Rabu, 11 Mei 2011

Sepenggal Puisi Cinta untuk Suamiku

Sudah berapa purnama kita bersama, Sayang?

Melalui detik yang bergulir di tangkai-tangkai hari

Melewati hari yang menelisik pucuk-pucuk waktu

Berlarian aku memunguti percikan-percikan cintamu yang berserakan dimana-mana seperti randu yang meranggas

Engkau melenakanku dengan kelembutan sikapmu

Kedewasaan pikiranmu menghisap habis remah-remah ke-egoisanku

Memanjakanku hingga aku kewalahan menggapai malam

Menaburiku dengan gula-gula dari ladang kesetiaan

Betapa beruntungnya aku sampai tak sadar embun melirikku cemburu


Sayang, tahukah engkau?

Tidak sedkitpun terselip sesal saat dua tahun lalu engkau tanpa malu-malu mencuri aku dari Ibuku

Karena jauh-jauh hari kau telah berhasil mencuri hati keluargaku, memborongnya satu per satu

Dan sayang, tahukah engkau?

Betapa kebahagiaan menggenang saat aku mengandung Buah Cinta kita

Menenggelamkanku dalam kolam madu karena sebentar lagi akan ada seseorang yang memanggil kita Ayah dan Bunda

Sang Malaikat elok yang hadir sembilan bulan kemudian, bernama Rafif Arshad Dianto


Sayang, masih beribu purnama menanti untuk kita kunjungi

Berjuta mimpi menunggu untuk disambangi

Maka dekap aku erat, genggam jemariku lekat

Kita kayuh perahu bersama agar tak oleng ditelan ombak

Jangan hiraukan mendung yang sesekali menggelayut manja

Atau kerikil tajam yang terinjak tak sengaja pada alas sepatu

Karena aku yakin bahwa awan bahagia akan tetap menaungi kita

Sayang, larutkan jiwa dan ragaku dengan secangkir cinta yang kau punya

Setiap hari, tanpa henti, hingga purnama silih berganti 

I love you so much. Thanks for everything that you gave to me .....

Hukum Memotong Rambut dan Rambut Saat Haid

Assalamualaikum

ustadzah, waktu di Pesantren salaf dulu, saya dan santriwati lainnya dilarang motong rambut dan kuku saat haid. Dan apabila rambut kami ada yang rontok, kami dianjurkan untuk menyimpannya sampe masa haid selesai.

Setelah haid kami berakhir dan mau mandi besar, maka rambut yang pernah rontok dan kuku yang terpotong semasa haid harus disertakan waktu mandi. Agar ikut dibersihkan juga dengan air.

Setelah lulus, saya nyantri lagi di Pesantren Modern. Disini saya melihat kebanyakan santriwatinya tidak melakukan ritual seperti yang saya lakukan di pesantren lama.

Pertanyaan saya: apa sebenarnya hukum memotong rambut dan kuku saat haid? Apa itu wajib, Sunnah, atau? mohon penjelasannya. Terimakasih.

Nana

Jawaban

Tidak ada dalil yang shorih (jelas) mengenai larangan memotong rambut dan kuku semasa haid. Demikian pula tentang wajibnya mencuci rambut dan kuku yang tidak sengaja rontok saat haid, kami belum menemukan dalil eksplisitnya.

Yang wajib adalah mandi janabah dengan meratakan air ke seluruh anggota badan setelah masa haid selesai. Adapun rambut dan kuku yang sudah rontok sebelumnya, maka tidak wajib dicuci, karena sudah bukan bagian dari badan kita saat melakukan mandi besar.

Rasulullah SAW membolehkan Ummul Mukminin Aisyah RA untuk mengurai dan menyisir rambutnya saat beliau (Aisyah) sedang mengalami masa haid. Padahal menyisir sangat memungkinkan tercabutnya rambut. Ini menunjukkan bolehnya wanita haidh memotong rambut dan kuku.

Berikut sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada `Aisyah radhiyallahu `anhaa ketika haji wada`:

انقضي رأسك وامتشطي وأهلي بالحج ودعي العمرة

“Uraikanlah rambutmu dan sisirlah, kemudian berniatlah untuk haji dan tinggalkan umrah” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari hadits di atas, maka dapat kita pahami bahwa memotong rambut atau kuku saat haidh tidaklah dilarang. Demikian pula apabila rambut dan kuku kita gugur tidak sengaja saat haidh, maka tidak pula diwajibkan untuk ikut dicuci saat kita melakukan mandi janabah. 

