Kamis, 26 Mei 2011

Ketika Para Suami Lupa Memikirkan Yang Satu Ini

suami-istri"Aku sudah gak tahu lagi, rasa sedih sepertinya sudah lewat, hari ini mantan istriku menikah dengan eks kawan SD-nya, bayangin setelah gak ketemu selama 25 tahun lalu, mereka reuni gara-gara Facebook, hasilnya mereka berkencan, memadu kasih, dan akhirnya merencanakan hidup bersama, tanpa peduli bahwa mantan istriku sudah punya suami yang gantengnya kayak aku gini, wk wk wk... dan cerai akhirnya ku lemparkan dengan gembira pada istriku yang manis bermulut tipis," demikian status yang panjang lebar di Facebook Andi membuat banyak kawan-kawannya geleng-geleng kepala. 

Comment pun datang bergantian, ada yang bersimpati, menghujat ataupun nada bercanda tidak peduli. "Cari ajaa laggee.." demikian comment dari Sri Ningsih. "Dalam Islam ternyata istri yang selingkuh harus ditalak tiga, ya Ndi..?" comment dari Rita Rafida. "Selamat menempuh hidup baru sebagai duda," comment dari mas Irvan geng duda miskin. Namun ada juga comment yang bersifat simpati seperti, "Innalillahi wa innailahi roji'un, kok sampai sebegituya yaa, sabar yaa mas, semoga mendapat ganti yang lebih baik," komentarnya bu Imas.

Lalu, "sesungguhya lelaki yang baik akan mendapakan perempuan yang baik, lelaki yang jahat akan mendapat lelaki yang jahat, begitu janji Allah dalam Al qur'an surat An Nur ayat 30," comment dari ustadz Iqbal, pesantren Darul Ihsan. "Tabah yaa..." dan banyak lagi ungkapan-ungkapan comment di Facebooknya Andi.

Hari-hari Andi yang masih nyeri, antara sakit karena dikhianati dan juga sakit karena harga dirinya sebagai lelaki seperti dinjak-injak dengan suksesnya, serta tidak diakui keberadaanya oleh sang istri maupun sang pacar istri.

Selama ini pernikahan mereka biasa-biasa saja, tak ada pertengkaran yang hebat yang mewarnai hari-hari mereka, tak ada bentakan ataupun KDRT dalam rumah tangga mereka yang manis dan harmonis.

Namun bila cinta datang tiba-tiba, dan setan pun memiliki pekerjaan yang paling besar yaitu menceraikan suami istri, maka dalam hal ini, Andi sebagai suami yang baik-baik saja, tidak mampu berkata apa-apa, dan masih terheran-heran kok bisa yaa istriku yang di rumah saja, dan yang selama ini manis-manis serta baik-baik saja, bisa bersikap khianat padaku.

Sebenarnya ada satu hal yang Andi lupa, bahwa istri yang baik-baik saja diam di rumah juga bukanlah berarti negara sudah aman. Seorang istri tetap memerlukan pujian, perhatian, keromantisan, dan juga sikap mengalah yang dapat membuat istri merasa tenang.

Diayomi dan dimanjakan, itulah yang dirasakan Rina, mantan istrinya Andi. Rina mendapatkan pujian yang menyanjung, perhatian dan tatapan yang dalam, juga sikap melindungi dari sang bekas teman SD nya itu, di mana hal-hal seperti itu sudah tidak pernah didapatkan lagi dari Andi, suami yang dinikahinya 10 tahun yang lalu dengan menghasilkan 2 anak.

Disamping Andi sebagai kepala keluarga haruslah memberikan masukan-masukan yang Islami, entah berupa pengajian atau membimbing istrinya untuk sholat malam, hal lain ternyata keruntuhan rumah tangga itu tidak hanya dari pihak suami saja, namun bisa datang dari pihak istri, dan untuk menjaga keutuhan rumah tangga itu harus dilakukan oleh kedua belah pihak dangan sungguh-sungguh dan dilakukan setiap hari tanpa henti.

Dan ada satu lagi yang sangat penting yang Andi sungguh lupa akan yang satu ini, yaitu menjaga diri dan keluarganya dari api neraka, dengan mengajak istrinya selalu beribadah serta juga memberikan hak istri untuk mendapatkan siraman rohani, bahkan ketika goncangan itu tiba, Andi pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena Andi merasa telah memberikan apapun pada istrinya.

Bagi Andi pujian, keromantisan dan lain-lain sudah cukup diberikan, namun Andi sekali lagi lupa akan yang satu ini, memberikan bekalan pengajian atau mengikutsertakan istrinya dalam kajian rutin buat para muslimah. Ingatlah akan peringatan Allah,

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahriim [66] : 6)

Seuntai Kalung Yang Tak Tertebus

kalung-burung 
Ahmad memekik pelan, hampir saja motor ojek yang ditumpanginya terpeleset lumpur yang masih menyisa di jalan, jejak hujan beberapa jam lalu.

“Hati-hati Mas, konsentrasi” kata pemuda itu pada sang pengemudi, “memang mereka ayu-ayu, tapi keselamatan lebih penting, ya ‘tho?”

Yang ditegor hanya tersipu. Di depan mereka kebetulan memang sedang berjalan beriringan rombongan gadis berkerudung. Menambah indahnya warna-warni pemandangan menuju rumah ibunda Ahmad di Desa Kenjuran, desa tertinggi di Puncak Pegunungan Perahu, Jawa Tengah.

Semerbak aroma kebun cengkeh berbaur dengan wangi tanah yang terbasahi hujan menggoda cuping hidung Ahmad. Jalan bebatuan yang terus menanjak berkelok-kelok, bukit dan lembah silih berganti, ladang jagung, rumah-rumah pedesaan berdinding kayu beratap genting kodok, senyum anak-anak kecil, satu tikungan lagi, dan hati Ahmad pun bergetar ketika matanya akhirnya menambat di rumah ibunda yang teramat dicintainya. Kekasih hati yang biasa dipanggilnya dengan sebutan Ambu, panggilan sayang yang tak pernah dirubahnya sejak usianya masih sembilan bulan dan belum mampu dengan sempurna mengucapkan kata ‘ibu’.

“Alhamdulillah, ‘makasih, Mas,” kata Ahmad sambil menyelipkan sehelai uang sepuluhribuan, ongkos ojek ke rumahnya dari Terminal Sukorejo, terminal di kecamatan terdekat di kaki gunung.

Tidak seperti rumah warga lain di Kenjuran, rumah Ambu berdiri sendiri, tidak menempel dengan rumah tetangga. Terasnya cukup lapang, dimana Ahmad bisa memandang ke penjuru desa. Di sebelah timurnya rumah-rumah penduduk bertingkat-tingkat menuruni lembah, di sebelah utara menghampar hutan bambu, dan di barat adalah ladang-ladang penduduk di perbukitan yang berakhir di hutan cemara nan teduh di puncak bukit tertinggi. Hawanya sangat dingin, hampir sedingin Dieng bertahun tahun yang lalu. Jika kita berjalan-jalan bada Ashar di luar rumah, maka muka kita yang terbuka serasa diserbu dan ditampar-tampar oleh hembusan uap sedingin es.

“Assalaamualaikum,” salam Ahmad.

Tak ada sahutan namun pintu depan tak terkunci. Dibukanya pintu yang mendecitkan derit khas rumah tua. Rumah Ambu sendiri adalah rumah yang sangat Ahmad hafal setiap lekuknya, bahkan mungkin juga setiap bekas paku yang pernah tertoreh di sana. Namun ruang yang paling Ahmad suka adalah dapur.

Dapur Ambu sangat luas, beralaskan tanah yang dipadatkan. Ada dipan untuk menonton tv, tungku bata dengan dua lubang untuk membuat api, rak-rak panci dan wajan serta bak cuci piring di sudut ruangan di mana bilah bambu mengucurkan air gunung tiada henti. Langit-langit dapur digunakan untuk mengasapi bonggol jagung. Bonggol jagung yang telah kering akan digunakan sebagaimana kayu bakar untuk menghangatkan penghuni rumah. Namun kini penghuni tetap rumah ini dua orang saja. Ambu dan seorang kerabat yang berbaik hati menjaga dan menunggui Ambu.

Ambu sedang lelap. Ahmad bersimpuh di sisi dipan lalu mencium lembut dahi ibu tercintanya tanpa suara. Ambulah yang mendominasi pinta doanya pada Allah beberapa tahun terakhir. Munajat untuk kesehatan Ambu, dan terlebih untuk sebuah terang hidayah agar Ambu yang sangat dikasihinya ini mau menegakkan sholat.

