Rabu, 27 April 2011

Ayam



Seekor induk ayam tampak sibuk dengan kelahiran tiga ekor anaknya yang baru saja menetas. Seperti komandan barisan, ia memimpin ketiga anaknya mencari makan di sekitar kandang. Kemana ia pergi dan bertingkah, seperti itu pula anak-anaknya mengikuti.;

Suatu kali, induk ayam ini menginginkan hal lain bagi anak-anaknya. Ia ingin ketiga anaknya kelak menjadi ayam istimewa, bukan ayam kebanyakan. Ia ingin anaknya bisa belajar terbang seperti burung, berlari kencang seperti kuda, dan mahir berenang seperti ikan.

Sang induk ayam pun mengajak anak-anaknya mengunjungi burung bangau. “Hei bangau sahabatku! Bisakah kau ajari salah satu anakku bagaimana terbang?”

Walau agak keheranan, sang bangau menuruti permintaan induk ayam untuk mengajari seekor anak ayam terbang. Sang bangau mengajak anak ayam itu menaiki sebuah bukit. Dan setelah mengajari bagaimana mengepakkan sayap, sang bangau ‘mendorong’ sang anak ayam untuk lompat dari atas bukit. Ia berharap, sang anak ayam bisa terbang, sebagaimana ia diajari induknya ketika masih kecil.

Ternyata, bukan terbang yang bisa dilakukan sang anak ayam. Ia terjatuh dari atas bukit dan membentur sebuah batu cadas di dasarnya. Anak ayam itu pun mati.

Tanpa peduli dengan kematian itu, kini sang induk ayam mengajak dua anaknya mengunjungi kuda. “Hei kuda sahabatku, maukah kau mengajari salah satu anakku bagaimana berlari kencang?” ucap sang induk ayam sedikit agak memaksa.

Walau agak keheranan, sang kuda pun mengajak salah satu anak ayam ke tanah lapang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan kaki agar lebih cepat berlari, sang kuda mengikatkan sebuah tali yang menghubungkan antara ia dengan tubuh anak ayam. Dan, ia pun ‘memaksa’ anak ayam itu berlari kencang. Cara itulah yang ia dapatkan ketika ia diajari induknya ketika masih kecil.

Ternyata, bukan kecepatan berlari yang didapat si anak ayam malang itu. Justru, ia terseret dan tubuhnya tergesek bebatuan di sekitar tanah yang dilalui kuda. Sang anak ayam itu pun mati.

Kini, tinggal satu peluang yang dimiliki induk ayam. Ia dan anaknya yang tinggal satu pun pergi meninggalkan kuda untuk mengunjungi ikan. Sang induk ayam berharap, anaknya yang satu ini bisa belajar berenang seperti ikan.

“Hei ikan sahabatku, maukah kau mengajari anakku berenang?” teriak sang induk ayam ke ikan sahabatnya di tepian sebuah sungai.

Walau agak keheranan, sang ikan pun terpaksa mengajak anak ayam itu belajar berenang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan tubuh ketika dalam air, sang ikan ‘memaksa’ anak ayam menceburkan diri ke air sungai. Cara itulah yang pernah diajarkan kepada sang ikan ketika ia masih kecil.

Ternyata, bukan kemahiran berenang yang didapatkan anak ayam, justru, ia tak bisa nafas karena tersedak air yang terus masuk ke saluran nafas kecilnya. Anak ayam itu pun mati.

Kini, tinggal si induk ayam melamun dalam kesendirian. Ia masih terpaku dalam kebimbangan: anak-anaknya yang tidak bermutu, atau ia yang salah memperlakukan anak-anaknya.

**

Tidak banyak pemimpin yang mampu menimbang dengan adil antara keinginan dan obsesinya yang begitu tinggi dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang dipimpinnya.

Alih-alih ingin meraih hal yang istimewa dari yang ia pimpin, justru orang-orang yang mengikutinya ‘berguguran’ tergilas obsesi para pemimpinnya.

Ulat



Seorang gadis cilik tampak asyik bermain di halaman rumah yang penuh bunga. Ada bunga mawar, melati, ros, dan lain-lain. Sesekali, ia pandangi bunga itu satu per satu. “Aih, cantiknya bunga ini!” ucap gadis cilik sambil menyentuh tangkai bunga.

Tapi, ia pun terkejut saat akan memetik bunga yang hampir di genggamannya itu. Seekor ulat bulu begitu asyik menikmat dedaunan di sekitar bunga. Sebegitu lahapnya, sang ulat tak menyadari kalau ia sedang diperhatikan seseorang.

Langkah sang gadis kecil pun menyurut. Ia pun mencari-cari sesuatu untuk menghentikan kerakusan ulat bulu yang bisa merusak bunga kesayangannya itu. “Ha, ada kayu!” ucapnya sambil mengarahkan kayu kecil itu ke tubuh sang ulat. Dan….

“Jangan, sayang! Biarkan sang ulat itu menampakkan kerakusannya!” ucap seseorang yang ternyata ibu gadis itu. Saat itu juga, gadis kecil itu pun menghentikan langkahnya dan merapat ke sang ibu. “Tapi, Bu…” ujarnya sambil menggenggam jari sang ibu.

“Anakku, biarkanlah. Saat ini, kita sedang diajari Tuhan tentang siapa ulat bulu,” jelas sang ibu sambil membelai rambut gadis kecilnya.

“Apa selamanya dia serakus itu, Bu?” sergah sang gadis kecil kemudian.

“Tidak, anakku. Ia serakus itu karena ingin sukses menjadi kupu-kupu yang indah!” jelas sang ibu sambil senyum.

**

Begitu banyak pelajaran bertebaran dalam dinamika alam raya ini. Ada yang mudah ditafsirkan, dan tidak sedikit yang butuh perenungan.

Serangan ulat bulu seolah memberikan kita sebuah teguran. Bahwa keindahan fisik berupa penampilan, citra, wibawa, dan segala kemegahan jasadiyah lain yang dicita-citakan; semestinya tidak diraih dari menghalalkan segala cara dan penuh kerakusan.

Sebab Utama Laki-Laki Ditarik Ke Neraka Oleh Wanita

Di akhirat nanti ada 4 (empat) golongan lelaki yang akan ditarik masuk ke neraka oleh wanita. Lelaki itu adalah mereka yang tidak memberikan hak kepada wanita dan yang tidak menjaga amanah itu.
Mereka adalah :

1. Ayahnya
Apabila seseorang yang bergelar ayah tidak mempedulikan anak-anak perempuannya di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajarkan sholat, mengaji, dan sebagainya. Dia membiarkan anak-anak perempuannya tidak menutup aurat. Tidak cukup kalau dengan hanya memberi kemewahan dunia saja. Maka dia akan ditarik ke neraka oleh anaknya.

(Duhai lelaki yang bergelar ayah, bagaimanakah keadaan anak perempuanmu sekarang? Adakah kau mengajarnya bersholat?...menutup aurat?...pengetahuan agama?...Jika tidak salah satunya, maka bersedialah untuk menjadi bahan bakar neraka jahannam).

