Selasa, 25 Oktober 2011

Perisai Diri Di Jantung Jerman (3)

Oleh : Ineu Ratna Utami
 


Ya, Guten Morgen?!”... terucap salam dari seraut wajah bermata hijau yang menyembul di balik pintu setelah beberapa saat diketuk. Tatapannya tertuju pada seorang wanita Jerman bernama Frau Larscheid yang tak lain adalah pimpinan lembaga tempat ia berkiprah. Saat itu Frau Larscheid yang ramah dan kharismatik sedang mengantarku ke kelasnya, sebuah ruang kursusu bahasa Jerman bagi pemula.

Frau Larscheid menjawab salam wanita tadi begitu pula aku. Wanita itu kini menguakkan pintu lebih lebar, terlihat keseluruhan postur tubuhnya yang tinggi besar. Ia hanya sepintas memandangku tanpa membalas senyumku. Dalam hitungan detik kembali matanya tertuju pada Frau Larscheid. Dengan seksama ia mendengarkan penjelasan Frau Larscheid bahwa hari itu muridnyanya akan bertambah yaitu aku, walaupun sudah telat seminggu dari batas akhir masa pendaftran. Frau Larscheid pun meminta ia untuk mengizinkanku membawa anakku ke ruang kursus hingga para Kinderbetreuung yang sampai saat itu masih kerepotan mengasuh beberapa anak dari para peserta kursus, siap menerima putraku.
 
Dibanding dengan teman-teman yang bersamaan denganku datang ke Berlin, aku sendiri yang belum ikut kursus bahasa karena semua tempat kursus yang ada, tidak memfasilitasi Kinderbetreuung untuk anak di bawah usia 2 tahun, sedangkan saat itu anakku masih berumur setahun. Jadilah aku belajar otodidak, hingga suatu hari ketika sedang berjalan-jalan bersama putraku tak jauh dari apartemen tempat kami tinggal di Sparr Strasse, kubaca sebuah pamflet yang memberitahukan ada kursus gratis khusus untuk perempuan asing, dan tempat kursus tersebut memperbolehkan membawa anak di bawah umur 2 tahun. Alhamdulillah, aku merasa gembira saat itu, karena berat rasanya hidup di negeri orang tanpa bisa berkomunikasi dengan bahasa yang digunakan negeri tersebut. Sebenarnya saat membaca pamflet itu, pendaftaran sudah ditutup. Namun mendengar informasi dari seorang sahabatku tentang masih ada peluang kursus di situ, akhirnya aku nekat mendatangi tempat itu. Dan, itulah awal aku mengenal sosok guru kursus bahasa Jermanku yang pertama.
 
Setelah Frau Larscheid menyudahi percakapan dengannya dan berlalu diiringi ucapan selamat belajar padaku, wanita bermata hijau dan berambut coklat terang itu menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Ia tertegun beberapa saat, sorot matanya seolah tak percaya melihat sosok di hadapannya, wanita Asia dengan gamis dan jilbab lebar menggendong anak kecil akan menjadi peserta kursusnya. Ku balas tatapannya dengan senyum dan sorot mata berusaha meyakinkan bahwa aku serius, ingin belajar. Tak lama kemudian ia mempersilahkanku masuk. 
 
Wanita itu sekilas mengenalkanku pada peserta kursus lainnya dan ia pun mengenalkan dirinya. Kini kuketahui sedikit tentangnya, ia bernama Svetleona, seorang profesor di bidang literatur berkebangsaan Russia. Ia bergabung dalam sebuah komunitas peduli orang asing di Berlin sebagai pengajar tata bahasa Jerman untuk pemula. Selain dirinya, ada juga Aimee-berkebangsaan Perancis mengajar kelas percakapan, Marco berdarah campuran Itali-Jerman mengajarkan kami melukis dan Huebert memandu kelas komputer.
 
