Senin, 14 November 2011

Mendidik Tanggung Jawab Pada Anak

Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Subkhan Khadafi, Lc.



Pembahasan tentang tanggung jawab adalah masalah yang cukup berat. Apalagi bila diletakkan cermin ke masing-masing dari diri kita. Nah, sambil terus berusaha untuk menjalankan setiap tanggung jawab yang ada – yang nantinya akan ditanya di hari akhir – maka kita juga perlu mendidik anak-anak kita memiliki sikap tanggung jawab yang ini bermanfaat sangat besar dalam pembentukan sikap di kemudian hari insya Allah.

Mungkin akan timbul sederet pertanyaan; apakah bisa mendidik tanggung jawab pada anak? Bagaimana? Memangnya sudah bisa dimengerti dan lain sebagainya. Pada tulisan ini, kita akan mencontoh dari teladan terbaik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik anak-anak untuk bertanggung-jawab.

Kapan Waktu yang Tepat ?

Mendidik tanggung jawab sesungguhnya dapat dilakukan bahkan di usia masih sangat kecil yaitu balita. Ustadz Abdul Hakim dalam bukunya “Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti” membagi usia anak-anak menjadi dua tahapan, yaitu sebelum tamyiz dan sesudah tamyiz. Tamyiz secara bahasa bermakna membedakan di antara sesuatu dan anak-anak yang yang telah dapat membedakan sesuatu dengan baik terutama di dalam hal-hal yang membahayakan dirinya dinamakan mumayyiz.

Masih dalam kitabnya, Ustadz Abdul Hakim berkata, “Pendidikan yang terbaik bagi anak sebelum dan sesudah tamyiz dengan jalan mendengar dan melihat kepada sesuatu yang baik dan terbaik menurut agama dan bukan menurut akal fikiran dan adat-adat manusia yang menyalahi agama yang mulia.”


Dan berdasarkan kenyataan yang ada, pendidikan tanggung jawab ini memang dapat dilakukan bahkan ketika anak masih dalam usia kanak-kanak. Tentu saja ukuran kemampuannya berbeda-beda. Tetapi pendidikan ini dapat dimulai dari hal-hal yang kecil seperti membereskan mainannya atau menaruh piring di tempatnya bahkan hal yang besar yang berkaitan dengan tanggung jawab yang akan ditanggungnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala (jika itu dilakukan ketika telah baligh).

Seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hasan bin Ali dalam hadits sebagai berikut
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: أخذ الحسن بن عليٍ رضي الله عنهما تمرة من تمرة الصدقة فجعلها فى فِيه. فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: كخ، كخ، اِرم بها، أما علمت أنّا لا نأكل الصدقة

“Dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Hasan bin ‘Ali rodhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kih! Kih! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat?’” (HR. Bukhari dan Muslim)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik seorang anak yang masih sangat kecil agar nantinya seterusnya ia dapat mengetahui dan memilah makanan yang halal dan haram baginya. Padahal kita ketahui bahwa persoalan halal dan haram adalah menyangkut perkara yang penting yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.


Seringkali seorang ibu ragu-ragu untuk memberikan tugas atau tanggung jawab kepada anak-anak. Bahkan saat-saat yang tepat terlewatkan begitu saja dari para orang tua karena merasa kasihan pada si kecil. Padahal, seorang anak sesungguhnya justru menyukai ketika diberikan tugas-tugas kerumahtanggaan, sebagai contoh mencuci piring dan gelasnya, mengepel dan lain-lain. Yang menjadi permasalahan, terkadang orang tua merasa apa yang dilakukan anaknya malah akan menambah pekerjaannya atau malah merepotkan. Maka sebenarnya ini dapat dicarikan solusinya.


