Selasa, 10 Mei 2011

Hai, Wanita Cantik !

Assalamualaikum...

Bismillah hirrohmanirrohim...

apa kabar hati?? masihkah seperti embun? tertunduk tawadduk di pucuk2 daun... masihkah ia seperti batu karang? berdiri tegar, menghadapi gelombang ujian...
apa kabar iman?? masihkah ia seperti bintang? terang benderang menerangi kehidupan...
apa kabar sahabatku?? dimanapun dikau berada semoga ALLAH sentiasa MELINDUNGI dan MENJAGA serta MEMBERI KASIHATAN kepada mu hari ini, esok dan untuk selamanya...

Setiap orang adalah unik. Setiap orang ada kelebihan dan kekekurangannya yang tertentu. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Rasululluh s.a.w kerana baginda telah ditentukan maksum. Selebihnya tidak terkecualai daripada sifat lemah, buruk, hina, sakit san bermacam-macam perkara lagi. Anda tidak perlu berasa susah hati lantaran gemuk, tidak menarik, terlalu rendah malah cacat. Biar bagaimana keadaan anda, anda tetap unik dan tanpa anda alam ini tidak sempurna.

Memang ALLAH menjadikan manusia pelbagai rupa dan gaya. Disitulah berkuasanya ALLAH. Dia berhak dan mampu berbuat apa saja mengikut kehendak-Nya. Kita memang tidak ada pilihan untuk mempersoal itu ini, mempertikai itu ini. Anda mungkin berasa rendah hati melihat kekurangan-kekurangan yang ada pada diri anda.

Nah, anggap ia satu kelebihan. Jika anda sangka anda buruk, ia satu kelebihan yang tiada pada orang cantik. Anda sangka kecantikan sentiasa membawa untung? Tidak, tidak selalunya begitu. Kadang-kadang kecantikan memusnahkan. Setelah anda dikenali sebagai cantik, ketakutan anda terhadap keburukan lebih besar daripada jika anda semulajadinya buruk. Orang cantik fobia menjadi buruk. Setiap kedutan di wajah akan dirawat dan setiap kedutan begitu menyusahkan dirinya. Saat menjadi buruk pasti tiba, bagaimanakah perasan si cantik meghadapi hari tua mereka? Bukankah rasa susah yang tiada kesudahan?

Kadang-kadang seekor semut diberikan sayap oleh ALLAH supaya dia boleh terbang dan menerjah api. Samalah halnya, kadang-kadang seseorang manusia itu diberikan kecantikan supaya dengan kecantikan itu dia boleh berbuat sebanyak-banyak mungkar untuk diberikan balasan setimpal di Akhirat. Tontonlah filem atau drama-drama di TV. Kisah hidup orang cantik selalunya penuh duri. Jika anda buruk setidak-tidaknya anda bebas rasa riak dan takbur. Penghuni neraka kebanyakkannya wanita sebagaimana disabdakan Rasullah s.a.w wanita itu tentu yang cantik tapi gagal memahami untuk apa kecantikan itu diberikan ALLAH kepadanya. Dan wanita itu tidak terkecuali juga yang buruk sebab dia berterus-terusan saja mempertikaikan kerja TUHAN.

Siapakah wanita penghuni syurga itu, barangkali yang cantik dan dia sentiasa faham kecantikan itu ukuran manusia . Cantik pada pandanagn ALLAH adalah ketaatannya terhadap semua perintah dan laragan ALLAH. Barangkali juga yang buruk tapi dia faham ALLAH tidak memandang rupa paras tapi apa yang ada di dalam hatinya. Wahai orang cantik, orang buruk, orang rendah, orang cacat, semuanya itu hanyalah ukuran manusia dan ukuran manuisa selalunya sasar. Hargai diri anda sebab kewujudan anda mambuktikan kekuasaan ALLAH!!

wassaalam...

(my.opera.com)

Air Mata Keinsafan

Kenapakah begitu susah untuk aku mengubah diri ini agar menjadi insan berguna pada mata Illahi?
Kenapa begitu sukar diri ini untuk menerima segala kebenaran yang diajarkan padaku?
Begitu hitamkah hati ku ini?
Begitu menggunungkah dosa diri ini?
Layakkah aku untuk meminta ampunanMu ya Allah?
Masih adakah ruang untuk hidayahMu bertapak dalam ruangan hati hitam ini ya Allah?


Kenapa begitu susah diri ini untuk mengalirkan air mata apabila disebut nama yang Maha Esa...?
Kenapa begitu berat air mata ini untuk mengalir mendengar nama Rasulullah s.a.w.?
Kenapa begitu jauh diri ini jika dibanding dengan para pejuang Islam yg lain?
Aku jua muslim yang sama-sama ingin melihat kebangkitan Islam...
Aku jua muslim yang bersama-sama melawan arus jahiliyah...
Tapi diri ini tetap ku rasakan masih sungguh jauh untuk menghampiri gerbang syurgaMu ya Allah...
Tapi aku tidak sanggup dengan siksaan api nerakaMu...


Ya Allah.....
Hinanya diri ku ini ya Allah...
Kotornya diri ku ini ya Allah...
Jijiknya diri ku ini ya Allah...
Berilah hidayah padaku ya Allah...
Janganlah Kau tinggalkan aku walau sesaat...
Pimpinlah aku dalam setiap detik perbuatanku...
Aku tidak sanggup jika Kau berpaling dari memandang diri ini...
Tidak sanggup ya Allah...
Segala-galanya aku berserah pada Mu...
Aku tidak dapat membayangkan diriku tanpa pimpinanMu ya Allah...
Aku tidak sanggup menjadi sehina-hina manusia pada pandanganMu...
Astaghfirullahal'azim...
Ampunilah aku dalam setiap kejahilan dan kelekaanku...
Hanya pada Engkau aku bergantung dan mengharap segala-galanya...


Air mata membasahi pipi...


Adakah ini air mata keinsafan???
Ini adalah air mata kehinaan yang melanda diri ini...
Diri ini sedih dengan apa yg telah hambaMu ini lakukan...
Aku ingin meminta sesuatu dari Mu...
Tapi aku sungguh malu padaMu ya Allah...


Aku teringat perjuangan Hassan Al-Banna...
Aku sangat mengagumi perjuangan beliau...
Aku mengagumi perjuangan Syed Qutub...
Tapi ya Allah... aku malu ya Allah untuk menyatakannya...
Masih layakkah diri ini menyebut nama Hassan Al-Banna? Nama Syed Qutub?
Masih tersisakah pejuang sepertinya untuk diri ini...
Malunya aku ya Allah dengan permintaan ini...
Aku tidak layak memikirkan tentangnya...


Wanita seperti manakah yang Kau pilihkan untuk mereka...?
Wanita yang bagaimanakah yang telah Kau pilih untuk melahirkan mereka?
Semestinya seperti Zainab Al-Ghazali dan mereka yang seangkatan dengan beliau...
Aku ingin sekiranya boleh mendampingi orang-orang sekaliber mereka.
Seorang yang hidupnya semata-mata untuk Allah.
Mereka tak tergoda rayuan harta dan benda apalagi wanita.
Aku ingin sekiranya boleh menjadi seorang ibu bagi mujahid-mujahid seperti Hassan Al-Banna.
Masih tersisakah mujahid seperti Al-Banna untukku ya Allah...?
Layakkah diri ini untuk menjadi peniup semangatnya?
Aku sungguh malu menyatakannya ya Allah...
Sungguh hina diri ini... sungguh kotor diri ini...
Sungguh lemah diri ini untuk mujahid seperti mereka...


Air mata ini jika dialirkan hingga titisan terakhir,
Namun ia masih tidak mencukupi untuk menyatakan rasa bersalah dengan dosa-dosa diri ini yang menggunung tinggi...


Ya Allah...
Pimpinlah daku...
Janganlah Kau tinggalkan aku walau sesaat cuma
Aku tidak sanggup dibiarkan dlm lumpur dosa2 hina...
Ampunilah aku ya Allah...
Astaghfirullaha'lazim...
Astaghfirullahal'azim...
Astaghfirullahal'azim... 

(my.opera.com)

Saat Jilbabku Memanjang

Saat ini, banyak wanita yang mengenakan jilbab. Baik ke luar rumah, menghadiri undangan maupun wisata. Fenomena pemakaian jilbab yang membuat diri serasa ditetesi embun yang bergelayutan di ujung daun-daun. Lautan jilbab yang memukau, itu kata orang. Tapi kataku; kondisi ini memang sangat mengembirakan hati dan membuat semarak lingkungan kita yang memang mayoritas beragama Islam.
 
Kesemarakan berjilbab ini, tentu saja tidak terlepas dari banyaknya tumbuh majlis ilmu, maupun kesadaran setiap personal untuk bergerak kearah perbaikan diri dan keluarga. Bisa diandaikan seperti sebuah pepatah : “Bagai cendawan yang tumbuh di musim hujan.” Subhanallah!

Bicara jilbab, ternyata sangat menarik. Kebetulan ibu-ibu di lingkunganku tinggal, mayoritas berjilbab. Memang sih walaupun menggunakan jilbab hanya untuk keluar rumah. Ada juga yang berjilbab bila hanya menghadiri majlis ta’lim. Bahkan ada juga yang berjilbab dengan alasan, sekarang lagi jamannya. Nah, untuk yang terakhir ini, terasa menggelitik juga khan?! Tapi, aku tetap bersyukur karena jilbab sepertinya sebuah kebutuhan di masyarakat saat ini, apapun alasan yang mendasarinya. Iya nggak?!

Dasar untuk menggunakan jilbab memang bermacam-macam. Untuk model jilbab pun beragam pula. Ada isitilah jilbab gaul. Maksudnya mungkin bisa di pakai di segala cuaca pertemanan. Jilbab kafe, mungkin yang seperti dililit di leher. Jilbab PKS ( info ini saya dapat, ketika ingin membeli sebuah jilbab di sebuah toko di kota Samarinda ) dan mungkin ada nama lainnya lagi, yang mungkin belum saya tahu.