Kesan pertamaku pada sang profesor, ia begitu 'angker' saat mengajar. Berkali-kali pandangannya tertuju padaku, memastikan bahwa anakku tak kan membuat keonaran. Alhamdulillah, putraku diberi ketenangan oleh-Nya. Ia duduk dalam pangkuanku sambil mencoret-coret kertas yang kuberikan padanya, terkadang ia asyik dengan mainan yang kubawa. Sesekali aku minta ijin pada Svetleona untuk menyusui putraku di dalam kelas tersebut. Hal ini cukup menyedot perhatiannya juga peserta kursus lainnya. Sementara itu, putraku nyaman di balik jilbabku.
 
Dari hari ke hari, suasana kelas saat Svetleona mengajar semakin terasa menegangkan. Terutama saat kemampuan kami diuji dengan cara bergiliran mengisi setiap soal grammer yang sudah ia siapkan di papan tulis. Suasana kelas terasa hening dan ketegangan semakin terasa saat ia mendamprat atau bergumam dengan muka kesal.
 
Berbeda saat kami mengikuti sesi percakapan yang dipandu Aimee yang lembut dan humoris. Semua peserta antusias dan tak takut bercakap-cakap menggunakan bahasa Jerman. Aimee selalu memotivasi kami untuk berani berbicara dan ia selalu berpesan pada kami, jangan takut salah!
 
Begitu pula saat mengikuti kelas melukis bersama Marco, rasanya waktu cepat berlalu dan tiba-tiba saja di hadapan kami ada selembar karya masing-masing. Serasa tak percaya kami bisa melakukan sesuatu sesuai arahan Marco, dan tanpa disadari, kami telah bercakap menggunakan bahasa Jerman dengan Marco. Hal ini dikarenakan Marco pandai memanfaatkan suasana, selalu mengajak kami bicara tentang apa yang sedang kami tuangkan dalam lukisan yang kami buat. Komentar-komentarnya membuat para peserta kursus tersenyum senang, terasa sekali aroma motivasi yang ditebarnya menyemangati kami.
 
Sungguh kontras sikap teman-temanku saat usai belajar bersama sang profesor dibanding bersama guru-guru lainnya. Setiap jam istirahat tak pernah absen telingaku dari keluhan teman-teman kursus akan sikapnya. Dan berulangkali pula aku berusaha membesarkan hati mereka. Sambil berbagi makanan bekal dari rumah bersama mereka, kuajak teman-temanku berpikir positif tentang Svetleona. Memang tak kusangkal pendapat mereka tentang Svetleona, tiga orang Afrika, empat orang Turki, satu orang Malaysa ditambah seorang muslim Macedonia merasa tak nyaman dengannya termasuk aku sendiri, begitu juga peserta kursus ruang sebelah (satu level di atas kami) yang pernah menjadi muridnya.
 
Tapi aku selalu berusaha untuk menjalankan pesan suamiku agar selalu mengingat-ingat kebaikan seseorang dan aku pun berusaha menepis “keangkeran” Svetleona itu. Aku hanya ingin menempatkan ia di hatiku sebagai guru yang harus kuhormati dan kucintai karena ia tanpa pamrih mengajariku memahami bahasa Jerman. Ia telah meluangkan waktunya untuk kami karena proyek sosial itu tak memberi imbalan apa pun untuknya, sedangkan kami memperoleh banyak ilmu darinya. Rasanya tak adil jika kami hanya menyoroti “keangkerannya” saja.
 
Setelah kupikir dengan segenap kejernihan hati, pemicu suasana tegang di kelas tak lain adalah ulah kami sendiri. Svetleona geram sekali bila kami datang terlambat, ia sangat disiplin dalam masalah waktu. Tak ada alasan terlambat baginya, karena jarak rumah kami ke tempat kursus tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan jarak rumahnya yang sangat jauh, hampir di luar Berlin. Ia juga sering kesal bila kami lupa dengan pelajaran yang pernah diberikan sebelumnya, ia anggap kami tak serius belajar dan yang lebih membuat ia murka manakala kami melanggar sopan-santun. Svetleona merasa tak nyaman bila saat ia mengajar, tiba-tiba di antara kami ada yang (maaf) buang ingus dengan suara nyaring. Musim semi memang sering menyebabkan orang yang sensitif terhadap polen bunga atau debu menjadi bersin, demikian juga saat musim gugur, banyak orang terkena flu, dan bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari hidung itu seolah menjadi lazim di sini pada musim-musim tersebut. Namun Svetleona tak ingin murid-muridnya melakukan hal yang kurang etis itu di hadapannya. 
 
