Selasa, 01 November 2011

Aku Ingin Kembali

”Hey, gak boleh melamun!” aku menyikut Aldisa, adik kelasku di SMA dulu. Kini ia sedang mengurus administrasi di kampus yang sama denganku.

“Eh iya, Mbak.” Ia tersenyum, tapi lalu mengembalikan tatapannya ke posisi semula. Aku sadar betul apa yang diperhatikannya. Seorang wanita berjilbab besar dengan gamis marun sedang khusyuk membaca Al-Qur’an. Ia memang tampak menyejukkan di tengah KRL ekonomi yang pengap dan gersang. “Aku kagum mbak sama mereka itu.” Ujar Aldisa bersemangat. “Kemarin, waktu aku pertama kali nyampe Jakarta, aku ketemu sama mbak-mbak kayak gitu. Nyapa aku ramah banget, mungkin kasian liat wajah ndeso-ku ya mbak.” Tambahnya lugu. 

“Hati-hati, Nduk. Mereka nyapa ada maunya!” jawab Rina sahabatku dengan ketus, menatap sinis ke arah wanita yang mengaji itu.

“Lho, maksudnya mbak?”

“Iya awalnya mereka ngajak kenalan, trus lama-lama ngajakin kamu ngaji di pengajian mereka.”

“Lah, emang kenapa toh mbak aku ndak boleh ikut ngaji sama mereka? Aku kan mau jadi sholehah juga kayak mereka..”

“Sudahlah, nanti kamu akan tahu sendiri.”
“Cukup, Rin.” Aku memutus pembicaraan itu.

Aldisa mengangguk seolah mengerti maksud kami. Aku faham betul, Rina sahabatku dua tahun terakhir ini memang tidak suka wajah-wajah sok alim mereka, tidak suka sapaan ramah yang dibuat-buat katanya, intinya ia tidak suka dengan para aktivis mesjid itu.
***
“Kamu mau pergi kemana toh, Dis? Temenin mbak pergi ke toko buku yuk hari ini!” aku memperhatikan Aldisa yang tengah bersiap di depan cermin, mematut-matutkan wajahnya dengan jilbab merah muda yang katanya baru dibelinya kemarin,

“Cantik ndak mbak kalo aku pake ini?” tanyanya masih sibuk di depan cermin. Aku mengangguk acuh, “Setiap wanita muslimah berjilbab itu akan terlihat lebih cantik, Dis.”
“Iya mbak? Wah kata-kata Mbak Ayu mirip dengan kata-kata mbak Aini, mentor ngajiku.”

“Ngaji?”

“Iya mbak, aku mulai ngaji sejak minggu lalu sama mbak Aini. Mbaknya baik, aku belajar banyak tentang Islam. Mbak Aini juga yang bikin aku mantep pake jilbab ini, insya Allah ini akan seterusnya mbak.”

Aini Althafunissa, aku mengenalnya baik saat satu organisasi di tingkat satu dahulu. Semua orang menyebut kami dua serangkai karena kami selalu terlihat bersama. Kami sama-sama menjalankan amanah dakwah kampus, mengikuti halaqoh rutin tiap pekan, berlomba mengikuti kajian rutin di mesjid kampus. Sampai saat itu,

"Ayu, aku pikir kamu sudah terlalu dekat dengan Aldi.”
“Aku cuma temenan sama dia, gak ada hubungan apa-apa. Kamu tenang aja ya Aini…” saat itu aku menenangkannya yang berwajah cemas. Meskipun wajahnya masih menyimpan kekhawatiran, ia mengangguk juga, “Iya aku percaya sama kamu, Yu. Kita sudah dewasa, sudah paham mana yang baik dan yang buruk.”

Aku mengangguk mengiyakan.