Urusan ukuran jilbab juga ada. Ukuran pendek, maksudnya Cuma sebahu. Yang biasa saya lihat di pakai oleh ibu penjual sayur di pasar tradisional. Ukuran tanggung, yang juntaian jilbabnya hanya sampai di dada. Ukuran panjang sepinggang dan panjang selutut. Yang panjang selutut ini, orang awam biasa mengkonotasikannya dengan sebuah khalakah, yang biasanya disertai dengan sebuah cadar. Yang mana saja ukurannya, bagiku itu sebuah usaha yang dilakukan oleh seseorang, yaitu seorang muslimah yang ingin lebih baik dalam menutup aurat.

Ketika aku mencoba ( karena kadang masih pakai ukuran lama ) jilbab panjang, yang ukuran sampai selutut, aku merasakan sebuah sikap berbeda di lingkunganku. Baik di lingkungan rumah maupun tempat majlis ilmu yang telah bertahun aku ikuti.

Ketika ada sebuah acara aqiqah di sebuah masjid, aku pun menghadirinya. Saat tamu undangan banyak yang datang, aku pun berbaur. Saat itu adalah saat yang sangat menyenangkan bagiku, karena saat itu kami dapat bersilaturahim pada kawan-kawan yang lama tak bersua. Jadilah suasananya sangat rame dengan kicauan kami.

Suasana yang bagiku nyaman, ternyata sedikit ternodai. Saat itu ada seorang ibu yang telah lama aku kenal, yang merupakan seorang tokoh di sebuah halakah Islam. Ketika dia melihatku, ternyata dia memandangku seperti seseorang yang meneliti “keanehan” diriku yang berjilbab panjang. Mengapa diri ini di pandangi begitu? Apakah sebuah kesalahan bila aku mencoba memanjangkan jilbabku? Seharusnya dia gembira, aku tidak memendekkan jilbab, tapi malah memanjangkannya!

Lain lagi di sebuah acara sekolah anakku. Aku bertemu dengan seorang kawan, dan aku pun langsung mencium pipinya ( tentu saja seorang ibu ). Dia kemudian mundur sedikit memandangku, kemudian berkata : “Panjang sekali jilbabnya?!” Ah, sebuah pertanyaan yang menggelitik hati ini. Kenapa komentar itu yang aku dengar? Kenapa bukan sebuah support, yang membuat jiwa ini merasakan penerimaan yang total dari kawan, yang tidak memandang apapun yang aku pakai? Irama denyut jantungku serasa menjadi lemah.

Bila belanja ke warung dekat rumah, aku biasanya menyempatkan diri untuk sedikit ngobrol pada ibu-ibu yang lagi nongkrong. Pandangan mereka memang sedikit berubah. Kelihatannya aku menjadi aneh di hadapan mereka. Tapi aku berusaha menepiskan pikiran mereka dengan mengatakan : “Pakai yang panjang ini enak lho. Kalau tiba-tiba ada tamu di rumah atau ingin belanja di warung, khan tidak usah ganti baju. Model baju juga tidak kelihatan. Bila baju kita udah lama, maka tak akan terlihat orang.” Mata mereka kelihatannya mulai tertarik dengan info terbaruku ini. Mereka mulai memposisikan diri untuk mendengarkan ucapakanku. Maka aku pun nambahin info. “Coba aja deh, pakai jilbab sepertiku. Terasa nyaman lho?!” kok sepertinya aku promosi jilbab nih. Padahal aku hanya punya beberapa jilbab panjang. Tapi nggak apa-apa khan, supaya mereka tidak berubah pandangan padaku, hanya karena jilbabku memanjang.

Tapi ada juga lho yang mensupport jilbabku ini. Seorang tetangga di depan rumahku, dia juga ingin seperti aku. Tapi masih malu-malu kucing untuk memulai, padahal stock jiilbab panjangnya udah lumayan. Memang sih, untuk memulai sesuatu yang baru, diperlukan keberanian. Karena bila kita berubah, maka tentu saja perasaan asing akan hingga pada diri kita, karena telah nyaman dengan penampilan yang lama. Begitu pula di lingkungan kita berada, pastilah juga merasakan kehadiran kita tak sama dengan yang dulu! “Padahal, aku masih seperti yang dulu.” Seperti nyanyian tempo dulu, yang syairnya dinyanyikan siapa ya? Lupa nih.

Kebetulan aku memang berdua teman yang satu lingkungan denganku, telah memulai belajar memakai jilbab panjang ini. Dia udah istiqomah, tapi aku masih kadang dengan gaya lamaku. Karena kami berdua memakai model baru kami, maka tersiar kabar yang mempertanyakan dimana kami sekarang menimba ilmu? He…he…Mungkin mereka pikir, kami ikut khalakah yang mereka sering pertanyakan, atau jangan-jangan kami dikira mengikuti aliran sesat? Naudzubillahi min dzalik.

Jadi saat jilbabku memanjang, ada berbagai macam komentar dan berbagai macam prilaku, yang ditunjukkan baik oleh orang-orang yang belum rajin ikut tarbiyah maupun yang udah lama. Mereka ternyata sama-sama merasakan keanehan pada diriku ini. Padahal seharusnya mereka bersyukur, saat ini aku tidak memakai pakaian “you can see”, tapi malah memanjangkan jilbabku.

Berjilbab Jangan Setengah-Setengah

Minggu sore aku diminta istriku untuk menemaninya berbelanja sayuran dan bumbu dapur di salah satu pasar kaget, tak jauh dari tempat tinggal kami. Sore itu pengunjung pasar yang hanya ada setiap hari Minggu sore hingga sekitar pukul 9 malam itu sangat ramai. Saat istriku mulai memilih beberapa sayuran, aku dan putriku memilih tetap duduk di motor, menunggunya tak jauh dari penjual sayur yang terlihat kerepotan melayani calon pembeli yang memenuhi pinggir dagangannya yang dihamparkan di pinggir jalan.

Semula aku tak begitu memperhatikan pengunjung pasar sore itu, sejak datang aku tertarik dengan beraneka ragam kerajinan tangan yang terbuat dari bambu dan kayu yang dijajakan tepat diseberang penjual sayuran tak jauh dari tempatku menunggu istri berbelanja sayuran. Sampai akhirnya pandanganku beralih ketika putriku memanggil sambil mengguncangkan tanganku.

Bi, lihat ibu yang pakai kerudung hitam di samping ummi itu. Kok pakai jilbabnya begitu, aneh ya? “

Aku mengikuti arah yang ditunjuk putriku. Rupanya yang putriku maksudkan adalah seorang ibu muda yang mengenakan kerudung pendek warna hitam. Benar yang putriku bilang, ada yang aneh dengan cara berpakaian ibu yang sedang asyik memilih sayuran itu. Dia memakai kerudung, tapi pakaian yang dikenakannya adalah kaos dan celana pendek. Astaghfirulloh, prihatin rasanya melihat pemandangan seperti ini.

Belum habis rasa heran kami melihat penampilan sang ibu yang berkerudung dengan celana dan kaos pendek itu, putriku kembali mencolek tanganku. Dengan berbisik dia kembali memberi tahu beberapa pengunjung pasar yang berpakaian aneh. Tak jauh dari ibu pertama tadi, terlihat seorang wanita muda dengan pakaian yang terlihat rapi. Wanita muda ini memakai jilbab putih, pakaian yang dikenakannya tidak seperti ibu pertama. Wanita ini memakai baju lengan panjang dan celana panjang. Sekilas, pakaian yang dikenakan wanita ini sudah memenuhi kriteria berjilbab, tapi tetap saja ada yang membuat tak nyaman bagi yang melihatnya. Pakaian yang dikenakan wanita ini memang menutupi seluruh kulit kecuali telapak tangannya, namun sama sekali tidak menutupi bentuk dan lekuk badannya. Pakaian yang dikenakannya terlalu ketat, hingga hanya dengan pandangan sekilas, semua orang tahu akan lekuk-lekuk tubuhnya.

Seperti kebetulan, tak lama kemudian lewat dihadapan kami dua orang perempuan muda yang berboncengan motor matic. Keduanyapun terlihat seperti menggunakan jilbab. Tapi astaghfirulloh, kedua perempuan abg ini terlihat sekenanya menggunakan pakaian. Kepala mereka memang tertutup oleh kerudung, tapi baju mini mereka tak mampu menutupi punggung mereka hingga semua orang yang kebetulan melihat mereka dapat melihat pemandangan tak nyaman ini. Terlebih perempuan yang dibonceng, cara dia membonceng persis seperti coboy di atas kudanya hingga rok panjang yang dikenakannya terangkat hingga setinggi lutut.

Tiga kali melihat pemandangan yang aneh, akhirnya aku alihkan kembali pandanganku pada sang penjual kerajinan bambu. Namun sayang, tepat di samping pejual kerajinan bambu kini telah berdiri seorang perempuan dengan pakaian longgar dan panjang, jilbabnyapun cukup panjang hingga menutupi seluruh bagian dadanya. Kalau dari segi berpakaian, jelas perempuan ini tahu betul caranya berjilbab, jauh berbeda dengan cara ‘berjilbab’ orang-orang yang tadi sempat ditunjukan oleh putriku. Namun sayang, meski perempuan itu berjilbab, namun dia tak cukup pintar untuk menjaga tingkah lakunya. Kulihat dia sedang bercanda dengan seorang laki-laki. Mereka terlihat akrab bahkan sesekali terdengar sang perempuan tertawa terbahak hingga suaranya terdengar dari tempatku berada, sekitar 20 meter. Aku memang tak begitu kenal dengan sang perempuan, tapi aku tahu persis bahwa laki-laki yang sedang bercanda dengannya bukanlah suaminya. Entah siapa, tapi yang jelas cara mereka berbicara dan bercanda sungguh membuat tak nyaman, dan menurutku tak semestinya hal itu dilakukan oleh sang perempuan.

