Kata sang suami.Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri.

Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: "Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi".Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari'ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari `Ashim.Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan.

Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani
menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

Sabar Itu Indah

“Adikmu naik apa ke Surabaya?” tanya ayah saya di telepon pagi itu. “Bus ke arah Bungurasih, Yah.”

“Ada peraturan baru, katanya sekarang semua bus jalur pantura diarahkan ke terminal Osowilangon. Nggak ada yang ke Bungurasih. Tapi nggak tahu itu berlaku mulai kapan.”

Oh, ya? Terlintas kejadian beberapa hari yang lalu. Apakah itu ada hubungannya dengan bus yang saya tumpangi lintas trayek?

Sopir-sopir bus di jalur pantura ngalap berkah setelah libur akhir pekan berakhir. Penumpang akan berjubel hingga bus terasa seperti panggangan roti, panas. Tapi tak semua sopir bus mengalami nasib seberuntung bus PO Sabar Indah yang saya tumpangi pagi itu. Tidak biasanya bus ini mempunyai trayek yang berakhir di terminal Purabaya. Tapi karena terdesak oleh waktu saya naik saja tanpa sempat curiga.

Perjalanan menjadi semakin aneh ketika sopir PO Sabar Indah melambatkan laju kendaraan. Saya perhatikan dari belakang bus kami dikuntit oleh bus jurusan terminal Purabaya yang lain. Sopir membiarkan bus yang berada di belakang kami melaju lebih dulu. Tetapi begitu menuju gerbang tol, bus yang sedari tadi menguntit kami tiba-tiba memotong jalan. “Ada apa ini?” tanya saya dalam hati.

Tersadar sesaat kemudian. Rupanya PO Sabar Indah telah bermain curang. Tim mereka sengaja mengganti plang jurusan yang ada di kaca depan. Memang tidak ada pertengkaran di antara sopir-sopir itu, namun pastinya membawa kekecewaan bagi penumpang. “Setoranku nggak nutut, lho,” kata sopir bus saya membela diri. “Podho wae, wis podho-podho ono dalane, ojo nakalan,” bantah sopir yang satunya tak kalah sengit. Setelah itu mereka mengancam akan melaporkan PO Sabar Indah ke pihak yang berwajib.

Rupanya penumpang yang banyak telah menggelapkan mata sopir bus PO Sabar Indah. Padahal saya pikir diberinya nama sabar indah adalah sebagai doa agar kesabaran itu membuahkan rezeki yang halal dan thoyyib. Bukankah Rosulullah telah bersabda bahwa, "Janganlah kamu merasa, bahwa rezekimu terlambat datangnya, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga telah datang kepadanya rezeki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya, maka tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dishahihkan oleh al-Albani).

Lemahnya iman telah menyebabkan kita tidak yakin lagi dengan janji-janji Allah Ta’ala. Seolah-olah tujuan hidup kita hanyalah dunia, mencari makan, kekuasaan, dan kekayaan.

"Akan datang pada manusia suatu saat dimana seseorang tidak peduli dari mana hartanya didapat, apakah dari yang halal atau yang haram." (HR Ahmad dan Bukhari)

Bersabarlah! Bersabarlah dalam menjaga larangan Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya, menjalankan usaha yang jujur, selalu bekerja keras, dan tekun dalam mencari rezeki yang halal.

Bersabarlah! Untuk tidak melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah hanya karena ingin mengejar dunia dan kenikmatan semu, rezeki yang sudah ditakdirkan untuk kita tidak akan pernah diambil oleh orang lain bahkan pesaing kita sekalipun!

Dan bila kita masih berambisi mengejar dunia semata dengan meninggalkan ketaan kepadaNya, maka boleh jadi Allah akan memenuhi ambisi kita, tapi ingat di akhirat kita tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali siksa yang sangat pedih.

Dan ketika sabar diperintahkan Allah kepada kita semua, maka Allah pun adakan sebab-sebab yang membantu dan memudahkan seseorang untuk bersabar.