Teknik Yang Tepat

Seperti telah disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Hasan yang masih kecil dengan teguran yang berbeda dengan teguran kepada orang dewasa. Maka orang tua dalam menegur atau memberitahukan tentang pekerjaan yang bisa diberikan kepadanya juga dengan cara-cara yang berbeda dengan orang dewasa. Semisal tentang pekerjaan yang jika dilakukan anak dianggap malah merepotkan, maka coba hilangkan anggapan seperti ini. Lihatlah sisi positifnya. Anak ketika usia ini menyukai pekerjaan yang diberikan. Maka bersabar adalah poin yang harus ditekankan pada diri orang tua. Berikanlah batasan pekerjaan pada hal-hal yang berkaitan dengan mereka (sang anak). Semisal mencuci hanya mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan. Sehingga baik dari sang anak ataupun orang tua sama-sama tidak merasa terbebani.


Menegur Anak 

Termasuk dalam hal mendidik tanggung jawab pada anak adalah menegurnya dari kesalahan yang telah dilakukannya. Hal ini sebagaimana dicontohkan dalam hadits pertama dalam artikel ini dan juga dalam hadits berikut:
عن عبد الله بن بسر ااصحابّي ر ضي الله عنه قال: بعثْني أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر

Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi rodhiallahu ‘anhu ia berkata: “Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’”
(HR. Ibnu Sunni)


Dari sini dapat diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak-anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan seorang anak tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan, dan sisi lain beliau menghukum juga dengan tidak berlebihan. Termasuk dalam menegur adalah mengingatkan seorang anak bila terjadi pertengkaran dengan teman lainnya (yang ini memang biasa terjadi pada anak-anak) untuk berani minta maaf.

Minta maaf adalah sebuah wujud tanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya. Dan dalam mengajarkan ini, orang tua harus dapat bersikap adil sehingga seorang anak tidak merasa terpojokkan dan mentalnya jatuh. Salah satu caranya adalah dengan mendorong kedua belah pihak untuk saling memaafkan sambil diingatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما زاد الله عبدا يعفو إلاّ عزّا و ما تواضع أحد لله إلاّ رفعه الله
“Allah tidak menambah seorang hamba yang mau memaafkan kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang itu bersikap rendah diri kepada Allah kecuali Allah pasti akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)


Tidak Hanya Tanggung Jawab Duniawi

Hal yang sangat penting untuk diingat oleh para pendidik, pendidikan tanggung jawab tidak hanya berkaitan dengan perkara-perkara di dunia seperti membereskan tugas-tugas, mainan dan lain sebagainya. Ada tanggung jawab yang sangat penting yang harus pula dididik mulai dari usia yang masih belia. Dan ini berkaitan dengan rukun Islam yaitu penegakkan sholat lima waktu. Tidaklah seseorang meninggalkan sholat karena meremehkan tanggung jawabnya nanti di hadapan Allah, padahal sholat adalah hal yang pertama kali dipertanyakan ketika penghisaban nanti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا الصَّبِيَّ با الصّلاةِ إذَا بلغ سبع سنين، وإذا بلغ عشر سنين فاضرِبوه عليها
“Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan sholat.”
(HR. Abu Daud dan lain-lain dari jalan Sabrah bin Ma’bad)

Dari hadits ini, maka adalah tanggung jawab seorang bapak atau wali untuk memerintahkan anak-anak mereka untuk mendirikan sholat fardhu ketika berumur tujuh tahun. Dan yang diwajibkan adalah memerintahkan mereka. Adapun mereka melaksanakan atau tidak maka mereka tidak berdosa (Abdul Hakim Amir Abdat, Menanti Buah Hati). Sedangkan setelah berumur sepuluh tahun, maka wajib bagi bapak atau wali untuk memukul anak-anak mereka jika mereka meninggalkan sholat fardhu. Pukulan ini tentulah tidak pada muka dan tidak membekas pada tubuh.


Demikian yang dapat penulis berikan sedikit tentang pendidikan tanggung jawab pada anak. Masih banyak poin-poin tentang tanggung jawab yang dapat ditanamkan pada diri anak. Agar lebih dapat mendapat pembahasan yang luas silakan melihat pada kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan.

Tanggung jawab yang menjadi poin untuk dididik pada anak sesungguhnya juga merupakan hal yang patut diingat oleh setiap pemimpin dalam hal ini ayah dan ibu yang semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya diakhirat nanti atas apa yang mereka pimpin.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kemudahan dan kesabaran untuk melaksanakan amanah ini. Wallahu A’lam.