Ada-ada saja yang kami lihat sore itu. Barangkali karena ini di pasar, sama seperti dagangan yang dijajakan, maka pengunjungnyapun beraneka ragam. Terhadap mereka yang masih mengenakan jilbab ‘ala kadarnya’, apapun alasan mereka aku tak ingin terburu-buru memvonisnya. Bagaimanapun mereka sudah berusaha untuk menutupi auratnya, namun caranya saja yang salah. Barangkali butuh waktu hingga akhirnya mereka bisa mengenakan jilbab yang syar’i. Yang disayangkan adalah apabila mereka berlindung dibalik jilbab untuk kepentingan tertentu. Atau juga mereka mengira bahwa cara berpakaian mereka, cara berjilbab mereka sudah benar padahal sebenarnya mereka sama sekali belum berjilbab. Kepala mereka boleh saja sudah ditutup dengan kerudung, tapi aurat lainnya tak mereka perhatikan. Seolah, aurat itu adanya hanya di kepala, hingga ketika rambut sudah ditutup maka aurat sudah tertutup semua.

Juga, bagi saudari-saudariku yang sudah paham bagaimana cara berjilbab secara syar’i sangat disayangkan jika hanya fisik saja yang mereka ‘selamatkan’ namun akhlak dibiarkan berbuat sekehendak hati. Jilbab sesugguhnya mampu menutup aurat fisik secara menyeluruh, juga mampu menjaga tingkah laku, perbuatan dan akhlak pemakaianya. Apa artinya jilbab, jika sang pemakainya tak mampu mengendalikan tutur sapa, tingkah laku bahkan nafsunya.

Mari, para muslimah semua untuk ‘belajar’ berjilbab yang sesungguhnya. Sangat memprihatinkan bila melihat kenyataan bahwa masih banyak muslimah yang belum atau tidak tahu bagaimana cara berjilbab yang sesuai dengan tuntunan agama. Mereka berjilbab setengah-setengah, sebagian di tutup tapi sebagian lainnya dibiarkan terbuka. Sangat menyedihkan bila melihat kenyatan bahwa masih banyak muslimah yang tak mampu menjaga akhlaknya sebagaimana mereka menjaga auratnya. Seharusnya ada perbedaan jelas antara yang berjilbab dengan yang tidak, namun apa bedanya jika jilbab yang mereka kenakan tak lebih dari penutup kepala sedang pakaian lainnya sama seperti non muslim yang merasa tak berkewajiban menutup auratnya. Tak ada yang tak bisa, mungkin agak sulit pada mulanya namun jika sudah diniatkan, ilmu dikumpulkan maka berjilbab akan menjadi hal mudah, dan sangat dibutuhkan, bukan sekedar kewajiban.

Anak Berjilbab dan Ibu Ber'TankTop'

Sore ini aku pulang kerja diiringi dengan gerimis. Memang sedang musim hujan jadi tiap pulang hampir selalau ditemani hujan. Seperti biasa aku naik angkot dari kantor menuju terminal dikotaku untuk transit. Memang aku kerja termasuk diluar kota, dulu kota dingin dilereng pegunungan itu masih jadi satu kabupaten dengan kotaku, tetapi sekarang sudah menjadi kota sendiri. Dari tempat mangkal angkot ini ke terminal kotaku tidak lama sih hanya sekitar tiga puluh menitan.

Di saat orang lebih memilih naik motor, aku tetap setia dengan angkot, karena untuk beli motor tidak ada, kalau kredit, aku tidak terlalu suka. Biarlah hitung-hitung sebagai rejeki para sopir angkut yang semakin hari semakin seret saja, dari terminal kotaku kekota dingin ini sering pemumpang hanya dua atau tiga orang saja, bahkan tak jarang aku sendirian. Seperti mencarter atau naik taxi dengan ongkos murah jadinya. Kalau angkotnya ngetem di pangkalan untuk cari penumpang ya harus sabar, toh ada jadwalnya, setiap beberapa menit. Seperti kali ini sudah hampir sepuluh menit aku duduk di angkot ini, tapi belum penuh juga.
Ketika di belakang tampak angkot lain yang muncul, yang kunaiki pun beranjak pergai. Pas di lampu merah kulihat tiga orang perempuan dan seorang balita naik, jadi lumayan cukup penuh walau tidak sampai sesak.

Biasanya aku tidak terlalu perhatian pada orang, tapi kali ini menarik sekali. Tiga perempuan ini membuatku ingin mengamati dan sedikit nguping. Bukan niatan sih, tetapi karena duduk pas disebelahku jadinya terdengar. Yang satu perempuan setengah baya dengan busana muslim umumnya ibu-ibu, jilbab pendek, ya umumlah. Seorang lagi perempuan masih belia, mungkin masih SMP, pakaiannya wajar, celana jeans dengan baju lengan panjang memangku balita perempuan yang kutaksir umurnya baru 2 tahun. 

Lucu sekali balita ini, bercelana panjang, berjaket karena dingin dan berjilbab sehingga tampak lebih cantik dan lucu. Perempuan satunya lagi, masih cukup muda mungkin masih dua puluh limaan, bercelana ketat penjang seperdelapan, dengan tank topnya, sedikit ditutup syal. Dari pembicaraan mereka ternyata balita itu anak dari perempuan yang muda, sedang yang memangku adalah tantenya dan ibu setengah baya adalah neneknya. 

Apa yang menarik dari mereka, tentu penampilannya. Sang nenek berkata, “ kamu memakaikan baju si kecil ini kok gak matcing sih, lihat celana dan baju biru, kaos kaki hijau sepatu putih dan jilbab pink, apa tidak ada kaos kaki dan jilbab yang sesuai? “. Sang ibu muda meimpali “ gak-apa-apa bu yang penting hangat. Dia sendiri yang memilih jilbabnya, jilbabi ni kesukaanya, tidak mau yang lain. 

Setiap akan di ajak keluar pasti dia akan berkata “ Ma mau pergi ya, Adek pakai jilbab ini ya? Biar tambah cantik”, gitu Bu pintanya jadi kuturuti saja. Dia ini paling suka kalau dijilbabi Bu. Makanya sekarang mau kucarikan model yang lucu dan warna warni, biar tambah suka. Tiba-tiba si balita ini berkata “ ya nek adek cuka pake jilbab, tapi adek gak pelnah lihat mama pake.” Ibu muda itu hanya tertawa saja. 

Aku yang di sampingnya tertegun. Anak kecil ini begitu suka dengan jilbab. Padahal dia belum ngerti tentang kewajiban berjilbab, dan jelas dia belum waijb memakainya, karena masih kecil. Kontras sekali dengan ibunya, dandananya saja sama sekali tidak mencerminkan seorang muslimah, tetapi anaknya didandani dengan benar. Astagfirullah.

Aku beristigfar dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ibu kalah dengan balita. Ya masih syukurlah ibu ini mendandani anaknya dengan benar, sehingga si anak suka, dan terbiasa dengan jilbab, semoga kelak ketika dia dewasa tahu betul artinya berjilbab. Lalu mengapa ibunya sendiri belum, malah masih pakai pakaian seksi. Apakah si anak hanya sekedar didandani saja, supaya lucu dan lebih hangat karena kepala dan telinga terlindungi dari angin. Bagaimana dengan neneknya, mengapa tidak mengajarkan sesuatu yang baik pada kedua putrinya ini. Ah entahlah akau tidak berani menilai. 

Yang jelas yang kulihat adalah pemandangan yang unik. Melihat para umat dengan putrinya walau masih bayi tapi sudah dijilbabi itu biasa, melihat seorang ibu mengantar anaknya sekolah dengan pakaian busana muslim itupun biasa karena sekolahnya memang mewajibkan berseragam demikian, walau mungkin orang tuanyapun belum berpakaian secara benar. 

Tetapi ini seorang balita kecil berjilbab lucu dan rapi sementara ibunya pusar, lengan dan ketiaknya masih diumbar ke mana-mana. Apa tidak terbalik tuh. Harusnya kan ibunya dulu karena dia sudah berkewajiban untuk menutup aurat dengan benar. Ah sudahlah setidaknya dia tidak mengajarkan anaknya berpakaian seksi juga..

Di pertigaan jalan perbatasan kota mereka turun, sekilas tampak pinggang bawah ibu muda itu, karena celana yang dipakai model melorot (ini hanya istilahku) tentulah lelaki di ujung pintu angkot ini melihatnya. Aku hanya bisa menghela nafas dan beristigfar kembali. Dalam hati aku berdo’a sambil memandangi mereka “Ya Allah semoga kau berikan hidayah kepada ibu muda ini agar bisa menjadi contoh yang baik bagi putrinya. 

Jilbab bukanlah sekedar pakaian penutup aurat, tapi juga hijab bagi jiwa-jiwa pemakainya agar selalu berpegang di jalan –Mu, dan semoga sikecil yang lucu dan cantik itu kelak mengerti benar apa yang menjadi kesukaanya untuk berjilbab adalah syariat agama hingga dia akan tetap menjaganya dan tidak terpengaruh budaya zaman yang semakin edan ini. Amiien.....

Keakraban Keluarga : Jangan Bohongi Anak-anak

Aku dan suami pernah membaca artikel hikmah menceritakan tentang seorang bapak yang sangat santun berbicara dengan bossnya di kantor meskipun hatinya sedang kesal dan gundah, sedangkan di saat bersamaan, ada pelampiasan rasa marah kepada anaknya di rumah, saat sang anak menunjukkan hasil karya, si bapak malah ketus berkata, “ayah lagi sibuk,ah…”, sehingga hancurlah hati sang anak. Sungguh teguran yang tepat.

Berkaitan dengan itu, ada cerita masa kecil seorang saudara kami. Hingga kini, keluarga mereka masih belum harmonis alias tidak akur. Coba kita ambil secuil pelajaran dari ketidak akuran itu, salah satunya orang tua mereka seringkali membohongi anak. Suatu hari, kak Doni (sebut saja begitu) rajin menabung untuk cita-cita kecilnya, “membeli game”, versi lama dari PS kira-kira. Semua uang jajannya dikumpulkan demi cita-cita itu, uang jajan anak SD tidaklah besar, satu tahun barulah terkumpul. Namun sang ayah berkata, “pinjam dulu yah…nanti ayah kembalikan koq, dua kali lipat malah…”, Doni kecil tak bisa berbuat apa-apa, padahal ayahnya meminjam untuk membeli beberapa bungkus rokok. Kebetulan sang ibu pun sedang berbelanja di pedagang sayur yang lewat di kompleks itu, “ibu pinjam uang kamu yah nak… nanti ibu kembalikan, janji koq…”, sisa tabungannya ludes seketika, melunasi utang kepada pedagang sayur, dengan harapan besar hati Doni berkata, sebentar lagi saat gajian tiba, ayah dan ibu pasti mengembalikan uang tabungannya.

