Senin, 18 Juli 2011

Pulsa Rp 20 Ribu dan Pizza Hut

“Dek, beliin pulsa dong, Rp 20 ribu aja. Lagi cekak nih, gak ada duit.” Begitu bunyi sms dari Yuk Leni, mbakku yang tinggal di kota lain tapi masih satu provinsi. Membaca isi sms-nya, aku langsung merasa kesal. Bagaimana tidak, kakakku itu sudah berkeluarga dan memiliki satu anak. Dia dan suaminya sama-sama bekerja. Meskipun memang pendapatannya jauh lebih rendah dibandingkan aku. Tetapi, yuk Leni memang mbak yang seringkali menjadikanku tempat yang handal untuk “meminta”.

Baik itu secara terang-terangan meminta atau dengan menyindir. Entah itu berupa uang tunai, maupun berupa baju, jilbab atau benda lain. Selama ini, meskipun terkadang dengan rasa jengkel, permintaannya selalu kupenuhi. Bahkan, setiap kali mau pulang ke Palembang, saat lebaran atau liburan, dia memberikan syarat. “Kami mau pulang ke Palembang, asalkan ongkos balik ke Lahat, kau yang tanggung, termasuk untuk jajan Zaki keponakanmu selama di Palembang,” ujarnya ketika aku memintanya pulang saat liburan.

Karena memang sudah kangen dengannya dan Zaki, keponakanku yang lucu, biasanya aku langsung mengiyakan permintaan itu. Apalagi, aku juga tidak terlalu keberatan dengan membagikan rezekiku kepada kakak-kakak yang hidupnya masih sangat pas-pasan. Mumpung masih single, kebutuhan belum terlalu banyak. Begitu pikirku setiap kali akan memberikan bantuan uang atau pinjaman. Lagipula, sekarang ibuku sudah tidak ada lagi. Inilah caraku untuk membalas lautan kebaikan beliau, meskipun itu tidak akan pernah bisa menyamai dengan kasih Ibu yang tidak pernah putus kepadaku sepanjang hidupnya. 

Tetapi, entahlah, kali ini aku merasa sebal dengan permintaan. Masak, untuk urusan pulsa pun, mesti kutanggung. Rasanya, belum dua bulan, dia merengek minta dibelikan bedak seperti punyaku agar bisa sedikit keren saat mengajar. Sudah terlalu banyak dia meminta kepadaku. Bukankan aku juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhanku.

Tiga hari sms minta pulsa itu masuk, tetap ku acuhkan. Karena tidak mendapat tanggapan dariku, dia mengirim sms lagi dengan menggunakan hp anak kakakku yang satunya, kembali meminta agar dibelikan pulsa. “Kamu kan baru pulang dari luar kota, pasti ada dong uangSPJ dari kantor,” isi sms-nya. Membaca sms itu aku tambah kesal, nih orang kok maksa sih. Sms tersebut masih juga belum kubalas. Malamnya, aku telpon dia dari kantor. “Kok pelit amat sih, minta dibeliin pulsa Rp 20 ribu aja susah,.” Protesnya. Dengan berkelit aku mengatakan kalau terlalu sibuk untuk membelikannya. “Aku gak tahu nih mesti beli di mana, kartu ATM-ku hilang, jadi, gak bisa beli pulsa dari ATM,” elakku. “Kan bisa yang pakai elektrik, gampang dan praktis kok,” jawabnya. “Ya lah, kalau sempat ke pasar, “janjiku. 

Belum juga janjiku dipenuhi, teman-teman sekantor yang bisa mentraktirku minta ditraktir makan di Pizza HuT. Alasannya, karena aku tidak membawa oleh-oleh dari liputan di Bangka. “Jadi, sebagai gantinya traktir di Pizza Hut aja,” usul Mbak Upit, salah satu seniorku yang langsung diiyakan mbak Wiwik and mbak Pipit. Karena gengsi, aku langsung mengiyakan. “Tapi yang paket aja ya,” pintaku. Toh paling banyak hanya Rp 50 ribu, pikirku. 

Esok harinya berlima kami pergi ke tempat jajanan yang cukup elit di kotaku. Sambil ber-ha ha hi hi, kami menikmati hidangan pizza yang lezat. Selesai makan, bill diserahkan oleh pelayan di meja kami. Di luar dugaan, ternyata yang kami makan agak mahal, yakni Rp 80 ribuan. Sekejap saja uang sebanyak itu pindah ke kasir. 