Ternyata, ketika aku berusaha menghargai dan menghormati segala kelebihannya serta menerima apa adanya Svetleona, berusaha memahami apa keinginannya dan harapan-harapan terhadap murid-muridnya, hasilnya sebanding dengan apa yang kulakukan terhadapnya. Svetleona sekalipun tetap bermuka dingin namun kurasakan ada selarik hangat dari hatinya. Entah sejak kapan, ia memiliki kebiasaan baru, selalu memelukku dan berbicara atau menyapaku penuh keramahan. Hal ini membuat teman-teman kursusku heran, tak terkecuali aku sendiri. 
 
Bahkan ketika diadakan acara kelulusan naik level sekaligus perpisahan dengannya, Svetleona membuatkan kue khas Moskow untuk kami dan ia menyebutkan semua bahan untuk membuat kue itu aman untuk dimakan muslim. Sementara itu ia tunjukkan sikap tertarik dengan klepon dan nasi goreng yang kubawa demikian pula terhadap makanan ala Turki, Afrika dan Macedonia. Di akhir acara ia berharap kami akan tetap melanjutkan kursus di tempat tersebut.
 
Beberapa bulan berselang, aku kembali ke tempat di mana Svetleona dan kawan-kawannya mengabdikan diri. Tak lain untuk sekedar memenuhi undangannya melalui sepucuk surat yang dilayangkan ke rumahku seminggu sebelumnya. Kupenuhi undangan tersebut, namun sebenarnya kedatanganku saat itu hanya ingin menyampaikan bahwa aku tak bisa menyambut ajakannya untuk melanjutkan belajar di tempat itu lagi. 
 
Suasana lengang terasa sepanjang koridor, hanya sayup-sayup terdengar suara dari beberapa kelas yang tertutup pintunya. Ketika akhirnya wajah dingin itu ada beberap meter di hadapanku, dengan segera ia berlari begitu melihatku dan memelukku penuh suka cita. Ia memintaku menunggu di sebuah ruang karena masih ada hal yang harus dikerjakannya. Kumanfaatkan waktu menunggu itu untuk membuka mushaf dan kubaca perlahan-lahan.
 
Ketika kuakhiri tilawahku dan berniat untuk berbalik arah, aku terkejut karena Svetleona telah berdiri mematung di belakangku, entah berapa lama, aku tak menyadari kehadirannya. Sesaat kemudian, ia menarik sebuah kursi dan meminta aku duduk kembali. Mata hijaunya menatapku lekat lalu ia bertanya, “Apa yang kamu baca itu? Kenapa perasaanku menjadi tentram?”. Svetleona yang sudah lama tak mempercayai adanya tuhan, memintaku memperlihatkan apa yang kubaca. Aku pun menunjukkan mushaf biru yang selalu kubawa serta dalam tasku. “Ini adalah panduan hidup kami agar hidup selamat”, jawabku. 
 
Bisakah kamu membacakannya lagi? Saya ingin mendengarkannya!” Aku mengangguk setuju, lalu kupilihkan surat Al-Ikhlas dan kusampaikan arti dari surat itu. Ia terbelalak, tersirat penasaran di paras mukanya dan terlihat ia hendak menanyakan sesuatu namun hal itu urung karena telpon genggamnya berbunyi dan ia segera bergegas pamit.
 
Sungguh tak kusangka, Svetleona yang di awal kami berjumpa begitu sinis, menatapku dingin tanpa senyum, kini ia merasakan ketentraman saat mendengar tilawah dan memintaku mengulanginya. “Hmmm...apa yang tadi hendak ditanyakannya ya?” rasa penasaran menyergapku, namun sayang setelah usai menjelaskan maksud kedatanganku, aku harus pamit karena satu janji yang harus segera kupenuhi. Dan, lebih disayangkan lagi ternyata aku tak pernah ke tempatnya lagi dikarenakan aku harus mulai bersiap-siap dengan masa melahirkan bayiku yang sudah semakin dekat.
 