2. Suaminya
Apabila sang suami tidak mempedulikan tindak tanduk istrinya. Bergaul bebas, memperhiaskan diri bukan untuk suami tapi untuk pandangan kaum lelaki yang bukan mahram. Apabila suami berdiam diri, walaupun dia seorang yang alim dimana sholatnya tidak pernah bertangguh, maka dia akan turut ditarik oleh istrinya bersama-sama ke dalam neraka.

(Duhai lelaki yang bergelar suami, bagaimanakah keadaan istri tercintamu sekarang? Dimanakah dia? Bagaimana akhlaknya? Jika kau tidak menjaganya mengikut syari'at, maka terimalah hakikat bahwa kau akan sehidup semati bersamanya di 'taman' neraka sana).

3. Saudara Lelakinya
Apabila ayahnya sudah tiada, tanggung jawab menjaga saudara wanita jatuh ke bahu saudara lelakinya. Jikalau mereka hanya mementingkan keluarganya saja dan adiknya dibiarkan pergi dari ajaran Islam, tunggulah tarikan adik perempuannya di akhirat kelak.

(Duhai lelaki yang mempunyai adik perempuan, jangan hanya menjaga amalmu, dan jangan ingat kau terlepas. Kau juga akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak jika membiarkan adikmu bergelimang dengan maksiat dan tidak mau menutup aurat).

4. Anak-Anak Lelakinya
Apabila seorang anak tidak menasihati ibunya perihal kelakuan yang haram di sisi Islam, bila ibunya membuat kemungkaran, mengumpat, memfitnah, dan sebagainya, maka anak itu akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak, dan menantikan tarikan ibunya ke neraka.

(Duhai anak-anak lelaki, sayangilah ibumu...nasihatilah dia jika salah atau terlupa...karena ibu juga manusia biasa, tak lepas dari dosa. Selamatkanlah dia dari menjadi 'kayu api' neraka. Jika tidak, kau juga akan ditarik menjadi temannya).

Lihatlah betapa hebatnya tarikan wanita, bukan saja di dunia namun di akhirat pun tarikannya begitu hebat. Maka kaum lelaki yang bergelar ayah/suami/saudara lelaki/dan anak harus menjalankan kewajiban dan tanggung jawab mereka.

Firman Allah:
"Hai anak Adam, peliharalah diri kamu serta keluargamu dari api neraka dmana bahan bakarnya ialah manusia, jin, dan batu-batu...".

Sains, Qur’an dan Kesenjangan

Mereka pemuda necis, duduk di sebuah kafe dengan arsitektur postmodernisme. Music jazz berdegup anggun sementara sajian kopi dari mesin blender otomatis mencemari udara dengan bau harum pegunungan. Masing-masing pemuda itu terpekur di depan laptop yang terhubung lewat akses point gelombang radio, menuju internet global. Di luar mereka, di bawah tanah mungkin sedang menderu mesin kereta subway menembus berbagai tempat dengan kecepatan yang tak pernah terpikir oleh manusia abad pertengahan.

Itulah dunia kita saat ini. Ia telah bergeser dari keterbatasan menjadi kelapangan. Berbagai penemuan dan loncatan pemikiran yang hadir berulang setiap hari membuat hidup manusia menjadi semakin mudah. Semua itu tidak bisa terlepas dari pergulatan dalam diri manusia yang kemudian hadir sebagai ilmu – ilmu pengetahuan, sains, mengawali jawaban manusia terhadap pertanyaan sekaligus misteri alam.

Rasa ingin tahu akan sebab-sebab – begitu kata William Hazlit, yang berujung pada pemahaman, membawa manusia untuk memuaskan kehendaknya; mengatur alam. Manusia bisa mengenal dan kemudian mengendalikan alam dengan sains, ialah yang merubah wajah dunia menjadi begitu maju seperti saat ini. 

Setidaknya, kemajuan itulah yang dipercayai manusia. Karena kemajuan sains adalah kemajuan seluruh langkah hidup manusia, yang tampak maupun tidak. Edison yang menemukan lampu dan menjadikan dunia malam terang benderang, mungkin tak sadar bahwa ia juga telah merubah struktur sosial dan interaksi manusia di malam hari.

James Watt yang menemukan mesin uap juga mungkin bermimpi bahwa ia telah mendefinisikan kembali arti buruh dan merintis revolusi industri. Begitu pula Neils Bohr, dan para pemikir fisika abad ke-20, mungkin tak terpikir untuk memberi sumbangan pada apa yang dinamakan perang dingin dan sentimen senjata nuklir di abad ke-21. Sains menentukan kemajuan tidak hanya pada sisi teknologi dan ekonomi – yang memang sangat berpokok padanya, namun juga kepada segala cabang kebudayaan manusia. 

Dari hukum sampai ke seni, dari kehidupan kekeluargaan sampai cara menjalankan agama, dari kedudukan perempuan sampai ke politik internasional, dari pendidikan sampai ke perawatan kesehatan jasmani rohani, manusia sangat terpengaruh sains, karena ia membawa apa yang dinamakan dengan kemajuan. 

Kemajuan itu, yang dapat disetir melalui sains, yang kemudian mengarah kepada suatu bentuk sistem kehidupan, apakah baik atau buruk. Kemajuan sains yang sejak momentum renaisans Eropa disetir oleh peradaban barat juga telah menyetir peradaban dunia – pada banyak aspek – menuju sebuah arah tertentu. Meskipun ia menamai diri sebagai kemajuan ideal, pada hakikatnya ia tidak dapat kita maknai sebagai kemajuan secara telanjang, karena ia juga membawa antikutub dari kemajuan yang tidak selalu murni dari keberpihakan.

Seperti Palestina yang tak pernah selesai dari konflik, atau Irak, atau Afganistan, yang dikompori oleh gembong besar kemajuan sains, Amerika dan Eropa – juga israel. Apakah kemajuan sains membawa kemajuan kemanusiaan? Kita menjadi bertanya-tanya. Begitu pula kemiskinan, yang banyak melanda negara dunia ketiga, yang ternyata mayoritas adalah negara muslim. Mungkinkah sains dimanfaatkan sebagai pupuk yang menyuburkan ekonomi negara tertentu dan memiskinkan negara tertentu? 

Fakta lain, bahwa sains membawa perubahan pada pola hidup manusia yang jauh dari kemanusiaan adalah hal yang layak diperhatikan. Anak tak lagi asing dengan kekerasan video games, orang dewasa lebih suka pornografi, perang dengan senjata dan teknologi canggih, mungkin adalah bagian kecil dari kompleksitas apa yang dinamakan dengan kemajuan itu – jika tidak ingin menyebutnya dengan efek samping. Belum lagi kengerian dan ketakutan akan perang modern yang merupakan konflik kemanusiaan yang maha dahsyat, berbagai bencana ekologis yang diakibatkan oleh aplikasi sains modern berikut keterasingan manusia dari alam, dan dirinya sendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dan lagi, sains modern juga mencoba mematikan agama, seperti ucapan Oscar Wilde di akhir abad 19 “Science is the record of dead religions”, tampak demikian jelas bahwa memang ada keberpihakan pada pemisahan antara agama dan dunia. Bahwa dengan sains anda tak membutuhkan lagi agama. Sehingga kita patut bertanya tentang ke arah mana sebenarnya sains modern menuju.