Malamnya, aku termenung di kamar. Aku sungguh tidak adil. Yuk Leni yang sudah dua mingguan minta dibeliin pulsa Rp 20 ribu, hingga sekarang belum kupenuhi. Sedangkan, hanya dalam hitungan 1 X 24 jam, Rp 80 ribu uangku melayang untuk mentraktir teman-teman. Padahal, mbakku itu sedang dalam kesulitan ekonomi. Sedangkan rekan sekerjaku uangnya lebih banyak dari yang ku punya. “Maafkan aku, Yuk Leni, “gumamku sambil bergegas mencari konter penjualan pulsa elektronik.

Terpeleset Makna

Sudah sepuluh tahun lebih, usia sudah bertambah, tapi soal “memelestkan makna kata” masih tak berubah juga, itulah ciri khas teman SMU-ku, sebut saja Fulanah. Sebenarnya ia ramah, pandai bergaul dengan siapa saja. Namun pelesetan katanya sering berbau pornoaksi, membuat banyak teman ‘gak enakan’, tak nyaman di dekatnya.

Ada beberapa kalimat yang terdengar islami, tapi dia pergunakan di saat yang tidak tepat. Contohnya saja ketika teman kami kehilangan sandal di kala tarawih di masjid, “Waduh, ikhlaskan aja, yah teman…Innalillahi…”, bisik salah satu teman lainnya, menghibur.

Tapi sahutan si Fulanah lain lagi, “Kamu juga sih, sandal baru koq dipake’ ke sini…? Kan kamu tau bahwa kata pak ustadz ‘tinggalkanlah yang buruk, pertahankan yang bagus…’, jadi pasti ada orang yang ninggalin sandal bututnya nih, dan menukar dengan sandal baru kamu…hehehe”.

Lalu pada saat Fulanah naik motor pakai rok pendek, tiba-tiba roknya tersingkap, dan ada teman yang mengingatkannya, “Kamu jangan doyan nambahin dosa kayak githu donk… panjangin dikit kek kalo’ pake rok, atau pakai celana panjang aja kalau bermotor…”. Si Fulanah dengan lancar menjawab, “Sapa yang nambah dosa, neng..? Gue malah dapat pahala, yaaah sedekah lah sekali-sekali ini biar orang yang melihat kan cuci mata, segeran dikit githu…”, Astaghfirrulloh…

Sama halnya suatu hari ketika ada ujian di sekolah, pengumuman ujian dadakan, Fulanah dengan entengnya mengatakan kepada teman yang pintar, “Kasihanilah saya… gak belajar nih di bab itu, siapa yang mau nambah pahala dengan menconteki saya jawabannya…?”, idih, aneh tapi nyata, kadang-kadang merinding juga mendengar celotehan Fulanah, banyak kalimatnya harus disensor. Kalau “sukses” menggoda lawan jenis, Fulanah akan bilang “saya harus bersyukur atas karunia cowok ganteng…”, ckckckck.

Di saat ada yang bercanda dengannya, bercakap tentang neraka, “Ih Fulanah… ngomong kok gak hati-hati sih…? Mau tenggelam di neraka yah…?”, si A nyeletuk.

Dilanjutkan si B ikutan menyindir Fulanah, “Mungkin dia akan jawab begini, ‘gak apa-apa, asyik di Neraka dong, kan ketemu aktor dan artis favourite gue di sana, gak usah capek-capek minta tanda tangan’, hehehe”, hmmm, menohok banget deh sindiran si B, si Fulanah malah membahas ejekan itu dengan menjulurkan lidah dan menjambak rambut si B.

Tak disangka, sekarang si Fulanah sudah beranak dua, dan ternyata anak pertamanya lebih tua dari sulungku. Padahal selama ini, sepengetahuan teman-teman seangkatan sekolahku, aku adalah pioneer pernikahan muda, pertama kalinya di angkatan itu terdengar beritaku menikah saat baru masuk kuliah. Dan ternyata fakta yang ada, terungkap baru-baru ini, ada Fulanah dan dua teman lain yang menikah di tahun yang sama, tapi anak sulungnya lebih tua dari pada usia sulungku. Oooh, Astaghfirrulloh, ketiga teman itu bersama pasangannya ternyata melakukan MBA alias Married By Accident alias terpeleset ke lembah zina sebelum melakukan pernikahan sah. Dan ternyata dari hari ke hari di saat ini, prihal MBA di kalangan pemuda negeri sudah menjadi hal yang tidak langka lagi, duh, mengerikan! Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina.”

