Kamis, 28 April 2011

Musibah Dan Kesedihan



Kena musibah koq loyo...??!! Datang cobaan koq sedih berkepanjangan. Mana semangatmu? Semangat memang bisa padam oleh kesedihan, karena kesedihan itu ibarat demam yang akan melumpuhkan diri dari aktivitas kehidupan. Supaya terhindar dari hal ini kita perlu menanamkan prinsip bahwa kesedihan adalah suatu pilihan bukan keharusan. Mau pilih kesedihan atau semangat untuk bangkit??? Anda sendiri yg memutuskannya.

Tidak mau tertimpa musibah dan bersedi! Rasanya semua orang menginginkannya, selalu terhindar dari musibah. Tapi coba simak perkataan seorang ulama, "Orang yg ditakdirkan untuk masuk Surga, pasti akan banyak merasakan musibah/kesulitan. " Anda ingin meraih surga..?? Jadikan musibah sebagai media meraih Surga. Karena sesungguhnya musibah bisa berfungsi meningkatkan pahala dan bahkan menjadi pengampun dosa kita. Bangunlah dari kesedihan, tumbuhkan semangat dalam menghadapi musibah...karena sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat!!!

Allah berfirman:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. "
(QS. 2:214)

Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu

Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah ta`ala telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).

الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
”Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita…." (An-Nisa: 34)

Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:

اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
"Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
"Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Ali 'Imran: 159)

Dalam tanzil-Nya, Allah subhanahu wa ta`ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik." (An-Nisa: 19)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: "Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah ta`ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf." (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku)."

Termasuk akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak 'Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: "(Termasuk cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat 'Isya, beliau shallallahu 'alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Demikian yang diperbuat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً
"Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah." (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: "Ayat Allah ta`ala: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan." (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya." (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan:

خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)

Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya Aisyah:

عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
"Hendaklah engkau bersikap lembut ." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)
Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
"Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya." (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
"Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)

وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
"Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya." (Shahih, HR. Muslim no. 2593)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.

Al-Qadhi berkata: "Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya." (Syarah Shahih Muslim, 16/145).

Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. 'Aisyah radhiallahu anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:

"Majulah kalian (jalan duluan)". Maka mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada 'Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing): "Ayo, kita berlomba lari". Kata Aisyah: "Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau". Waktupun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama 'Aisyah. Beliau bersabda kepada para shahabatnya: "Majulah kalian". Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku: "Ayo, kita berlomba lari". Kata 'Aisyah: "Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku". Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: "Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red)." (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).

Allah ta`ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.

المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
"Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan."

Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Dan hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).

Rasul yang mulia, shallallahu 'alaihi wasallam, juga bersabda:

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
"Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri)." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:

وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا
"Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya."

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata: "Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah."

Beliau melanjutkan: "Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ) seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya." (Fathul Bari, 9/306)

Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya, Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: "Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya". Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)

Dengan adanya tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kalian." (Ar-Rum: 21)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
"Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya." (Al-A`raf: 189)

Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.

Kuserahkan Diriku Kepada-Mu Ya Allah

Manusia adalah makhluk yang serba lemah. Sungguh sangat tidak pantas bila ada orang yang menyombongkan diri tidak butuh dengan pertolongan Allah. Berserah diri kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit merupakan jalan menuju keselamatan.

Menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah I kita kenal dengan istilah tawakkal. Jadi, tawakkal adalah menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah dalam mengambil segala macam manfaat dan menolak segala macam mudharat. Tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang diperintahkan oleh Allah I dan merupakan ibadah hati yang kebanyakan orang terjatuh dalam kesalahan yaitu syirik kepada Allah I dari sisi ini. Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Madarijus Salikin (2/14) menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad t berkata: “Tawakkal adalah amalan hati. Allah I berfirman:

“Kepada Allah-lah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Mengapa Harus Tawakkal