Dengan segala keterbatasanku saat itu, aku hanya mampu berharap dan mendoakannya semoga rasa tentram yang menyelimuti hatinya saat mendengar al-Qur'an dibacakan hingga minta diulangi, begitupula dengan pertanyaan yang tak sempat dilontarkannya itu, adalah awal ketertarikan Svetleona pada Islam. Semoga akan ada seseorang yang menjadi pemandu baginya untuk mendapatkan hidayah-Nya.

Sekalipun rasa penasaran masih menggelayuti hati tentangnya, tetapi yang pasti kurasakan perubahan positif dari sikap Svetleona padaku dari waktu ke waktu. Setelah kurenungkan tak lain semua itu merupakan pertolongan Allah semata yang telah menuntunku membangun sikap dalam diriku bagaimana sebaiknya berinteraksi dengannya, antara lain selalu berusaha tepat waktu, bersungguh-sungguh saat belajar, bersikap sopan dan bertutur santun.
 
Sikap-sikap tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam ajaran akhlak mulia seorang muslim. Dan ternyata ketika kita terapkan dalam keseharian, maka hal itu akan berbuah respek dari orang yang sebelumnya terlihat antipati. Oleh karenanya, beberapa sikap yang telah kusebutkan tadi itu pun kujadikan sebagai bagian dari perisai hidupku di negeri minoritas muslim.

====================
Keterangan:
Guten Morgen = selamat pagi
Kinderbetreuung = pengasuh/ yang menjaga anak-anak

Perisai Diri Di Jantung Jerman (2)

Oleh : Ineu Ratna Utami

Bismillah walhamdulillah...

Beberapa hari setelah beradaptasi dengan tempat kami tinggal, suamiku mengajak berjalan-jalan mengenal lingkungan sekitar. Selama menyusuri jalan kami menemui beragam orang di samping orang-orang pribumi, yang bila kami lihat dari raut wajahnya, dapat diduga asal mereka seperti dari Turki, Arab, Korea maupun Afrika.

Sehelai Kain Identitas, Pengikat Persaudaraan

Sebagaimana orang yang tidak saling kenal, ketika berpapasan tentunya saling tak acuh. Itu pula yang kami alami. Tiap orang berjalan tanpa peduli sekitarnya, terkadang mereka berjalan begitu cepat dan tergesa. Namun hal tersebut tak selalu demikian adanya. Berkali-kali seulas senyum menghiasi raut muka orang yang tak kami kenal saat berpapasan dengan kami, bahkan terkadang mereka tak segan menyapa dengan mengucap salam yang lazim digunakan orang muslim saat bertemu.
 
Ya, seulas senyum mereka begitu berarti ketika kami terpisah ribuan kilo dari sanak saudara dan handai taulan. Seulas senyum yang biasa mudah kami dapati saat berada di tanah air ketika berjumpa dengan orang-orang yang kami kenal. 
 
Seulas senyum itu kini di sini menjadi sesuatu yang sanggup menjadi pengobat rindu akan kampung halaman. Karena seulas senyum tulus yang diberikan orang-orang yang belum kami kenal saat berada jauh dari tanah air menyadarkan diri kami bahwa kami masih memiliki saudara seiman. 
 
Bagaimana senyum itu tiba-tiba menghias wajah mereka saat berpapasan dengan kami padahal jelas kami tidak saling mengenal? Tentu saja sangat mudah diterka, ya karena aku menggunakan sehelai kain penutup kepala. Hal ini menjadi identitas yang mudah dikenal oleh siapa pun bahwa aku adalah seorang muslimah.
 
Sehelai kain penutup kepala itu mampu merekatkan dua orang yang saling tak mengenal saat berpapasan. Seperti kuceritakan di atas, kami merasakan sendiri ternyata sehelai kain penutup kepala tersebut dapat mengikat persaudaraan. Karena ketika suamiku berjalan-jalan sendiri, semua orang yang berpapasan dengannya tak pernah tahu kalau dia seorang muslim. Bahkan, pernah ia diajak bicara dengan bahasa Korea. Sontak suamiku gelagapan menjawab dan menyampaikan pada orang yang menyapanya bahwa dia bukan bagian dari bangsanya. Lain cerita bila dia berjalan bersamaku, kami akan sangat mudah dikenal sebagai sepasang muslim muslimah.
 