Dalam Qur’an, pernyataan tentang arah kemajuan itu telah disinggung sebagai sebuah orientasi materil. Dan bahwa keterangan selenjutnya yang kita dapat adalah: segala yang disandarkan pada materi pasti akan musnah. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (10:70).

Menelisik akar filsafatnya, sains modern – begitu pula peradaban barat modern, memang telah lahir dengan perangkat sekulerisme yang tak pernah memberikan peluang sedikitpun pada dunia trans-empirik. Dalam pemahaman paling dasarnya tentang wujud (ontology), pemikiran barat modern jelas membatasi dirinya dengan dunia empiris saja. Baginya, yang tampak dan diserap oleh panca indera itulah yang wujud. Di luar itu tak disebut wujud, tapi ilusi belaka.

Sementara yang ilusi itu pada Islam disebut sebagai kemurnian iman dan hidayah. Dalam Islam, ontologi tidak sekedar yang tampak dan dapat dicerap oleh alam empiris, tapi lebih dari itu. Ada "the ultimate reality" di balik yang empirik ini. Hakekat mutlak mendasari alam zahir. Yang wujud itu tidak sekedar fisik, tapi transfisik atau metafisik. Alam fisik ini hanya pengejewantahan 'af'al sifat-sifat Allah yang metafisik. Oleh karena itu, Allah Swt. Itu absolut, dan alam ini sebaliknya. Allah pencipta dan alam ciptaannya. Allah kekal dan alam tidak kekal.

Dari titik ini, jika pemahaman yang dibangun memang demikian, seharusnya kita melihat pada dunia Islam teknologi dan sains berkembang dengan harmoni. Dan sepertinya kita akan kecewa karena melihat Islam hari ini malah babak belur dihajar sains dan teknologi. Harmoni ilmu pengetahuan itu hanya telah terjadi berabad lalu di struktur geopolitik yang hampir menjamah seluruh dunia: Cina, India, Mesir, Persia, Eropa.

Mengingatnya, hanya akan seperti nostalgia. Sebagaimana dipaparkan selama berabad-abad kegemilangan Islam sejak kurun masa Jabir ibn Hayyan hingga Suhrawardi- berbagai macam sains telah dikembangkan, sementara sains-sains matematika dan fisika dikaji dan ditelaah ditengah-tengah tumpukan sains simbolis dan di bawah prinsip-prinsip metafisika dan kosmologi yang diperoleh dari wahyu Al Qur'an.

Landasan ini, yang menjadikan peradaban Islam – kala itu – kokoh dalam kemajuannya, tidak timpang, dan selalu berorientasi pada kemaslahatan dunia-akhirat.

Sayangnya kali ini tidak lagi. Jika di pertengahan abad 20 Einstein bicara “Science without religion is lame. Religion without science is blind” sesungguhnya ia sedang membicarakan Islam. Islam yang seharusnya mampu membuat integrasi antara rasio dan wahyu menjadi kelahiran budaya yang agung, dan itulah yang diinginkan.

Einstein – dan mungkin juga banyak orang kala itu – khawatir akan suatu bahaya karena kesenjangan agama dan sains, seperti mengatakan bahwa sains dan agama sama-sama dibutuhkan manusia untuk menuju kemajuan yang dimaksud tadi. Kita boleh saja menduga, namun mungkin itu hanya sepenggal mimpi yang tak pernah terwujud jika nyatanya dunia hari ini tidak disetir oleh kemajuan sains Islam, namun oleh sains modern yang empiric holic dan anti wahyu.

Peradaban Islam yang berpusat pada Qur’an, yang bersandar pada ajaran Rasulullah Muhammad yang murni dan membawa ajaran tauhid seperti juga yang diajarkan para rasul pendahulu tidak berada pada poros kerjanya.

Tampaknya seperti yang dibilang Sutan Takdir Alisyahbana, Al Qur’an dan sains saat ini senjang dan berjarak sehingga masing-masing hidup dalam keterasingannya. Sains pada kepuasan kehendak, sementara Qur’an pada mereka dengan keterbatasan dan penindasan akal. Islam – dengan struktur ide dan semangatnya – seharusnya mewarnai kehidupan umat manusia hari ini, bukan.

Mungkin itu pula yang ada di benak anda, atau siapapun yang juga berfikir demikian. Tapi itu hanya menjadi nostalgia jika tidak ada langkah untuk mengkonduksi keduanya. Menjadi pertanyaan adalah apakah Islam sudah kembali menjamah ilmu pengetahuan untuk dieksploitasi dan dielaborasi sehingga terjadi titik equilibrium antara keimanan dengan realita, antara wahyu dengan akal, seperti pada logika awal Islam tentang ontology, tentang kosmologi.

Apakah Islam telah menjadi nafas gerak yang membentuk peradaban ilmu (kembali), yang kemudian melahirkan peradaban yang adil secara rasional maupun spiritual? Inilah pertanyaan kita bersama. Inilah pergulatan abadi manusia, antara pengabdian pada Dzat Yang Hakiki dan keinginan untuk melakukan sesuai kehendak diri sendiri tanpa batas.

Kesenjangan antara sains dan Al Qur’an ini yang menjadi koreksi pada kehidupan keIslaman muslimin hari ini. Euforia sains dan cengkeram kebudayaan barat membuat manusia muslim kehilangan semangat keIslamannya dan menggodam habis ketulusan hati untuk tunduk pada ilahi.

Sehingga kebudayaan sains yang lahir dan peradaban yang dibangun adalah peradaban yang jauh dari nilai keadilan sesuai dengan kebenaran hakiki. Keadilan yang dilahirkan adalah keadilan semu, kemanusiaan yang diwujudkan adalah kemanusiaan komersil, bahkan persahabatan yang tersemat adalah persahabatan pragmatis. Jika sains hari ini menjauh dari Qur’an, jika bangunan Islam yang kokoh dengan keilmuannya hancur lebur, siapakah yang hendak menyelamatkannya?

(eramuslim.com)

Belajar Kepatuhan dari Bangsa Jepang

Beberapa waktu lalu, Jepang, negara maju dengan kemampuan teknologi yang tinggi ditimpa musibah besar berupa gempa bumi dan tsunami. Meski pemerintah dan segenap ilmuwannya telah memprediksi bakal terjadinya gempa bahkan telah mempersiapkan kemungkinan terjadinya tsunami besar dengan membangun tembok-tembok besar di sekitar pantai, tetap saja korban yang jatuh sangat besar, diperkirakan mencapai 27 ribu orang.

Gempa dan tsunami yang besar ini disusul dengan rusaknya salah satu sumber energi utama Jepang, yakni reaktor nuklir di Fukushima. Akibatnya, berkurangnya pasokan listrik dan menyebarnya radiasi menjadi hal yang menghantui hingga hari ini.

Tanpa mengurangi rasa simpati dan peduli kita pada masyarakat Jepang yang menjadi korban, ternyata kita dapat mengambil banyak pelajaran dari musibah besar yang terjadi ini. Salah satunya adalah bagaimana rakyat Jepang merespon mushibah ini dan bagaimana mereka bersikap terhadap pemerintahnya.

Salah satu hal yang sangat mengesankan dari rakyat Jepang yang saya amati adalah tingkat kepatuhan mereka kepada pimpinan dan pemerintahnya. Profesor Yamamoto Nobuto, dari Keio University, mengatakan:“pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh. Mereka yakin bahwa bantuan pemerintah akan segera datang dan mereka tidak perlu melakukan protes-protes justru sebaliknya mereka sangat mematuhi kepala-kepala di camp-camp pengungsian”.