Bila kita memegang konsep Qadariyyah (kelompok yang menolak takdir Allah I atau berkeyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan sendiri yang tidak terkait dengan kekuasaan dan kehendak Allah), maka kita akan mengatakan: “Untuk apa kita tawakkal padahal kita memiliki kemampuan.” Tentu konsep seperti ini adalah konsep yang batil. Atau seperti yang diucapkan oleh Qarun dengan keangkuhannya:

“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)

Sehingga ia tidak butuh kepada tawakkal. Tentunya yang benar tidak seperti itu.
Tawakkal di samping sebagai perintah Allah I juga merupakan perkara yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Bagaimana itu? Marilah kita berlaku jujur terhadap diri kita, yaitu bahwa kita diciptakan oleh Allah I dalam keadaan lemah di atas kelemahan. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan: “Lemah tubuhnya, lemah keinginannya, lemah kesungguh-sungguhannya, lemah imannya, dan lemah kesabarannya. Oleh karena itu pantaslah Allah I meringankan (aturan syariat) yaitu perkara yang dia tidak sanggup untuk memikulnya dan tidak sanggup untuk dipikul oleh keimanannya, kesabarannya dan kekuatannya.”

Apakah kita bisa berbuat dengan kelemahan itu tanpa bantuan dari Allah I? Jawabnya tentu saja tidak. Oleh karena itu bila berbuat sebagai sarana untuk mendapatkan yang diinginkan tidak akan bisa dilakukan melainkan dengan bantuan Allah, bagaimana lagi bisa memetik hasil sebagai tujuan dari usaha tersebut tanpa bantuan dari Allah I. Allah I berfirman:


“Dan Allah hendak menerima taubat kalian sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 27-28)

“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah kemudian menjadikan kalian sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia menjadikan kalian sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendakinya dan Dialah Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.” (Ar-Rum: 54)
Ayat di atas sangat jelas sebagai bantahan terhadap konsep Qadariyyah yang memiliki kesombongan terhadap kekuatan yang ada pada dirinya dan ingin melepaskan diri dari Allah I. Oleh karena itu untuk apa engkau menyerahkan diri dan urusanmu kepada kemampuan diri sendiri padahal dirimu lemah tidak berdaya? Qarun dengan kemampuannya menumpuk harta yang diberikan Allah I dan menyandarkan semua wujud keberhasilannya kepada ilmunya, pada akhirnya harus menelan kepahitan hidup yang di saat itu ia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dan tidak bisa menelurkan idenya agar bisa kembali berbahagia dengan harta dan pendukungnya. Bukankah pengetahuan kita terbatas? Allah I menjelaskan:
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Semua ini menggambarkan kepada kita tentang sangat butuhnya kita kepada Allah I dan tidak akan mungkin meski sekejap mata untuk terlepas dari Allah I. Terlebih lagi kita berasal dari sifat kelemahan dan tidak mengetahui apa-apa.

Kedudukan Tawakkal dalam Agama

Tawakkal memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, bagaikan kepala terhadap jasad. Bahkan tawakkal merupakan cerminan iman dan syarat keimanan seseorang. Allah I berfirman:

“Kepada Allahlah kalian bertawakkal (menyerahkan diri) jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Allah I juga berfirman:
“Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)

Rasulullah r bersabda:
“Suatu kaum masuk ke dalam al-jannah (surga) di mana hati-hati mereka bagaikan hati-hati burung.” (Shahih, HR. Muslim)

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Sebagian ulama memberikan makna hati mereka bagaikan hati burung’ adalah orang-orang yang bertawakkal.” (Riyadhush Shalihin)

Ibnul Qayyim t mengatakan bahwa Allah menjadikan tawakkal sebagai syarat dari iman, menunjukkan bahwa tidak ada iman ketika tidak ada tawakkal. Dan dalam ayat yang lain Allah I berfirman: “Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)