Mendidik Bukan Hanya Sekedar Menyekolahkan

Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.



Data sensus penduduk di negeri ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduknya beragama islam. Ini adalah sebuah realita yang seharusnya dengannya kita bisa melihat adanya sebuah generasi yang tangguh, tetapi ternyata tidak.

Mari kita lihat keadaan diri dan anak-anak kita. Kenyataannya masih sangat sedikit yang benar-benar serius memperhatikan pendidikan. Sebagian besar acuh dan tidak peduli…

Mungkin banyak yang merasa keberatan dengan pernyataan di atas dan menyanggah: “TIDAK! Saya memperhatikan pendidikan anak-anak saya! Saya akan melakukan segalanya demi pendidikan mereka. Seandainya harus menjual tanah, saya akan melakukannya untuk bisa menyekolahkan mereka sampai jadi sarjana! Biarpun saya cuma lulusan SMP, tapi saya ingin anak saya berpendidikan tinggi!”


Seperti inilah yang kebanyakan kita pahami tentang kewajiban mendidik anak, yaitu menyekolahkan anak sampai tinggi, atau bagaimana supaya anak menjadi cerdas, pintar, dan tidak gagap teknologi.
Untuk bisa menyekolahkan anak sampai sarjana, kita rela menjual tanah atau cari hutangan tapi untuk agama mereka kita tidak peduli.


Kita bisa geger ketika melihat nilai matematika anak kita dapat angka 3, lalu segera keliling cari tempat kursus yang bagus untuknya. Tapi kita tidak peduli (baca: tidak geger) ketika anak kita diajari pelajaran PPKN di sekolah; anak kita diajari bahwa agama di Indonesia ini ada lima dan semua agama itu sama. Semuanya mengajarkan kebaikan, jadi harus saling menghormati. Padahal telah nyata kebenaran bahwa agama yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhoi hanyalah islam. Kata “hanyalah” menunjukkan bahwa tidak ada yang lain. Hal ini termasuk hal yang besar bagi seorang muslim yang tidak layak untuk disepelekan karena ini menyangkut aqidah seseorang.


Kebanyakan dari kita, seandainya pun memperhatikan kelakuan anak, berkelakuan baik yang dimaksud tolok ukurnya adalah masyarakat. Jadi ketika melihat putri kesayangan jalan-jalan ke mall dengan pakaian ‘pas-pasan’ bersama teman laki-lakinya, ini -menurut pengertian di sini- masih termasuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat menganggap wajar bagi seorang ABG. Atau ketika putra kesayangan membeli majalah untuk melihat horoscope (ramalan bintang), ini juga masih masuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat juga menganggap ini adalah hal yang lumrah. Padahal jika dilihat dari tolok ukur yang benar, keduanya bertentangan dengan syariat.


Wahai para pendidik!

Sikap mendidik yang seperti ini secara tidak langsung seperti kita mengatakan pada anak kita: “Wahai anakku! Kejarlah duniamu! Lupakan akhiratmu!”

Padahal tentang kehidupan dunia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir.” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)

Bahkan Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tapi bodoh dalam urusan akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Rum:7)

Ayat di atas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan.

Adapun para ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut,

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina.

Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang fasik.

Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah ‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri.”
(Taisir Karimir Rahman 4/75)


Dunia oh… dunia!

Membuat lalai para pengejarnya!


Perhatikanlah dalam hadis ini bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengancam dengan kehinaan jika umat islam sibuk dalam urusan dunia dan lalai dari urusan akhirat!

Diriwayatkan oleh ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda yang artinya:
“Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (satu barang dengan dua harga-termasuk salah satu jenis riba) dan kalian sibuk dengan urusan peternakan serta urusan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan kerendahan kepada kalian yang tidak akan dicabut dari kalian sebelum kalian kembali kepada agama kalian.”
(Riwayat Abu Daud (3462) dan riwayat ini shahih)


Wahai pendidik!