Seorang mufti bernama Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:

فالحائض يجوز لها قص أظافرها ومشط رأسها ، ويجوز أن تغتسل من الجنابة …فهذا القول الذي اشتهر عند بعض النساء من أنها لا تغتسل ولا تمتشط ولا تكد رأسها ولا تقلم أظفارها ليس له أصل من الشريعة فيما أعلم

Artinya:
Wanita yang haidh boleh memotong kukunya dan menyisir rambutnya, dan boleh mandi junub, … pendapat yang dianut oleh sebagian wanita bahwasanya wanita yang haidh tidak boleh mandi, menyisir rambutnya, dan memotong rambutnya maka ini tidak ada asalnya (dalilnya) di dalam syari’at, sebatas pengetahuan saya”

wallahu a`lam bishshowab.

wassalamualaikum wr. wb.

Aini Aryani, LLB

(forum kampus syari'ah)

Bid'ah Hari Raya Ketupat

Di antara perkara yang diada-adakan (bid’ah) pada bulan Syawwal adalah bid’ah hari raya Al Abrar (orang-orang baik) (atau dikenal dengan hari raya Ketupat.pent.), yaitu hari kedelapan Syawwal.
Setelah orang-orang menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan mereka berbuka pada hari pertama bulan Syawwal -yaitu hari raya (iedul) fitri- mereka mulai berpuasa enam hari pertama dari bulan Syawwal dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka namakan iedul abrar (biasanya dikenal dengan hari raya Ketupat. Pent )

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata: “adapun membuat musim tertentu selain musim yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awwal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jum’at pertama bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang orang-orang jahil menamakannya dengan hari raya Al Abrar ( hari raya Ketupat) ; maka itu semua adalah bid’ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf. Wallahu Subhanahu wata’ala a’1am.

Peringatan hari raya ini biasanya dilakukan di salah satu masjid yang terkenal, para wanitapun berikhtilat (bercampur) dengan laki-laki, mereka bersalam-salaman dan mengucapkan lafadz- lafadz jahiliyyah tatkala berjabatan tangan, kemudian mereka pergi ke tempat dibuatnya sebagian makanan khusus untuk perayaan itu. (lihat : As Sunan wal mubtadi’at al muta’alliqah bil adzkar wassholawat karya Muhammad bin Abdis Salam As Syaqiriy hal. 166)

(Kitab Al Bida’ Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah Riyadh, Hal. 350. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa’i)

Hari kedelapan dari syawwal ini orang umum menamakannya sebagai Iedul Abrar (hari raya orang yang baik) yaitu orang-orang yang telah puasa enam hari syawwal. Namun hal ini adalah bid’ah. Maka hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) dan bukan pula bagi orang jahat (Fujjar).

Sesungguhnya ucapan mereka (yaitu iedul abrar) mengandung konskwensi bahwa orang yang tidak puasa enam hari dari syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru. Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang lebih sempurna dari yang lain.

(artikelislam.wordpress.com)

Membaca Al Fatihah

Surat Al Fatihah adalah Ummul Qur`an (Induknya Al Qur`an) dan Ruhnya Al Qur`an karena di dalamnya terkumpul macam-macam pujian, sifat-sifat yang tinggi bagi Allah subhanahu wa ta’ala, penetapan tentang kerajaan dan kekuasaan-Nya, adanya hari kiamat dan hari pembalasan, demikian pula ibadah serta niat. Terkandung pula di dalamnya macam-macam Tauhid dan beban syariat. Juga mengandung doa yang paling utama dan permintaan yang paling mulia, yaitu permintaan agar selamat dari jalannya orang-orang yang menentang dan yang sesat menuju jalannya orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang mengamalkan ilmunya.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam risalah kenabian dengan jalan harus mengikutnya. Oleh sebab itu maka wajib membaca Al Fatihah di tiap-tiap rakaat. Sah dan tidaknya shalat bergantung dengannya. Dan peniadaan hakekat shalat yang syar’i tanpa membacanya. Hal ini dikuatkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam):

لاَ تُجْزَئُ صَلاَةٌ لاَ يُقْرَأُ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ.

“Tidak diberi pahala shalat (seseorang) yang tidak membaca Ummul Qur`an (Al Fatihah).”

Perselisihan Para Ulama

Telah berlalu pembahasan bahwa menurut madzhab Hanafiyah, disyariatkan membaca Al Fatihah di dalam shalat, tetapi mereka membolehkan untuk tidak membacanya walaupun mampu membacanya.

Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu harus membaca Al Fatihah tatkala mampu.

Telah terdahulu tentang dalil-dalil kedua kelompok ini. Sementara itu mereka sepakat atas wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Mereka berselisih tentang membaca Al Fatihah bagi makmum.