Allah I menjadikan keshahihan (kebenaran) Islamnya (seseorang) adalah dengan tawakkal. Dan tatkala tawakkal seorang hamba kuat, imannya akan menjadi lebih kuat dan apabila tawakkalnya lemah maka ini bukti bahwa imannya lemah dan mesti terjadi. Allah telah menghimpun (di dalam Al Qur’an) antara tawakkal dan ibadah, tawakkal dan iman, tawakkal dan takwa, tawakkal dan Islam dan antara tawakkal dan hidayah. (Thariqul Hijratain, hal. 327)

Allah I berfirman dalam Al Qur’an yang menjelaskan pertolongan-Nya, pembelaan-Nya, dan kecukupan yang akan diberikan-Nya kepada orang yang bertawakkal:

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 3)

Tawakkal Diiringi dengan Usaha

Tawakkal yang tidak diiringi dengan usaha termasuk kekurangan dan kejelekan agama seseorang, sebagaimana kita ketahui bahwa tawakkal tidak bisa lepas dari iman dan Islam seperti penjelasan di atas. Nu’man Al-Watr menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah: “Ibnu Taimiyyah t mengatakan: ‘Meninggalkan sebab-sebab (usaha dalam bertawakkal) termasuk corengan terhadap syariat-Nya dan menyandarkan diri kepada sebab-sebab itu termasuk kesyirikan kepada Allah.’ Ibnul Qayyim t mengatakan: ‘Termasuk sebesar-besar kejahatan dalam agama adalah meninggalkan sebab (usaha) dan menyangka bahwa yang demikian itu termasuk meniadakan tawakkal’.” (Syarah Al-Qaulul Mufid, hal. 62)

Ibnul Qayyim t mengatakan: “Barangsiapa yang meninggalkan sebab/usaha (dalam tawakkal) maka tawakkalnya belum lurus. Akan tetapi termasuk dari kesempurnaan tawakkal adalah tidak condong kepada sebab-sebab itu, memutuskan keterkaitan hati dari sebab-sebab itu.” Kemudian setelah itu beliau mengatakan: “Dan tidak akan tegak dan bernilai dalam menjalani usaha itu melainkan harus di atas tawakkal.” (Madarijus Salikin, 2/120)

Dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal itu harus dibarengi dengan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Umar Ibnul Khathtab z:

“Bila kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana dia memberikan rizki kepada burung; pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 5254)

Tawakkal dan Macam-macamnya


Tawakkal sebagai satu bentuk ibadah tentu memiliki celah bagi seseorang untuk bermaksiat di dalamnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Oleh karena itu para ulama membagi tawakkal menjadi beberapa bagian:

Pertama, tawakkal ibadah.
Yaitu tawakkal yang membuahkan ketundukan dan pengagungan serta kecintaan dalam mencari segala manfaat dan menolak segala bentuk mudharat. Tawakkal ini hanya diberikan kepada Allah semata.

Kedua, tawakkal syirik.
Yaitu tawakkal ibadah yang diberikan kepada selain Allah dan ini termasuk syirik besar. Barangsiapa memberikannya kepada selain Allah, maka dia telah keluar dari Islam, telah musyrik dan kafir.

Apabila seseorang menyandarkan dirinya dengan bertawakkal dalam hatinya kepada selain Allah dalam masalah rizki dan kehidupannya maka ini termasuk syirik kecil. Jenis tawakkal seperti ini diistilahkan oleh sebagian ulama dengan syirik khafi (yang tersembunyi).

Ketiga, tawakkal yang diperbolehkan.
Yaitu menyerahkan satu bentuk urusan kepada orang lain dan orang tersebut mampu untuk melakukannya, maka hal ini diperbolehkan1. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah r ketika menyerahkan tugas untuk menyembelih apa yang masih tersisa dari hewan qurban beliau kepada ‘Ali bin Abi Thalib z sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Muslim, dari shahabat Jabir bin ‘Abdullah z. Juga sebagaimana beliau menyerahkan tugas penjagaan harta zakat fithri kepada Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan juga sebagaimana beliau telah mewakilkan kepada ‘Urwah bin Al-Ja’d z untuk membeli binatang qurban.