Ternyata janji tinggallah janji. Rengekan Doni agar mereka “mengembalikan uang tabungan itu” tak kunjung ditanggapi, dianggap hanya kemanjaan anak kecil yang tidak berarti. Begitu pun dengan adik-adiknya, sering kali ayah mereka bilang “besok yah…”, atas janjinya, namun ia langgar dengan mudah. Ibu pernah berjanji datang ke acara pertunjukan teathre anaknya, namun dilanggar pula, dan kejadian itu berlangsung dengan mudah. Naudzubillah…

Lisan, kata Al-Ghazali, merupakan kenikmatan besar yang dianugerahkan kepada manusia. Ingatlah, “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta” [QS:Adz Dzaariyaat:10].

Walaupun berdusta kepada anak atau saudara sendiri, tetaplah disebut kebohongan, sedangkan pesan Nabi Muhammad SAW: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. “(HR. Bukhari&Muslim). Lantas bagaimana isi keluarga dapat harmonis, sakinah mawaddah warohmah jika di dalamnya bergumul kemunafikan dan saling menyakiti perasaan ?!

Dari suasana dan kondisi mereka, kami pun dapat mengambil hikmah, apalagi dengan kritisnya anak-anak saat ini. Kami tidak mau waktu yang kian berlari menjadi sia-sia, padahal keharmonisan keluarga adalah cita-cita yang besar. Saya dan suami pernah meminjam tabungan si abang, sulungku ini gemar menabung, lalu kami kembalikan tepat waktu. Dan abang kecil punya “catatan janji sendiri” dengan orangtuanya, misalkan ia ingin bermain komputer, kami setting waktunya, ia patuh untuk berhenti bermain, sesuai janjinya. 

Contoh lain saat ia berjanji ingin menjaga adik ketika aku berwudhu, jangan sampai adiknya terjatuh saat berlari, jangan sampai termakan sesuatu benda asing, ia komitmen melakukannya walupun rambutnya jadi korban jambakan sang adik yang kesal dikontrol abangnya. Sedari kecil ia mengetahui bahwa Islam memiliki perhatian full dalam kehidupan kita, termasuk pengamalan kepada akhlak-akhlak terpuji seperti menepati janji. Bukanlah anak yang sholeh jika berbohong dan tentu Allah SWT akan murka pada orang yang terbiasa berbohong.

Dalam konteks yang lebih luas, Keluarga besar adalah analogi suatu negara. Alangkah tidak harmonisnya bila “bapak-ibu” yang menjadi pemimpin negara sering melanggar janji dan mengecewakan “anak-anaknya” (rakyat), semoga jadi renungan bersama.

Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. -Qs At-Tahrîm:6-, dan kita sudah tau bahwa Rasulullah SAW telah mengaplikasikan perintah ini. Semoga kita pun diberiNya kekuatan dalam menjaga keakraban keluarga, bersama meraih cinta dan keridhoanNYA, amiin.

Rijaalul Fajri, Sudahkah Menjadi Bagian Dari Diri?

Aku suka dengan istilah ini, RIJAALUL FAJRI, orang yang menghidupkan waktu pagi. Materi ini kudapat saat kuliah subuh dalam rangkaian 10 hari I’tikaf di Masjid Al-Hikmah, Jl. Bangka, Jakarta, tahun 1996 (sudah lama sekali yaa). Materi yang disampaikan dalam kondisi jamaah ik’ikaf banyak yang ‘tumbang bergelimpangan’ karena semalam sejak jam 01.30 sudah bangun, sementara tidur paling cepat dimulai jam 23.00. Terasa lah kalau materi yang disampaikan ust Abduil Muis, MA ini jadi ‘nonjok banget’.

Tradisi menghidupkan malam 10 terakhir Ramadhan di Al-hikmah adalah sholat tarawih dengan bacaan 1 juz Al-Quran (untuk 8 rakaat), disambung ceramah. Biasanya itu selesai pada jam 22.00. Terus disambung tilawah masing-masing, biasanya sampai jam 23.00 maka lampu masjid akan dimatikan. (Kalau tak dimatikan, mungkin beberapa orang akan tilawah terus sampai pagi ya?). Jam 01.30 dini hari jamaah sudah dibangunkan lagi, bersiap untuk sholat tahajud dengan bacan 3 juz tiap malamnya! Baru disambung sahur.

Maka, sewaktu akan menyimak kuliah subuh itu, tadinya aku tergoda untuk menyimak sambil rebahan, karena sudah beberapa malam jam tidur sangat kurang. Memang fisik terasa ‘lungrah’. Tapi karena materinya tentang orang yang tidak bermalas2 setelah subuh, jadi tersindir berat deh. Maka, aku segera duduk menyimak dan mencatat materi itu baik-baik.
Nah, dari catatan itulah, ditambah beberapa referensi lain, aku coba untuk menulis ulang kembali tentang keutamaan waktu fajar.

Waktu pagi, memang menyimpan banyak keutamaan dan rahasia. Salah satunya adalah keutamaan zikir pagi yang dianjurkan untuk memperoleh banyak rahmat Allah SWT. “Dan sebarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang untuk mengharapkan keridhaan-Nya” (Al-Kahfi: 28).

Waktu pagi juga waktu pergantian tugas malaikat malam dan siang. Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya bahwa waktu shubuh adalah masa di mana para malaikat malam naik ke langit digantikan dengan malaikat siang. Sungguh terasa indah jika saat-saat pergantian malaikat itu, kita sedang berada dalam kondisi taat kepada Allah Swt.

Namun apa yang terjadi? Banyak orang memilih untuk bermalas-malasan. Menjalankan sholat shubuh dengan terkantuk-kantuk kemudian bermalas-malasan menunggu matahari muncul adalah hal yang tidak jarang kita lakukan. Bahkan, sholat shubuh tak jarang kita lakukan setelah matahari telah terbit. Astaghfirullah…

Maka, ada benarnya juga kalau wasiat jawa kuno mengatakan, ‘ora ilok’ kalau setelah sholat subuh terus tidur lagi. Hal ini pula yang ditanamkan kedua orang tuaku, sejak kami masih kecil. Begitu subuh, dibangunkan sholat, lalu bantu-bantu membereskan rumah sampai saatnya bersiap ke sekolah. Ada juga orang yang mengatakan, “Kalau habis subuh tidur lagi, nanti rejekimu ilang dipatuk ayam”. Hmm, ada benarnya juga :)

Beberapa hadist atau ucapan salafus solih yang sempat kucatat waktu itu antara lain begin :
  • Waktu fajar merupakan lembar kelahiran semua bentuk kebaikan”. Maka, perang jaman Nabi pun sering dilakukan pada waktu fajar
  • Waktu fajar adalah lambang kemenangan” . Jika ingin sukses, bangunlah di waktu fajar dan jangan tidur lagi.
  • Fajar adalah lambang kehidupan, lambang masa muda, tanda aktivitas, ciri kebenaran dan keadilan, dan waktu ini paling strategis karena hawa masih segar dan Allah membagi rizkiNya di waktu fajar
  • Sholat subuh merupakan tanda iman seseorang dan bebas dari sifat nifaq, karena waktu ini berat bagi orang yang belum terbiasa” --> Rasul SAW melarang tidur usai sholat subuh. Rasul pernah melihat Fatimah tidur setelah sholat subuh lalu segera dibangunkan
  • Sesungguhnya sholat yang paling berat atas orang munafik adalah sholat Isya dan subuh” (HR Bukhari Muslim)
.
Waktu-waktu shubuh di pagi hari adalah waktu yang oleh para ulama dianggap sebagai waktu terbaik untuk mendalami suatu ilmu. Suasana pagi yang tenang membuat konsentrasi dan kemampuan memahami meningkat. Ibnu Jarir Ath Thabari, yang mampu menulis 40 halaman setiap hari selama 40 tahun terakhir masa usianya, melakukan murajaah akan ilmu dan ide-ide yang akan dituangkan dalam tulisannya di awal-awal shubuh

Lukman Al-Hakim pun mengingatkan anaknya tentang kemuliaan pagi dan mudahnya akal menyerap ilmu dengan mengatakan, “Jangan sampai ayam jantan lebih cerdas darimu. Ia berkokok sebelum fajar, sementara kamu masih mendengkur tidur hingga matahari terbit.

Lihatlah ke luar! Pagi tak pernah bosan menyapa kita kecuali Allah menentukan takdirnya yang lain. Suasana pagi tetaplah penuh dengan kesegaran dan kesejukan. Suasana pagi selalu membawa harapan bagi diri.

SEMANGADD PAGI! Sunguh aku ingin selalu menyapa pagi dan menjadikannya momen yang baik untuk memperbaiki diri. Amien, semoga ...

Saltum di Akhirat? Astaghfirullah...

Saltum? Apaan tuh... itu istilah keren temen-temen kantor saja kalau ada yang salah pake kostum kerja. Saltum sama dengan salah kostum. Sebenarnya kalau di kantor saya sendiri menggunakan seragam bukanlah hal yang wajib, walau disediakan juga seragam yang khusus dipakai di hari senin. Namun ada satu hari lain yang menjadi kebiasaan umum yaitu ketika hari Jum’at menjelang, secara otomatis akan mudah sekali menemukan para pekerja yang menggunakan batik, layaknya seragam umum, dan termasuk kategori cinta produk dalam negeri juga, hehehe...