Terpeleset makna kata dalam gaya gaul sehari-harinya ternyata diteruskan Fulanah dengan terpeleset pada perbuatan zina, ‘pergaulan’ yang keliru. Sungguh mahalnya nikmat hidayah Allah ta’ala, kita selalu diingatkan bahwa mendekati zina (dengan ber-khalwat nonmahram) adalah haram, dan dalam berucap pun harus memelihara lisan, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir (Kiamat), hendaklah ia berkata yang baik atau diam…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada hubungan antara lisan dan akhlaq tentunya, sebagaimana kita ketahui bahwa orang-orang yang senantiasa merasa dalam pengawasan Allah SWT, selalu menjaga pembicaraan atau lisan, disamping berpikir dan senantiasa berdzikir sebelum bersikap.

Satu contoh ketika saya masih kuliah dan berkunjung ke tempat tetangga yang baru usai bersalin. Sang ibu bercerita bahwa di saat berada di ruang perawatan usai bersalin, ada ibu X yang baru masuk ruang persalinan. Ibu X ‘terkenal’ dengan sikap ketus dan kurang menjaga pergaulan terhadap lawan jenis. Tanpa sengaja, terdengarlah jeritan ibu X dari ruang persalinan kecil itu, yang keluar dari mulut ibu X ketika merasa sakit akibat kontraksi dan mengejan adalah kata-kata kotor dan tak pantas diucapkan, bahkan menyebut-nyebut hinaan kepada suaminya sendiri, semisal, “br**ngsek laki-laki cuma menanam benih doang, sakiiiit…. Bla bla…”, dan ucapan kotor lainnya. Padahal untuk menjaga kekuatan tubuh dan menyimpan energi, ketika kontraksi rahim, seorang ibu harus mengatur pernafasannya. Menjerit-jerit dan mengomel (apalagi berkata-kata kotor) adalah membuang energi dan bisa mengganggu pernafasan. Banyak berdo'a dan mengingat Allah ta'ala tentulah akan menentramkan jiwa.

Allah ta’ala menyatakan dalam firman-Nya, "(Yaitu) ingatlah ketika dua malaikat mencatat amal (perbuatannya), seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)" (QS. Qaf [50] : 17-18). Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari bahaya lisan ini.

Semoga memperoleh manfaat, menambah keimanan & rasa optimis pada-Nya, Wallahu ‘alam bisshowab.

Kembali Ke Masjid

Rasanya, kalau melihat Indonesia, kita hanya bisa mengelus dada. Miris melihat pemandangan yang ada. Terutama, kehidupan pemerintahan dan bernegara, sudah rusak semuanya. Bahkan, orang-orang terpilih, yang berada di gedung DPR atau pemerintahan, sekarang ini rasanya tak juga bisa diandalkan. Boro-boro terjadi perubahan, yang ada malah citra dan perilaku buruk yang sering dipertontonkan.

Memang, untuk menuju kondisi yang lebih baik, rasanya tak perlu sekarang ini mengandalkan siapa-siapa. Entah itu pejabat, anggota DPR/DPRD atau para politisi. Justru yang penting kembali ke jati diri masing-masing. Kembali bercermin apakah kita ini sudah baik. Lalu, apakah kita juga sudah punya andil untuk perbaikan. Minimal di lingkungan sekitar. Nampak sederhana, namun seringkali kita lupa.

Saya yakin dan optimis, masih ada orang-orang baik, di partai politik, di pemerintahan. Hanya saja karena mereka berada di dalam sistem, agak sulit untuk bergerak melakukan perubahan. Yang ada, kadang diam, atau jalan di tempat, hanya mampu menyaksikan beragam kebobrokan di depan mata. Lalu, kalau sudah begini, harus bagaimana?

Tidak lain, tak bukan, saatnya kembali ke masjid...

Ini yang saya pikir dan renungkah beberapa hari ini. Entah, benar atau tidak, rasanya kembali ke masjid memang perlu menjadi perhatian khusus. Kembali menghidupkan masjid, tak melulu hanya sebatas tempat beribadah (sholat) saja. Tapi, masjid sebagai tempat penyelesaian beragam permasalahan umat. Ya, berawal dari masjid, perubahan itu akan terjadi.