Tapi hubunganku dengan Aldi memang tidak berjalan seperti teman biasa, ia tambah sering mengirimkan sms padaku, menelponku bahkan untuk membahas hal yang tidak penting. Pembicaraan kami berubah dari masalah kader, syuro, amanah, menjadi rayuan gombal pria dan wanita. Sadar bahwa hubungan kami salah, sadar bahwa orang-orang di sekeliling akan memprotes kami, maka aku pun menjauh perlahan dari komunitasku. Aku jarang hadir di kajian, halaqoh pekanan jadi prioritas ke sekian, hingga akhirnya ke anehanku tercium juga. Aku diputihkan dari amanah setelah aku bersikukuh mempertahankan hubungan tanpa statusku dengan dia.
           
“Dia berjanji akan menikahiku setelah lulus.”
“Kami tidak pernah jalan berdua layaknya orang pacaran.”
“Lagipula kami hanya tinggal menunggu waktu sampai menikah nanti.”


Begitu kalimat-kalimat pamungkasku ketika teman-teman bertanya perihal hubungan kami. Aku tersenyum kecut setiap mengingatnya.
“Mbak, aku berangkat ya. Assalammu’alaikum..” suara Aldisa mengembalikan kesadaranku yang sempat melayang ke masa lalu tadi.

“Eh, iya.. wa’alaikumsalam..” aku menghela nafas, mematikan televisi dan memilih merebahkan tubuhku di atas karpet beludru. Ada rasa aneh menyeruak di hatiku.
***

“Ayu, malem minggu nanti kita karokean yuk!” ajak Rina membuyarkan lamunanku sambil mencomot kacang kulit yang kuhidangkan di piring tadi sebagai teman nonton dvd. Aku menggeleng pelan, “Lagi gak mood..”

Alis Rina berkerut, “Kamu aneh belakangan ini. Diajak jalan selalu menghindar, ada apa sih? Padahal kemarin itu aku mau kenalin kamu sama David, kayaknya dia naksir kamu tuh.”

“Gak minat.” Jawabku pendek.
“Hey, kalo gini terus, gimana kamu mau ngelupain Aldi??” ujarnya sewot.
“Jangan pernah sebut nama itu lagi di depanku.” Mataku menyala, ada yang terluka di sini, tepat di ulu hati setiap nama itu terdengar di telingaku. Kenangan buruk itu selalu terasa menyakitkan,

“Ibuku tidak menyetujui hubungan kita, Yu.”
“Bukankah sejak awal begitu? Dan kau berjanji akan tetap memperjuangkanku hingga ibumu luluh?”

“Awalnya seperti itu, tapi sekarang tidak bisa..”
“Maksudmu, kau akan meninggalkanku?”
“Aku tidak mau melawan ibu.”
“Hey, Aldi yang kukenal tidak selemah ini! Kemana Aldi yang mempertahanku meski orang-orang menolak kita? Apa dia sudah tenggelam ke laut?!”

Tepat sebulan setelah pertengkaran itu, undangan berwarna merah marun mampir ke tempat kostku. Nama seseorang yang sangat kukenal tertera disitu, Aldi Pratama dan nama gadis yang disandingkan dengan namanya semakin menyesakkanku. Layla Fatimah, adik tingkatku, sempat satu kepanitian denganku saat aku masih aktif di DKM. Aku hampir gila. Belum lagi membayangkan bisik-bisik teman-teman dan komunitas rohis yang kutinggalkan dahulu. 
Saat kondisiku tengah terpuruk itulah, aku mengenal Rina lalu akrab hingga kini. Sedikit demi sedikit, atribut ‘keakhwatanku’ terkikis. Jilbab tebal dan lebarku sudah tidak terlihat indah di pandanganku, kajian rutin per pekan tak terlihat menarik lagi dibanding kongkow di mall atau nonton di bioskop. Rok panjangku terasa membatasi. Jadilah kini jeans, kaos ketat dan jilbab modis menemani keseharianku.

“Hey, Disa… mau kemana? Malem mingguan ya?” Tanya Rina penasaran, aku memperhatikan Aldisa sudah rapi dengan jilbabnya keluar dari kamar.