“Ambu sudah tua, ‘Mad, sudah susah belajar sholat. Yang penting Ambu selalu berbuat baik pada orang lain, berdoa pada Gusti Allah,” begitu selalu kilah Ambu kalau Ahmad membujuknya untuk sholat.

Jika saja Ambu mau sholat, Ambu seolah tanpa cela di gudang memori Ahmad. Hutang budi yang teramat musykil bisa dibayar lunas. Apalagi sepeninggal almarhum ayah karena sakit mendadak ketika Ahmad masih balita, Ambulah satu-satunya orang yang setia menyayangi dan mendampinginya hingga ia dewasa.

Rasanya baru sekejapan mata berlalu sejak ia berangkat sekolah diantar Ambu. Masih terpatri kuat semua kenangan tentang masa kecil ceria bersama Ambu. Makan disuapi Ambu dan … Ambu yang selalu menyisakan sekepal nasi setiap makan.

“Untuk bebek tetangga,” begitu jawab Ambu pada Ahmad kecil yang bertanya kenapa sang ibu tak pernah lupa melakukan hal tersebut.

Di desa mereka, Ambu memang dikenal warga sebagai orang yang sangat suka berbagi. Walau almarhum ayah Ahmad mewariskan mereka sepetak tanah yang kemudian mereka sewakan pada petani, hasil yang didapat sesungguhnya hanya cukup untuk sekedar melakoni hidup sederhana sehari-hari. Tapi sampai Ahmad sebesar ini, Ahmad tahu, tak pernah sekalipun Ambu melewatkan satu hari pun tanpa sedekah. Apakah itu berupa uang, beras, gula, atau bahkan hanya berbagi kehangatan dengan tetangga di muka tungku di dapurnya yang luas dengan teh, kopi dan singkong rebus.

“Sudah lama beliau tidur, ‘Lik?’ tanya Ahmad pelan pada buliknya yang setia menjaga Ambu.

“Sekitar dua jam, ‘Mad. Alhamdulillah bisa tidur. Biasanya sangat gelisah, mungkin karena tahu buah hatinya akan datang,” jawab Bulik sambil tersenyum pada keponakan yang sedang mencium tangannya itu.

Ditatapnya dengan perasaan sayang sang keponakan yang kini sudah tumbuh menjadi seorang pemuda. Paras Ahmad sebetulnya biasa saja. Namun pembawaannya yang tenang ditambah mata teduh dan senyum yang selalu mengembang membuatnya terlihat gagah dan matang.

Rebah terbalut kebaya dan kain, Ambu terlihat makin kurus saja. Akhir-akhir ini Ambu selalu mengeluh dadanya nyeri. Sudah dibawa ke Puskesmas terdekat tapi tak banyak membantu. Hanya dokter berpesan supaya Ambu jangan banyak pikiran. “Betapa aku mencintaimu, Ambu”, desah hati Ahmad.

Dipandangnya fotonya berdua Ambu yang terpajang di samping dipan Ambu. Foto ketika ia hendak berangkat merantau ke Jakarta karena diterima di universitas negeri di sana. Di foto itu Ambu tampak masih sehat. Ingatan Ahmad pun melayang mundur empat tahun ke belakang.

******

Kala itu perasaan Ambu teraduk-aduk. Bahagia karena cahaya semata wayangnya lulus penerimaan universitas negeri di ibukota, pilu karena tahu bahwa perpisahan adalah keniscayaan yang menyerta. Walau sadar kerinduan akan selalu membuntuti, namun dilepasnya jua keberangkatan Ahmad dengan senyum merekah. Tak lupa dibekalinya Ahmad dengan sesuatu yang sudah disimpannya sejak lama, kenang-kenangan termanis dari almarhum suaminya.

“Nak, seluruh peninggalan ayahmu sudah habis, tinggal sepetak tanah untuk bekal hidup kita sehari-hari. Tapi Ambu sengaja menyimpan ini untukmu kuliah, Nak,” kata Ambu sambil menyodorkan sesuatu pada Ahmad.

Disekap haru, Ahmad merasakan dinginnya logam dalam genggamannya. “Apa ini, ‘Mbu?”

“Kalung emas ini diberikan ayahmu pada Ambu. Seluruh tabungan beliau kala itu ditukarnya menjadi kalung ini dan diserahkannya pada Ambu, “ suara Ambu agak bergetar dicekat rindu. “Tak disangka seminggu kemudian ayahmu meninggalkan kita untuk selamanya, Nak, “ lanjut Ambu, “mungkin beliau sudah mendapat firasat akan kepergiannya.”

Dada Ahmad menyesak, didekapnya Ambu penuh kasih. Dirasakannya tangan Ambu mengusap lembut punggungnya.

“Sekarang kalung ini milikmu, Nak. Gunakanlah sebaik-baiknya. Kalung ini juga boleh kau jual kapan saja kau memerlukannya,” kata-kata Ambu membalut hati Ahmad, membuatnya trenyuh sangat, “Hanya ini yang dapat Ambu berikan padamu, semoga bermanfaat ya, Nak…”.

Pagi itu disaput kabut dingin Kenjuran, ibu dan anak terbenam dalam hangatnya pelukan cinta. Dari balik Pegunungan Perahu, matahari pagi mengintip iri kemesraan mereka. Kilap benang cahayanya menari-nari mengitari mereka berdua, seakan ikut menghayati setetes cinta Ilahi yang dititipkan pada dua mahlukNya itu.

******

Walaupun di desanya Ahmad tergolong berkecukupan, tidak demikian halnya ternyata ketika kuliah. Biaya hidup di Jakarta amatlah tinggi, belum lagi keperluan untuk fotocopy, survai, rental computer, dll. Ahmad jadi teramat sibuk. Kuliah, organisasi, mencari rizki adalah deru hidupnya sepanjang hari.

Kalung emas pemberian Ambu tak lagi dalam genggamannya. Bukan, Ahmad tak menjualnya. Rasanya sampai kapan pun tak akan tega ia menjual kalung pemberian Ambu itu. Ahmad hanya menggadaikannya. Uangnya ia pergunakan untuk membayar uang pangkal kuliah yang kalau di desanya nilainya setara dengan harga seekor sapi.

Sampai ia menjelang lulus, kalung itu belum juga dapat ditebusnya. Hanya mampu ia perpanjang dengan membayar uang pemeliharaan selang empat bulan sekali. Uang pemeliharaan itu pun biasanya baru terkumpul beberapa hari sebelum tanggal jatuh tempo, sebelum tiba waktunya kalung itu untuk dilelang. Ketika akhirnya uang itu disetorkan, barulah Ahmad bisa bernafas lega. Ah, kalung Ambu masih aman walau tak di tangan sendiri.

Untuk kehidupan sehari-hari Ahmad rajin menjemput rizki. Disela-sela kesibukan kuliah ia mengajar les privat, membuat spanduk, berjualan diktat, juga berjualan pulsa. Setengah tahun sekali ia pulang menjenguk Ambu, tak lupa melengkapi diri dengan aneka oleh-oleh mulai dari makanan kering, selendang, sampai buku-buku dan majalah islam, mukena serta sajadah.

Ya, semenjak ikut kajian rutin di mushola kampus, Ahmad jadi semakin mendalami indahnya Al Islam. Hal yang sangat langka dan mewah di desa Kenjuran. Maklum, pemahaman agama warga di desa tersebut sangat sederhana. Karena lokasinya yang tinggi dan terpencil, wilayah tersebut belum terjangkau oleh para mujahid penyebar dakwah. Yang ada hanyalah pembahasan tak berujung, tentang mana yang lebih baik, NU atau Muhammadiyah. Mungkin itu juga penyebabnya, Ambu tercinta belum tergerak untuk sholat bersujud menghadap Ilahi.

Namun karena giat mengikuti pengajian kampus itu pulalah Ahmad jadi dirundung pilu. Bagaimana tidak? Di sinilah ia baru dihenyakkan oleh penuturan jernih seorang ustadz bahwa amal manusia yang pertama dihisab oleh Allah swt adalah shalatnya. Tanpa shalat, maka semua amal pun tertolak. “Masya Allah, Rabb, ampuni Ambu hamba, “ jerit hati Ahmad.