Pernyataan Yamamoto tersebut dibenarkan oleh teman-teman yang datang langsung ke lokasi pengungsian untuk memberikan bantuan. Sampai-sampai teman saya yang datang ke tempat-tempat pengungsian mengatakan, “lebih enak jadi pengungsi di Indonesia, waktu saya membantu pengungsi di Jogja, pengungsi protes karena setiap hari dikasih makanan yang sama, sementara di jepang, pengungsi menerima dengan senang hati apapun yang diberikan oleh kepala pengungsian, meski yang diberikan adalah makanan yang sama setiap hari”.

Kepatuhan masyarakat Jepang tidak hanya ditunjukkan di tenda-tenda pengungsian, tapi juga oleh masyarakat yang relatif jauh dari pusat bencana seperti di Tokyo. Saat pasokan energi berkurang akibat rusaknya reaktor nuklir, pemerintah menghimbau masyarakat Tokyo untuk melakukan penghematan listrik. Himbauan ini langsung berefek. Misalnya di kampus-kampus yang biasanya terang benderang bahkan nyaris 24 jam, saat ini tampak redup tanpa mengurangi aktivitas sama sekali.

Di stasiun, di gedung-gendung pemerintah, dan di pusat-pusat perbelanjaan elevator berhenti berjalan. Bahkan toko-toko, yang notabe adalah entitas bisnis yang biasanya hanya mementingkan keuntungan sendiri, dengan patuh melaksanakan himbauan tersebut, malah sebagian besar mini-market menutup toko mereka setelah jam 6 sore demi penghematan listrik nasional.

Mengapa masyarakat Jepang bisa begitu patuh kepada pemerintahnya? Sebaliknya, mengapa masyarakat di negara-negara muslim seperti Indonesia cenderung kurang patuh pada pemerintahnya? Padahal Allah swt telah memerintahkan ummat Islam untuk patuh pada pemimpin-pemimpin mereka.

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasul (As-Sunnah) jika kalian benar-benar orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”. (QS. An Nisa’: 59)

Jika kita melihat kepatuhan masyarakat Jepang saat ini, sesungguhnya hal tersebut bukanlah hasil dari proses satu hari dua hari. Struktur kepatuhan di Jepang dibangun atas dasar trust atas dasar kepercayaan kepada otoritas. Pada kenyataannya memang pemegang otoritas mampu membangun kepercayaan itu dimata publik dengan baik.

Pemerintah Jepang membangun struktur kepatuhan berdasarkan kefahaman dan kepercayaan. Mereka mendidik warganya, membangun kefahaman dan membangkitkan kepercayaan warganya dengan menunjukkan prilaku keseharian yang sangat meyakinkan.

Contoh sederhana misalnya, pada pelayanan transportasi seperti kereta atau bis misalnya. Pengelola mampu meyakinkan penumpang bahwa mereka kredibel dan layak dipercaya. Jika di jadwal kereta tertulis kereta akan datang pukul 12.00, maka bisa dipastikan kereta akan datang tepat pada waktunya dan tidak akan meleset walau satu menitpun, kecuali ada kejadian luar biasa seperti gempa bumi atau ada penumpang yang bunuh diri.

Dalam pelayanan birokrasi, pemerintah jepang juga menunjukkan tingkat akurasi yang layak dipercaya. Jika kita mengurus suatu surat, kemudian petugas bilang, surat akan selesai dalam dua hari dan biayanya 200yen. Maka keesokan harinya saat kita datang surat itu sudah pasti jadi dan kita tinggal membayar sesuai angka yang ditunjukukkan, tidak kurang tidak lebih. Pemerintahan yang kredibel karena dilandasi sikap amanah seperti ini sesungguhnya layak memperoleh ketaatan dan loyalitas dari rakyatnya.

Bandingkan dengan birokrasi kita? Sulit membangun kepatuhan atas dasar kepercayaan, karena rakyat sudah terlanjur kurang trust, sehingga cara terbaik untuk memperoleh kepatuhan adalah dengan ancaman. Hal ini yang terjadi pada Indonesia di era orde baru, dimana struktur kepatuhan dibangun atas dasar ancaman. Rakyat patuh karena mereka takut bukan karena percaya. Demikian pula yang terjadi di timur tengah selama berpuluh-puluh tahun. Para penguasa tiran menjadikan militer dan kepolisian sebagai alat untuk menindas dan menakut-nakuti rakyatnya. Mereka tidak segan menyiksa bahkan membunuh rakyatnya yang tidak patuh. Rakyat benar-benar dibuat ketakutan.

Cara berkuasa seperti ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Alqur`an telah menceritakan kisah tentang firaun dengan kekejamannya. tapi apa yang terjadi dengan cara berkuasa yang seperti ini? sejarah mencatat bahkan hari-hari ini kita menjadi saksi sejarah bahwa pemimpin yang membangun struktur kepatuhan dengan ancaman akan terguling dengan penuh kehinaan. Ketika rakyat memiliki keberanian, ketika rakyat memiliki energi baru untuk melakukan perlawanan, maka kedahsyatannya akan menggilas rezim tiran.

Di Indonesia, meski telah terjadi reformasi, namun sampai hari ini pun kita masih menyaksikan betapa banyak organisasi yang membangun struktur kepatuhan berdasarkan ancaman. Dalam organisasi bisnis misalnya, kita menemukan banyak manajer-manajer yang berusaha menakut-nakuti bawahannya hanya agar perintahnya didengar dan diikuti. Disekolah, kepala sekolah menakut-nakuti gurunya dan guru menakut-nakuti muridnya hanya demi mendapatkan kepatuhan.

Dalam organisasi politik, hal ini juga mudah kita jumpai. Para pemimpin politik seringkali menggunakan ancaman pemecatan kepada kader-kadernya yang tidak patuh pada pimpinan. Kader dipecat bukan karena melakukan kesalahan, tapi karena dianggap tidak memiliki “kepatuhan”, sementara mereka yang “patuh” akan tetap dipertahankan meski memiliki kesalahan fatal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kepartaian yang telah ditetapkan. Dalam koalisi politik nasional, partai berkuasa merasa punya kuasa menentukan segala dimana partai-partai lain yang sesama anggota dipaksa mematuhinya dengan ancaman pemecatan dari koalisi digusurnya kursi menteri.

Membangun struktur kepatuhan dengan model ancaman yang seperti ini sesungguhnya hanya afektif bagi kelompok tertentu yang tidak memiliki cukup pengetahuan atas apa yang terjadi, atau bagi mereka yang tidak memiliki keberanian untuk bersikap mandiri, atau bagi mereka yang merasa tidak memiliki alternatif pilihan organisasi. Tapi bagi pribadi-pribadi yang teguh memegang prinsip diatas pengetahuan yang jelas akan kebenaran yang dipegang, ancaman hanya akan dianggapnya sebagai ujian dalam perjuangan yang tidak akan menggoyahkan sikapnya pada kebenaran yang dipegang.

