Sabtu, 23 April 2011

Tentara Dajjal Telah Muncul ?

Benarkah bala tentara Dajjal telah muncul? Pertanyaan ini mencuat ketika Israel memperkenalkan “Kfir” yang merupakan brigade elit Israeli Defenses Force (IDF). Brigade ini dibentuk sebagai “900th Brigade” atau Brigade ke-900, yang masuk dalam unit paling elit satuan infanteri IDF di bawah Kementerian Pertahanan Israel. Brigade Kfir berada di bawah komando Divisi 162 (Utzvat Haplada). Nama aslinya Brigade tersebut adalah “KFR”, karena sistem huruf Ibrani tidak mengenal huruf hidup. Pasukan ini juga merupakan kesatuan anti teroris yang paling efektif di negara israel. Bukan itu saja, perusahaan penerbangan Israel bernama IAI yang bekerja sama dengan agen pemerinta juga telah meluncurkan pesawat tempurnya yang diberi nama Kfir (lihat gambar).


Mereka sendiri mestinya sudah tahu benar dengan arti kata Kfir tersebut. Lantas apakah kesombongan lah yang membuat mereka menamakan dirinya Kafir (tidak percaya kepada tuhan) atau alasan lainnya?

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa Ciri-ciri fisik Dajal, selain bermata satu, di jidatnya juga ada aksara Arab “Ka Fa Ra” atau Kafir. Kafir berarti “Tidak mempercayai”. Dajjal dan para pengikutnya memang tidak percaya pada Allah Swt, karena mereka lebih percaya pada Iblis atau Lucifer. Dihadist lain, Rasul juga mengatakan bahwa Dajjal akan memimpin pasukan yang berjumlah 70,000 pasukan. Dan dihadist lainnya pula disebutkan bahwa Dajjal hanya memiliki satu buah mata. Coba perhatikan gambar di bawah ini :


Jadi benarkah pasukan Dajjal telah muncul? Benarkah kiamat semakin dekat? Wallahua’lam…

Ketika Muslimah Keblinger Mendambakan Mahkota Miss Universe

Ironinya wajah identitas muslimah yang makin tertutup kabut materialisme dan terinjak-injak nafsu bejat setan yang menggelantung di panggung Miss Universe. Ketika sebagian muslimah berjuang untuk mempertahankan hijab dengan resiko dikeluarkan dari sekolah, dikucilkan, dan diintimidasi, sebagian muslimah di belahan dunia lain malah ngotot ingin memamerkan auratnya dengan dalih ‘muslimah pun bisa menjadi ratu sejagat’.

Adalah Shanna Bukhari (24), seorang mahasiswi jurusan sastra di salah satu universitas di Inggris yang berhasil lolos ke babak Final dalam ajang Miss British setelah lolos kualifikasi Miss Universe Asiana–sebuah kontes kecantikan untuk gadis-gadis Asia yang tinggal di Inggris.

Untuk kemudian akan bersaing dengan 59 kontestan lain di final pada Mei 2011 nanti yang memperebutkan gelar Miss British dan mewakili Inggris di ajang Miss Universe di Sau Paulo Brazil September 2011.

“Saya ingin gadis-gadis lain dari komunitas muslim merasa, mereka dapat melakukan ini. Keluarga saya mendukung saya, dan teman-teman saya– termasuk yang mengenakan kerudung– juga mendukung saya,” ungkap Shanna yang berdarah Pakistan yang kini tinggal di Rochdale, Greater Manchester.

Seperti yang bisa diduga, ‘kenekatan’ Shanna pun menuai badai kritik dan hujatan baik dari sesama muslim ataupun hujatan rasis dari warga kafir. Di akun Facebook-nya Shanna mengaku mendapat ucapan ‘sumpah serapah’ dari pria yang mengatakan “kamu bukan muslim, membusuklah kamu di neraka”, tetapi Shanna menanggapinya dengan santai dan tetap tak bergeming dengan mengatakan, “ini adalah keinginan saya, ini bukan hanya soal penampilan”.

Itulah keingian Shanna, keinginannya untuk membusuk di neraka bersama mahkota Miss Universe yang menyilaukan mata hingga membuatnya rela menggadaikan sebagian keimanannya demi bisa berlenggak lenggok memamerkan auratnya yang berbalut bikini buatan kaum kafir. Nauzubillah.

Tidakkah ia ingat Hadist Rasulullah SAW yang mengatakan “Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu kaum yang membawa cambuk bagaikan ekor sapi, mereka memukul orang-orang dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, memikat hati, dan berlenggang lenggang, kepala mereka bagaikan punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan aromanya, padahal aromanya dapat dicium dari jarak perjalanan sekian dan sekian “ (HR. Muslim)

Atau mungkin Shanna memang tidak ingat sama sekali karena ia tak pernah ingin mempelajari ajaran agamanya yang mulia dan lebih silau dengan gemerlap dunia yang dipampangkan setan dan sekutunya.

Sikap Shanna pun ditanggapi ‘positif oleh panitia Miss British. “Sangat menyenangkan melihat final Miss British tahun ini, merefleksikan multikulturalisme pada masyarakat Inggris modern,” ungkap seorang panitia.

Sungguh malang nasib Shanna Bukhari ini, di dunia ia akan terhina karena mengikuti jejak kafirin dan di akhirat ia akan dimintai pertanggung jawaban atas pilihannya yang tentunya berbuntut hukuman pedih oleh Allah SWT.