Kalau melihat masjid di sekitar kita, rasanya mungkin bangga. Banyak masjid yang dibangun besar-besar, mewah, dengan ornamen dan asesoris penuh pernak-pernik etnis, bahkan diantaranya banyak yang dipasang AC, tidak menimbulkan rasa panas dan sumpek sehingga bisa membuat nyaman orang-orang di dalamnya.

Tapi, adakah yang kurang? Tepat, penghuninya, alias jamaahnya. Kadang, yang nampak hanya orang datang, sholat lalu pulang (pergi). Pagi hari nampak sepi, pun begitu petang datang, pinti gerbang, atau pintu masjid sudah terkunci rapat-rapat. Tak ada aktivitas yang berarti. Inilah kekurangan dari masjid di sekitar kita yang nampak nyata.

Kalau melihat masjid kampus atau masjid perkantoran, memang sudah agak mendingan, rada banyak kegiatan, tapi melihat masjid pada umumnya, di mana di situlah jamaah sesungguhnya ada, kadang luput dari kegiatan.

Sepertinya, inilah saatnya kita kembali, menghidupkan masjid dengan beragam kegiatan, semacam majelis ilmu dengan kajian-kajian tematis yang rutin, terutama kajian tafsir Quran, begitu juga menghidupan perpustakaan, mengumpulkan buku-buku plus membedahnya sehingga ilmu di dalamnya bisa semakin hidup dan bisa di praktekkan dalam kehidupan keseharian. Begitu juga, menghangatkan kembali anggota dan pengurus jamaah masjid. Kembali merutinkan pertemuan, karena dengan musyawarah dan syuro inilah ruang yang tepat untuk membincangkan permasalahan-permasalahan umat dan berusaha mencari titik temu serta menyelesaikannya.

Tak perlulah merasa berdosa ketika tidak menjadi jamaah partai politik, justru sebenarnya kita bisa terkena dosa ketika abai untuk tidak bergabung dan aktif dalam jamaah masjid, karena itulah sebenar-benar jamaah. Tempat kita saling mengingatkan, tempat kita saling bantu menyelesaikan persoalan, tempat kita merumuskan dan mengimplementasikan agenda-agenda perbaikan umat yang telah kita rencanakan.

Apalagi, sebentar lagi bulan ramadhan datang, inilah saat yang tepat. Kembali masjid kita ramaikan, kembali masjid kita hidupkan. Merapat kepada sebenar-benar umat. Agar, cahaya Islam ini kembali jaya, agar umat ini tak melulu menjadi bulan-bulanan berita media, agar umat ini tak terombang-ambing karena masing-masing sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, agar umat ini semakin merasakan kesejahteraan, baik materi maupun hati. Memang, semua ini mudah diucapkan, tapi perlu kebersamaan untuk bisa mewujudkan.

Kami Anak ROHIS

Kami anak ROHIS. Akidah kami bersih terhadap hal-hal yang bersifat magis. Baik itu jimat, wapak, jirim, ataupun keris apalagi penggaris. Pedoman hidup kami adalah Al Quran dan Al Hadits. Kami bukan kalangan alkoholis. Boro-boro untuk berakohol ria, untuk uang jajan pun kami masih mengemis.

Kami anak ROHIS. Ada seorang nenek bernama Sydney Jones yang menuduh kami radikalis. Padahal kami hanyalah sekumpulan aktivis. Tentunya aktivis Islam bukannya aktivis secularis, pluralis, liberalis, apalagi satanis. Kami hanya dapat berharap mudah-mudahan masyarakat tidak termakan isu tersebut yang buat kami menjadi miris.

Kami anak ROHIS. Dandanan kalangan pria kami atau biasa disebut ikhwan umumnya khas dengan jenggot klimis nan tipis. Sedangkan kaum hawa atau akhwatnya biasanya terlihat dengan jilbabnya yang terlihat maksimalis. Tapi hal itu tidaklah mutlak, so santai saja buat para bro n sis.

Kami anak ROHIS. Murobbi kami selalu bercerita bahwa kami adalah pewaris. Pewaris risalah para nabi dan Rasul dari zaman nabi Adam sampai sayyiduna Muhammad SAW Al-Quraisy. Untuk itulah kami dididik menjadi pemuda yang loyalis. Loyalis kepada Allah dan RasulNya serta berlepas dari paham-paham yang tidak Islamis.