Sejak itu dalam setiap doa dan sujudnya, hanya benderang hidayah untuk Ambu yang Ahmad pohonkan. Masalah lain dirasa kecil. Uang SPP yang terlambat dibayarkan, beban ujian akhir semester di depan mata, atau bahkan jika Ahmad sedang tergolek sakit sekalipun, hidayah untuk Ambu tak pernah bergeser dari urutan teratas daftar doanya.

Buku dan majalah Islam yang dibawakan Ahmad memang dibolak-balik dan dibaca Ambu, namun sajadah dan mukena sejauh ini hanya diterima dengan ucapan terima kasih dan senyuman. Hanya itu…

******

Ahmad dikepung kesibukan. Besok ia ujian akhir. Hari yang sama dimana jadwal lelang kalung Ambu di pegadaian juga menghantui. Persiapan ujian ia bauri dengan cari uang sana sini. Pembayaran uang pemeliharaan kalung sudah mundur satu minggu dari tanggal jatuh tempo. Besok hari terakhir penyetoran kalau Ahmad sungguh ingin menyelamatkan kalung itu.

Siang itu ia terpuruk di kamar kos. Kelelahan. Menyempatkan diri sejenak merehatkan tubuh sebelum bergegas ke pegadaian, berkejaran dengan pukul tiga, jam tutup tempat itu.

Namun Ahmad lega, terkumpul sudah akhirnya lima ratus ribu rupiah. Walau harus ditutup dengan menjual hp-nya seharga seratus lima puluh ribu. Tak apalah, insya Allah bisa beli lagi kalau ada rejeki. Sore nanti prioritas belajar dulu, ujian akhir esok menanti.

Baru sesaat ia berbaring, Shobur temannya menyeruak masuk.

“Akhi, sudah dengar belum?” katanya dengan nafas tersengal. Akhi ialah panggilan lazim untuk saudara seiman di pengajian kampusnya.

Masih dengan dada turun naik menata nafas, tanpa menunggu jawaban Ahmad, Shobur meneruskan kabar yang dibawanya, “Teman kita Edi Basuki terancam ngga boleh ikut ujian besok, akh, uang spp masih menunggak Rp. 500.000,- !’

“Masya Allah,” empati Ahmad, “Kok bisa begitu, akhi?”

“Sawah orangtuanya kena wereng, sudah enam bulan lebih ia tidak mendapat kiriman. Apalagi dagangan Edi kini juga kurang laku, kasihan ..”

Teman-teman Ahmad memang rata-rata sudah mulai berniaga untuk menutupi kekurangan kiriman orang tua mereka. Maklum, kebanyakan memang perantau yang tak bisa hanya mengandalkan wesel bulanan mereka. Edi sendiri sepengetahuan Ahmad berjualan kaset-kaset islami, barang yang mulai ditinggal penggunanya sejak maraknya CD dan RBT.

Ahmad merasa kantungnya yang berisi uang 500.000 rupiah terasa panas. Dibayangkannya kesedihan keluarga Edi kalau ia sampai tidak diperbolehkan ikut ujian akhir besok pagi. Tak terperikan bagaimana perasaan Ambunya kalau hal tersebut terjadi pada dirinya.

Wajah muram Edi dan pendar cemerlang kalung emas Ambu silih berganti dengan kontrasnya melekat di pelupuk mata Ahmad. “Allah, apa yang harus kulakukan?” lirih Ahmad.

Namun sosok Ambu yang pemurah berkelebatan di bilik nuraninya. Ahmad merasa, jika saja Ambu berada di posisinya, besar kemungkinan Ambu akan menyerahkan uang setengah juta itu untuk Edi. Ambu, yang selalu menyisihkan sekepal nasi untuk bebek tetangga, Ambu yang selalu memasak dengan kuah banyak agar bisa berbagi dengan tetangga, bahkan tanpa pernah mendengar bahwa Nabi yang mulia memang menyarankannya.

Ahmad menerawang menembus jendela kamar kos, mencari kemantapan fatwa hatinya. Tak sengaja ekor matanya terhantuk pada pemandangan di luar kamar, seraut sarang laba-laba berkilauan ditimpa mentari tampak telah berhasil menjerat makan siang bagi sang pemilik sarang. Sebuah keyakinan yang sulit digambarkan keindahannya tiba-tiba menguat kokoh memenuhi hatinya.

“Maha Besar Engkau Allah, wahai pemberi rizki,’ seru Ahmad lembut, “sungguh benar firmanMu bahwa tak satu mahluk pun yang tak Kau jamin rizkinya. Terimalah sedekahku untuk Edi ini, ya Rabb, kuserahkan kembali kalung Ambu padaMu…. Maafkan aku Ambu, akhirnya aku tak dapat lagi menjaga kalung pemberianmu”

******

Sore itu Ahmad lega karena sudah mengambil keputusan yang terbaik. Sudah saatnya menggamit buku untuk persiapan besok. Tapi sekali lagi Shobur menerobos kamarnya, kali ini dengan senyum mengembang, “Akhi, telepon dari Kenjuran!” katanya.

Setengah berlari Ahmad menuju ruang belajar bersama tempat telepon di pasang di dindingnya. Mungkin telepon ini dari Ambunya yang menghubungi lewat hp tetangga. “Assalammualaikum,” sapanya.

“Waalaikum salaam,” suara Ambu membelai telinga dan juga hati Ahmad, namun tak ayal Ahmad menangkap ada gurat kesedihan tersirat.

“Ambu kangen, nak,’ bergetar suara Ambu.

Sepasang ibu anak yang terpisah jarak itu sejenak terdiam bersama.

“Ambu baik-baik saja?,” Ahmad menghalau kesenyapan.

Ambu tak menjawab. Mungkin menahan tangis yang siap meluap.

“Ambu,” bisik Ahmad, “ Ahmad mengerti Ambu sudah rindu. Ahmad pun sudah sangat ingin pulang dan bertemu Ambu.” dari gagang telepon terdengar desah nafas Ambu. “Ahmad berjanji akan pulang setelah ujian ini selesai ya, Ambu, insya Allah.”

Masih tak ada jawaban, tapi Ahmad yakin Ambu mendengar setiap kata yang ia ucapkan.

“Ambu,’ tutur Ahmad perlahan, “kalau yang Ambu rindukan dari kepulangan Ahmad adalah kasih sayang Ahmad, sesungguhnya kasih sayang itu dari Ar Rahman, ‘Mbu… Sungguh, mungkin Allahlah yang Ambu rindukan.”

Ujung telepon di Kenjuran masih hanya memperdengarkan nafas berat Ambu. Namun dengan seluruh ketulusan, Ahmad meneruskan kata-katanya. “Ambu, kalau yang Ambu rindukan dari kepulangan Ahmad adalah keceriaan Ahmad, sesungguhnya keceriaan itu dari Al Hayyu, yang Maha Hidup. Dialah yang sesungguhnya Ambu rindukan, percayalah pada Ahmad, ‘Mbu…”

“Mad…,” serak suara Ambu mengiba, “Ambu ingin bertemu Ahmad…”

“Ambu, Ahmad tahu bagaimana kita dapat berjumpa, hati kita dapat saling berbicara, walaupun Ambu nun jauh disana, “ terbetik ide di kepalanya.

“Maksudmu, nak?” ada harapan di pertanyaan Ambu.

“Sholat, ‘Mbu… sholat….,” bujuk Ahmad lagi. “Saat sholat, kita berdua terhubung dengan Rabb yang sama, yang akan menyatukan kita. Tidak ada yang dapat membatasi kita dengan Allah ketika shalat, ‘Mbu. Mohonlah pada Allah, untuk mengganti kerinduan Ambu pada Ahmad dengan sebaik-baik pengganti”.

Hening. Namun kemudian terdengar suara Ambu, “Ambu sayang kamu, ‘Mad. Baik-baik di sana, yaa. Doa dan restu Ambu selalu menyertaimu. Assalammualaikum”

“Terimakasih, ‘Mbu, waalaikum salaam”

******

Sebulan setelah telepon itu, di sinilah Ahmad berada. Di Kenjuran mendampingi Ambu. Bulik menelepon bahwa kesehatan Ambu memburuk, membuat Ahmad menangguhkan segala urusan mengenai kelulusan dan segera pulang ke Kenjuran.

Sesorean tadi ia menghibur Ambu, menceritakan kisah lucu, menggosok punggung Ambu agar hangat, mengurut kaki beliau, menyuapi, dan lain-lain. Semuanya agar Ambu bahagia.