Stuktur kepatuhan yang berdasarkan kefahaman dan kepercayaan harus dibangun secara timbal balik, dimana rakyat tidak bisa hanya menjadi objek yang wajib patuh pada pimpinan. Adalah kewajiban rakyat untuk mematuhi pemimpin mereka, tapi pada saat yang sama, adalah kewajiban pemimpin untuk mebangun kepercayaan, menyatukan kata dan perbuatan, menyatukan janji dan realisasi, sehingga layak dipercaya, diteladani dan dipatuhi. Allah swt telah menegaskan bahwa seorang pemimpin, selain berhak untuk memperoleh kepatuhan dari rakyatnya, mereka juga memiliki kewajiban untuk berlaku adil dan amanah sehingga rakyat bisa meneladani dan mematuhi mereka.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’: 58).

Mudah-mudahan kita bisa mendidik generasi bangsa ini menjadi generasi baru yang layak untuk dipercaya karena satunya kata dan perbuatan. Amin

(eramuslim.com)

Mengkritisi (Isu) Pluralisme

Dalam film “?” (tanda tanya) karya sutradara Hanung Bramantyo, isu pluralisme kembali diangkat (dan dipermasahlahkan).

Adian Husaini mengomentari bahwa film ini terlalu vulgar dalam menampilkan atau mendakwahkan isu pluralisme.

“Pembelaan” terhadap orang murtad, mereduksi secara ekstrem makna kafir, dan lain sebagainya, merupakan sebuah ide yang meremehkan konsep konsep dasar islam dengan menganggap bahwa hal hal seperti itu sesuatu yang sepele.

Hanung yang sempat menuai protes setelah menyutradarai “Perempuan Berkalung Sorban”, kembali dipermasalahkan oleh beberapa pihak yang tersengat dengan film baru yang disutradainya tersebut.

Dalam memutuskan fatwa mengenai haramnya pluralisme agama, MUI menyatakan bahwa pluralisme agama adalah, “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya setiap agama adalah relative. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.

Jadi, pluralisme agama bukanlah sebua bentuk toleransi dalam beragama. Pluralisme agama mereduksi nilai nilai keagamaan yang telah mapan, menjadi nilai nilai baru yang relative, yang bergantung kepada waktu dan tempat dimana nilai nilai baru itu dibuat.

Salah satu tokoh yang dianggap sebagai seorang nabi bagi kaum pluralis adalah John Hick. Konsep pluralisme yang berkembang saat ini, sebagian besar (jika memang tidak semuanya) dipengaruhi oleh pemikiran Jhon Hick mengenai pluralisme agama, sehingga Anis Malik Toha menyatakan “Kurang lengkap jika membahas mengenai pluralisme agama tanpa membahas pemikiran John Hick”.

Menurut John Hick, pluralisme agama adalah, “ Pandangan bahwa agama agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.”

John Hick juga menyatakan diantara prinsip pluralisme yaitu bahwa agama agama lain adalah sama sama benar menujur kebenaran yang sama. (Makalah, Muhammad Nurdin Salim, Telaah Kritis Pluralisme Agama)

John Hick mengambil pemisalan seperti matahari dan planet planet, dia menyatakan bahwa Kristen dan agama agama lainnya “mengelilingi” tuhan, seperti planet planet mengelilingi matahari. Dia menyarakan agar berpindah dari sentralitas agama, menjadi sentralitas tuhan dan menegaskan bahwa Kristen bukanlah agama yang paling benar, agama Kristen belum tentu lebih baik dari agama lain, begitu juga, agama dan kepercayaan lain belum tentu lebih buruk dari ke Kristenan.

Mengenai perjalanan intelekual John Hick dalam merumuskan konsep pluralisme agamanya, Adian Husaini menyatakan bahwa “Perjalanan intelektual John Hick, menunjukkan bahwa dengan paham ini ia telah menghancurkan paham paham ideologi Kristen”. Hick mengkritisi nilai nilai esensial pada kekristenan dengan menegaskan bahwa Yesus tidak pernah mengajarkan bahwa dia adalah inkarnasi Tuhan, adalah mustahil melacak perkembangan doktrin inkarnasi dalam bible yang sebenarnya dirumuskan dalam Konsili Nicea dan Chalcedon, bahasa yang digunakan bible dalam “inkarnasi ketuhanan” adalah bersifat metaforis, bukan literal. Hick juga menyatakan bahwa doktrin Trinitas bukanlah bagian dari ajaran Yesus tentang Tuhan. Yesus sendiri, katanya, mengajarkan Tuhan dalam persepsi monoteistikYahudi ketika itu. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hlm 343).

Aspek significant dari argument argument Hick adalah menolak klaim kebenaran absolut atau sikap ekslufis agama Kristen yang menyatakan bahwa walaupun setiap agama mengandung aspek ketuhanan dan kebenaran, namun keselamatan hanya ada pada Yesus kristus. Dan kebenaran absolut Tuhan hanya terdapat pada kekristenan.

Hick-lah orang yang menandaskan bahwa perbedaan paham keagamaan seseorang, terletak kepada perbedaan kondisi historis dan sosiologis dimana seseorang itu tinggal. Dengan kata lain, Hick menyatakan bahwa, ketika pesan pesan ketuhanan diterima oleh Muhammad maka hasil dari penafsiran itu, yang dipengaruhi oleh konteks historis dan sosiologis budaya arab, menghasilkan sebuah agama yang sekarang dikenal sebagai “islam”.

Ini jelas sangat merusak dan bertentangan dengan konsep dasar agama islam. Nabi Muhammad SAW tidak menerima pesan pesan ketuhanan, tapi wahyu yang berupa firman Allah swt secara nyata dan real, yang langsung disampaikannya kepada para sahabat tanpa ada perubahan dan tambahan atau pengurangan sedikit pun pada wahyu tersebut. Selain itu, budaya arab tidak mempengaruhi agama islam, namun islam lah yang mempengaruhi dan memperbaiki budaya arab.

Konsep pluralisme yang digadang gadangkan oleh para beberapa orang merupakan sebuah bentuk perusakan dasar dasar agama islam yang telah final dan lengkap. Perlu diberi catatan bahwa sebelum “mereka” memberikan argument kesamaan agama agama, terlebih dahulu mereka, secara tidak adil, telah menyamakan semua agama sebagai produk budaya. Sebagai contoh, mereka mengatakan islam adalah produk budaya arab dan segala hukum islam harus dikaji dan ditafsirkan berdasarkan budaya arab, jika ada hukum islam yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, misalnya, maka hukum itu harus diperbaiki dan diperbarui agar sesuai dengan budaya Indonesia.

Dasar pemikiran seperti ini telah bertentangan dan tidak bisa digunakan untuk islam. Islam bukanlah produk sebuah budaya, namun islam hadir untuk membentuk sebuah kebudayaan baru yang sarat nilai nilai kemuliaan. Islam adalah agama wahyu yang langsung dari Allah swt dan bukan dari produk budaya.

Konsep dasar dalam islam sangat jelas, “Tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Nya. Umat islam tidak perlu mencari konsep ini dalam naskah naskah atau document document kuno, atau perkataan perkataan tokoh tokoh “kebatinan” yang lain.

Di tengah tengah umat islam telah ada al Qur’an sebagai pedoman dan penunjuk ke jalan yang lurus. Dengan berpedoman kepada al Qur’an dan penafsirannya yang benar, umat islam mampu mengetahui dan mengenal Rabbnya.