Kelompok Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat: “Gugur bagi makmum secara mutlak bacaannya. Sama saja dia shalat sirriyah (samar) maupun jahriyah (yang bacaannya dikeraskan).”

Sedangkan Syafi’iyah dan ahlul hadits berpendapat: “Wajib membaca Al Fatihah bagi tiap orang yang shalat, baik imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian.”

Malikiyah berpendapat bahwa wajib membaca Al Fatihah bagi makmum ketika shalat sirriyah, dan gugur baginya ketika shalat jahriyah, sebagaimana riwayat dari Imam Ahmad serta didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lainnya dari ulama Muhaqiqin. Kelompok Hanafiyah berdalilkan hadits:

مَنْ صَلَّى خَلْفَ إِمَامٍ، فَقِرَاءَةُ اْلإِمَامِ قِرَاءَةٌ لَهُ.

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam maka bacaan imam adalah bacaan makmum.”

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

﴿وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا﴾ [الأعراف: ٢٠٤]

“Apabila dibacakan Al Qur`an maka dengarkanlah oleh kalian dan diamlah.” (QS Al A’raf: 204).

Dan dalam sebuah hadits:

إِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا.

“Dan apabila imam membaca maka diamlah.”

Syafi’iyah dan ulama yang sependapat dengannya berdalilkan dengan hadits Ubadah bin Shamit rodhiyallahu ‘anhu (hadits ke-94). Mereka membantah hadits:

مَنْ صَلَّى خَلْفَ اْلإِمَام …

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam maka bacaan imam adalah bacaan makmum.”

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: “(Hadits ini) pada seluruh jalur (sanadnya) memiliki ilah, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun riwayat hadits: “Dan apabila imam membaca maka diamlah.” Dan selain dari keduanya, ini umum untuk seluruh bacaan, sedangkan hadits Ubadah bin Shamit khusus untuk bacaan Al Fatihah.”

Saya berkata (Syaikh Alu Bassam): “Yang membuat hati tenang dalam masalah ini yaitu yang dirinci seperti pendapatnya Imam Malik, dan Imam Ahmad, pada salah satu dari kedua riwayatnya karena mengumpulkan dalil-dalil dari dua kelompok di atas dan mengamalkan seluruhnya. Bacaan Al Fatihah akan hilang dari makmum ketika shalat sirriyah tatkala dia tidak membacanya dan tidak mendengarnya dari imam. Dan tidak ada faedahnya seorang imam selama makmum itu menyibukkan diri untuk membaca, sebagaimana harusnya membaca Al Faatihah bagi makmum tatkala dia tidak mendengar karena (tempatnya) jauh atau tuli, agar tidak mengganggu (makmum) di sebelahnya yang mereka itu diam.”

FAEDAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI HADITS

1. Wajib membaca Al Fatihah di tiap-tiap rakaat dalam shalat dan tidak bisa diganti dengan bacaan lain tatkala dia mampu untuk membacanya.

2. Batalnya shalat ketika meninggalkan bacaan Al Fatihah dengan sengaja, karena bodoh dan lupa. Karena ini merupakan rukun, dan rukun-rukun dalam shalat tidak bisa digugurkan secara mutlak.

3. Akan tetapi telah terdahulu pembahasannya, yang benar dari tiga pendapat di atas adalah wajib bagi makmum (membaca Al Fatihah) pada shalat sirriyah, dan gugur baginya pada shalat jahriyah karena dia mendengar bacaan imam.



Wallaahu a’lam bish showaab.

(artikelislam.wordpress.com)

Ya Ukhti.....Jauhilah Tabarruj...!

Apa itu Tabarruj…?

Tabarruj yakni bila “seorang wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya serta terlihat bagian-bagian yang seharusnya wajib ditutupi, dimana bagian-bagian itu akan memancing syahwat pria.” [ Fathul Bayan 7 / 274 ]

Allah Azza wajalla tentang permasalahan ini bersabda dalam Surah Al-Ahzab:

(٣٣) ~ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا ¯

artinya:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kalian bertabarruj seperti bertabarruj-nya wanita jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul- Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [QS Al-Ahzab : 33 ]

————————————————————————

Imam Adz~Dzahabi berkata dalam “Al~Kaba`ir” yakni “Di antara perbuatan yang menyebabkan para wanita mendapat laknat adalah menampakkan perhiasan emas dan permata yang ada di balik pakaiannya, memakai misk, anbar (nama sejenis minyak wangi) dan parfum jika keluar dari rumah, memakai pakaian-pakaian yang dicelup, sarung-sarung sutera dan penutup kepala yang pendek, bersamaan dengan itu dia memajangkan pakaian, meluaskan dan memanjangkan ujung lengan pakaian. Semua itu termasuk tabarruj yang Allah murkai. Allah murka kepada pelakunya di dunia dan akhirat. Karena perbuatan-perbuatan ini yang banyak dilakukan wanita, Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam bersabda:

“……. Aku memandang ke neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.”