Seperti yang terjadi pada hari ini, entah apa yang sedang saya pikirkan tapi saya merasa hari ini adalah hari Jum’at (padahal jelas-jelas di kalender terpampang hari kamis). Jadi pas lah saya memakai batik selain maksud hati memakai batik juga untuk menyenangkan sekaligus menghargai Bapak yang sudah membelikan baju batik ini. Alhasil di kantor banyak yang menanyakan alasan pemakaian kostum batik saya ini, padahal sepertinya mereka menyindir. Tinggallah saya yang tersenyum senyum sendiri dengan kondisi ini. Saltum euy...

Dari kondisi saltum ini saya jadi tergelitik sendiri. Alhamdulillah saya masih saltum di dunia dan masih banyak orang baik yang mengingatkan. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau saltum ini terjadi di akhirat. Disaat tiap insan beriman berjejer rapi menggunakan kostum takwa nya menghadap Sang Maha Tinggi, ada insan lain yang saltum ikut berjejer rapi di barisan orang-orang beriman tadi, bukan baju ketakwaan yang dia pakai akan tetapi baju kesombongan, baju keserakahan, dan baju kemunafikan. Astaghfirullahaladzim... 

Tentu saja dia akan langsung dikeluarkan dari barisan tadi dan ditempatkan di barisan insan lain yang menggunakan baju yang sama dengannya. Dan disaat itulah tidak ada lagi orang yang mengingatkan selain malaikat penjaga pintu neraka yang dengan garangnya menggiringnya agar ikut dalam barisan insan yang sama dengannya. Astaghfirullahaldzim...

Agar tidak saltum di akhirat maka kita harus menyiapkan perbekalan yang banyak dan benar ketika di dunia.

“Sungguh mengherankan seorang musafir yang pasti meninggal dunia sementara ia tidak berbekal untuk perjalanannya. Juga orang musafir yang kebingungan, namun ia tidak menyiapkan kendaraannya dalam perjalanannya. Mengherankan pula orang yang berpindah ke kuburnya tetapi tidak bersiap-siap untuk perpindahannya...” (Dr. Adil Abdullah dalam buku Bersama Kereta Dakwah)

Sebuah perbekalan yang akan menentukan apakah kita akan sampai pada titik tujuan. Sebuah perbekalan yang berisi kostum kostum ketakwaan terbaik yang akan kita persembahkan untuk Alloh Yang Maha Menciptakan.

“..........Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqoroh:197).

“Perbuatan apapun yang bermanfaat setelah kematianmu, segeralah memanfaatkan hari-hari sehatmu dengan amal shalih. Karena penyakit itu datang tiba-tiba dan menghalangimu dari beramal. Dikhawatirkan orang yang lalai dalam hal ini, akhirnya sampai ke akhirat tanpa bekal (Ibnu Hajar Rahimahullah)

Masih Ada Dusta di Hatiku

Hari belumlah terlalu sore, baru jam setengah lima. Tapi hujan yang turun dengan lebat membuat sore terasa lebih gelap dari yang semestinya. Angin yang bertiup cukup kencang dan suara guntur yang bersahutan menambah suasana semakin dingin dan mencekam.

Di dalam becak, aku terdiam menahan dingin. Percikan hujan menerobos melalui celah-celah plastik penutup becak yang tersingkap angin. Aku terpaksa mengurungkan semua keinginanku untuk berbincang banyak hal dengan ‘teman lamaku’ yang kini harus berjuang lebih keras lagi untuk menggerakan roda-roda becak menembus genangan air dan melawan kencangnya angin. Jika aku nekat bertanya, bukan saja suaraku hanya akan tenggelam dalam derasnya hujan dan guntur yang terus bersahutan, tapi juga akan semakin menyiksanya. Ia sudah sangat kerepotan mengumpulkan tenaga dan mengatur nafasnya.

Kang Admin, begitu biasa kupanggil teman lamaku ini. Usia kami memang terpaut cukup jauh. Ia seumuran dengan kakak pertamaku. Di musholla Baiturrohman lah kami sering bertemu. Sholat berjamaah dan belajar Al Quran bersama, belasan tahun yang lalu. Saat itu aku masih sekolah, sedang Kang Admin sudah berkeluarga dan dikaruniai dua orang anak. 

Meski merasa terlambat, namun ia tetap belajar membaca Al Quran dengan penuh semangat.
Aku dan Kang Admin tinggal di RW yang sama, tapi di RT yang berbeda. Menjadi tukang becak adalah pekerjaan utamanya. Sampai saat ini sudah lebih dari dua puluh tahun ia menghidupi keluarganya dengan profesi yang cukup menguras tenaga ini. Tapi, setahuku ia jarang atau bahkan hampir tak pernah mengeluh. Sore itu buktinya. Meski hujan turun dengan begitu deras, meski angin bertiup cukup kencang dan suara guntur menggelegar terus bersahutan, ia tetap mantap mengayuh becaknya.

“ Maafkan aku, Kang. Aku tak menyangka hujan akan turun dengan lebat begini “ Aku merasa bersalah padanya. Akulah yang meminta tolong padanya mengantarku ke agen bus sore itu. Siang tadi, saat aku hendak memesan becak, tiba-tiba Kang Admin yang baru pulang dari pasar melintas di depan rumah. Alhamdulillah, Kang Admin menyanggupi. Aku yakin ini bukan sebuah kebetulan, tapi Allah sudah mengaturnya demikian. Ini kesempatan baginya untuk menjemput rezeki, juga kesempatan bagiku untuk berbagi.

“ Tak perlu meminta maaf, ini sudah menjadi resiko pekerjaanku “ jawabnya mantap. Aku melihat kejujuran dan keikhlasan dalam ucapannya.

Aku tetap merasa tidak enak hati meskipun Kang Admin tak menyalahkanku, juga siapapun. Ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ia tak perlu mengeluh, apalagi marah. Baginya ini bukan sekedar resiko pekerjaannya, tapi juga takdir dan ketetapan Allah yang harus ia terima dengan ikhlas.

Tiba-tiba aku teringat akan pekerjaanku. Dibandingkan Kang Admin, kondisiku sebenarnya jauh lebih beruntung. Sehari-hari aku bekerja di dalam kantor yang cukup nyaman. Aku nyaris tak pernah berhubungan langsung dengan teriknya matahari ataupun dinginnya hujan. Aku bisa ‘mengatur’ suhu dalam ruangan sesuai yang aku inginkan. Terkadang aku memang merasakan dingin, tapi bukan karena hujan atau angin, melainkan dingin dari AC ruangan yang memberikan kesejukan serta aroma yang menyegarkan.

Bila rasa dingin mulai mengganggu aktifitasku, kapanpun aku bisa membuat minuman hangat. Meski diluar hujan turun dengan sangat lebat, angin bertiup sangat kencang bahkan kilat terus menyambar dan petir menggelegar, aku merasa aman dan nyaman-nyaman saja. Bahkan alunan lagu dari salah satu komputer semakin menambah kenyamanan seakan di luar sana sedang tidak terjadi apa-apa.

Hal ini jelas jauh berbeda dengan yang dialami Kang Admin. Bila cuaca cerah, maka ia bermandi keringat di bawah terik matahari yang menyengat. Bila cuaca buruk seperti sore itu, hujan deras membuat hampir seluruh tubuhnya basah. Angin yang bertiup kencang, bukan saja menambah dingin namun juga menghambat laju becak yang dikayuhnya. Ketika sebagian orang gemetar melihat kilat yang menyambar dan mendengar guntur yang mengelegar, Kang Admin tetap tegar mengayuh tanpa gentar.

Dalam keadaan yang sangat tidak mengenakan, apa yang Kang Admin lakukan? Tak ada pilihan lain, dan tak ada keinginan lain. Ia kumpulkan seluruh sisa tenaganya untuk terus mengayuh pedal becaknya. Ia tak pedulikan pakaiannya yang basah, ia lupakan rasa dingin, dan ia abaikan kilat yang mengerikan serta guntur yang menggetarkan. Ia berjuang sekuat tenaga, pertaruhkan kesehatan dan keselamatan badan, mengantarkan penumpang becaknya dengan selamat sampai tujuan.

Astaghfirulloh! Aku merasa malu. Malu dengan kang Admin. Meski begitu berat perjuangan dan pengorbanannya untuk menghidupi keluarga, ia tidak atau jarang mengeluh. Berbeda denganku yang mudah sekali jenuh dan mengeluh. Aku merasa malu dengan mereka yang tetap tegar bertahan, menjemput rizki dibawah panasnya terik matahari atau derasnya guyuran hujan.

Dari rasa malu, perlahan muncullah rasa takut. Aku takut akan keluh kesahku yang seringkali muncul seiring rasa jenuh dalam pekerjaanku. Aku takut itu akan mengundang siksa Nya. Dan aku semakin takut bila mengingat ayat yang diulang-ulang dalam surat Ar Rahmaan.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Ya Allah, ampuni hamba jika segala nikmat yang Engkau anugerahkan belum sepenuhnya bisa kusyukuri. Ampuni hamba yang terkadang menganggap bahwa kenyamanan yang kudapatkan dalam pekerjaan adalah sesuatu yang sudah semestinya diberikan pihak perusahaan. Ampuni hamba yang seringkali lalai dan lupa, bahwa sesungguhnya kenikmatan yang kurasakan dalam pekerjaanku, juga dalam seluruh kehidupanku adalah karuniaMu. Ampuni hamba yang kerap merasa diri tidak beruntung, padahal diluar sana banyak sekali yang harus melawan teriknya matahari, mengabaikan derasnya hujan agar dapur tetap mengebul.

Sungguh, tiada maksud hamba mengingkari nikmat Mu. Tapi seandainya mau jujur, terkadang masih ada dusta di hatiku. Keluh kesahku, anggapan biasaku tanpa kusadari menggeser rasa syukurku atas karunia Mu. Masihlah ada dusta dihatiku. Syukur yang kuucap, terkadang tak sejalan dengan apa yang kuperbuat.

Maafkan hamba ya Allah, begitu banyak kupinta pada Mu, namun sedikit sekali syukurku. Ampuni hamba ya Allah, begitu banyak keluh kesahku hingga kulupa akan besarnya nikmat Mu.

Astaghfirulloh, astaghfirulloh, astaghfirullohal ‘adzim.

Ketika Taujih Bertasbih

Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku (QS. Thoha 25-28).