Kami anak ROHIS. Bukanlah segerombolan selebritis. Yang kerjaannya update status di jagad virtual agar dibilang eksis. Yang cuman bisa basa-basi kebaikan share pilu, nestapa, atau apa saja hal-hal yang berbau melankolis. Buat kami yang terpenting adalah aksi nyata bukan bualan besar yang manis serta bombastis.

Kami anak ROHIS. Tongkrongan kami jauh dari kafe, mall, bar, diskotik ataupun di halte bis. Biasanya kami paling suka duduk di masjid atau juga di majelis-majelis. Kami selalu menjaga diri kami dari hal-hal yang bersifat najis. Baik najis jasmani ataupun psikis.

Kami anak ROHIS. Kami diajarkan untuk dapat bersifat altruis. Dan membuang jauh-jauh sifat egois. Kami juga diajarkan untuk menjadi golongan yang mukhlis.Tidak mengharapkan imbalan dari manusia yang sifatnya matrialis. Walaupun kadang kali uang jajan kami menjadi habis. Tapi, tak apalah yang penting balasan dari Allah berupa surga lengkap dengan para bidadari’s.

Kami anak ROHIS. Karakter masing-masing kami tidaklah sama seperti halnya kue lapis. Ada yang bawaannya serius, rajin, rapat tidur mulu juga ada, ataupun yang humoris. Akan tetapi kami juga dibekali ilmu untuk selalu bersikap idealis. Jangan jadi orang yang pragmatis plus oportunistis. Takutnya malah jadi orang-orang yang ikut ketularan virus liberalis. Yang kadang kalo ngomong suka bikin mengekerut alis.

Kami anak ROHIS. Pada kesempatan kali ini kami ingin mengatakan bahwa kami bukan teroris. Jangan juga mencap kami sebagai ekstrimis. Hanya di karenakan perubahan tingkah laku kami yang mungkin terlihat agak lebih agamis. Padahal teroris tulen bin sejati adalah para kaum zionis bengis rasis dan kolonialis.

Kami anak ROHIS. Kami juga ditanamkan nilai-nilai zuhud atau bahasa kerennya adalah askestis. Kami juga menjauhi hal-hal yang sifatnya glamoris. Kami berusaha untuk sejauh mungkin tidak menjadi kaum borjuis. Karna khawatir terkena penyakit wahn atau istilah lainnya hedonis.

Kami anak ROHIS. Kami juga manusia bukannya malaikat yang selalu tampil perfeksionis. Tak sedikit pula diantara kami yang takluk terhadap godaan sang iblis. Dan mereka-mereka itu pun episode dakwahnya berakhir dengan sangat tragis. Yang kalau dituliskan di sini dapat membuat mata menangis.

Kami anak ROHIS. Beberapa kami juga diberikan bakat berbisnis Selain bisnis ada juga yang bakat menulis. Dan tulisan ini dibuat bukan untuk sekedar narsis-narsis. Ya, ini hanya dibuat sekedar berbagi tentang profil ROHIS.

Ketika Komunikasi di Ambang Sekarat

Kebahagiaan Bu Narti semakin lengkap karena tak berapa lama lagi anak bungsunya akan menjadi pengantin. Do’anya terkabul, gadis kesayangannya akan dipinang oleh seorang lelaki yang insya Allah sholeh dan bertanggung jawab menurut pandangannya.

Dan hari yang dinantipun tiba, semua berjalan dengan lancar. Meski tak semewah 
walimatul 'ursy anak teman-temannya, tapi baginya cukup meriah. Bu Narti adalah seorang janda yang telah ditinggal suaminya beberapa tahun yang lalu. Jadilah ia seorang single parent dengan tiga anak yang lucu-lucu. Air matanya tak dapat ia bendung tatkala ijab qobul putrinya berlangsung, dia teringat mendiang suaminya. Dia berbisik dalam hati “Pak, lihat... anak kita sudah besar, dan sekarang telah menjadi pengantin yang sangat cantik...”

Pestapun telah usai, dan sekarang saatnya sang buah hati meninggalkan dirinya karena akan diboyong suaminya ke negri seberang, kebetulan menantunya itu bertugas disana.

Santi sangat berat hati meninggalkan ibunya, mengingat usianya yang akan mencapai 50 tahun. Tapi apa dikata, dia harus mengikuti kemana suaminya pergi. Dia ingin sekali membawa sang ibu untuk tinggal bersama mereka, akan tetapi ibunya menolak dengan halus. “Nggak usah nak... ibu lebih nyaman tinggal di kampung...lagian kalau disana, ibu akan susah menengok makam bapakmu jika tiba-tiba ibu rindu, kamu baik-baik disana ya...jadilah istri yang baik dan menyenangkan bagi suamimu, dampingi dia dalam keadaan apapun.”