Ketahuilah tabiat dari kehidupan yang kita jalani adalah cobaan yang selalu menyertai kita karena manusia diciptakan dalam keadaan susah payah sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al Balad: 4 yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” Sabar adalah kunci kesuksesan seorang hamba, sebagaimana dijelaskan Allah dalam QS. Ali Imran: 200 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”

Jika mereka tahu balasan atas kesabaran dalam menjemput rezeki Allah, niscaya tak akan terjadi ketakutan setoran hari itu tak memenuhi target pada sopir bus PO Sabar Indah, karena sesuai dengan firman Allah, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. Al Baqarah: 155-157).

Ibnul Qayyim menyatakan: “Apabila seorang mengetahui kebaikan yang ada pada amalan yang diperintahkan dan akibat buruk dan kejelekan yang ada pada amalan yang dilarang sebagaimana mestinya, kemudian ditambah dengan tekad kuat dan motivasi tinggi serta harga diri maka insya Allah akan dapat bersabar dan semua kesulitan dan kesusahan menjadi mudah baginya.

Tapi kalau sudah bermain curang begini, sebanyak apapun uang yang didapatkan hari itu akankah menjadi berkah bagi diri mereka dan bagi yang mereka nafkahi kebutuhannya? Dan bilamana menjadi kaya, akankah kekayaan yang didapatkan akan pernah membuat bahagia? Tidak! Justru hal itu akan membuat hati sempit, jiwa terasa sesak, anak, isteri dan teman menjadi musuh, dan sedekah kita tak lagi bermanfaat.

Tidaklah kelapangan rezeki dan amalan diukur dengan jumlahnya yang banyak, tidaklah panjang umur dilihat dari bulan dan tahunnya yang berjumlah banyak. Akan tetapi, kelapangan rezeki dan umur diukur dengan keberkahannya." Wallohu a’lam bishshowab.

Turn to Allah

Pagi yang bersemangat karena tanggal merah dan week end membuatku bahagia. Bagaimana tidak, aktifitasku yang padat mulai hari senin hingga jum’at terkadang menyisakan penat. Tapi, hari ini berbeda. Rencana bertemu dan berkumpul bersama sahabat-sahabatku akhirnya bisa terlaksana juga. Meski rencananya spontan.

Berawal dari kesibukkan yang kujalani sehari-hari terasa begitu menyita waktu dan perhatianku. Tapi aku selalu mencoba untuk tetap terus keep in touch dengan para sahabatku. Bagaimana pun sibuknya aku, aku akan selalu merindukan pertemuan dengan mereka. Rindu untuk duduk bersama, bercengkrama, bercerita dan saling mendoakan bersama. Indah rasanya persahabatan ini.

Dan kini, kami memulai cerita kami. Membuka kehangatan dan keakraban seperti dulu lagi. Semua bebas bercerita. Mulai dari aktifitas masing-masing, kejadian yang membuat kami tertawa, mengerutkan dahi, atau cerita yang membuat otak kami mendidih. Aku sangat menikmatinya. Begitupun dengan yang lainnya.

Saat mata seorang sahabat berkaca-kaca, kami pun tahu ia sedang memiliki masalah. Kami pun terdiam. Menunggu kata berikutnya yang akan ia ucapkan. Yang terdengar kini isak tangisnya yang perlahan memecah keheningan kami. Aku pun memandang sahabatku satu persatu, mata mereka seolah-olah mengatakan hal yang sama, “aku tak tahu apa yang terjadi!”

Kuberikan kotak tisu kepadanya, kami biarkan ia menangis sepuasnya. Setelah agak reda, ia tersenyum. Aku pun memberanikan diri bertanya, “ada masalah ya? Ceritakan pada kami, supaya plong hatimu.”

“Iya mbak. Saya lagi sedih.” Jawabnya pelan.

“Sedih kenapa?” Tanya yang lain kompak.