Pernah suatu ketika saat kami menyusuri ruas Mueller Strasse di kawasan Wedding. Di tengah hiruk pikuk orang-orang, kami berpapasan dengan seorang kakek. Tiba-tiba kakek yang sudah bungkuk itu berhenti lalu menatap kami agak lama lalu menyunggingkan seulas senyum. Jabat tangan pun terjadi antara suamiku dan sang kakek yang akhirnya kami ketahui ia berasal dari Palestina.
 
Sang kakek begitu terlihat gembira saat mengetahui asal kami. Ia memeluk suamiku penuh haru sambil berbisik pada suamiku agar suamiku menjagaku dan bayi kami dengan sebaik-baiknya. Ia tahu persis bahwa Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim dan peduli serta selalu mendukung perjuangan Palestina menghadapi negara penjajah yang kaumnya dilaknat Allah. 
 
Seringkali kami berpapasan dengan kakek tersebut setiap menyusuri ruas jalan itu. Tak kami sangka, kakek yang sudah sangat tua itu tetap mengenali kami di setiap perjumpaan yang terjadi. Ia selalu menyempatkan berbincang sebentar dengan suamiku.
 
Dilain waktu, pernah pula seorang muslimah menyapaku dengan ramah. Setelah berkenalan akhirnya kutahu ia berasal dari Maroko. Hangatnya persaudaraan yang ia perlihatkan dalam sikapnya membuatku terkesan hingga kini. Demikian pula dengan sikap muslimah dari belahan negeri lainnya seperti Turki, Libanon, Arab, Machedonia dan lain-lain, hampir setiap berpapasan dengan mereka akan tersungging sebuah senyuman. 
 
Sehelai kain identitas itu selain membuat senyumku dan mereka terkembang juga menjadi amal ibadah bagi kami. Bagaimana tidak? Karena Rasulullah SAW bersabda bahwa anak keturunan Adam memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya, “Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR Tirmizi dan Abu Dzar). Dalam hadis lain disebutkan bahwa senyum itu ibadah, “Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah.” (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi). Salah seorang sahabat, Abdullah bin Harits, pernah menuturkan tentang Rasulullah SAW, “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah SAW.” (HR Tirmidzi).
 
Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR Muslim). 
 
Sejak itu kusadari bahwa sehelai kain yang menutup kepala dapat menjadi awal perekat hati kami dengan saudara-saudara seiman di negeri minoritas muslim. Sehelai kain identitas diri itu menjadi bagian dari perisai hidupku di sana karena ia menjadikan kami serasa memiliki banyak saudara.

Perisai Diri Di Jantung Jerman (1)

Oleh : Ineu Ratna Utami

Bismillah walhamdulillah...

Ada banyak pertanyaan dilontarkan orang-orang di sekitarku saat ku kembali ke tanah air setelah beberapa tahun menyelami kehidupan di negara minoritas muslim, tepatnya di ibukota Jerman, Berlin.

Hal yang paling sering ditanyakan mereka adalah tentang hijab. Sepertinya mereka penasaran karena di awal berjumpa lagi denganku, penampilanku tetap seperti dulu saat aku akan meninggalkan tanah air. Pertanyaan yang sama terucap pula dari orang yang baru mengenalku ketika melihatku berbusana serba longgar dengan kain penutup kepala yang lebar.


Bagaimana di sana, tetap dengan penampilanmu seperti itu?” tanya yang sering mengawali perjumpaan dengan orang-orang yang sudah lama mengenalku. Sedangkan yang baru kenal, biasanya terucap tanya,“Maaf, selama di sana penampilannya seperti itu?”

Tersirat kecemasan saat mereka bertanya tentang hal tersebut. Kucoba mengurai rasa penasaran bercampur kecemasan itu dengan senyum sambil menjawab singkat, “Ya! tetap seperti ini.”