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kecintaan untuk mendapatkan apa yang dicintai sebagai jalan; yang menciptakan ketaatan dan ketundukan kepada-Nya berdasarkan ketulusan cinta; sebagai bukti yang menggerakkan jiwa kepada berbagai bentuk kesempurnaan; sebagai sugesti untuk mencari dan mendapatkan cinta itu; yang telah menganugerahi alam atas dan alam bawah untuk mengeluarkan kesempurnaan-Nya dari kekuatan kepada perbuatan sebagai penghamparan, yang telah membangkitkan hasrat dan minat untuk meraih tujuannya sebagai pengkhususan bagi-Nya.

Mahasuci Allah yang telah melebihkan orang-orang yang mecintai-Nya, mencintai kitab dan rasulnya daripada seluruh pecinta. Dengan cinta dan untuk cintalah langit serta bumi dicintakan. Atas dasar cintalah semua makhluk diberi fitrahnya masing-masing. Karena cintalah seluruh planet bergerak pada garis edarnya. Dengan cintalah semua gerakan bisa mencapai tujuannya dan yang permulaan berhubungan dengan yang penghabisan. Dengan cintalah jiwa manusia merasa beruntung karena mendapatkan tuntutan dan harapannya, terhindar dari kebinasaan dan menjadikannnya sebagai jalan untuk menuju Rabb-nya. Hanya cintalah yang bisa diharapkan dan sekaligus sebagai sarana. Dengan cintalah manusia bisa memperoleh kehidupan yang layak dan mereguk kelezatan iman, karena ridha kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebaga Agama dan Muhammad sebagai Rasul.

Setiap orang memiliki momen terpenting dalam hidupnya, begitu juga dengan ku, momen terpenting buatku akan terjadi beberapa hari lagi, sebuah momen yang jika Allah meridoi akan semakin mendekatkan kepada sang pencipta, menjadi penggenap kehidupan, menjadi peneman dunia-akhirat.

Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku (QS. Thoha 25)

Aku teringat perkataan ustadz,

“Akhi, luruskan niat, sempurnakan ikhtiar, Allah telah mencatat semuanya dengan baik, tak bercelah, tak salah, ikuti saja skenario yang Allah berikan”,

“Iya ustadz”, sambil tunduk dan hormatku kepada ustadz

“Jangan biarkan setan mempermainkan perasaanmu, sungguh amat mudah bagi syetan untuk menghancurkan gunung dengan bongkahan batu, namun lebih mudah lagi untuk meluluhkan hati manusia yang telah dikuasai hawa nafsunya, minta kepada Allah perlindungan, sesungguhnya Allah adalah sebaik-baiknya pelindung, tak lupa, minta juga untuk melapangkan dadamu”, lanjut ustadz

“Syukron ustadz”, sambil pamitan aku peluk sang ustadz, hangat sungguh hangat

“dan mudahkanlah untukku urusanku” (QS. Thoha 26)

“Assalamu’alaykum”, sapa ustadz

“Wa’alaykumsalam”, subhanallah, jika setiap selasa-rabu aku menyaksikan ustadz dari televisi, hari ini aku disapa secara langsung, subhanallah, tidak ada kata pengganti selain itu, maha suci Allah, wajahnya penuh sinar, seakan balutan wudhu tidak pernah putus dari tubuhnya.

Selama ini aku berpikir, bahwa aku yang memiliki kantong mata yang paling besar karena jarang tidur, namun ternyata ada yang lebih besar dan lebih hitam, yaitu sang ustadz, namun yang mengherankan, besar kantong matanya membuat wajahnya semakin teduh, enak dipandang dan terlihat awet muda.

“Tong, kesini naik apa ?”, lanjut ustadz, mmm, firasat udah mulai gak enak nich

“Naik motor ustadz”, jawabku

“Mau naek mobil ?”, balas ustadz

“Gak mau ahh ustadz, Jakarta macet”, balas ku

“Bisa aja nt, dah ketahuan ya, mau ana tarik motornya”,

“Hehe”, sambil tersenyum lebar

Kemudian wajah ustadz agak serius dan berwasiat

“Ketika semua urusan terasa berat bagimu, ketika hati merasa condong untuk menunda, ketika hati merasa ragu untuk segera bertindak dalam kebaikan, ketika pikiran melarang berpikir cepat dalam mengambil keputusan, maka segeralah berdo’a seperti nabi musa, minta dimudahkan dalam segala urusan, mintalah kebaikan dunia dan akhirat, dan janganlah meminta untuk condong ke dunia saja”,

Kemudian ustadz melanjutkan,

“Ana pamit duluan akhi, semoga Allah memudahkan segala urusan antum dunia - akhirat”,
“Syukron ustadz”, sambil kepeluk tubuh mungilnya yang tidak kalah mungil denganku.

“dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”, “dan mudahkanlah untukku urusanku” (QS. Thoha 27-28)

Do’a-do’a telah dipanjatkan, malam-malam penuh kehangatan cinta bersama Allah telah digenapkan untuk sebuah keputusan, berbagai nasihat ulama, ustadz dan teman setia telah menjadi pelengkapnya. Kepasrahan, tawakkal kepada Allah adalah penutup segala rangkaian.

“Ketika semua telah dilakukan, namun hasilnya tidak sesuai harapan, berarti Allah Sayang Antum”, lanjut sang ustadz dalam pertemuan di sentul bogor.

“Kok gitu ustadz ?”, balasku

“Karena Allah Maha Mengetahui, mengetahui yang tersembunyi dibalik hati, mengetahui perasaan yang terselimuti, mengetahui isi pikiran yang abstrak. Allah Maha Mengetahui tentang dirimu - duhai anak muda, sebab Allah yang menjadikanmu dari tidak berasal menjadi ada, sebab Allah yang menciptakanmu dari setetes air yang hina”, lanjut ustadz menerangkan

“Iya ustadz”, kami menanggapi dengan lemah perkataan ustadz

“Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu ? karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ali-imron 160)

"Dan bersyukurlah ketika Allah mengabulkan segala do’a dan usaha, namun ketika impian, harapan, keinginan tidak sesuai, maka ingatlah firman Allah, ‘Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman." (QS. Ali-imron 139)

“Thoyyib segini dulu, ada pertanyaan akhi ?”, ustadz mengakhiri penyampaiannya.

“Dari ana cukup ustadz, mungkin yang lain mau bertanya silahkan”,

***

Kemudian teman-teman pun silih berganti bertanya, menanyakan tafsir ini-itu, bagaimana terjemahan hadist ini dan itu, namun aku tetap diam saja—memperhatikan, setelah selesai, ditutup dengan makan siang yang disajikan oleh tuan rumah, alhamdulillah.

Kami pun berpamitan satu sama lain, aku sengaja menterakhirkan diri untuk berpamitan, agar dapat lebih lama berpelukan dengan ustadz, dan benar saja, firasat orang mukmin, ketika berpamitan, ustadz mengatakan sesuatu yang membuatku kaget tak percaya,

“Allah Sayang Antum, Akhi”,

Setelah beberapa hari baru kuketahui bahwa ustadz terkadang memantau aktivitas online kami, hehe, jadi malu.

Semoga bermanfaat.

“Allah Sayang Aku, Allahuakbar !”

Memaknai Nama : Panggilan Adalah Do’a Yang Indah

“Hmmm… Saya suka nama Yusuf, deh bi…. Pasti ganteng dan sholeh ntar anak kita kayak nabi Yusuf alaihissalaam…”, usulku pada suami, saat mengetahui bahwa calon bayi yang akan kulahirkan nanti adalah laki-laki.

“Ogaaaaah… gak mau, mi…”, eh tiba-tiba suamiku langsung complain, “Dulu ada teman abi namanya Yusuf, tapi dipanggil Ocop atau Ucup… jangan deh mi, yang laen aja yah…”, sambungnya. Memang hati ini merasa tidak ridho dengan panggilan-panggilan yang sembarangan mengubah nama orang, apalagi jika maknanya kurang baik.

Begitu di saat kami berdiskusi sederhana tentang nama anak-anak. Sejujurnya kami punya bahasa favourite yang sama, yaitu bahasa Arab, walaupun hanya bisa pasif, otomatis nama anak-anak harus “arabic”, dan selama ini memang nama-nama indah yang merupakan sifat-sifat Sang Pencipta, nama para nabi, atau pun nama tokoh Islam sering menjadi pilihan untuk nama anak bagi para orang tua masa kini, termasuk kami. Tak lain hal itu adalah do’a dan harapan agar anak-anak dapat mengenal makna dirinya serta makin dekat dengan Robbnya.

Memilih nama yang baik adalah kebutuhan diri kita, selaku makhluk pribadi dan makhluk yang bersosialisasi. Nama-nama yang baik, yang insya Allah dimiliki seseorang berakhlaq mulia, tentunya mencerminkan kepercayaan diri dan komitment yang tinggi dalam adab-adab pergaulan, secara habluminallah dan habluminannaas.

Dalam Islam, anjuran memilih nama yang baik telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW, dalam suatu kisah para sahabat membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu‘Alaihi Wasallam, beliau memberikan nama pada hari itu juga.

Kita lihat contoh dalam kisah kelahiran ‘Abdullah bin Az Zubair, ketika Rasulullah SAW mentahniknya “Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama : ‘Abdullah.” (HR.Muslim), juga beliau bahkan pernah mengubah nama Al-'ashi (yang artinya pembangkang) menjadi Abdullah (Hamba Allah) saat orang tersebut masuk Islam.

Nama memiliki hikmah yang besar, Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa nama harus "bermakna yang indah" sesuai petunjukNYA, Hendaklah pula seseorang menamai anaknya dengan kesesuaian karakter.

Bila anak lelaki, maknai namanya dengan karakter gagah, jantan, penuh keberanian, tekad, dan kemuliaan sebagai pemimpin ummat. Sedangkan bila anak wanita, pilihlah nama "keputrian" yang maknanya sikap 'iffah (menjaga diri), kesetiaan, ikhlas, dan penuh kesyukuran serta sabar.