“Ibu saya mbak, seperti tak mengerti keinginan saya. Selalu mendesak saya agar cepat menikah.” Jelasnya terisak.

Kami pun tersenyum menanggapi penuturannya. Aku dan dua sahabatku memang sudah menikah hingga pernah mengalami berada di posisi seperti itu dulu.

“Sabar ya sholihah, semua itu perlu komunikasi yang baik dan waktu serta sabar yang tak ada batasnya.” Ujarku menenangkan.

“Dalam sebuah kisah diceritakan, ada seorang hamba yang sangat taat dalam beribadah, rajin serta istiqomah dalam meminta pertolongan pada Alloh, bahkan ketika berdoa pun ia tidak pernah mengganti doanya, doanya selalu sama dari hari ke hari. Kemudian malaikat bertanya, “Ya Alloh, mengapa Engkau tidak mengabulkan doa hambaMu?” 

Alloh menjawab, “karena aku suka sekali mendengar doa-doa nya yang indah, tutur bahasanya yang cantik, rintihannya ketika memohon padaKu, jika Aku kabulkan permohonannya maka hambaKu tidak akan berdoa lagi padaKu, Aku ingin mendengar doanya lebih lama lagi!” ujar yang lainnya.

“Sabar ya saudariku. Semua orang ujiannya berbeda-beda. Meski Ibumu bersikap seperti itu, janganlah menyimpan kesal padanya.” Sahabatku menambahkan.

Kami semua terdiam. Semakin tertunduk dalam kepasrahan. Bahwa hidup ini memang sudah skenario Alloh. Peran apa pun harus bisa dilakoni dengan baik. Mengembalikan semua padaNya akan terasa lebih pantas daripada mengeluh. Dan terasa indah ukhuwah ini jika Alloh lah tujuan kita. Tak kan pernah menyesal mengenal mereka. Yang selalu menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Subhanalloh. Maha suci Alloh yang begitu sayang pada setiap hambaNya. Tak pernah Alloh luput menjaga kita, mengawasi kita, bahkan tak pernah Alloh melalaikan kita sedikit pun apalagi sampai melupakan kita.
Kita lah sebagai manusia yang selalu merasa kurang, tanpa pernah merasa bersyukur atas apa yang Alloh beri, bahkan lupa pada Alloh adalah kelalaian terbesar kita yang sudah biasa kita lakukan.

Turn to Allah
He’s never far away
Put your trust in Him
Raise your hands and pray
”Ooo… Ya Allah…
Guide my steps don’t let me go astray
You’re the only one that showed me the way”
....

Menjaga Izzah Diri

Manusia adalah makhluk social. Oleh karenanya secara fitrah kita butuh berinteraksi dengan orang lain. Rasanya sulit bagi kita untuk benar-benar menyendiri atau mengisolasi diri dari hidup bermasyarakat. Kita butuh bergaul, butuh memiliki teman. Maka tak heran acara ngumpul-ngumpul banyak digemari. Tidak salah memang. Terlebih dengan aktivitas harian yang membuat tubuh penat, belum lagi ditambah rasa jenuh, setidaknya berkumpul dengan teman-teman, bersenda gurau dapat sedikit mengendorkan urat syaraf.

Yang menjadi masalah adalah, berbeda dengan sabar yang tidak ada batasnya, bersenda gurau itu ada batasnya. Tapi, kita sering bercanda secara berlebihan. Rasulullahpun bercanda, tapi beliau jarang sekali melakukannya. Jikapun dilakukan, beliau tidak pernah berdusta ataupun berlebihan dalam candanya. Bercanda tidak dilarang, selama tujuannya benar yaitu sekedar menyegarkan suasana agar kepenatan atau rasa bosan bisa hilang. Tapi jangan sampai melampui batas.