Untuk umat islam Indonesia, MUI telah jelas jelas mengharamkan pluralisme agama, sebuah pemikiran yang, jika coba mengambil kesimpulan dari The Lost Symbol-nya Dan Brown, merupakan salah satu dasar perjuangan kaum Freemasonry untuk membentuk tata dunia baru tanpa “sekat sekat” agama.

Mengenai sikap toleransi, dalam mengomentari film “?” tersebut, Adian Husaini menyatakan bahwa, “Umat islam telah diajarkan mengenai toleransi sejak lama, salah satunya melalui piagam madinah”.

Piagam madinah adalah piagam perjanjian antara kaum muslim dan Yahudi serta non Muslim lainnya di Madinah yang menyatakan bahwa antara mereka terikat perjanjian damai dan tidak mengaggu satu sama lain, serta saling membantu jika madinah diserang musuh. Kaum muslim yang pada waktu itu memiliki kekuatan politik dan militer dibandingkan kaum non-Muslim lainnya di Madinah, menaati perjanjian tersebut sampai kaum Yahudi terlebi dahulu mengkhianatinya.

Maka pembelajaran mengenai toleransi beragama telah diajarkan Rasulullah saw, salah satunya melalui Piagam Madinah, dan umat islam tidak perlu lagi belajar toleransi melalui konsep pluralisme agama.

Pluralisme dan ajaran pluralisme agama bukanlah hal sederhana yang bisa dipermainkan seenaknya. Konsekwensi dari paham ini adalah tereduksinya akidah seorang muslim yang bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, al Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkannya kepada Muhamad SAW dan disampaikannya (Muhammad SAW) kepada para sahabat tanpa penambahan ataupun pengurangan sedikitpun. Akidah tauhid merupakan dasar dari keislaman seseorang, jika dasar ini telah terenggut darinya, maka masih bisakah dia dikatakan sebagai seorang muslim? Wallahu’alam bishawab.

(eramuslim.com)

Hati-hati Dengan Kata “Sial”

“Sial banget aku hari ini seharian penuh aku kena masalah mulu, bener kata ibu kalau bulan Suro bikin sial!” ungkap si Fulan kesal.

Wow jangan sembarangan bilang sial, nanti kena getahnya lho. Maksudnya? Penasaran ya? Sabar dulu ya! Kita coba kenali dulu dunia ramal-meramal sebelum beranjak ke kata sial yang penuh misteri ini.

Bentuk Ramalan Masa Kini
Kita pasti tahu dan mungkin telinga kita tidak asing lagi mendengar istilah zodiak. Yupz bener banget. Zodiak berarti ramalan yang berdasar pada letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit. Rubrik zodiak sekarang ini memang sedang digemari remaja. Mereka seakan bergantung dengan deretan kata-kata peramal supaya hari-hari mereka bisa diantisipasi sejak dini. Semisal peramal menyebutkan bahwa hari ini sial maka dilarang untuk bepergian, mungkin remaja yang membacanya spontan akan mengikuti titah peramal.

Hal ini akan berlangsung lama apabila para remaja tak henti-hentinya dijejali dengan produk-produk haram seperti zodiak melalui rubrik zodiak di majalah atau koran. Rubrik zodiak sering mengangkat tentang pantangan apa yang mesti dihindari, seluk-beluk masa depan orang-orang yang lahir pada bulan tertentu, rezekinya bagaimana, dan jodohnya seperti apa yang dapat ditaksir melalui bintang tertentu.

Dengan ini anak muda seakan menjadikan zodiak sebagai pedoman sehingga mengurangi dan mampu menghilangkan kepercayaan mereka terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Naudzubillahi min dzalik 

Tidak hanya zodiak saja lho yang termasuk dalam dunia ramal-meramal. Sebagian orang mungkin tidak tahu bahwa dunia ramal-meramal sudah banyak menodai kehidupan manusia dan sudah menjadi wabah penyakit yang perlu dicegah. Banyak kalangan baik orang yang berkelas, berjabat tinggi, berpendidikan tinggi maupun orang tidak berkelas, tidak memiliki jabatan tinggi, dan tidak berpendidikan apabila ada pergantian tahun seringkali meminta diramal oleh peramal atau tidak mendengar siaran TV, radio, serta membaca majalah yang secara khusus membahas ramalan.

Ini bukanlah fenomena yang langka, melainkan sudah menjadi tradisi apabila ada pergantian tahun peramal laris manis diberi berbagai pertanyaan dan diminta untuk meramal. Entah itu meminta apa baiknya yang dilakukan pada tahun depan atau sekadar ingin meminta wejangan dari peramal yang sekarang ini juga dapat dengan mudah dikonsumsi melalui media Ponsel.

Ada juga kebiasaan orang Jawa yang secara terselubung ternyata mengarah ke dunia ramal-meramal. Pelupuk mata dan tangan kanan bergerak-gerak atau istilah Jawanya keduten dianggap orang akan menerima uang banyak atau akan ditemui oleh orang yang lama tidak ketemu dan memberi kabar gembira. Diam-diam kebiasaan orang jawa ini termasuk meramal juga lho. So, hati-hati kawan!

Kita tahu bahwa suatu perbuatan yang berkaitan dengan dukun atau peramal pasti akan berdampak buruk dan banyak memberikan mudharat. Sholatnya tidak diterima oleh Allah selama 40 hari serta masuk jurang kekufuran.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam)

“Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” (HR. Abu Dawud)

Menguak Arti Kata Thiyarah (Kesialan)
Itu tadi sekilas membahas tentang dunia ramal-meramal dari segi bentuk dan akibat mendekatinya. Nah, habis ini kita beranjak ke misteri thiyarah. Thiyarah apaan ntu?

Teman-teman mungkin merasa asing dengan kata thiyarah. Sebelumnya kita sudah sedikit tahu tentang dunia ramal-meramal, ini sebagai bekal untuk mendalami apa itu thiyarah. Pasalnya, istilah thiyarah sangatlah lekat dengan dunia ramal-meramal sehingga tak ada salahnya memahami keburukan dunia ramal meramal sebelum memahami thiyarah.

Secara bahasa, kata thiyarah (kesialan/pamali) adalah isim mashdar dari kata tathoyyur yang mana asal katanya adalah tho` irun yang berarti burung sehingga thiyarah diartikan merasa sial ketika melihat jenis burung tertentu atau merasa sial dengan alasan lain, sebagaimana dikatakan al Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Sedangkan secara istilah thiyarah artinya menjadikan atau menyandarkan kesialan kepada sesuatu yang dilihat atau yang didengar atau yang diketahui.

Produk Thiyarah Terpopuler
Kebanyakan orang memang tidak menyadari kalau ternyata apa yang mereka anggap sial entah itu ketika melihat burung, mendengar suara burung hantu atau gagak, menganggap sial angka tertentu atau mungkin merasa sial pada hari atau bulan tertentu akan berujung pada kemisteriusan yang akan menodai aqidah seseorang. Nakutin banget!

Ternyata thiyarah sudah populer di zaman Jahiliyyah lho. Mau tahu? Zaman jahiliyah pastinya zaman yang tidak lepas dengan berbagai kemungkaran dan kebodohan.