Namun sesungguhnya Ahmad masih menyimpan kelam di lubuk hatinya. Ahmad sangat prihatin dengan sakit Ambu yang tampak parah. Namun yang lebih menekan jiwanya adalah tentang sholat Ambu, bagaimana kalau malaikat menjemput Ambunya ketika Ambu belum mengenal sholat?

Malam itu Ahmad mempersiapkan diri untuk tahajud, juga sahur untuk berpuasa sunnah esoknya. “Terimalah ikhtiar hamba ini, Allah,” doa Ahmad.

****

Ketika Ahmad bangun, hawa dingin sangat menusuk. Berwudhu di akhir malam tak mungkin dilakukan dengan air pegunungan yang sedingin es. Tangan Ahmad merinding kedinginan bahkan kakinya sampai hampir tak terasa keberadaannya. Ahmad pun berwudhu dengan air ceret yang hangat.

Dinyalakannya tungku dengan bonggol jagung kering. Ooh, betapa nikmatnya sahur di depan kehangatan tungku batu itu. Dapur yang luas dingin dan gelap, namun di muka Ahmad api berkobar gegap gempita berderik-derik bonggol jagung menjadi bara. Ahmad duduk di dingklik kayu di muka tungku sambil melahap nasi ditemani sayur lombok ijo. Nikmatnya luar biasa. Direguknya teh panas dengan gula aren. Betapa nikmatnya ketika teh panas itu mulai menyusupi rongga mulut Ahmad, tenggorokan, rongga dada hingga ke perut. “Tiada nikmatMu yang hamba dustakan, Rabbi…,” desah Ahmad.

Dengan tubuh hangat Ahmad mulai berzikir, mencicipi kenikmatan tak terperi melafalkan nama-nama Allah yang indah. Bergetar jiwanya. Merugilah mereka yang tak berusaha mengenal Dia. Sungguh Allah tak pernah tidur. Ketika semua mahluk lelap dalam senyapnya malam, tak putusnya Dia mengabulkan segala doa, menunjukkan jalan terindah menuju keridhoanNya.

Digarang di muka api, tubuh Ahmad semakin menghangat sementara hatinya dihangatkan oleh bacaan Al Quran. Usai sahur dan mengaji, Ahmad pun berdiri menghadap Allah lewat sholat tahajud. Betapa nestapa Ahmad mengingat ibunya yang sedang sakit, yang belum jua sholat. “Berikanlah kesembuhan pada Ambu, atau khusnul khatimah jika Engkau menghendaki sebaliknya, ya Allaah,” Ahmad mengiba.

Dimalam yang syahdu itu surat An Naas terasa begitu menggetarkan. Ahmad jadi merasa sangat menghayati sujudnya seorang hamba kepada Rabbnya, sujud dengan segala kerendahan dan penyerahan diri. “Sesungguhnya aku sayang Ambu, tapi Engkaulah pemilik Ambu ya, Allah. Pastilah Engkau lebih sayang lagi padanya, Allah…,” air matanya bergulir.

Malam semakin mendekati ujung, Ahmad malah merasa makin gamang karena merasa istigfarnya belum juga ditanggapi Allah. “Ya, Allah, mohon kiranya Engkau berkenan memberi pertanda, bahwa Engkau mendengar doa kami,” pinta Ahmad khusuk.

Menunggu azan subuh, Ahmad terus menggiatkan istighfar, memohon ampunan bagi Ambu dan dirinya. Jemarinya tanpa sadar membuka-buka lembar tafsir Al Quran. Ahmad takjub tak terkira ketika matanya terantuk pada kalimat : “ … dan yang mohon ampunan di waktu sahur…”.

“Bukankah itu yang sedang hamba kerjakan ya, Allah?”, bisik Ahmad. Bergegas matanya menelusuri ayat tersebut secara menyeluruh dan tak dapatlah perasaannya saat itu dilukiskan karena begitu terguncangnya hatinya membaca surat Ali Imron ayat 15 -- 16 di mana Allah berfirman :

‘Katakan : “Inginkah aku kabarkan padamu apa yang lebih baik dari yang itu?” Untuk orang yang bertakwa (pada Allah), di sisi Tuhan mereka ada syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan istri-istri yang disucikan serta keridhoan Allah, dan Allah Maha melihat akan hambaNya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta’at, yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, dan yang memohon ampun di waktu sahur.

Subhanallah, air mata Ahmad bercucuran. Malam itu begitu nyata Ia menjanjikan ampunan yang sangat besar bagi setiap hamba yang bermohon kepadaNya. Ah, cepat sekali malam berlalu. Adakah di dunia ini yang lebih berharga daripada ridho dan ampunanNya?

Azan subuh memanggil. Ahmad keluar menuju masjid yang hanya dipisahkan sepetak tanah kosong dengan rumahnya.

Subuh yang indah. Ditutup dengan jamaah bersama-sama ber-shalawat dengan shalawat yang nadanya mirip tembang Jawa dan tidak pernah Ahmad temukan di masjid manapun di Jakarta. Shalawat yang selalu membuatnya rindu Rasulullah SAW dan rindu shalat berjamaah di Kenjuran.

Ciri unik lain shalat berjamaah di masjid ini adalah ramainya suara batuk para jamaah. Maklum, dinginnya bukan kepalang. Namun, dari arah shaf jamaah wanita di belakang, ada satu suara batuk yang khas yang tak mungkin salah Ahmad kenali.

“Subhanallah, Ambu?” heran Ahmad. Tak sabar disibaknya tirai pemisah dan dijumpainya Ambu dan bulik duduk dalam mukena mereka.

Diraihnya segera tangan ibunya dan diciuminya bertubi-tubi. Melihat mata Ahmad yang penuh keheranan, bulik berkata tanpa ditanya, “Ahmad ingat terakhir kali Ambu telpon Ahmad? Setelah itu Ambumu langsung mau sholat, Mad. Alhamdulillah. Sudah sebulan ini sholat wajib tiada yang bolong”.

“Terimakasih Allah, hidayah yang sangat indah,” bisik Ahmad dalam hati. Senyum bahagianya tak jua menyusut. Lamaaa sekali.

******

Seminggu sudah Ahmad membahagiakan Ambu di Kenjuran. Setengah jam yang lalu Ambu telah melepasnya kembali berangkat ke Jakarta. Nyeri dadanya belum mereda, tapi ia menyadari banyak yang harus diurus Ahmad di kampusnya berkaitan dengan kelulusannya.

Ambu shalat dhuha di muka jendela kamar yang terbuka. Disyukurinya kebesaran Allah lewat pemandangan bukit, petak-petak ladang jagung dan langit biru dari balik jendela. Zikirnya diiringi suara gemericik air pegunungan yang mengaliri desa melalui pipa dari bambu, menyaingi ributnya suara bebek-bebek yang meleter di pekarangan. Ambu tersenyum, membayangkan bahwa air dan bebek itu sebetulnya mungkin sedang berzikir juga. Tiba-tiba ia merasa dadanya sangat sakiit, sakiiit. Tak ada lagi bunyi…

******

Ahmad memaksa sopir ojek ngebut laksana angin mendengar kabar jatuhnya Ambu yang disampaikan salah seorang tetangganya. Ketika ia tiba, rumahnya sudah ramai oleh warga. Rupanya kabar telah tersiar. “Ambu?” Ahmad menerobos masuk ke kamar Ambu.

Kebingungan, Ahmad mencoba untuk tenang, duduk di lantai, menggenggam tangan Ambu dan membimbing beliau tahlil. Dalam pejam Ambu, Ahmad melihat ada air bening yang menggulir keluar dari mata beliau.

“Kalung Mad, kalung…,” suara Ambu sangat lirih, nyaris tak terdengar.

“Kalung apa, Ambu sayang?” tanya Ahmad, mengusap pipi Ambu.

“Kalung… da…ri..a a a.yah,” jawab Ambu makin pelan, terpatah-patah.

Mendengarnya, Ahmad tak kuasa untuk tidak tergugu. Pemuda gagah itu pun menangis, “Maafkan Ahmad, Ambu…ampuni Ahmad….kalung itu sudah tidak ada.” sesal Ahmad miris.

“Bu..kan..i..tu.., Mad,” sela Ambu di tengah nafasnya yang mulai satu-satu. Matanya masih erat terpejam.

“Kalung itu..ber..ca..ha..ya..terang…se..ka.li.., indah..,” ruangan senyap mendengar tutur Ambu. “Mad, ka..lung…i…tu…menuntun… Am…bu.. ke.. tempat… te…rang…. ca..ha..ya…”

Subhanallah, Ahmad jadi terkenang kalung yang tak dapat ditebusnya karena menolong Edi. “Allah, ternyata Engkau menebusnya untuk kami…Engkaukah Allah, pembeli kalung yang dilelang itu?”