Sayangnya, dengan pemahaman yang berbeda-beda serta latar belakang pun tak sama, kebanyakan orang menganggap sepele prihal nama ini. Teringat akan masa sekolah dulu, hampir semua teman sekolahku sejak di bangku sekolah dasar hingga masa kuliah, ada saja yang punya “label” atau nama panggilan istimewa yang digelari oleh teman-teman sendiri.

Dan kebanyakan nama-nama itu memiliki arti yang kurang baik, mungkin yang dipanggil memang tak menyadari akan hal itu, atau merasa bahwa sekedar candaan sehingga tak mempermasalahkannya.

Bahkan di salah satu kelas di sekolahku, ada kelas senior yang dijuluki “kebun binatang”, semua siswa-siswi di dalamnya punya panggilan masing-masing : kambing, onta, kucing, tikus, bebek, macan, ular, dsb sesuai dengan karakter atau julukan dari si teman-temannya, bahkan anak yang “jalannya pelan-pelan” dipanggil “siput”. Astaghfirrulloh…

Temanku yang lainnya bernama “omen”, mirip nama tikus kepunyaan Dono, itu lho yang merupakan tokoh dalam salah satu film komedi Indonesia. Ada pula yang dipanggil “item” karena kulitnya paling gelap di antara teman lain. Ada pula yang dipanggil “buntelan” karena tubuhnya yang gemuk, “cacing” gara-gara kurus, “kiting” gara-gara rambutnya keriting, “boxy” karena botak dan sexy, “sagu” gara-gara pakai bedak sering tebal, “o’on” gara-gara sering dimarahi guru kalau hasil ulangannya jelek, dsb. Yang miris sekali, nama “Arif” berubah jadi yipyip, nama Abdulloh dipanggil Bedol (yg dalam bahasa daerah artinya bolong), nama Ahmad dipanggil Mamat (artinya Mati), ada juga panggilannya “burn”, “gosong”, yang artinya bakar.

Mungkin karena saya adalah orang yang perasa dan sensitive terhadap makna kata, sehingga Saya tak pernah mengikuti gelar-gelar dan panggilan tersebut. Orang tuaku pun pernah mengingatkan, “Jangan mengejek orang lain kalau tak mau diejek…Jangan membalas hinaan kalau memang kita tak sama dengan si penghina, ingatlah…”. Oke, dalam hatiku. Sebab dulunya saya pernah juga bersedih gara-gara diusili teman dengan menghina nama bapakku yang diplesetkan dengan nama merk rokok.

Dan juga kebetulan saya dan kakak-kakak yang cewek semuanya kurus langsing, nah, dulu ada tetangga yang semuanya anak laki-laki. Si kakak tetangga itu adalah kawan sekelas kakakku, si kakak sulungnya juga kawan sekelas kakak sulungku, adiknya adalah kawan sekelasku. Mereka kakak-beradik secara turun temurun mengejek kami kakak-beradik, dengan panggilan “tengkorak hidup”, dan “tiang listrik”, gubraks! Kata mereka, kalau ada angin kencang, tubuh kami tinggal terbang saja, tulang semua.

Namun kami tidak mempedulikan ejekan itu, yah sadar diri juga bahwa saat itu memang toh badan kami kurus, namun yang penting sehat. Nyatanya saat sudah mens-periode sebagai tanda baligh bagi anak wanita, maka tubuh kami berubah, “mengembang” dengan teratur, Alhamdulillah, semua ada masanya. Dan kalau diselidiki lebih lanjut, ternyata “yang ngejek-ngejek” begitu, karena mereka naksir, euy…itu istilah anak muda yah.

Semoga teman-teman tersebut telah memperoleh hidayah Allah SWT dan menghargai makna nama-nama mereka dengan lebih baik. Dan buat generasi remaja sekarang, cobalah merajut kenangan yang lebih indah, jangan sampai menyakiti hati teman-teman atau saudara kita sendiri dengan panggilan yang buruk, ada kalanya panggilan tersebut malah sangat tidak pantas disebut, bahkan panggilan dengan sebutan “setan atau iblis”, naudzubillahi minzaliik.

Alhamdulillah, melalui masa-masa remaja, saya tetap memanggil nama teman-teman dengan “nama asli” mereka, walaupun mungkin mereka sendiri bingung dan merasa lucu atau asing dengan nama itu. Contoh saat si “Omen” Saya panggil Ahmad (sesuai namanya), dia malah tak menoleh.

Namun selanjutnya dia jadi ingat bahwa yang memanggil Ahmad berarti saya, dan karena itulah dia jadi ingat pasti di hari itu mau tukar-pinjam koleksi novel detektif denganku. Ada yang namanya Zahid, tetaplah kupanggil Zahid, bukan jait (jahit) seperti cara teman lain memanggilnya. Juga ada yang namanya Ria (tentulah dimaksudkan bermakna gembira), banyak yang “terpeleset” memanggilnya Riya’, astaghfirrulloh…

Bu Fafa, tetangga kami dulu sempat bingung, saat teman-teman anaknya memanggil yipyiiiip dari depan pintu. Oalah, ternyata ibunya tidak tau kalau nama anaknya “diganti orang sembarangan”, yah…

Kalian yang sudah jadi ibu, tentu kesal kalau nama anak yang sudah bagus-bagus maknanya, eh, dipanggil aneh-aneh oleh orang lain. Mungkin saat itu, begitulah perasaan bu Fafa, lantas dia mengulang dengan sabar dan suaranya lembut sekali, “Arif…Arif, ada temanmu, nak…”, panggilan itu khan do’a, apalagi kekuatan do’a ibunda sholihah, insya Allah kelak si Arif benar-benar menjadi sosok yang arif.

Agar kenangan kita indah di bumi Allah SWT ini, sebaiknya kita saling memanggil dengan nama yang baik. Penggunaan nick-name tentu boleh, namun tetap dilihat maknanya, jangan menggunakan nama yang bermakna buruk.

Panggilan-panggilan dengan penuh kasih sayang di antara suami-istri, saudara, sahabat, tentu akan mempererat ukhuwah serta menambah kemesraan, Rasulullah SAW dan para sahabat pun mencontohkan hal itu, ayah ibuku juga memiliki panggilan special di antara keduanya, hati ini ikut senang mendengar saat mereka saling memanggil.

Ciri kekurangan fisik seseorang jangan sampai diumbar melalui nama, belum tentu teman kita tidak sakit hatinya walaupun dia tak menampakkan kemarahan. Masih lebih baik menggunakan julukan ciri asal daerah, seperti "Al-Jawi, Al-Bantani, Al-Palembani, Al-Indonesia, dll".

Janganlah sungkan bertanya pada teman kita, “Panggilan yang kamu sukai, pakai nama apa…?”, atau, “Kamu senang tidak kalau Saya panggil dengan namamu yang ujungnya begini…?”, dsb. Jangan pula kita malu untuk menanyakan makna dari suatu nama yang mungkin kita punya ide-ide unik untuk nama anak, tapi malah arti atau maknanya kurang baik.

Kadang-kadang memang perbedaan bahasa pula yang menyebabkan arti berbeda, misalnya ada orang yang tidak tau bahwa “stone” artinya batu. Nama anaknya “stone”, sifatnya keras kepala seperti batu karena dipanggil “batu” tiap saat. Adapun arti “Nada” yang berhubungan dengan musik dalam bahasa Indonesia, namun jika jalan-jalan ke Spanyol, mungkin akan ada yang menertawakan anak anda, sebab “Nada” is Nothing, dalam bahasa Spanyol sering diartikan bodoh.

Juga nama “Rocky” atau Kroky yang biasanya keren, namun di Poland, Roky, Kroky atau krok artinya step atau move, dimaknai terlalu aktif, seperti suara kodok, melompat-lompat terus tak henti-henti. Berhati-hati pula memberi nama, jangan dengan nama-nama berhala atau serupa dengan nama para pembesar yang kafir.

Artinya kita sebagai orang tua memang harus lebih banyak lagi menggali informasi tentang makna-makna nama ini, ingin sekali di suatu hari anak-anak merasa percaya diri dan selalu optimis saat memahami dengan baik akan makna di balik nama-nama mereka, ataupun di balik panggilan singkat mereka.

Secuil kata berupa nama, Muhammad, junjungan dan idola kita, Rasulullah SAW, manusia yang paling terpuji, ternyata paling banyak nama serupa ini, bahkan stasiun televisi dunia pernah mengupas habis makna nama junjungan kita tersebut. Subhanalloh… Ayat-Nya, “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’:107).

Duhai Azzam, jadilah engkau anak yang bertekad kokoh dan teguh dalam mempelajari ilmu-ilmuNYA, nak… begitulah salah satu harapan kami saat “menemukan” nama yang indah buat si sulung.

Ternyata di usia ke lima tahun, dia menyiapkan nama “Ibrahim” untuk urun saran nama adiknya, semoga mereka kelak benar-benar memahami jati diri sebagai hamba-Nya sebagaimana sosok para nabi yang “namanya” melekat pada diri mereka. Amiin ya Robb.

Semoga Allah SWT meridhoi dan selalu memberikan bimbinganNYA atas usaha-usaha kita dalam mendidik anak, termasuk saat mengawali do’a “pemberian nama” mereka ini. Wallahu ‘alam bisshowab.

Malu Masuk Surga

Banyak orang yang menyangka kalau sudah rajin sholat, rajin ibadah, pasti “tiket” ke syurga sudah di kantong, seperti dia sudah yakin banget bahwa syurga pasti dimasukinya. Kebanyakan orang lupa bahwa bukan ibadahnya yang menyebabkan dia dapat dimasukan ke dalam syurga, tapi semat-mata karunia Allah SWT. Menagapa? Coba kita lihat uraia berikut ini.

Betapapun banyak amal yang kita lakukan, tak sebanding dengan umur yang telah diberikan Allah SWT pada kita, menurut perkiraan kita, kita sudah beramal banyak, nyatanya jika dihitung secara cermat, ibadah kita ternyata hanya sedikit sekali. Faktanya dari kehidupan sehari-hari, waktu untuk tidur lebih banyak dibandingkan waktu ibadah.