Memang tiada yang lebih sukar untuk dijaga diantara begitu banyak nikmat Allah daripada memelihara lidah. Oleh karenanya sering kita jumpai orang yang mampu menjalankan ajaran agama, dermawan, rajin ibadah tapi sering mengucapkan kata-kata yang tidak manfaat, bercanda-canda dengan ungkapan yang jorok.

Terkadang sayapun tidak mengerti, apa yang membuat pembicaraan atau canda-canda bernuansa S.. begitu digemari. Yang lebih mengherankan adalah canda-canda seperti itu dilontarkan oleh orang-orang yang notabene faham agama dan menjalankan ajaran agama, orang yang dihormati di lingkungannya dan orang yang rajin ibadahnya. Tidakkah terbesit keinginan untuk menjaga izzah diri? Tidak bermaksud muna (istilah untuk mereka yang dianggap sok alim), tapi, tidakkah kita merasa risih mendengar hal-hal seperti itu?

Walaupun tetap tidak pantas, dapat dimaklumi, mereka yang memang hobi berhaha hihi, orang yang tidak menyandang embel apa-apa dalam kehidupan social, bercanda-canda kelewat batas dengan ungkapan yang seronok. Setidaknya itu tidak menurunkan wibawa mereka, tapi, untuk mereka yang menjadi panutan? Untuk mereka yang dipandang terhormat? Tidakkah itu menurunkan kemuliaan?

Rasanya hampir seluruh umat muslim tahu bahwa Rasulullah pernah bersabda,” Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara yang baik atau diam.” (HR. Bukhari)

Rasulullah menyeru, kepada orang yang beriman kepada Allah untuk berbicara hanya yang baik-baik saja. Karena Allah Maha Baik dan hanya menyukai yang baik-baik. Dan Rasulullah juga menyeru kepada mereka yang beriman kepada adanya hari akhir. Artinya ucapan-ucapan yang kita lontarkan memiliki dampak di kehidupan kita kelak di akhirat. Kalau kita yakin dengan adanya hari akhir, maka bicaralah hanya yang baik-baik saja.

Selain itu, pesan singkat Rasulullah ini, akan memberi kemulian, kehormatan dan kewibawaan bagi yang menerapkannya. Bayangkanlah, jika kita bertemu dengan orang yang santun dalam bicara, terkendali dalam segala ucapan, pastinya kita merasa sungkan sekaligus hormat. Bandingkan dengan orang yang senang mengumbar omongan, pun kalau bicara tidak manfaat, apa perasaan kita?

Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda, “Seorang mukmin bukanlah pengumpat dan yang suka mengutuk, yang keji dan ucapannya kotor.” (HR. Bukhari)

Pertanyaannya, mukminkah kita?
…..
Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat tinggalnya denganku pada hari kiamat kelak adalah orang yang paling baik budi pekertinya. Dan orang yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh tempat tinggalnya denganku pada hari kiamat kelak adalah orang yang banyak mulut, bermulut usil dan bermulut besar.” (HR Tirmidzi)

Banyak mulut artinya orang yang suka berbicara tanpa faedah, mulut usil artinya orang yang suka menyakiti orang lain dengan omongannya dan mulut besar adalah orang yang sombong.

Tidakkah kita rindu akan surga? Tidakkah kita rindu untuk bersanding dekat dengan Rasulullah?

Karenanya, hiduplah bermoral, terhormat dan mulia di bawah bendera islam. Kita jaga kesucian agama kita dengan menonjolkan imej yang baik dengan menjaga muruah kita sebagai muslim. Menjaga perilaku, menjaga ucapan. Ketidakmampuan kita menjaga citra diri yang baik, indikasi kelemahan moral, dan kelemahan moral merupakan indikasi kelemahan iman.

Sebagi penutup, semoga firman Allah dibawah ini, menjadi pemicu kita untuk berbenah diri. Allah berfirman,”Yaitu ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 17-18)
Wallahu’alam.

Jangan Bentak Anak Itu !