Kisah Syahdu Sepotong Cinta


elderly_couple 
“Ayo ‘Dek, kita pulang,” suamiku menggamit tanganku. Tangan kirinya memegang payung, menaungiku dari terik matahari yang mulai menyengat ubun-ubunku di pekuburan muslim di bilangan Bandung utara itu. “Aki dan Ene’ sudah kembali, pulang ke haribaan Allah. Doakan saja kubur mereka lapang dan terang serta ridho Allah selalu melingkupi. Amiin.”

Kuberdiri menyambut tangan suamiku. “Selamat jalan Aki, selamat jalan Ene’, semoga Allah menjadikan cinta Aki dan Ene’ abadi, dan menyatukan Aki dan Ene’ hingga di jannahNya kelak. Amin,” pintaku tulus.

Kemudian kami berdua berjalan ke mobil kami dalam diam, masing-masing tenggelam dalam kenangan indah akan Aki dan Ene’ yang kini sudah terbaring dalam peristirahatan terakhir mereka yang berdampingan.

.......... 

Aki dan Ene’ sebetulnya adalah kakek dan nenek suamiku. Aku bahkan baru mengenal mereka secara mendalam sekitar dua minggu lalu ketika kami berdua menginap di rumah mereka yang asri di Dago, Bandung. Maklum, karena tuntutan tugas suamiku, dua tahun pertama pernikahan kami lewatkan di Gorontalo, jauh dari sanak dan kerabat.

Setelah akhirnya kembali dipindahtugaskan di kantor pusat Jakarta, atas desakan ayah mertuaku, suamiku pun mengajak aku bersilaturahmi ke rumah kakek dan neneknya. Aki dan Ene’, begitu keluarga besar kami biasa memanggil mereka.

“Ajaklah istrimu menginap di Dago, Den,” kata ayah mertuaku, “Aki dan Ene’ pasti sudah kangpadamu,” bujuk beliau. “Selain itu,” tambahnya lagi, “Biar istrimu ganti suasana, agar lebih ceria wajahnya.”

Malu juga sebenarnya aku mendengar tutur mertuaku. Apakah seterbaca itu cuaca hatiku lewat mimik wajahku, ya? Memang waktu itu aku dan suamiku sedang terlibat masalah rumah tangga yang menurutku cukup pelik. Membuat hari-hariku murung dan kehilangan semangat.

Tiga jam perjalanan Jakarta-Bandung kami habiskan tanpa kata, membuat batinku amat tersiksa. Kala itu kami memang sedang tidak berteguran sapa. Rasanya aku berkendara dengan sosok yang asing, yang tak lagi kukenal. Padahal sosok yang sama kan sebetulnya sudah berbagi kehidupan denganku selama dua tahun terakhir. “Masihkah sebetulnya ada cinta darimu untuk ku A’ ?” tanya suara hatiku pada bayangan wajah suamiku yang memantul di kaca jendela mobil, karena memang cuma sebatas itu keberanianku.

Hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya. Itupun ketika mobil kami sudah terparkir di depan pekarangan rumah Aki, “Nanti di sana, usahakan wajahmu lebih sumringah. Ngga perlu seluruh dunia tahu masalah kita,” katanya dingin tanpa menatapku sama sekali. Ah, saat itu rasanya hanya keajaiban saja yang menahan air mataku hingga tidak tumpah. Jika rasa sedih itu berwarna biru, kurasa hatiku saat itu sudah tercelup warna biru tua, sepekat-pekatnya, laksana biru gelap samudra di titik terdalam.

Aki-lah yang menyambut kami berdua dengan keramahan khas Tanah Priangan di ruang tamunya. 

“Sudah, cucu duduk dulu,” kata beliau, “Biar si Ujang nanti yang beresin barang-barang cucu,” kata beliau lagi sambil memanggil Ujang, salah seorang pembantu rumah tangganya.

Setelah mencium tangan beliau, kami duduk di ruang tamu yang nyaman, juga khas Jawa Barat. Tempat duduk dari bambu, lampu ber-kap anyaman bambu serta semilir angin dari jendela lebar yang menyuguhkan lukisan alam panorama indah Dago sedikit banyak cukup melipur laraku kala itu.

“GEULIIIIIIS…,” tiba-tiba Aki berteriak memanggil seseorang. “Geuliiis, kadieu, ayaaang…,” panggilnya lagi. Suaranya tinggi dan lembut, seperti sedang memanggil anak-anak. Kupikir beliau sedang memanggil salah seorang cucu atau mungkin cicitnya yang juga sedang menginap. Namun sahutan yang keluar dari dalam rumah seketika menyadarkanku bahwa perkiraanku salah total.

“Sebentar Akang kasep ayaaaang…,” suara yang berasal dari pita suara yang tipis menyahut dari dalam. Jelas bukan suara anak-anak sama sekali. Sedetik kemudian pemilik suara itu muncul di hadapan kami. Sesosok nenek dengan tubuh kecil dan wajah sangat ramah tersenyum pada kami, “Assalammualaikuuum, cucuuuuuu…” sapanya.

Aku jadi lupa pada kesedihan yang membuat hatiku kelam membiru itu. Suara Ene’ sangat menghibur, menularkan energi kebahagiaan pada kami semua. Diciumnya aku dan suamiku dengan hangat. Malah pipi cucunya—suamiku sang manager keuangan di sebuah perusahaan multi nasional itu—dicubitnya gemas, membuat ekspresi es batu suamiku mencair lumer. “Kenapa atuh  si Donny ini baru sekarang ajak istri ke rumah Ene’? kata beliau pura-pura marah. “Kenapa atuh kue buatan Ene’ belum diicipin?” kini pandangannya beralih ke toples yang masih tertutup di atas meja,”Hayu atuh diicipin, mangga’, jangan malu-malu,” ucap Ene’ dengan logat Bandungnya seperti bernyanyi.
Ene’ mengambil sebuah piring kecil yang sudah tersedia di meja tamu dan mengisinya dengan aneka kue kering. “Donny dan Dinda ambil sendiri ya,” kata Ene’ lagi, ”Kalau yang ini khusus Ene’ ambilkan buat Aki-mu,” katanya sambil tersenyum, “Mangga Akang kaseep…,” Ene’ menyodorkan piring kecil berisikan kue-kue lezat itu ke hadapan Aki.

“Subhanallah, hebat euy, LUAR BIASA! ” rasanya ingin aku berdiri dan bertepuk tangan meriah menonton sepenggal adegan indah yang terjadi di depan mataku itu. Tepat di saat kami, pasangan muda yang baru dua tahun menikah itu, sedang tidak bertegur sapa… pasangan senja usia itu memamerkan kemesraan dan romantisme yang tiada tara cantiknya.

Aki, hampir 80 tahun, memanggil Ene’ dengan panggilan sayang ‘geulis’ atau cantik. Ene’ yang lima tahun lebih muda, mesra memanggil suaminya dengan sebutan ‘akang asep’ atau kakak yang ganteng. Belum lagi bonus ‘ayang’ yang pasti bermakna ‘sayang’. Tidak kupungkiri keduanya mungkin sewaktu muda memang ganteng dan cantik karena bekas-bekas keindahan paras mereka sedikit banyak masih terlihat. Namun setia dengan panggilan romantis itu selama paling tidak lima dekade pernikahan mereka? Ambooi, aku terbakar oleh rasa ingin tahu akan rahasia di balik keindahan mahligai cinta mereka.

.......... 

Aki-lah yang mulai bercerita pada kami berdua tentang awal perjumpaannya dengan Ene’ 55 tahun silam ketika esoknya kami berjalan pagi keliling kompleks.

Memang untuk usianya yang 80 tahun, Aki’ terlihat sehat dan tegap. Jalan pagi bersama kami dilaukannya dengan napas yang diatur dengan konsisten. Stamina yang mengagumkan. “Hasil dari olahraga rutin dan puasa senin kamis selama puluhan tahun, “ papar beliau sambil tersenyum.

Udara Dago yang sejuk, panorama pegunungan, burung yang berkicau, bunga-bunga yang merekah di pinggir jalan membingkai obrolan pagi kami dengan beliau.