Orang-orang pada zaman jahiliyah menganggap bahwa beberapa jenis burung, suara manusia atau binatang membawa sial. Sebelum melakukan aktivitas mereka menggunakan burung untuk meramal hari ini baik atau tidak untuk beraktivitas.

Apabila burung terbang ke arah kanan, mereka siap beraktivitas. Akan tetapi, bila burung terbang ke arah kiri, mereka mengurungkan niat untuk beraktivitas karena dianggap hari ini sial. Namanya zaman jahiliyah pasti selalu diwarnai dengan berbagai sikap yang sarat dengan kemungkaran. Betul nggak?

Kemudian, Rasulullah datang memberikan cahaya di zaman kegelapan (zaman jahiliyah), Rasulullah menjelaskan bahwa anggapan sial atau thiyarah adalah bathil. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, artinya, “Tidak ada thiyarah (sial karena burung) dan tidak ada kesialan (karena makhluk tertentu)." 

Anggapan sial yang sudah mengakar di zaman jahiliyah belum juga lenyap di kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan teknologi yang sudah maju pun tidak mampu melenyapkan thiyarah sebagai warisan konyol zaman jahiliyah.

Seharusnya dengan kemajuan di dunia IPTEK, semua hal-hal yang berbau klenik salah satunya thiyarah mampu ditangkal, tetapi nyatanya negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika masih percaya dengan hal-hal yang tak bernalar tersebut.

Salah satu budaya dunia barat yang berkaitan dengan thiyarah dan yang sudah meracuni generasi-generasi muda di Indonesia yaitu budaya anggapan sial terhadap angka 13. Angka 13 divonis sebagai angka sial bukanlah hal yang aneh di kehidupan masyarakat, di mata masyarakat angka 13 penuh misteri.

Ada negara tertentu sampai tidak menuliskan angka 13 pada apa-apa yang mereka miliki, seperti penduduk di New Zealand. Karena sikap penduduk yang berlebihan pada angka 13, negara ini sering ketiban masalah salah satunya masalah perbedaan paham.

Orang Jawa pun memiliki kebiasaan yang mengarah ke thiyarah yaitu menganggap sial bulan Muharram. Mereka tidak mau melakukan acara pernikahan atau hajatan lain di bulan Muharram atau istilah Jawanya bulan Suro karena mereka takut akan tertimpa kesialan atau masalah.

Anggapan sial terhadap bulan Muharram (bulan Suro) tersebut tidak beralasan. Keyakinan ini bisa menyeret kita ke lubang kesyirikan dan juga penjatuhan kaffarat sebagaimana yang dijelaskan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam “Barangsiapa yang (kepercayaan) thiyarahnya mengurungkan hajat (yang hendak dilakukannya) maka ia telah berlaku syirik, mereka bertanya : Wahai Rasulullah , apa kaffarat (tebusan) dari padanya? Beliau bersabda : Hendaklah salah seseorang dari mereka mengatakan : “ ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau [Hadits riwayat Imam Ahmad : 2/220, As silsilah Ash shahihah no : 1065 (hadits ini lemah, sebaiknya disebutkan dengan menerangkan kelemahannya, bin Baz)].
Bulan Muharram termasuk satu dari empat bulan yang mulia. Maka, tidaklah pantas orang menganggap sial bulan yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram (mulia). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” [At-Taubah : 36]

Say No Thiyarah!
Thiyarah janganlah dianggap remeh. Serangannya begitu cepat. Thiyarah produk haram yang harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat muslim. Anggapan sial terhadap angka-angka tertentu seperti angka 13, menganggap sial terhadap bulan-bulan tertentu seperti bulan Muharram (bulan Suro), dapat mengurangi kesempurnaan tauhid kita dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berlepas diri dari mereka yang berkeyakinan dengan thiyarah dan tidak termasuk golongan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana sabda beliau, “Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan (dan saya kira juga bersabda) dan yang menyihir atau yang meminta disihirkan [Hadits riwayat at Thabrani dalam Al Kabir : 18 / 162, lihat shahihul jami’ no : 5435].

Sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala kita tidak ingin khan terpisah dari golongan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Oleh karena itu, kita harus senantiasa bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila kita tertimpa sesuatu yang tidak kita inginkan.
Masalah atau cobaan yang menimpa kita adalah takdir yang sudah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” Jangan terlalu mudah bilang sial pada waktu atau hari hanya gara-gara kita tertimpa masalah, bisa-bisa kemudahan mulut kita berkata sial tersebut membuat kita masuk jurang kesyirikan baik itu syirik kecil atau syirik akbar jika hati kita benar-benar menyakini bahwa apa yang menjadi penyebab suatu masalah gara-gara angka, burung atau hari. اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ “Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzy dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)

Buanglah jauh-jauh thiyarah dari hati kita. Anggaplah semua yang terjadi itu adalah ketetapan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dibalik ketetapan itu Allah ada pelajaran berharga yang harus dipecahkan dengan cara yang baik oleh umat muslim.

(eramuslim.com)

Gusti Allah Mboten Sare

Malam telah larut saat saya meninggalkan kantor. Telah lewat pukul 11 malam. Pekerjaan yang menumpuk, membuat saya harus pulang selarut ini.

Ah, hari yang menjemukan saat itu. Terlebih, setelah beberapa saat berjalan, warna langit tampak memerah. Rintik hujan mulai turun. Lengkap sudah, badan yang lelah ditambah dengan “acara” kehujanan.

Setengah berlari saya mencari tempat berlindung. Untunglah, penjual nasi goreng yang mangkal di pojok jalan, mempunyai tenda sederhana.

Lumayan, pikir saya. Segera saya berteduh, menjumpai bapak penjual yang sendirian ditemani rokok dan lampu petromak yang masih menyala. Dia menyilahkan saya duduk. “Disini saja dik, daripada kehujanan…,” begitu katanya saat saya meminta ijin berteduh.

Benar saja, hujan mulai deras, dan kami makin terlihat dalam kesunyian yang pekat.
Karena merasa tak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya, saya berkata, “tolong bikin mie goreng pak, di makan disini saja.” 

Sang Bapak tersenyum, dan mulai menyiapkan tungku apinya. Dia tampak sibuk. Bumbu dan penggorengan pun telah siap untuk di racik. Tampaklah pertunjukkan sebuah pengalaman yang tak dapat diraih dalam waktu sebentar.

Tangannya cekatan sekali meraih botol kecap dan segenap bumbu. Segera saja, mie goreng yang mengepul telah terhidang. Keadaan yang semula canggung mulai hilang. Basa-basi saya bertanya, “Wah hujannya tambah deras nih, orang-orang makin jarang yang keluar ya Pak?” Bapak itu menoleh kearah saya, dan berkata, “Iya dik, jadi sepi nih dagangan saya..” katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam.

“Kalau hujan begini, jadi sedikit yang beli ya Pak?” kata saya, “Wah, rezekinya jadi berkurang dong ya?” Duh. Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja tak banyak yang membeli kalau hujan begini. Tentu, pertanyaan itu hanya akan membuat Bapak itu tambah sedih. Namun, agaknya saya keliru…

“Gusti Allah, ora sare dik, (Allah itu tidak pernah istirahat), begitu katanya. “Rezeki saya ada dimana-mana. Saya malah senang kalau hujan begini. Istri sama anak saya di kampung pasti dapat air buat sawah. Yah,
walaupun nggak lebar, tapi lumayan lah tanahnya.” Bapak itu melanjutkan, “Anak saya yang disini pasti bisa ngojek payung kalau besok masih hujan…..”. 