Rupanya jawaban itu menyebabkan rasa penasaran semakin menjadi. Masih dengan nada cemas muncul lagi pertanyaan, “Bagaimana sikap orang sana dengan penampilan seperti itu, memangnya enggak kenapa-kenapa?”

"Tentu saja kenapa-kenapa." jawabku sedikit berseloroh

Namun, melihat keseriusan mereka yang bertanya ingin mengetahui bagaimana orang-orang Jerman atau bangsa lainnya di negeri tersebut bersikap padaku, kali ini aku tak dapat menjawab sesingkat jawaban pertama. Karena beragam sikap yang kudapatkan saat sekedar berpapasan dengan merekadi jalan atau saat berinteraksi untuk berbagai keperluan kami terhadap mereka.
 
Untuk itu, insya Allah akan kutuliskan di sini beberapa kisah pengalaman dalam selarik perjalanan hidupku di sana secara berseri. Semoga dengan menuturkannya ada ibrah dan hikmah yang dapat diambil.

***

Sejak pesawat lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta hingga mendarat dengan sempurna di bandara Tegel-Berlin, Alhamdulillah tak ada kendala yang kujumpai. Namun, setelah suamiku menjemput dan mengajakku beserta bayi kami keluar untuk mencari taxi, disinilah mulai kudapati kendala.

Saat suamiku mencegat taxi pertama hingga entah keberapa kalinya, tak ada satu pun supir taxi yang bersedia mengantar kami ke tempat tujuan. Anehnya, mereka awalnya bersedia, akan tetapi begitu melihatku, kesanggupan itu langsung dicabut dan mereka berlalu begitu saja meninggalkan kami dalam keheranan dan ketidakmengertian.

Mendapat perlakuan demikian dari para supir taxi, membuatku jadi teringat akan pertanyaan dan saran dari saudara dan teman-temanku menjelang keberangkatanku menyusul suami yang sudah lebih dulu berada di Berlin. Saran dan pertanyaan mereka bernada khawatir aku akan mengalami diskriminasi dari orang-orang di sana jika ku tetap berpenampilan seperti keseharianku selama ini.

Jadilah sempat terselip sangka di tengah usahaku menahan udara dingin musim gugur yang menggigit. “Adakah mereka menolak mengantar kami karena penampilanku?” Pertanyaan itu hadir di hati karena pada saat kami mencegat taxi, ada 2 muslimah Indonesia beserta suaminya masing-masing, langsung mendapatkan taxi. Sementara itu hampir setengah jam kami mengalami penolakan berkali-kali dari para supir taxi begitu mereka melihatku.

Namun aku segera beristighfar dan menepis prasangka tadi dengan mengikatkan hati dalam doa, memohon pertolongan-Nya. Kuyakin Allah tak kan membiarkanku menghadapi kesulitan dikarenakan busana yang kukenakan ini. Aku yakin pertolongan Allah pasti akan datang sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47 :7).

Tak lama kemudian, seorang supir taxi melambaikan tangannya pada suamiku. Ia menyerahkan sehelai kartu nama sebuah agen taxi yang menyediakan fasilitas yang memenuhi aturan tata tertib berkendaraan yang tepat untuk kepentingan kami.

Rupanya para supir taxi itu tak mau mengantar kami bukan dikarenakan membenci atau tidak suka dengan penampilanku. Alasan mereka hanyalah karena taxinya tidak dilengkapi dengan kursi khusus untuk bayi. Ya! kursi khusus bayi, satu hal penting yang luput kami siapkan sebelum hari pertemuan itu. Mereka enggan mengantar kami karena tak ingin melanggar tata- tertib yang berlaku di negerinya.

Setelah agen tersebut dihubungi, kami masih harus menata kesabaran di hati, karena taxi yang dimaksud tak kunjung tiba sebagaimana sempat dijelaskan supir taxi yang menyerahkan kartu itu, bahwa belum tentu kami mendapatkannya dalam waktu cepat dikarenakan jumlahnya terbatas.