“Ene’ kalian, geulisku itu, adalah anak perempuan satu-satunya, bungsu dari sebuah keluarga terpandang di Bandung…” Aki membuka cerita. Berikutnya aku dan suamiku tenggelam dalam sebuah kisah yang lebih indah dari kisah Cinderela, Pretty Woman, Romeo dan Juliet atau kisah cinta apapun yang dianggap manusia masa kini menggambarkan romantika sepasang sejoli berlainan jenis.

-----

Sebagai putri keluarga terpandang, wajar bila ketika itu kumbang-kumbang mulai terbang mengitari Ene’, mengajukan diri sebagai calon suami beliau. Namun dengan santun Ene’ menolak mereka dengan halus.

Orangtua Ene’ yang sudah ingin memangku cucu dari Ene’ pun menanyakan pada putri mereka, jodoh seperti apa yang Ene’ inginkan.

“Euis,” kata mereka. “Sebetulnya jodoh seperti apa yang kau inginkan? Nanti biar bapak carikan, yang penting Euis bahagia,” kata orang tua Ene’.

Ene’ berasal dari keluarga baik-baik yang berpendidikan tinggi namun dengan background agama Islam yang tidak terlalu kuat. Justru kebudayaan Belanda-lah yang lebih mewarnai gaya hidup keluarga Ene’. Orang tua Ene’ pun fasih berbahasa Belanda. Pesta dansa-dansi mewarnai acara akhir pekan mereka. Itulah yang membuat orangtua Ene’ berpikir agak demokratis dibanding warga Bandung lainnya pada jaman itu, Ene’ diijinkan memilih jodohnya sendiri.

“Bapak dan Ibu yang Euis hormati,” kata Ene’ kala itu. “Bukannya Euis tidak menghargai mereka yang sudah datang ke rumah kita untuk mendekati Euis, tapi….”

“Bilang saja, Nak, seperti apa kriteria yang kau inginkan,” potong bapak Ene’ tidak sabar,”Bapak akan carikan siapa pun demi membahagiakanmu, anakku.”

Allah menghendaki, walaupun dibesarkan dalam keluarga yang asing dengan norma-norma Islam, fitrah yang dibekali Allah di hati Ene’ sangat kuat menarik Ene’ ke cahaya Al Islam. Bisa jadi karena pengaruh salah seorang pengasuh Ene’ sewaktu kecil yang memang kala itu sudah rutin sholat dan mengaji. Fitrah inilah yang kiranya membuat Ene’ menjawab pertanyaan bapaknya kala itu dengan jawaban yang mencengangkan semua yang mendengarnya.

“Euis ingin suami yang fasih MEMBACA Al Quran, Pak, Euis ingin suami yang berasal dari lingkungan pesantren!” kata Ene’, lembut tapi tegas.

Bapak Ene’ menghela napas, tidak menyangka kata-kata seperti itu yang keluar dari lisan putri yang disayanginya. Kemampuan membaca Al Quran bukanlah hal yang lumrah di keluarga mereka. Maklum, puluhan tahun lalu, dakwah Islam kan belum marak seperti sekarang.

“Tidak apa-apa jikalau calon suami Euis tidak rupawan, tidak berpendidikan tinggi, atau tidak kaya, Pak,” lanjut Ene’ lagi, “Euis hanya ingin merasakan indahnya belajar sholat dan mengaji dengan diajari oleh suami sendiri”.

Karena sudah telanjur menyanggupi, dengan hati masih penuh dengan tanda tanya, bapak Ene’ pun datang bersilaturahim ke sebuah pesantren di kawasan Cirebon di mana beliau kemudian berjumpa dengan Aki, salah seorang santri senior di sana.

........ 

“Begitulah ceritanya hingga Aki-mu ini berjodoh dengan ene-mu, Cu..,” cerita Aki dengan wajah bahagia. “Aki-mu ini menjadi menantu keluarga terpandang Ene’ bermodalkan kemampuan mengaji ‘saja’. Ene’-mu dengan segenap keikhlasannya ridho diperistri dan dipimpin Aki yang berasal dari keluarga sederhana,” Aki menutup kisahnya.

Kulirik suamiku, nampak larut terbawa suasana. Matanya yang beberapa hari terakhir menghindar dari pandanganku kulihat beberapa kali mencuri pandang padaku lembut, menyiratkan kerinduan yang sangat, membuatku tersipu malu.

Aku jadi kikuk seperti pengantin baru. “Terus apa resepnya bisa terus rukun bertahun-tahun begini, ‘Ki?” aku bertanya menutupi gejolak hatiku, saat itu hatiku meletup-letup seperti abg yang sedang digoda dewa asmara. Kurasakan jemari kokoh suamiku meraih pinggangku. Aha!

“Mungkin pertanyaan itu lebih cocok kau tanyakan pada Ene’-mu Din, “ jawab Aki. “Ene’-mu lah yang sangat pandai merawat perkawinan kami agar senantiasa indah,” lanjut beliau. “Cuma satu pesan Aki yang harus senantiasa kalian ingat, pesan dari guru Aki di pesantren, “ tambahnya membuat kami berdua penasaran. “Perselisihan suami istri, jangan diselesaikan secara formal di meja, Cu,” beliau berbisik seakan-akan tengah mengatakan sebuah rahasia yang besar, matanya berkilat jenaka, “Tempat penyelesaian masalah suami istri yang terbaik adalah di atas kasur, KAAASUR !” tegasnya, “Ha ha ha….,” lalu Aki tertawa berderai-derai.

Diam-diam sebuah cubitan gemas mendarat di pinggangku, membuatku meronta kecil. Nasehat Aki terbukti sangat mujarab. Hatiku dan suamiku yang sempat saling kaku membeku malam itu mencair di atas kasur di rumah Aki, setelah setetes kenikmatan surgawi yang boleh dicicipi sepasang suami istri di bumi kami lewatkan bersama, Subhanallah.

.........

Keesokan paginya aku bangun dengan jiwa yang segar seperti baju yang baru keluar dari laundry. Kuhampiri Ene’ yang sedang sibuk memberi makan ayam-ayam di pekarangan belakang. Aki dan A’ Donny sedang pergi membeli makanan ikan hias peliharaan Aki.

“Mari Dinda bantu, Ne’,” aku meraih segenggam gabah dan menebarkannya ke ayam-ayam yang langsung datang mematuk-matuk ke tanah. Ene’ memelihara beberapa ayam kate berwarna putih. Imut-imut dan lucu sekali.

“Ne’,” kataku, “Ajari Dinda dong resep menjadi istri yang baik, Dinda kepingin punya rumah tangga yang sakinah seperti Aki dan Ene’,” Aku bertanya tanpa dapat menyembunyikan rasa penasaranku.

“Lho, memangnya kenapa? Rumah tangga Dinda kurang sakinah?” Ene’ balik bertanya sambil mengulum senyum.

“Ya engga juga sih, Ne’, tapi kalo ribut-ribut kecil sih adaaa…,” jawabku, walau seketika itu juga badai ribut besar dengan suamiku beberapa hari yang lalu terputar kembali di depan mataku.

....... 

Kalau suamiku termasuk dalam kategori pria bersosok ganteng, memang kusadari sejak dulu. Tapi bahwa ada resiko besar yang membuntuti, baru saja kupahami akhir-akhir ini. Apalagi dengan posisi mapan di sebuah perusahaan bonafid, menambah nilai plus suamiku di mata lawan jenisnya. Cincin emas putih pernikahan yang melingkar di jari manis kirinya sama sekali tidak mempengaruhi penilaian perempuan iseng pemburu cinta. Apalagi semenjak kami pindah ke Jakarta, di mana nilai-nilai benar salah dan baik buruk sudah semakin melebur, tak jelas batasnya.

Diawali dengan sms-sms singkat di hp suamiku dari nomor yang tak kukenal, jelas kata-kata seorang mahluk Hawa. “Pa kabar?”, “Lagi dimana neeeh?”, sampai pesan singkat akhir-akhir ini yang membuatku kalut seperti. “aq kangeeen”, “udah makan belum?”.

Cemburuku berkobar-kobar. Hatiku menggelegak. “Kok bisa siiih, suamiku meladeni perempuan lain seperti ini?” sedih, marah, bingung, putus asa, kecewa, sakit hati, bercarutmarut memenuhi seluruh rongga hatiku tak bersisa.

Ketika kutanyakan pada A’ Donny, jawabannya sederhana saja. “Aku ngga ada apa-apaan kok sama dia, serius. Cuma kamu kok yang kusayangi…,” jawabnya enteng seakan tanpa dosa.