Walhasil, tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang terkait dengan hati, yang memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama. Tawakkal tidak akan sempurna melainkan harus disertai dengan ikhtiar (usaha) dengan menjalankan sebab-sebabnya. Tawakkal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan iman, Islam, ibadah, hidayah dan takwa. Wallahu a’lam. ?

Belajar Mencintai Dari Sang Pemilik Hati

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
Bismillahirrahmaanirrahiim....

Belajar Menciantai Dari Sang Pemilik Hati...
Tidak banyak orang yang belum mencinta pasangannya ketika menikah. Apalagi di zaman modern ini. Kebanyakan mereka sudah berhubungan beberapa lama dan cinta -lah yang memotivasi keduanya untuk melanjuntkan ke jenjang rumah tangga.

Maka aku termasuk orang yang sedikit itu. Orang modern namun terlibat dalam romantisme zaman dahulu. Istriku yang sekarang adalah orang yang baru ku kenal ketika aku memutuskan untuk melamarnya langsung kepada ayahnya. Tentu ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama judulnya, bukan pula terkena pelet dari si dara. Ini cuma masalah metode. Dan aku memilih metode ini. Aku cari, aku selidiki, aku datangi, aku pagari. vini vidi vici. Merdeka!!!! Penuh semangat 45. he he …

Namun… hati memang urusan Allah. Sebagaimana Allah menanamkan kecenderungan pada hatiku untuk kemudian memilih, begitu pula Allah menanamkan kecenderungan pada si dara dan orang tua -nya untuk menerima. Banyak yang komplain memang, tidak sedikit pula yang mempertanyakan. “Baru kenal kok sudah lamar, ih.. nakal.” Atau “Baru tau kok sudah mau, ih.. lucu” Dan sebagainya dan sebagainya. Sebagian bertanya tentang siapa aku. Tetapi kebanyakan meragukan kecocokan karena tak ada cinta yang jadi landasan.

What about me? Am i sure with my choice? Am i sure i can love her?

Begitulah, bahkan aku tak tau berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mendatangkan cinta di hati yang dalam. yang kupikirkan hanyalah komitmen. Ya.. komitmen, karena buku telah kuteken maka aku harus konsisten. Karena aku telah memilih maka aku harus melatih.

Melatih untuk mencinta, melatih untuk dicinta. Dan semua turunannya. Belajar untuk menerima, mendengar, berbagi, peduli, berkorban, merindu, mengharap, bertengkar, berdamai, bertengkar lagi (he he..). Dan variabel-variabel lain yang dibutuhkan agar konstanta cinta -pun menjadi datang.

Dan… hati memang urusan Allah. Maka aku -pun menjadi lelaki yang mulai mencintai perempuan yang kuperistri. Seperti menyaksikan bibit yang di tanam, “ternyata ia tumbuh”. Kecenderungan yang kuat. Seolah2 terlihat di depan mata. Semakin jelas dan semakin nyata. Kucintai ia.. atas kecantikannya, kebaikannya, pengabdiannya, dan karena cintanya.

Lalu aku kemudian tersadar, bahwa di sinilah awal masalah berakar. Yang dialami oleh setiap pasangan yang berikrar, bahwa mempertahankan cinta adalah jauh lebih sukar. Hati manusia bolak balik, perasaan turun naik, tumbuh dan layu. Di alami oleh semua pasangan, baik yang mengawali rumah tangga dengan cinta mendalam atau cinta yang baru diniatkan.

Maka hati memang benar2 urusan Allah. Sebagaimana Allah mendatangkan cinta Allah pula yang kuasa menjaga dan mencabutnya. Karena itulah, maka aku -pun harus berurusan dengan-Nya (he he). Aku melihat, memahami dan menyadari bahwa aku harus melatih mencinta, melatih semakin mencinta dan melatih tetap mencinta. Dan ini benar2.. memerlukan energi yang besar, karena aku harus mencinta.. hingga akhir usia.

Maka aku memohon kepada Allah, pemilik urusan hati, agar aku tetap mencintai..

Hingga Dia memutuskan urusan-Nya atas kami..