Meskipun demikian, kami tetap berucap syukur karena petunjuk tersebut telah mengurai kebingungan kami sebelumnya. Terlebih lagi buatku, petunjuk itu berhasil menguatkan sangka baikku pada Allah sekaligus menggugurkan sangka buruk pada para supir taxi tersebut yang sempat melintas.

Saat kami mulai tak sanggup menahan udara dingin dan hendak kembali masuk ke ruang bandara untuk sekedar menghangatkan badan, tiba-tiba sebuah taxi menghampiri. Seraut wajah Timur Tengah mempersilahkan kami masuk sambil mewanti-wanti supaya aku memegang erat bayiku. Senang campur heran mengaduk-ngaduk perasaan kami saat menuruti tawaran supir taxi tersebut.

Sepanjang perjalanan, tak henti kami panjatkan rasa syukur hingga taxi sampai ke tempat tujuan, sebuah apartemen di jalan Trift. Saat itu kurasakan sekali kuasa dan Kasih Sayang Allah di awal menginjakkan kaki di bumi Deutschland. Kalau bukan karena pertolongan Allah, kuyakin tak akan ada supir taxi yang mau melanggar aturan mengemudi yang sangat ketat di negeri ini.

Tak sanggup kubayangkan apa yang akan dialami jika kuturuti hembusan prasangka yang sempat melintas dalam hati saat peristiwa itu terjadi. Teringat pada firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi: "Qala Ta’ala ana ‘inda dhanni ‘abdi. In khairan fa khairan wa in syarran fa syarran" yang terjemahnya berarti "Aku bergantung pada prasangka hamba-Ku. Sekiranya berprasangka baik, akan berdampak baik dan sekiranya berprasangka buruk akan menjadi buruk". 
 
Dikarenakan penjagaan Allah sajalah, aku dapat melaksanakan seruan-Nya, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa..."(QS. Al-Hujuraat, 49:12)

Pengalaman yang dilalui hari itu membuatku berjanji pada diri sendiri untuk selalu mengedepankan baik sangka dan yakin sepenuh hati bahwa Allah akan selalu memberikan pertolongan-Nya selama kutaati perintah-Nya. Kedua hal tersebut menjadi bagian dari perisai hidupku saat merajut kehidupan di Berlin.

Wajah Bercahaya

Oleh : Ineu Ratna Utami

Tak biasanya sepulang menunaikan shalat maghrib di masjid bersama ayah dan kakaknya, putri kecilku menguak pintu tanpa mengucap salam. Tangisnya terdengar sejak masih di halaman. Ia langsung menghambur dan memeluk saya sambil mengadukan sesuatu. Sayangnya, apa yang ia sampaikan di sela tangisnya itu tak dapat saya dengar dengan jelas. 

Air matanya menetes menembus kain mukena yang masih membalut tubuh saya yang baru saja usai mengajari putri bungsu menghapalkan sebuah doa. Bahunya naik turun seirama tangisnya. Saya elus-elus ia, berharap dapat menenangkan hatinya agar tangis itu segera reda. 

Tak lama kemudian pangeran kecilku masuk sambil mengucap salam. Raut mukanya terlihat ikut prihatin dengan kesedihan yang dialami adiknya. Tanpa diminta ia langsung menjelaskan apa yang menyebabkan adiknya bersedih. 

Ternyata usai shalat maghrib tadi, mereka mampir ke sebuah mini market. Ayahnya hendak membeli suatu keperluan. Saat itulah si putri kecil merengek meminta ayahnya membelikan suatu produk kecantikan yang disinyalir dapat membuat wajah seorang wanita bercahaya dan tampak lebih muda. Ia ingin menghadiahkannya pada saya. Namun, sang ayah tak mengabulkan keinginannya itu.

Geli bercampur haru mendengar tuturan pangeran kecil tentang penyebab tangis si putri nan penuh perhatian ini. Rupanya, ia terjerat iklan yang sering tayang saat kami menyimak berita televisi. Tetapi terlepas dari bicara tentang perangkap iklan, saya merasakan niat mulia si putri yang baru berusia 4,5 tahun itu, betapa besar perhatiannya hingga mencari-cari produk kecantikan tersebut. Padahal anak seusia ia biasanya sibuk memilih mainan, makanan atau minuman kesukaan saat menyertai orangtua berbelanja, iya kan?