Santipun berangkat dengan hati yang berat.

Krek...! Santi tersentak dari lamunannya, dia melihat sosok lelaki melangkah masuk. Cepat-cepat ia menyusul lelaki itu kepintu seraya menyalami dan mencium tangannya, lelaki yang selama tiga tahun ini telah menjadi suaminya.
Setelah membereskan sepatu dan tas suaminya, dia cepat-cepat ke dapur untuk menyiapkan secangkir teh hangat kesukaan seuaminya tak lupa dengan sepiring singkong rebus tuk cemilan di sore hari.

“Mas mau mandi dulu atau mau langsung makan...?” Tanya Santi pada suaminya. “Nanti saja, mas mau rebahan dulu, makannya habis magrib aja,” jawabnya singkat, dan diapun langsung masuk kekamar dan tidur. Suasanapun kembali sepi. Tak ada suara anak kecil di rumah itu karena sampai saat inipun mereka belum memperoleh satu orangpun keturunan.

Santi kembali sibuk menyiapkan makan malam buat mereka berdua.

Sebenarnya Santi bukanlah sosok yang pendiam, tetapi semenjak menikah, dia agak tertutup dan pendiam karena suaminya adalah laki-laki yang dingin dan sangat terutup, bahkan terhadap Santi istrinya. Terkadang Santi jenuh dan bosan dengan keadaan itu, dia merasa sedikit tertekan dengan sifat suaminya yang dingin, akan tetapi dia selalu ingat akan pesan ibunya bahwa suami adalah Surga dan Neraka bagi seorang istri.

Tak jarang dia menangis sendiri tatkala suaminya tak ada dirumah. Dia bertanya-tanya dalam hati kenapa suaminya masih menganggap dia seperti orang asing. Dia sedih tatkala menyaksikan sepasang suami istri yang begitu asik bercengkrama atau berjalan bergandengan, pergi jalan-jalan berdua, sedangkan dia, sangat jarang, bahkan tuk sekedar duduk bercengkrama diteras rumah di sore haripun sangat jarang.

Ingin sekali dia bertanya langsung pada suaminya, tapi dia takut jika suaminya tersinggung, jadi dia lebih memilih diam.

Sebenarnya, Burhan suaminya merasakan kegelisahan istrinya, ingin rasanya dia mencairkan suasana agar tak lagi kikuk didepan istrinya, apa lagi jika dia mendapati istrinya sedang menangis, paling dia hanya bertanya, “Kenapa menangis dek, kamu sakit? Santi hanya menggeleng dan bilang kalau dia kangen ibunya.” Lalu Burhan hanya bisa terdiam, dia tak tahu harus berbuat apa, karena sedari dulu dia memang kaku terhadap perempuan.

Waktupun terus bergulir , hari-hari dilalui Burhan dan Santi dengan rasa hampa tak menentu. Sangat monoton dan membosankan. Semakin hambar malah.

Suatu sore, Burhan mendapati Santi tengah menangis di sudut ruangan sambil menghubungi seseorang, ternyata Ibunya, Santi tak menyadari kedatangan Suaminya, sehingga Burhan bisa dengan leluasa mendengar percakapan mereka.

“Buk...Santi bosan disini, Santi pengen pulang saja, Santi gak tahan lagi, sepertinya mas Burhan tak bisa menerima kehadiran Santi,” ucap Santi seraya terisak.

“Loh...kok bisa sih nak, bukankah kalian menikah sudah tiga tahun lamanya, bagaimana mungkin kamu bisa bilang kalau suamimu belum bisa menerima kehadiran kamu, buktinya apa? Coba cerita sama ibu...”

“Mas Burhan sangat dingin Buk, dia bicara kalau ada perlunya saja, dia sangat tertutup pada Santi, bahkan kalau pulang larut malampun dia nggak pernah kasih tau ke Santi kalau dia lembur atau gimana, nyampe di rumahpun dia juga lebih banyak diam...”

“Santi seperti tak dihargai buk...santi seperti dianggap nggak ada, kalau dia lagi ada suatu masalah, dia nggak pernah mau bicara sama Santi, kalau Santi tanya dia cuma diam dan bilang nggak ada apa-apa, jadi Santi ini siapanya dia buk?”