“Cuma aku? Lalu dia siapa?” tanyaku. Sungguh teman, cemburu itu menyakitimu. Membuat pandanganmu sempit bagai terhimpit. Tidur tak nyenyak, makan tak enak.

“Yaaa, teman biasa saja,” katanya lagi dengan nada seringan kapas.

Sungguh aku jadi mengerti, 100% aku jadi paham kenapa film-film kartun menggambarkan kemarahan tokoh di dalamnya dengan keluarnya asap putih panjang dari lubang hidung dan telinga sang tokoh seperti asap lokomotif. Darah yang mendidih di dalam diri karena rasa jengkel bisa jadi memang sanggup mengeluarkan asap putih seperti itu.

“Yaa, dia mungkin memang naksir aku. Akunya sih biasa sajaaa,” lanjut suamiku seakan tak memahami membaranya hatiku. Entah benar-benar tak tahu, entah hanya pura-pura belaka.

“Kalau biasa saja kenapa sms-nya TERUS-TERUSAN? Sampai bilang kangen segala? KENAPA?” tanyaku bertubi-tubi. Suaraku seperti mendesis, setengah mati menahan emosi yang siap meletus bagai Krakatau.

“Ya tanya dong sama dia, jangan sama aku!,” kata suamiku dengan suara meninggi. “Lagian kamu, kenapa lancang betul buka-buka hpku dan baca sms-ku?” katanya. Kali ini jelas, emosinya mulai bangkit.

Aku jadi bingung terpaku. “Tuhanku, sebetulnya siapa sih yang salah? Kok malah jadi suamiku yang marah?”

Hari itu pertengkaran kami akhirnya merembet kemana-mana, bagai air bah yang mengaliri seluruh penjuru daerah yang lebih rendah.

Esok paginya tak ada satu pun dari kami yang memulai pembicaraan, hingga beberapa hari sesudahnya, di mana lagi kalau bukan di atas kasur di rumah Aki. Hmm…

.......

“Neng, pernikahan sakinah mah bukan pernikahan yang ngga ada ributnya,” kata Ene’ padaku, “Pernikahan sakinah itu adalah pernikahan yang ketika ribut segera kembali ke Al Quran dan As Sunah,” jelasnya. Kemudian Ene’ mengisi wadah tempat minum ayam kate dengan air ledeng dan meletakkannya di dekat kandang.

Aku tercenung mencoba mencerna nasehat Ene’.

“Jadi, pernikahan Ene’ juga ada ribut-ributnya, gitu?” pancingku.

“Yaa..,” jawab Ene’, “Namanya juga manusia menikah dengan manusia, justru di situlah letak ujiannya. Di kesulitan itu Allah kasih kesempatan kita untuk meraih anak kunci masuk ke salah satu syurgaNya,” jawab Ene’ dengan tenang, setenang pagi yang indah itu.

“Tapi Aki kan dari pesantren, orang alim, kenyang ilmu agama, pasti dong Aki juga udah paham betul bagaimana menjadi suami teladan. Ya kan, Ne’?” tuturku. Aku jadi merasa tidak enak, kentara betul aku membandingkan Aki dengan suamiku.

Ene’ tidak mengiyakanku. Jawabnya, “Lulusan pesantren juga manusia biasa, Din, yang tak lepas dari khilaf dan salah,” katanya, “Ene’ pun juga banyak salahnya pada Aki-mu, kami berdua selalu berusaha saling memaafkan,” tutur beliau lagi.

“Tapii, kalau hmm…telanjur sakit hati, cara memaafkannya bagaimana, Ne’?” tanyaku lamat-lamat, berusaha menutupi apa yang kemaren kualami dengan suamiku.

“Justru di situlah kunci syurganya, Din, “ jawab Ene’, Ayam-ayam kate mengitari tubuh mungilnya, “Makin sakit hati, Makin sulit memaafkannya, Makin besar peluang masuk syurgaNya kalau kita berhasil memaafkan pasangan kita,” katanya lagi, “MAUUU ?” tanya beliau padaku, tentu saja tanpa bermaksud menirukan iklan salah satu provider telepon seluler.

 “Wuih, siapa pula yang ngga mau masuk syurganya Allah,” pikirku bahagia. Beban yang menyesAki dadaku tak ada sudah, lepas, terbang jauh bagai layang-layang yang putus talinya. Kurasakan seluruh hati, pori dan nadi di tubuhku sudah memaafkan A’ Donny. Alhamdulillaah…

Kata-katanya sangat menginspirasiku. Ayam-ayam kate yang mengerumuni Ene’ menepi memberiku jalan untuk memeluknya. Kurangkul Ene’ dengan sepenuh sayang.

 “Geuliiiis… ayaaaang….,” terdengar suara khas Aki memanggil Ene’.

 Mendengarnya, mata Ene’ berbinar bahagia seperti remaja belia dilanda cinta pertama. “Rabbi, berikan kami kemesraan seperti mereka,” pintaku.

.......

Siang itu kami menikmati ikan mas goreng garing dan segarnya karedok racikan Ene’. Ujang yang menangkap ikan-ikan malang itu dari kolam Aki. Malamnya A’ Donny meladeni tantangan Aki bermain catur. Subhanallah, luar biasa kemampuan otak manusia maha karya Allah kalau saja benda lunak itu dijaga dengan baik oleh yang empunya seperti halnya Aki. Usia senja tidak menghambat kemampuan kerja otaknya.

Langit Dago memainkan orkestra angkasa raya. Pemainnya ribuan bintang yang bertaburan. Ene’ dan aku duduk di bangku di teras belakang dengan mata menikmati pesta sang langit, masih membahas topik yang sama, indahnya memaafkan yang belum tuntas kami bahas siang tadi.

Malam itu memang malam yang luar biasa. Langit Dago cerah, sangat bersih seakan bebas polusi. Bintang-bintang keperakan berkilauan tumpah ruah berserakan. Langit jadi tampak membulat karena di kakinya bertaburan bintang-bintang sebagai batas pandangan mata manusia, menciptakan skala kemegahan angkasa raya. Di atas puncak Dago ini, gemerlap permata langit itu begitu jelasnya sehingga terlihatlah garis-garis antar bintang membentuk gugusan rasi-rasi seperti yang kerap kita lihat di buku-buku astronomi.

Baru malam itu aku tersadar, bahwa sebagian gugusan rasi itu ternyata sungguh nyata dan bukan sekedar rekaan manusia belaka. Ia terbentuk dari cemerlangnya pendar masing-masing bintang sedemikian sehingga mereka pun terhubungkan satu sama lain. Maha Suci Allah pemilik keagungan arsy yang terbentang seluas langit dan bumi. Kata-kata Ene’ mengembalikan kesadaranku. Kata beliau, “Bayangkan, Din… bayangkan bagaimana jadinya kehidupan kami kalau setengah abad lalu kami, Ene’ dan Aki-mu, tidak saling memaafkan?”

Kata-kata yang diucapkan Ene’ dengan lembut, tapi dengan kekuatan ruhiyah yang dalam serta merta membuatku terkesiap. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi setengah abad yang lalu?

.......

“Kami baru menikah lima tahun,” tutur Ene’. “Aki-mu ditugaskan perusahaannya ke kepulauan Riau. Waktu itu sarana komunikasi belum secanggih sekarang, Din. Kami bercakap-cakap lewat telepon paling sering dua minggu sekali. Aki pulang menengok Ene’ dan anak-anak setiap enam bulan sekali.”

“Berapa tahun Aki bekerja seperti itu, Ne’?” tanyaku, membayangkan rinduku pada A’ Donny jika ia harus meninggalkanku pergi jauh seperti Aki dan Ene’ dulu.

“Sekitar empat tahun,” jawab Ene’. “Aki bekerja di perusahaan pertambangan, jauh menembus rimba di pedalaman Sumatra,” tuturnya. “Sebetulnya Ene’ sangat cemas memikirkan keselamatan Aki-mu. Binatang buas, hujan lebat, tersesat di belantara, adalah ancaman bahaya yang selalu membayangi, membuat lantunan doa Ene’ tak pernah putus untuk Aki.”

Rasanya hanyut aku terbawa arus cerita Ene’. Kata-katanya sangat mengharukan, sarat dengan emosi cinta pada sang jantung hati.