Tangisnya mulai mereda, sepertinya ia merasa lega ada yang membantu menyampaikan kesedihan hatinya. Sejenak saya lepaskan pelukannya, sekedar ingin menatap bola matanya. Sebuah senyuman saya sunggingkan disertai ucapan terimakasih atas perhatiannya itu lalu kembali saya dekap ia dengan sepenuh rasa sayang di hati. 

Sesaat kemudian saya lirik suami, memberi tanda padanya agar menjelaskan mengapa keinginan gadis kecil itu tak dipenuhinya. Spontanitas ingin membela anak terasa lebih merajai hati saat itu, padahal belum mengetahui jawaban sang ayah yang menyebabkan perasaan si putri terluka (mungkinkah ini yang dinamakan bagian dari naluri seorang ibu?).

Setelah berdehem beberapa kali, suamiku menceritakan alasannya bahwa ia tak membawa dompet, hanya berbekal uang yang ada di saku baju kokonya saat mendadak mampir ke toko tersebut. Belum usai ia bertutur, si putri kecil kembali meradang, “tapi aku kan ingin beli barang itu,... biar wajah bunda bercahaya kalo pake itu, huhuhhu...” tangisnya pecah kembali.

Sama halnya dengan saya, suamiku tersenyum menanggapi protes si putri kecil, beberapa detik kemudian sambil menatap saya, ia berkata, “Bunda itu akan terlihat bercahaya cukup dengan air wudhu'.” 

Sejenak saya tertegun, tak menyangka suamiku akan berkata demikian, meskipun dalam hati saya setuju dengan apa yang ia ucapkan, namun naluri ingin membela anak muncul kembali. Tanpa berpikir panjang, segera saya katakan, “ya itu memang benar, tapi...merawat wajah dengan produk-produk itu pun tak ada salahnya bukan?” Ia tak menjawab pertanyaan saya, hanya ada seulas senyum yang terkembang lalu pamit dan bergegas mengajak anak-anak keluar karena adzan isya telah berkumandang. Saya pun bersiap-siap mengajak putri bungsu untuk shalat berjamaah di rumah.

Usai shalat isya, pembicaraan mengenai wajah bercahaya itu kembali melintas. Wudhu'... wudhu'...wudhu'... kata itu serasa menggema di hati dan memenuhi kepala. Saya rasa sewaktu belajar tata cara berwudhu' saat masa kecil, guru agama pernah mengajarkan keutamaan wudhu' ini, akan tetapi saya tak ingat persisnya. Segera saya beranjak untuk mencari tahu lagi tentang hal ini, perlahan saya baca beberapa sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam...

Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246) 

Dapat dipastikan tak ada satu produk kecantikan pun yang mampu menandingi cahaya yang terpancar dari wajah orang-orang yang terjaga wudhu'nya. Karena cahaya dari air wudhu tak hanya dirasakan di dunia tapi di hari kiamat pun mereka akan mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Mslim no. 249)

Tak hanya partikel-partikel debu maupun noda polusi yang dapat dikikis dari wajah, wudhu' pun dapat melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh produk kecantikan manapun untuk dapat membasuh hal yang tak pernah luput dari manusia seperti ditegaskan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin Malik: “Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad Darimi) 

Allah subhanahu wata’ala dengan rahmat-Nya yang amat luas, memberikan solusi yang mudah bagi kita untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa, diantaranya dengan wudhu’. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu’ maka ia akan bersih dari noda-noda dosa tersebut. Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).

Selain itu, dengan selalu menjaga wudhu' seseorang akan memperoleh kebahagiaan yang tak bisa diberikan produk kecantikan manapun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya? Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim no. 251) 

Siapa yang tak menginginkan wajah bercahaya yang mudah dikenali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Siapa yang tak ingin dosa-dosanya dihapus dan derajatnya dinaikan Allah? Saya yakin, semua umat Islam pasti menginginkannya, bukan? Subhanallah! Kilauan mutiara hikmah dari kejadian usai shalat maghrib itu kini ada di hadapan mata...