“Iya Mbak, malem mingguan sama temen-temen ngaji, aku mau mabit Mbak.” Aldisa tersenyum cerah sekali, dan aku baru menyadari rok hitam panjang yang dikenakannya. Bukankah baru kemarin ia bilang tak punya satu potong rok pun dalam lemarinya.

“Roknya baru?” tanyaku menyelidik. Aldisa tersenyum, “Dikasih Mbak Aini…” jawabnya malu-malu, “Tapi aku janji kalau punya uang nanti, aku mau beli rok yang banyak..” ujarnya semangat.

“Buat apa? Jeansmu memang pada kemana?” Tanya Rina menunjukkan gelagat tidak suka.

“Aku berniat pake rok untuk seterusnya Mbak…soalnya aku gak nyaman pake jeans yang membentuk, gak nyar’i banget!”

Rina mengangkat bahu. Aku seperti disengat aliran listrik. Lagi, ada sesuatu yang memberontak di hatiku.
***
Senin sore, sepulang kuliah, aku dan Rina memilih makan di sebuah warung tenda dekat kampus. Sore ini agak lenggang, suasana ujian membuat para mahasiswa lebih memilih tinggal lebih lama di kamar masing-masing bersama bahan ujian dan catatan kuliahnya. Rina tengah menceritakan pria incarannya yang baru ia kenal minggu lalu, sampai tiba-tiba aku melihat sosoknya, Aini Althafunnisa.

Ia mengucapkan salam dan menyalamiku serta Rina seperti biasa tanpa rasa kikuk. Aku salah tingkah, Rina melirik sinis masih dengan kebenciannya dengan para aktivis.

“Apa kabar Yu?” tanyanya ramah seperti biasa.

“Baik.” Jawabku salah tingkah. Ia mengangguk, agak lama kami hanya saling diam.

“Kamu sekostan sama Aldisa yah, Yu? Salamin ya..”
“Iya.” Jawabku singkat. Aini mengangguk lagi, mungkin ia pikir aku tak mau berbicara dengannya. Padahal aku hanya sedang speechless, jujur aku lebih ingin memeluknya dari pada ngobrol panjang dengannya. Aku lebih ingin menangis di pundaknya ketimbang berjabat tangan dengannya.

Ia pergi setelah menerima bungkusan pesanan makanannya dan mengucapkan salam untuk pamit. Aku memperhatikan punggungnya yang semakin mengecil.

Sepulang dari warung tenda, aku mampir ke kostan Rina untuk meminjam beberapa buku bahan ujian. Kostan Rina tampak lebih mentereng dari kostanku, maklum ia salah satu anak pejabat pemerintahan di kota asalnya. Ia membiarkan aku merebahkan tubuh di tempat tidurnya yang empuk sementara ia keluar sebentar untuk membeli cemilan. Kuperhatikan tiap sudut kamarnya, meskipun ini bukan pertama kali mampir ke tempatnya, aku selalu senang memperhatikan detail kamarnya. Foto-foto yang terpajang, buku-buku yang berserakan di mejanya sampai yang tersusun rapi di rak bukunya, album-album kenangannya, koleksi kaset dan CDnya.

Mataku menyipit, menangkap satu kaset bersampul grup nasyid yang sangat kukenal. Letaknya memang berada di pojok, hampir berdebu karena mungkin jarang dikeluarkan dari tempatnya. Sejak kapan Rina suka nasyid? Perlahan kubuka kaset itu, rupanya ada sebuah foto di dalamnya. Tiga orang gadis berjilbab besar berbaris rapi, salah satunya berwajah sangat familiar.

Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu
Berhimpun dalam naungan cintaMu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakan syariah dalam kehidupan
Kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintaNya
Tunjukilah jalan-jalanNya
Terangilah dengan cahyaMu yang tiada pernah padam
                                              Divisi Keputrian SMAN 1 Probolinggo

Penggalan do’a rabithoh tertera di balik foto yang kupegang. Aku tercekat, bersamaan dengan kedatangan Rina. Ia merebut paksa foto dalam genggamanku.