“Apa santi nggak coba tanya ke suamimu?”

“Enggak Buk...Santi takut mas Burhan tersinggung, kan dia capek pulang kerja...”

Ibunya terdiam...sedih, terkadang ada muncul perasaan menyesal menjodohkan mereka, tapi cepat-cepat dia tepis.

Burhan terhenyak mendengar kata-kata istrinya, sedih bercampur marah kepada dirinya. Marah karena sikapnya yang dingin pada istrinya, orang yang selalu ada dikala dia susah dan senang, orang yang selalu setia merawat dirinya tatkala dia sakit, orang yang selalu setia meyiapkan sarapan dan menunggu kedatangannya setiap dia pualng, meski itu larut malam. Berbeda dengan teman sekantornya, dia bisa bercerita dengan leluasa.

Dia lupa bahwa seorang istri juga mahkluk yang bernyawa, dia bukanlah sebuah patung yang tak punya perasaan. Seorang istri juga bisa sedih, dan juga ingin mendapat sedikit perhatian dari suaminya.

Dan dia juga lupa bahwa tak cukup hanya dengan kehadiran saja pernikahan itu akan bahagia. Pernikahan itu tak cukup hanya komunikasi ranjang dan dapur, akan tetapi juga komunikasi hati.

Pernikahan akan berjalan lancar jika komunikasi berjalan dengan baik dan lancar. Percuma jika punya harta yang berlimpah dan suami/istri yang tampan/cantik, jika komunikasi sangat buruk, semua akan menjadi percuma, malah akan seperti di Neraka karena kerja sama juga takkan berjalan dengan baik, yang ada hanya prasangka dan curiga tak menentu.

Jadi, jika ingin sebuah hubungan berjalan dengan baik dan sehat, maka sangat diperlukan komunikasi yang baik pula sebagaimana Rasulullah SAW selalu mengajak bercanda istri-istrinya. Bukankah Rasulullah SAW juga sangat romantis terhadap istri-istri beliau?

Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah berada di tempatku bersama Saudah, lalu aku membuat jenang. Aku bawa (jenang itu) kepada beliau, kemudian aku berkata pada Saudah, ‘Makanlah!’ Akan tetapi, ia menjawab, ‘Saya tidak menyukainya.’ Aku pun berkata, ‘Demi Allah, kamu makan atau aku oleskan ke wajahmu?’ Ia berkata, ‘Saya tidak berselera memakannya,’ Lalu aku ambil sedikit, kemudian aku oleskan ke wajahnya, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ketika itu duduk di tengah-tengah antara aku dan dia. Kemudian beliau merintangi dengan lututnya supaya dia dapat membalasku, lalu ia mengambil jenang dari piring tersebut, kemudian dia (saudah) membalas mengoleskannya kepadaku dan Rasulullah tertawa.” (HR. Ibnu Najjar)

Maafkan Aku Bila Mendahuluimu

Sombong! Egois!

Soleh bukan tidak tahu kalau kata-kata tak mengenakan itu ditujukan kepadanya. Sungguh, sebenarnya Soleh pun merasa tidak nyaman dengan tuduhan semacam itu. Tapi ini soal prinsip. Ia yakin betul dengan kebenaran prinsip yang dipegangnya. Yang salah adalah mengapa mereka tak (mau) mengerti penjelasan yang ia berikan.

Adalah Soleh, pemuda berumur dua puluh lima tahun yang termasuk beruntung. Setahun bergabung, langsung diangkat sebagai karyawan tetap. Tapi bukan itu yang membuat beberapa rekan kerjanya sering menjadikan Soleh sebagai bahan perbincangan. Tak tahu tata cara pergaulan, begitu terkadang mereka menambahkan.

Bukan satu dua kali Soleh menjelaskan, mengapa ia (selalu) berjalan mendahului rekan-rekan perempuannya. Terlebih bila secara kebetulan bertemu di ujung tangga menuju kantor mereka yang terletak di lantai dua. Ia bukanlah manusia suci seperti sindiran rekan perempuannya. Ia laki-laki dewasa normal yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis, tak terkecuali kepada teman kerjanya. Ia khawatir tak dapat menundukan pandangan (nafsu) bila berjalan di belakang perempuan. Bukankah setiap gerak perempuan selalu terlihat indah di mata laki-laki? Seandainya ia memiliki kekuasaan, pasti ia akan membuat aturan berpakaian bagi karyawan perempuan. Benar-benar menutup aurat, bukan sekedar mengikuti trend semata. Tapi ia hanyalah karyawan rendahan, jalan keluarnya adalah ia selalu berusaha untuk tidak berjalan di belakang perempuan.