“Ketika hujan lebat mengguyur, guntur menggelegar, Ene’ selalu ingat Aki kemudian tersungkur bersujud, memohon keselamatan Aki pada Allah. ‘Rabbi, jagalah suami hamba, selamatkanlah suami hamba’, begitu pinta Ene’ selalu,” tutur Ene’ padaku. “Namun, yang Ene’ tidak tahu, dua tahun setelah bertugas di sana, Aki-mu telah menikahi seorang gadis pribumi, seorang gadis kubu berwajah cantik.”

Masya Allah, sebuah antiklimaks kisah cinderela yang dituturkan Ene’-ku dengan nada sangat biasa, sangat biasa disempurnakan dengan ekspresi keikhlasan yang sulit kugambarkan keindahannya.

Aku sendiri terbius haru, membayangkan Ene’ bersujud menangis di atas sajadahnya memohon keselamatan sang belahan jiwa, sementara pada saat yang sama bisa jadi Aki di seberang samudra sana tengah bersenang-senang dengan istri barunya.

Kuraih dan kugenggam erat tangan Ene’ yang dihiasi keriput halus itu.

“Kau tahu kenapa Ene’ menceritakan hal ini padamu, Din?” Ene’ menatapku mataku dalam-dalam. Aku menggeleng pelan, tak tahu harus bersikap bagaimana.

“Karena menikah lagi secara sah menurut hukum agama BUKANLAH aib! Itulah mengapa Ene’ berani menceritakan ini padamu,” tutur Ene’ hati-hati, mungkin mengukur kesiapan hatiku. “Walaupun perasaan Ene’ kala itu, hancur terpuruk luar biasa.”

Aku menghela napas. Malu. Teringat sms-sms di hp suamiku, sangat remeh temeh dibandingkan dengan ujian yang dialami Ene’. “Bagaimana Ene’ dapat memaafkan kesalahan Aki? Lalu bagaimana kelanjutannya? Dimana gadis kubu itu sekarang berada?” aku memberondong Ene’ dengan peluru pertanyaan.

Masih dengan tutur katanya yang lembut, Ene’ menjawab pertanyaanku. “Setelah masa tugas di sana selesai, Aki pun bercerita pada Ene’ tentang istri baru yang telah beliau nikahi itu,” katanya, “Ene’ tahu, Din, saat itu pun hati Aki sebetulnya menangis karena telah menyakiti hati Ene’, tapi Ene’ punya pemikiran lain…”

Kagumku pada perempuan di hadapanku bertambah-tambah. Di saat perempuan lain pada situasi tersebut mungkin telah hancur, tenggelam dalam kesedihan, Ene’ malah bisa berpikir jernih. Bayangkan, ‘punya pemikiran lain’…., kalimat yang menyiratkan ketenangan dan kecerdasan hati tingkat tinggi.

“Ene’ ingat, selama itu Ene’ tak kenal lelah berdoa pada Allah mohon supaya Allah menjaga Aki, mohon keselamatan Aki,” lanjutnya, ”Membuat Ene’ berpikir, jangan-jangan… menikahnya Aki dengan gadis kubu itu adalah cara Allah mengabulkan doa Ene’, menjaga suami Ene’… dari maksiat, atau supaya suami Ene’ ada yang merawat … nun jauh di rimba lebat?”

Subhanallah, pantaslah Allah menghadiahi kunci syurga bagi keridhoan tak terbatas seorang istri yang dadanya lapang memaafkan kesalahan suaminya, yang berbakti pada suaminya, yang menomorsatukan kepentingan suami serta kebahagiaan suaminya di atas segalanya. Aku merasa tubuhku menyusut, makin kecil, semakin kecil dibanding wanita mungil namun perkasa di hadapanku itu.

“Ketika Allah mengilhamkan hal itu pada diri Ene’, seketika itu juga Ene’ memaafkan Aki. Ene’ yakin, semua itu sudah ketentuan Allah yang terbaik bagi kami semua,” Ene’ mengakhiri kisahnya yang mengharu biru.

Hatiku gerimis. Bening air mata menitik di sudut mataku. “Kemana gadis itu sekarang, Ne’?”

“Ia minta cerai setelah beberapa bulan tinggal bersama kami di Bandung, Din,” kata Ene’, membuatku batinku bersorak, “Mungkin tak betah dengan hingar-bingar kota Bandung, maklum, ia kan dibesarkan dalam rimba.”

Satu dua ekor komet tampak berkejaran di layar angkasa, seakan tengah mencuri dengar kisah indah salah seorang penduduk bumi. Ene’ mendongak memandang langit. Kata beliau, “Din, tahukah Dinda, bahwa cahaya bintang yang detik ini sedang kita tonton ini sebetulnya dipancarkan sang bintang RATUSAN TAHUN yang lalu, hanya saja baru saat ini tiba di lapisan langit yang terdekat dengan bumi kita, hingga baru sekarang bisa kita nikmati terang cahayanya?”

Aku menggeleng, terpesona dengan kebesaran Allah, juga dengan luasnya wawasan Ene’. 

“Renungkan Din, “ kata Ene’ lagi, “Bintang itu mengingatkan kita, betapa pendeknya umur kehidupan seorang anak manusia dibandingkan dengan masa yang telah dilalui bumi tempatnya berpijak. Dan tak seorang jua yang mengetahui berapa lama lagi masa kehidupannya di atas bumi ini berakhir…”

Untaian mutiara dari mulut Ene’ sangat indah, tapi penutupnya-lah yang tak bisa kulupakan hingga kapan jua…

“Di ujung usia Ene’ ini Din, hidup terasa sangat singkat. Rasanya baru sekejap mata sejak Ene’ mengenal Aki,” tuturnya. Aku menatapnya lekat, tak ingin kehilangan satu pun tuturnya yang berharga. “Pernikahan Ene’ dengan Aki-mu adalah hal terindah yang Allah berikan pada kami di luar indahnya iman, Din. Yang ada hanyalah kenangan manis demi kenangan manis. Bisakah kau bayangkan, Din,” kali ini kata-katanya melambat penuh penekanan, “Seperti apa jadinya kehidupan rumah tangga kami lima puluh tahun terakhir ini, kalau saja waktu itu Ene’ MEMILIH untuk tidak ridho dan tidak memaafkan Aki-mu?”

Allah, Maha Besar Tuhanku yang telah melapangkan hati hambaNya seluas hati Ene’ kami. Hati istri sholihah, angkasa raya pun terasa sempit dibandingkan dengannya!

..........

Kami pulang ke Jakarta dengan hati baru, dengan tekad meniru sakinahnya rumah tangga Aki dan Ene’. Tangan kananku bertumpu mesra di atas paha kiri suamiku, sesekali ia meremas jemariku sambil tersenyum melirikku. Sangat kontras dengan keberangkatan kami sebelumnya.

Kami pulang dengan membawa oleh-oleh yang sangat berharga. Nasehat Ene’ dan Aki yang terus terngiang, “Jika pasangan hidupmu khilaf dan berbuat salah, maka rangkullah dan segera maafkan. Jadikan dirimu tempat belahan jiwamumu selalu rindu pulang, karena tahu bahwa dia akan selalu diterima dengan hati lapang,” Namun tak satupun dari kami menyangka, itu adalah wasiat terakhir Ene’, juga Aki.

Hanya seminggu sesudah perpisahan itu, Ene’ kami berpulang menemui pemilik jiwaNya, Allah SWT. Dijemput malaikat Isroil setelah jatuh terpeleset di depan kamar mandi, sebuah sebab kematian yang terkesan sangat sederhana.

Ditinggal geulis-nya tercinta, Aki seperti kehilangan separuh nyawa. Ketika ayah mertuaku menugaskan penggali kubur menggali tempat peristirahatan terakhir Ene’, Aki langsung berkata, “Buat sekaligus dua, aku akan segera menyusul Ene’.”

Ayah mertua tak berani membantah. Akhirnya menggali dua kubur sekedar menenangkan hati Aki.
Tak dinyana lelaki yang segar bugar itu, yang tak sampai dua minggu lalu masih jalan pagi dan main catur bersama kami, benar-benar berpulang menyusul kekasih jiwa dalam hitungan hari. Pergi begitu saja di pembaringan dalam tidurnya, memejamkan mata dan tak lagi kembali. Lagi-lagi skenario Allah yang membuat kami menyerah dalam kebesaranNya, membuat diri ini semakin kerdil tak berarti.

Kini kedua sejoli itu berbaring bersisian di peristirahatan abadi. Kan kurindukan mendengar suara Aki memanggil istrinya, “Geuliiiis….. ayaang…”. ,bersahutan dengan suara mesra Ene’ menyambut panggilan itu, “ Iya, akang kaseeeep….”