Coba saja hitung dalam setiap hari, yang riil aja, misalnya, sholat sehari semalam 5 waktu kali rata- rata 6 menit, di jumlah hanya 30 menit saja kita sholat sehari semalam. Sedang kita tidur setiap hari rata-rata 6- 8 jam ! Minim sekali ibadah kita pada Allah, itupun belum tentu diterima Allah, apa lagi kalau dibarengi dengan riya, maka ibadah kita tak bernilai apapun, nilai ibadah kita nol, kalau dibarengi dengan riya, ingin di puji atau alasan lainnya yang bukan karena Allah SWT.

Dan kalau mau dihitung-hitung, rasanya tak pantas kita mendapat syurga, tak pantas kita dimasukan ke dalam syurga di akherat nanti, mengapa ? Karena ibadah kita sedikit sekali, sedangkan dosa kita banyak sekali, hampir tiap hari dosa kita lakukan, ada aja dosa yang kita lakukan, ntah dosa kecil yang tidak kita merasa melakukan sampai dosa yang sengaja dilakukan.

Dari dosa yang disebabkan anggota tubuh, seperti mata, telinga, mulut, tangan, kaki, hati dan lain sebagainya. Mata berdosa dengan melihat yang bukan haknya, telinga berdosa dengan mendengar hal-hal yang tak baik, mulut berdosa dengan kata-kata yang menyakiti hati orang lain , gibah dan fitnah, begitu juga tangan dan kaki juga berdosa ketika digunakan pada jalan yang dimurkainya. Sedangkan hati ikut berdosa karena, telah merendahkan orang lain dan mengunjingkannya, walaupun tidak dikatakannya.

Banyak orang mengira bahwa amal ibadahnya sudah banyak sekali, tapi terkadang lupa, karena ibadahanya sering diikuti dengan niat yang keliru alias bukan karena Allah, tapi ingin di katakan pahlawan, bagi yang perang melawan penjajah, ingin dikatakan dermawan bagi yang menyumbang atau beramal dengan harta, atau ingin disebut ilmuwan bagi yang beramal dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Padahal amal apapun namanya, bila niatnya untuk mencari ridho Allah atau semata-mata hanya karena Allah, itulah amal yang insya Allah akan diterimaNya. Namun bila terjadi sebaliknya, bukan pahala yang didapat, tapi kehinaan dariNya. Bukan syurga yang didapat, bisa jadi malah nereka menjadi tempatnya yang abadi.

Jangan pernah beranggapan bahwa kalau kita masuk syurga ( ingat, kalau ! ) itu karena ibadah kita, bukan, bukan ibadah kita yang menyebabkan kita masuk syurga, tapi kasih sayang Allah semata. Karena kalau ibadah yang menyebabkan kita masuk syurga, malu kita ! Ibadah kita amat sangat sedikit sekali, dan kalau untuk membalas satu aja dari karunia Allah yang kita terima selama di dunia, tak akan terbalas, apa lagi untuk mendapatkan syurgaNya.Jadi, masuk syurga atau tidaknya kita nanti, itu urusan Allah, itu hak Allah, kewajiban kita hanya menjalankan perintahNya titik ! Di luar itu, bukan urusan kita.

Bayangkan aja, dari usia yang begitu banyak setelah di total kurang lebih hanya 5 tahun, itu akumulasi dari sholat kita yang hanya 6 menit setiap waktunya atau (6 menit X 5 waktu ) 30 menit setiap harinya, mari kita hitung : Satu tahun itu 365 hari dibagi dengan waktu 30 menit setiap harinya kita sholat, maka akan di dapat hanya kurang lebih 12 hari dalam setahun kita sholat. Nah kalau usia kita misalnya, tarulah mencapai usia 60 tahun, berarti 60 di bagi 12 akan di dapat angka 5, ya hanya 5 tahun dalam asumsi usia 60 tahun, kalau itu jadikan porsentase, maka kita dapatkan angka5:60X100% = 8,33 %.

Bayangkan, kita sholat hanya 8,33 % dari seluruh usia kita yang di asumsikan 60 tahun, itupun di hitung sejak nol tahun, padahal kita mengetahui kewajiban sholat baru jatuh pada usia akil balig, kurang lebih rata-rata usia 15 tahun.

Kalau dipakai rumusan rata-rata ini, maka hitungannya adalah asumsi usia dikurangi usia balig di bagi dua belas yaitu 60-15= 45 : 12= 3,75 tahun, jadi lebih sedikit lagi. Kalau di jadikan prosentase 3,75:60 X100%= 6,25 %, nah bayangkan, dalam asumsi usia 60 tahun kita hanya sholat, 3,75 tahun alias hanya 6,25 % ! Itupun kalau sholatnya lengkap 5 waktu setiap harinya dari mulai balig sampai usia 60 tahun, kalau sholatnya bolong-bolong, ya tentu lebih sedikit lagi waktunya untuk sholat.

Nah inilah makanya nabi mengajarkan kita untuk sholat nawafil, sholat-sholat sunnat, seperti sholat rawatib, sholat sunnah tahajud, witir, tarawih, sholat sunnat wudhu dan lain sebagainya, itulah fungsi sholat sunnat, “menambal” sholat-sholat wajib kita, yang bisa saja “bolong-bolong”, bolongnya bukan hanya benar-benar meninggalkan sholat atau niat sholatnya yang salah, bukan karena Allah, tapi riya.

Kembali kepada perhitungan waktu sholat, untuk perempuan lebih sedikit lagi waktu yang dipergunakan untuk ibadah sholat, sebab perempuan akan mendapat “tamu bulanan”, yang rata-rata tarulah 10 hari perempuan tiap bulannya tidak sholat karena mendapat “tamu bulanan “, kalau dihitung 10 (hari) X 6 (menit) X 5 (waktu) =300 menit berkurang setiap bulan, kalau setahun, 300 X 12= 3600 menit, kalau 60 tahun berarti 3600X 60 =216000 menit berkurannya. 216000 menit : 24 = 9000 hari, kalau dijadikan bulan 9000 : 30= 300 bulan, kalau dijadikan tahun di dapat(300 : 12 ) 25 tahun !

Jadi untuk perempuan asumsi ibadahnya dalam usia 60 tahun di kurangi usia balig lalu dikurangi akumultif “tamu bulanan”nya yaitu 60-15-25 = 20 : 12= 1,66 tahun ! Kalau dijadikan prosentase 1,66:60X100%=2,77 %. Dengan hasil perhitungan ini, wanita secara rata-rata dalam asumsi usianya yang 60 tahun sholat hanya 1,66 tahun atau hanya 2,77 % saja ! Astagfirullah Hal adziim !

Makanya Nabi pernah bersabda : “ Dalam ibadah sholat wajib secara rata-rata lelaki ”melibihi “ perempuan” Maaf perempuan jangan marah dulu, banyak kelebihan lain yang dimiliki perempuan di bandingkan laki-laki, misalnya hadist yang berbunyi : “ Syurga di bawah telapak kaki Ibu “ hadist yang lain berbunyi : “ Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang sholeha “ Bahagialah wahai kaum wanita, syurga dan dunia ada di tanganmu, yang bicara bukan saya, Nabi sendiri melalui sabdanya !

Kembali pada ibadah kita, yang bila data atau perhitungan di atas kita jadikan acuan, niscaya kita malu, malu dan malu sekali pada Allah SWT, ibadah yang begitu sedikit minta syurga, terkadang minta syurganyapun tak tanggung-tanggung, syurga Firdaus, syurga tertinggi yang tempatnya para rosul dan nabi. Dengan fakta-fakta tersebut, maka jika di akherat nanti kita masuk syurga, itu semata-mata hanya karunia Allah, bukan karena amalan kita, amalan kita tak cukup untuk memasuk kita ke dalam syurga, amalan kita tak pantas memasukan kita ke syurga, lagi-lagi itu hanya karunia Allah pada kita, itu hanya karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang pada kita, kalau tidak karena karunia Allah, maka kita pantasnya di masukan ke neraka !

Mari kita bermohon kepada Allah, agar Dia memberikan karuniaNya kepada kita, bukan karena ibadah kita, tapi karuniaNya ! Ya Tuhan kami, berikanlah kami keselamatan di dunia dan kebahagaian di akherat dan selamatkanlah kami dari neraka . Amin. Ya Alllah, hamba tak pantas masuk syurgaMu, tapi ya Allah, hamba tak sanggup menahan panasnya api nerakaMu, jangan api di nerakaMu ya Allah, api di dunia saja, sudah dapat menghancur leburkan daging dan tulang belulang hamba menjadi debu !

Ya Allah, lindungi hamba dari azab kubur dan nerakaMu. Hamba memang tak pantas masuk syurgaMu, tapi nerakaMu, hamba tak mampu membayangkan panasnya, apa lagi memasukinya. Api dunia saja sudah dapat membakar seluruh tubuh kami dan dapat menghancurkan kami menjadi abu, apalagi api nerakaMu, yang kalau dihitung dengan derajatnya, nyaris tak terhitung ! Maka, ya Allah, selamatkan hamba dari nerakaMu ya Allah, masukan hamba ke dalam syurgaMu yang penuh kenikmatan. Amin.

Ya Allah, hamba memang tak pantas masuk syurgamu, malu hamba masuk syurgamu dengan amalan yang sedikit hamba miliki, tapi kemana hamba minta syurga, kecuali padaMu? Kemana hamba memohon ampun, kecuali kepadaMu? Benar-benar hamba malu, jika dimasukan ke dalam syurgaMu, karunia mata saja tak dapat hamba membalasnya, apa lagi syurgamu yang penuh dengan kenikmatan yang tak terpikir oleh manusia.

Jadi, terserah Engkau ya Allah, hamba pasrah padaMu, di "emper" syurgapun hamba tak pantas, tapi Ya Allah, hamba ini milikMu, hamba ciptaanMu, hamba MakhlukMu jua, cukup senyumMu buat hamba yang hina ini, syurga serahkan pada hamba-hambaMu yang lebih taat padaMu, yang lebih banyak ibadahnya padaMu. Bagi hamba cukup senyuman dan cintaMu!