Adzan Magrib baru saja berkumandang. Walaupun seharian ini hujan terus mengguyur, tak menyurutkan minat anak–anak sore itu untuk mendatangi musholla dekat tempat tinggal mereka. Sebagian ada yang didampingi orang tuanya, sebagian lagi berangkat sendiri dengan terlebih dahulu mampir ke teman sepermainan.

Halaman musholla yang tadinya sepi sekarang ramai dengan riuhnya bocah–bocah kecil itu. Ada yang masih memanjat pagar, ada yang bermain kejar-kejaran dan beberapa lagi nampak berwudhu walaupun masih jauh dari sempurna. Paling tidak tangan, wajah dan kaki sudah dibersihkan. Kalau kebetulan disampingnya ada orang dewasa biasanya mulai benar wudhunya. Mereka akan ikuti dari awal sampai akhir. Maklum usia mereka sebagian masih sekitar empat tahunan.

Sekitar sepuluh menit kemudian iqomahpun terdengar dikumandangkan. Mereka berlari berlarian masuk musholla agar bisa menempati shaft ke dua minimal. Tapi kadang-kadang mereka menempati shaf pertama kalau kebetulan jamaah dewasanya agak kurang. Kulihat salah seorang jamaah mulai mengatur anak-anak itu dengan sabar. Satu per satu diatur rapatnya badan dan kaki dengan teman disebelahnya. Itupun masih harus ditambah dengan nasehat tidak boleh ramai kalau sedang sholat.

Begitu imam mengumandangkan takbiratul Ihram suasana menjadi hening. Anak- anakpun terdiam karena baru mulai takbir. Begitu Al-fatihah dibaca secara jahr, mulailah mereka yang sedikit hafal bacaan tersebut ikut mengeraskan bacaannya mengikuti imam. Satu anak ikut membaca yang lain sepertinya tidak mau kalah, lebih nyaring lagi malah. Jadilah bacaan Al-fatihah itu seperti koor. Dan koor itu baru berhenti ketika imam membaca surah pendek yang mereka belum kenal apalgi hafal. Sholatpun kembali tenang dan hening.

Rokaat kedua dimulai. Saat Al-fatihah kembali dibaca oleh imam dengan tartil, mulailah anak–anak itu kembali mengikuti. Salah satu dari mereka menegur dengan pelan maksudnya : "jangan ribut , biar pak imam saja yang baca !" Rupanya dengan usia yang memang belum sampai, diapun menimpali : "aku bisa kak , alhamdulillahi robbil ‘alamin ..." Diteruskannya bacaan tadi sampai batas dia hafal. Kakaknya yang lebih besar mencoba menenangkan suasana dengan member kode supaya anak itu diam. Itupun tidak mempan karena memang belum faham. Bahkan dia mulai berlari kekanan dan kekiri sambil mengganggu kakak-kakaknya yang mulai belajar khusyu.

Suasana gaduhpun tak terhindarkan. Syukur pak imam tidak terpengaruh dengan gaduhnya anak-anak itu. Rupanya ada satu jamaah yang merasa risih dengan kondisi tersebut. Dia bangkit, keluar dari shaf kemudian membentak anak–anak itu : ’ Diam... , kalau nggak mau diam nggak usah sholat, di luar saja !’’ Aku sempat kaget juga dengan teguran itu. Beberapa jamaah mengatur shaf agar tidak bolong setelah ditinggal olehnya. Suasana menjadi hening dan tentu menegangkan bagi anak-anak itu.

Suasana sholatpun kembali tenang pada rokaat ke tiga. Dalam hati akupun bersyukur suasana sholat Magrib itu kembali tenang. Justru aku tersentak ketika mengucapkan salam pertama. Tak satupun anak-anak yang tadi ikut berjamaah di belakangku tersisa di situ. Semua kabur rupanya.... Pantesan sepi, pikirku. Dan semua jamaah dewasa saling diam tanpa aku mengerti jalan pikirannya.