“Sejak kapan kau suka melihat barangku tanpa izin?!”
“Maaf…” aku tertunduk merasa bersalah.

“Sudahlah… ini masa lalu.” Ia melempar lembaran foto itu ke lantai, ia berusaha menunjukkan tidak ada apa-apa meski aku dapat melihat tatapan nanar di matanya.

Selasa dini hari, kudengar sayup tilawah dari balik dinding kamar Aldisa. Akhir-akhir ini, aku memang lebih sering mendengar adik kelasku itu membaca mushaf. Aku juga jadi sering mendengar gemericik air keran ketika sepertiga malam tiba.  Malam ini aku tergugah untuk ikut terbangun dan mendirikan qiyamul lail yang kini sangat jarang kulakukan.

Aku menangis tanpa bisa berkata apa-apa setelah menghabiskan dua rakaatku. Aku terlampau malu mengutarakan resah dan sedihku, setelah semua yang aku lakukan selama ini. Wajah-wajah teman seperjuanganku di DKM berkelebat, bergantian satu-satu. Aku semakin sendu. Terlebih jika mengingat Rina, saat aku tanpa sengaja melihat fotonya masa SMA dimana akhirnya aku tahu asal muasal kebencian Rina pada aktivis.

Ia salah satu korban kekecewaan, kecewa pada jama’ah manusia dalam kumpulan rohis. Ia terlalu berharap anak rohis itu sempurna, tidak melakukan kesalahan sekecil apapun. Namun ia lupa, kalau anak rohis hanyalah kumpulan manusia, kadang khilaf dan alpa. Akhirnya ia memilih lepas dari komunitas keislaman dimana pun karena kekecewaan itu, sampai saat ini.

Lalu, bayangan saat awal aku memperoleh hidayah terekam jelas.

“Berbahagialah wahai orang asing.. berbahagialah wahai orang asing.." sabda itu terdengar begitu menyejukkan kala itu, saat rok bahan panjang menjadi benda tabu digunakan oleh gadis seusiaku, saat aku beringsutan mencari kaos kaki walau hanya untuk membeli bakso di depan rumah. "Dien ini datang dalam keadaan asing, ditolak bahkan di negeri kelahirnnya." mataku berkaca, lagi.. sabda ini terasa begitu mententramkan dikala perubahan cara dudukku saat dibonceng motor diprotes adikku, saat jilbabku yg memanjang menimbulkan tanda tanya sanak saudaraku. Diselidiki isi pengajianku, siapa teman-temanku, apa buku bacaanku. Lalu saat isu bom mengguncang media tanah air, dimana ibu dan ayah selalu disuguhi berita teroris dengan tampilan islami. Ponselku tiap hari berdering,ditanya ini dan itu. "Berbahagialah wahai orang asing.." sabda itu kembali melembutkan hatiku, sampai kedua orang tuaku akhirnya mengerti dengan pilihanku di jalan ini.

Tangisku pecah sampai pada rekaman jejakku tiba di episode kelalaianku diserang virus merah jambu, memilih lepas dan akhirnya kembali ke masa jahiliyah. Mataku yang masih sembab memastikan jarum jam dindingku, pukul 04.00 dini hari.  Kuraih ponselku, kutekan nomor yang masih sangat lekat diingatanku.

“Assalammu’alaikum..” sapaan suara yang sangat kukenal menjawab di seberang sana. Aku masih tak kuasa berkata. “Assalammu’alaikum, maaf ini siapa?” tanyanya lagi. Ini akibat aku memutuskan untuk berganti nomor saat itu. Pastilah Aini tidak tahu nomorku.

Aku menangis sesungukan, “Ain…” ujarku parau.
Ia terdiam. Entah ikut hanyut dalam tangisku atau penasaran menebak siapa pemilik suara iseng yang menelponnya dini hari.

“A..yu…” tebaknya terbata agak ragu. “Kaukah?” tanyanya lagi.
“Aku ingin kembali…” ujarku tercekat menahan sesak yang memuncak.
 
 
by Desti Adzkia