Hadits ini diriwayatkan oleh :

1. – Bukhari dalam kitab Bad’ul Khalq bab Maa Ja’a fi Shifatil Jannah (kitab 59 bab 8).

2. – Tirmidzi dalam kitab Shifatil Jahannam bab Maa Ja’a Anna Aktsara Ahli Nar An Nisa’ (kitab 40 bab 11 hadits ke-2602), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2098 dari Ibnu Abbas.

3. – Ahmad 2/297 dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’ 1030.

Dari Imran bin Hushain berkata : “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya penghuni Surga yang paling sedikit adalah para wanita….’ “
(HR. Muslim 95, 2738. An Nasa’i 385)

Saya (Syaikh Al~Albani, pent.) berkata: “Islam telah bersikap keras dalam memperingatkan ummatnya dari perbuatan tabarruj ini hingga menyandingkannya dengan kesyirikan, zina, mencuri dan perbuatan haram lainnya. Itu terjadi ketika Nabi Shalallohu`alaihi wasallam membai`at para wanita agar mereka tidak melakukan hal-hal itu. Abdullah bin `Amr radhiyallahu`anhu berkata: Umaimah binti Ruqaiqah datang kepada Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam untuk berbai`at kepada beliau, maka beliau berkata:

“Saya akan membai’atmu untuk engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, jangan engkau mencuri, berzina, membunuh anakmu, melakukan kebohongan yang engkau buat antara hadapanmu dan antara dua kakimu, jangan meratap dan jangan bertabarrujnya jahiliyyah dahulu.”

Ketahuilah, bukan termasuk perkara terlarang sedikitpun jika pakaian wanita yang dia pakai berwarna putih atau hitam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian wanita yang komit terhadap Sunnah.

Itu dengan alasan :

® Pertama : Sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam yang berbunyi: “ Parfum wanita adalah yang jelas warnanya dan lembut harumnya … “

® Kedua : Pengalaman para wanita sahabat, dengan kisah sebagai berikut :

1 : Dari Ibrohim An Nakha’i bahwa dia masuk bersama Alqamah serta Al Aswad kepada isteri – isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia melihat mereka menyelimuti diri mereka dengan pakaian berwarna merah.

2 : Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata; Aku melihat Ummu Salamah mengenakan jilbab dan berselimut dengan pakaian yang dicelup ddengan warna mu`ashfar (campuran antara kuning dan merah).

3 : Dari Al qosim, yaitu Ibnu Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq dia berkata bahwa ‘Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan mu’ashfar, padahal dia waktu itu sedang ihram.”

Berkhidmat Pada Suami

Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?

Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.

Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh1.” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik:

أَلاَ أَدُلُّكُماَ عَلَى ماَ هُوَ خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُماَ إِلَى فِرَاشِكُماَ أَوْ أَخَذْتُماَ مَضاَجِعَكُماَ فَكَبَّرَا أًَرْبَعاً وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحاَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِّدَا ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)

Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku:

تَزَوَّجْتَ ياَ جاَبِر؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقاَلَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّباً؟ قُلْتُ: بَلْ ثَيِّباً. قاَلَ: فَهَلاَّ جاَرِيَةً تُلاَعِبُهاَ وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضاَحِكُهاَ وَتُضاَحِكُكَ؟ قاَلَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَ تَرَكَ بَناَتٍ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقاَلَ: باَرَكَ اللهُ لَكَ، أَوْ قاَلَ: خَيْرًا

“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”

“Sudah,” jawabku.

“Dengan gadis atau janda?” tanya beliau.

“Dengan janda,” jawabku.

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau.

“Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.

Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)

Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun bertanya:

أَيْ هذِهِ! أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ: نَعَم. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قُلْتُ: ماَ آلُوْهُ إِلاَّ ماَ عَجَزْتُ عَنْهُ. قاَلَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّماَ هُوَ جَنَّتُكَ وَناَرُكَ

“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”

“Iya,” jawabku.

“Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.

“Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.

“Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)

Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:

ماَ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ؟ قاَلَتْ: كاَنَ يَكُوْنُ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ- فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah?”

Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)

Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:

ماَ يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ، يَخْصِفُ النَّعْلَ وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ وَيُخِيْطُ

“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

كاَنَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شاَتَهُ

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.