”Kamu pasti akan mengikuti sunah perjalanan orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga walaupun mereka masuk lubang biawak kamu akan mengikutinya”. Sahabat bertanya:” Wahai Rasulullah saw apakah mereka Yahudi dan Nashrani”. Rasul saw menjawab:”Siapa lagi!” (HR Bukhari dan Muslim).

Menjaga Lisan Dari Mengutuk dan Melaknat

Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab yaitu bermakna mencerca, yang kedua  bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu ‘anhu berkata :

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.

Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)

Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : 

“Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.

Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.

Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :

“Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)

Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.

Antara Ta’ashub Dengan Komitmen Di Jalan Al Haq

Seringkali kita menemukan seseorang atau suatu kelompok manusia yang sangat kuat dalam memegang suatu keyakinan atau sangat berkeyakinan bahwa pendapat syaikh Fulan adalah haq (benar), dan lain sebagainya. Sehingga membuat kita sangat sulit dan bingung atau bahkan terkecoh untuk membedakan antara seseorang itu adalah muta’ashib (bersikap ta’ashub) atau seseorang itu berdiri tegak di atas Al-Haq.

Kebalikan dari ta’ashub adalah kokoh di atas kebenaran dan berpegang teguh padanya. Kadang-kadang makna keduanya hampir sama, maka tidak bisa dibedakan kecuali dengan pandangan yang jeli dan teliti. Kadang kala kedua peristilahan itu rancu, sehingga kita lihat sebagian orang memuji ta’ashub dan beranggapan bahwa ta’ashub itu menunjukkan kekuatan iman dan kekokohan aqidah. Sebaliknya kita lihat pula sebagian orang mencela orang-orang yang berpegang teguh pada al-haq dan menggelari mereka dengan gelar jumud dan ta’ashub. Yang benar, keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh, baik asal-usul timbulnya, caranya dan hasilnya.

Adapun yang menimbulkan ta’ashub adalah dha’fu an-nafs (kelemahan jiwa/diri) dan kedangkalan akal. Sedangkan yang menimbulkan sikap berpegang kepada al-haq adalah kemantapan pendapat (al-qana’ah bi ar-ra’yi) dan jelasnya dalil.

Tata cara orang-orang yang ta’ashub adalah membendung serta menghalang-halangi usaha-usaha mengetahui atau mendengarkan dalil atau membandingkan dalil yang digunakan oleh orang yang berbeda pendapat dengannya. Sedangkan tata cara orang yang berpegang teguh pada al-haq adalah al-munaqasyah al-hurr (kebebasan bertukar pikir) dan mendengarkan dalil dari orang yang menyelisihinya dengan lapang dada serta membantah lawan bicara dengan mengharapkan supaya orang yang berbeda pendapat dengannya mendapat petunjuk dan tidak menghendaki kekalahannya.

Buah dari ta’ashub adalah perselisihan dan perpecahan serta saling membenci. Sedangkan buah dari berpegang teguh kepada kebenaran adalah kebersatuan di atas al-haq dan kembalinya orang-orang yang bersalah kepada al-haq.

Penjelasan mengenai perbedaan yang besar antara istilah ats-tsabit ‘ala al-haq wa al-mutamasik bihi (orang yang kokoh di atas kebenaran dan berpegang teguh padanya) dengan al-muta’ashib (orang yang ta’ashub), bukanlah dimaksudkan untuk menilai orang per orang, tetapi hendaklah dengannya kita bisa mawas diri dan kemudian bertanya kepada diri sendiri apakah jalan kita sudah benar atau sesuai dengan syariat Islam yang sebenar-benarnya. Yaitu mengenal islam melalui dalil-dalilnya yang shohih atau kita mengaku berpegang teguh dalam jalan Islam tetapi pada kenyataannya berjalan di atas jalan oran-orang ahli bid’ah. Yakni dengan berta’ashub kepada seseorang tertentu (selain Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam) atau kelompok tertentu.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (QS: Al-A’raf: 3)

Dan firman-Nya pula, yang artinya: “Katakanlah: “Ta’atlah kepada Alloh dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Alloh) dengan terang.” (QS: An-Nuur: 54)

Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesaksian pada orang-orang yang menaati Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bahwa Dia akan memberinya petunjuk. Sedang menurut kesesatan orang-orang muqallid/muta’ashib adalah bahwa orang-orang yang menaati Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bukanlah orang-orang yang diberi petunjuk, tetapi yang diberi petunjuk adalah orang-orang yang menyeleweng dari sabda-sabdanya dan membenci sunnah-sunnahnya dan berpaling kepada madzhab tertentu secara membabi buta atau pendapat golongan tertentu atau syaikh tertentu serta yang semacamnya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “Demikian Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-qur’an). Barangsiapa berpaling darinya maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat,” (QS: Thaahaa: 99-101)

Dan juga dalam firman-Nya, yang artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?” Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS: Thaahaa: 124-127)

Dan semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Imam asy-Syafi’I yang telah mengatakan: “Kaum Muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang jelas baginya sunnah Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah boleh baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”

Hal ini karena tidak seorangpun yang ma’shum setelah meninggalnya Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Semua seperti dikatakan Imam Malik Rahimahulloh: “Tidak seorangpun setelah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam kecuali dapat diambil dan ditinggalkan ucapannya, selain Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.”

Bahkan tidak boleh bagi Kaum Muslimin untuk bersikap tawaqquf (berdiam diri dari menerima atau menolak). Tetapi harus menerimanya dengan penuh penerimaan (terhadap apa yang telah jelas datangnya dari Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam), hal mana tidak demikian itu terhadap yang lainnya. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “…. Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …” (QS: Al Hasyr: 7)