Sepanjang jalan sepulang jamaah aku merenung, adakah yang salah ? Dulu waktu kecil sepertinya aku mangalami hal yang sama. Atau bahkan lebih dari itu. Yang jelas seingatku dulu rasanya nggak afdhol kalau nggak ikut membaca Al Fatihah dengan nyaring yang kadang–kadang lebih nyaring dari imam. Atau merasa kurang ramai kalau sujud nggak sambil menggelitik kaki jamaah di depanku. Yang aku tahu bahwa sholat berjamaah itu mengasyikkan dan menyenangkan. Ramai ketemu teman-teman, rukuk sambil menoleh kanan kiri, atau sujud sambil mendengarkan bacaan sujud teman sebelahku yang juga belum hafal seluruhnya. Ahh ... dasar anak–anak.

Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun tentunya suasana diatas memang harus diluruskan. Barangkali caranya yang harus diperhalus. Wajar kalau anak–anak dengan usia dibawah 5 tahun masih belum faham tentang sholat yang baik. Diperlukan kesabaran yang luar biasa memang menghadapi mereka. Bahkan nasehat yang sama agar tertib kalau sholat tetap saja di perlukan setiap menjelang sholat .

Adalah hal yang sulit kalau kita yang dewasa berharap dengan satu kali nasehat mereka akan pakai seterusnya. Karena usia mereka memang usia bermain, dan barangkali waktu kecil kita juga melakukan hal yang sama.

Ada contoh yang indah dari Rasulullah SAW mengenai jamaah bersama anak–anak. Suatu saat saat Rasulullah menjadi imam tiba–tiba cucu beliau Umamah binti Zaenab menangis dan digendongnya sambil tetap menjalankan sholat tanpa terganggu dengan tangisan cucunya. Begitupun dengan para sahabat yang menjadi makmum. Ada kesejukan disana, si anak terpenuhi kebutuhan emosionalnya sementara Rasulullah SAW dan para sahabat yang sedang sholat tetap khusyu menghadap Rabb nya. Bahkan pernah juga cucu beliau naik ke punggung saat beliau sujud dan Rasulullah SAW sujud dengan cukup lama sehingga pada saat selesai sholat sahabat bertanya apakah yang terjadi ? Dengan sabar Nabi junjungan kita itu menjelaskan keadaan yang barusan terjadi. Dan itulah Allah menghendaki agar hal tersebut jadi tuntunan bagi kita umatnya. Semuanya diselesaikan setelah sholat, bukan pada saat sholat berlangsung.

Akupun ingat cerita beberapa warga yang mengetahui sejarah berdirinya musholla di lingkungan kami itu. Konon musholla itu didirikan untuk menampung anak-anak belajar ngaji dan sholat berjamaah setelah beberapa kali orang tua mereka mendapati anak- anaknya selalu dimarahi bahkan dibentak–bentak ketika ikut sholat di masjid. Akhirnya anak-anak itupun jadi takut ke masjid. Dan wargapun mulai membuat musholla untuk pembelajaran anak-anak mereka. Kalau masjid atau musholla sudah menjadi momok bagi anak–anak, rasannya tidak berlebihan kalau kita harus merasa ketakutan tentang hilangnya generasi muslim yang akan datang.

Adalah hal yang sangat sulit ketika kita berharap pada saat dewasa kelak mereka menjadi generasi yang cinta masjid dan sholat berjamaah kalau tidak dimulai dari kecil. Atau kita boleh merasa iri apabila di hiruk–pikuknya pasar masih banyak saudara–saudara kita yang bisa melaksanakan sholat dengn khusyu dikios kecilnya tanpa terganggu dengan lingkungan sekitarnya. Nasehat bagi mereka tetap harus dilakukan sebelum sholat dimulai atau ditegur setelah sholat selesai. Pada saat setelah kita membantu mengatur shaf mereka, maka serahkanlah urusan selanjutnya kepada "Yang menguasai dan yang bisa membolak-balikkan hati manusia". Karena mereka semua adalah anak-anak kita ......