Telah ia jelaskan, tapi sayang hanya dianggap sebagai alasan untuk menutupi kesombongannya, keangkuhannya. Dalam beberapa hal, Soleh tidak mempermasalahkan tata cara pergaulan yang mendahulukan perempuan, ladies first istilahnya. Tapi untuk urusan yang satu ini, Soleh berprinsip sebaliknya.

Bukan tidak sopan, bukan pula sombong. Selain menjaga pandangan (nafsunya), justru karena Soleh menghormati mereka. Perempuan dengan segala daya pikatnya bukanlah objek yang bisa dinikmati (dilihat) oleh laki-laki selain yang berhak (suaminya). Sayang, belum semua perempuan menyadari tingginya agama ini menempatkan mereka. Karena nafsu, tak jarang perempuan sengaja tampil mencolok di depan laki-laki yang tidak berhak melihat auratnya. Astaghfirullloh!

Juga bukan satu dua kali Soleh mengatakan kenapa ia berusaha untuk sholat dengan jamaah pertama dan mendapatkan tempat yang utama. Shaft pertama, tepat di belakang sebelah kanan sang imam, menjadi tempat favoritnya. Soleh sadar betul bahwa pahala terbesar adalah sholat yang dikerjakan secara berjamaah di awal waktu. Dan soal tempat yang selalu ia incar –shaf pertama di belakang imam sebelah kanan– bukanlah milik atasannya, bukan pula milik pengurus mushola, tapi hak siapapun yang datang lebih awal.

Sudah Soleh katakan, tapi sayang beberapa orang justru menganggapnya tak punya tata krama. Bukan tak tahu tata krama bila Soleh berdiri di shaf pertama sementara atasannya justru di shaf kedua. Dalam sholat jelas tidak melihat jabatan seseorang dalam pekerjaan. Soleh tahu di belakangnya ada sang atasan, tapi ia merasa tak perlu menawarkan diri untuk bertukar posisi. Siapapun punya hak dan kesempatan yang sama, syaratnya hanya satu, datang lebih awal dibanding lainnya.

Soleh justru heran dengan beberapa rekan kerjanya yang datang lebih dulu tapi sengaja memilih tempat di belakang, bahkan ada yang harus diingatkan berkali-kali agar tidak membentuk shaf baru sebelum shaf di depannya terpenuhi. Soleh telah mengingatkan, tapi sayang mereka dengan penuh kesadaran dan dan kesengajaan melewatkan kesempatan untuk berdiri lebih dekat dengan pintu syurga.

Dalam hal lain, Soleh tentu tak berkeberatan bila ia harus mengalah, memberi kesempatan lebih dulu kepada sang atasan. Tapi untuk ibadah, Soleh tak mau menyia-nyiakan. Sudah dikatakan, urusan lain tidak masalah, tapi urusan ibadah, diri sendiri harus didahulukan.

Soleh memaklumi jika pada awalnya beberapa prinsip yang ia pegang terlihat aneh di mata rekan-rekannya. Semua karena mereka belum memahami. Baginya, tak harus ia merubah prinsip hanya karena orang lain belum atau tak (mau) mengerti penjelasannya.

Perlahan, seiring berjalannya waktu, rekan-rekan kerja Soleh mulai mengerti prinsipnya. Bererapa rekan perempuan mulai merubah cara berpakaian. Kalau kebetulan mereka bertemu di ujung tangga, tanpa diminta rekan-rekan perempuannya memberi kesempatan untuk Soleh berjalan di depan. Mereka menyadari bahwa menaiki tangga sementara laki-laki di belakang, sama saja menciptakan kesempatan untuk mereka melihat apa yang tidak menjadi haknya, terlebih dengan model pakaian yang dulu mereka kenakan.

Begitupun dengan rekan kerja laki-laki, banyak yang mengikuti jejaknya. Mereka menyadari bahwa pahala sholat terbesar adalah ketika dilakukan berjamaah, di awal waktu. Dan tempat yang tak boleh disia-siakan adalah shaf pertama.

“ Jadi, jangan terburu mengatakan egois, sombong atau tidak sopan, bila dalam hal-hal tertentu aku (selalu) mendahuluimu. Maafkan!” Soleh mengingatkan.