Degh. Dduh, hati saya tergetar. Bapak itu benar, “Gusti Allah ora sare”. Allah Memang Maha Kuasa, yang tak pernah istirahat buat hamba-hamba-Nya. Saya rupanya telah keliru memaknai hidup. Filsafat hidup yang saya punya, tampak tak ada artinya di depan perkataan sederhana itu. Maknanya terlampau dalam, membuat saya banyak berpikir dan menyadari kekerdilan saya di hadapan Tuhan.

Saya selalu berpikiran, bahwa hujan adalah bencana, adalah petaka bagi banyak hal. Saya selalu berpendapat, bahwa rezeki itu selalu berupa materi, dan hal nyata yang bisa digenggam dan dirasakan. Dan saya juga berpendapat, bahwa saat ada ujian yang menimpa, maka itu artinya saya cuma harus bersabar. Namun saya keliru. Hujan, memang bisa menjadi bencana, namun rintiknya bisa menjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga adalah berkah bagi sawah-sawah yang perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namun derai itu pula yang menjadi harapan bagi sebagian orang yang mengojek payung, atau mendorong mobil yang mogok.

Hmm…saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikiran tampak seperti lintasan-lintasan cahaya yang bergerak dibenak saya. “Ya Allah, Engkau Memang Tak Pernah Beristirahat” Untunglah,hujan telah reda, dan sayapun telah selesai makan.

Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yang teringat, Gusti Allah Ora Sare….. Gusti Allah Ora Sare…..

Begitulah, saya sering takjub pada hal-hal kecil yang ada di depan saya. Allah memang selalu punya banyak rahasia, dan mengingatkan kita dengan cara yang tak terduga. Selalu saja, Dia memberikan Cinta kepada saya lewat hal-hal yang sederhana. Dan hal-hal itu, kerap membuat saya menjadi semakin banyak belajar.

Dulu, saya berharap, bisa melewati tahun ini dengan hal-hal besar, dengan sesuatu yang istimewa. Saya sering berharap, saat saya bertambah usia, harus ada hal besar yang saya lampaui. Seperti tahun sebelumnya, saya ingin ada hal yang menakjubkan saya lakukan.

Namun, rupanya tahun ini Allah punya rencana lain buat saya. Dalam setiap doa saya, sering terucap agar saya selalu dapat belajar dan memaknai hikmah kehidupan. Dan kali ini Allah pun tetap memberikan saya yang terbaik. Saya tetap belajar, dan terus belajar, walaupun bukan dengan hal-hal besar dan istimewa.

Aku berdoa agar diberikan kekuatan…Namun,
Allah memberikanku cobaan agar aku kuat menghadapinya.

Aku berdoa agar diberikan kebijaksanaan…Namun,
Allah memberikanku masalah agar aku mampu memecahkannya. 

Aku berdoa agar diberikan kecerdasan…Namun,
Allah memberikanku otak dan pikiran agar aku dapat belajar dari-Nya.

Aku berdoa agar diberikan keberanian…Namun,
Allah memberikanku persoalan agar aku mampu menghadapinya. 

Aku berdoa agar diberikan cinta dan kasih sayang….. Namun,
Allah memberikanku orang-orang yang luka hatinya agar aku dapat berbagi dengannya.

Aku berdoa agar diberikan kebahagiaan…Namun,
Allah memberikanku pintu kesempatan agar aku dapat memanfaatkannya.

7 HARI YANG TELAH LALU DAN MUNGKIN AKAN TERULANG

Hari pertama, tahajudku tetinggal
Dan aku begitu sibuk akan duniaku
Hingga zuhurku, kuselesaikan saat ashar mulai memanggil
Dan sorenya kulewati saja masjid yang mengumandangkan azan magrib
Dengan niat kulakukan bersama isya itupun terlaksana setelah acara tv selesai

Hari kedua, tahajudku tertinggal lagi
Dan hal yang sama aku lakukan sebagaimana hari pertama

Hari ketiga aku lalai lagi akan tahujudku
Temanku memberi hadiah novel best seller yang lebih dari 200 hlmn
Dalam waktu tidak sampai satu hari aku telah selesai membacanya
Tapi… enggan sekali aku membaca Al-qur’an walau cuma satu juzz
Al-qur’an yang 114 surat, hanya 1,2 surat yang kuhapal
itupun dengan terbata-bata
Tapi… ketika temanku bertanya tentang novel tadi betapa mudah dan lancarnya
aku menceritakan

Hari keempat kembali aku lalai lagi akan tahajudku
Sorenya aku datang ke selatan Jakarta dengan niat mengaji
Tapi kubiarkan ustazdku yang sedang mengajarkan kebaikan
Kubiarkan ustadzku yang sedang mengajarkan lebih luas tentang agamaku
Aku lebih suka mencari bahan obrolan dengan teman
yang ada disamping kiri dan kananku
Padahal bada' magrib tadi betapa sulitnya aku merangkai
Kata-kata untuk kupanjatkan saat berdoa

Hari kelima kembali aku lupa akan tahajudku
Kupilih shaf paling belakang dan aku mengeluh
saat imam sholat jum’at kelamaan bacaannya
Padahal betapa dekat jaraknya aku dengan televisi dan betapa nikmat,
serunya saat perpanjangan waktu sepak bola favoritku tadi malam

Hari keenam aku semakin lupa akan tahajudku
Kuhabiskan waktu di mall dan bioskop bersama teman-temanku
Demi memuaskan nafsu mata dan perutku sampai puluhan ribu tak terasa keluar
Aku lupa.. waktu diperempatan lampu merah tadi
Saat wanita tua mengetuk kaca mobilku
Hanya uang dua ratus rupiah kuberikan itupun tanpa menoleh

Hari ketujuh bukan hanya tahajudku tapi shubuhku pun tertinggal
Aku bermalas-malasan ditempat tidurku menghabiskan waktu
Selang beberapa saat dihari ketujuh itu juga
Aku tersentak kaget mendengar khabar temanku kini
Telah terbungkus kain kafan padahal baru tadi malam aku bersamanya
dan malam tadi dia dengan misscallnya mengingatkan aku ttg tahajud

kematian kenapa aku baru gemetar mendengarnya?
Padahal dari dulu sayap-sayapnya selalu mengelilingiku dan
Dia bisa hinggap kapanpun dia mau

22 tahun lebih aku lalai….
Dari hari ke hari, bulan dan tahun
Yang wajib jarang aku lakukan apalagi yang sunah
Kurang mensyukuri walaupun KAU tak pernah meminta
Berkata kuno akan nasehat kedua orang tuaku
Padahal keringat dan airmatanya telah terlanjur menetes demi aku
Tuhan andai ini merupakan satu titik hidayah
Walaupun imanku belum seujung kuku hitam
Aku hanya ingin detik ini hingga nafasku yang saat nanti tersisa
Tahajud dan sholatku meninggalkan bekas
Saat aku melipat sajadahku…..