Untuk mengangkat umat ini dari kehinaan Allah telah memberi solusi, yaitu dengan kembali pada dien yang lurus. Kondisi kaum muslimin saat ini masih jauh dari nilai-nilai islam. Kita bisa melihat saat adzan dzuhur dikumandangkan, masjid-masjid sepi dari para jamaah padahal pada waktu yang bersamaan pasar-pasar dan jalan-jalan ramai dipenuhi oleh kaum muslimin.

Kita juga bisa melihat orang-orang yang berusaha untuk berpegang teguh pada sunnah dianggap aneh. Seperti misalnya celana cingkrang (di atas mata kaki), jenggot, jilbab syar’i, tidak mau berjabat tangan dengan lawan jenis, menjauh dari ibadah-ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih banyak lagi. Ini adalah keadaan yang menyedihkan karena syariat islam dipandang asing oleh pemeluknya sendiri.

Mari kita belajar dari doa Nabi Ibrohim ‘alaihissalam. Ketika beliau berdoa tentang anak dan keturunannya, pandangannya jauh kedepan. Tidak sekedar pada kenikmatan-kenikmatan dunia. Tetapi yang beliau harapkan adalah agar Allah menjadikan mereka sebagai umat yang tunduk patuh pada-Nya, mengutus rasul pada mereka sehingga tidak tersesat dalam kegelapan, menjauhkan mereka dari dosa terbesar yang membinasakan (syirik).


Demikianlah wahai para pendidik!

Tujuan kita adalah tujuan yang mulia!
Mengajak generasi meniti jalan yang lurus untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan kita bukan sekedar berapa nilai matematika anak kita, bagaimana kemampuan bahasa inggrisnya, dapat rangking berapa, bisa masuk universitas mana, bisa kerja dimana, bisa belikan kita mobil berapa, atau bisa jadi pejabat tidak.

Tidak sependek itu!

Tidak sekedar anak kita bisa menyelesaikan ujian akhir semester dengan sukses dan melupakan yang lain padahal ada ujian yang menanti yang jauh lebih besar ketika kita ditanya siapa Robbmu, apa agamamu, dan siapa nabimu.

Maka seharusnya kita segera mempersiapkan diri.
Mendidik diri-diri kita dan keluarga untuk kembali pada dien ini.
Menempuh jalan yang lurus meski jalan itu terasa asing karena sedikitnya pengikut.
Kembali pada al Quran dan as Sunnah dengan pemahaman salafush sholih.

Terangkatnya kemuliaan umat ini adalah dengan kembali pada dien yang lurus. Bukan dengan harta atau kekuasaan.

Seandainya mulia itu dengan kekuasaan, tentu Fira’un termasuk ke dalam orang-orang yang mulia.

Seandainya mulia itu dengan harta, tentu Qorun lebih mulia dari kita.

Kita jadi sadar bahwa ternyata memang masih sedikit yang benar-benar memperhatikan pendidikan generasi ini.

Cobaan

Jika cobaan sepanjang sungai,
maka seharusnya kesabaran itu seluas samudra

Jika harapan seluas hamparan,
maka seharusnya ikhtiar itu seluas langit

Jika pengorbanan seluas bumi,
maka seharusnya keikhlasan itu seluas jagad raya

Walau jasad merasakan lelah,penat dan sakit,
jalan menuju syurga masihlah sangat panjang

lalu mengapa mesti berputus asa,
Jika kita masih memiliki ALLAH  TA'ALA ???

Jangan pernah lupa bahwa ALLAH TA'ALA  selalu ada untuk kita.

Sejak Perjumpaan Itu

sejak perjumpaan itu ....

siang malam ku selalu teringat padamu


tak bosan-bosannya diri ini memandangimu


semua angan dan ambisi hilang tak berbekas





sejak perjumpaan itu ...


sedetikpun tak ingin berpisah denganmu


ingin selalu menggenggam tanganmu


tak pernah ingin melepaskanmu





Duhai belahan jiwaku ....


permata hatiku .....tahukah kamu ?


bahwa kamu adalah anugerah terindah dalam hidupku


Doaku selalu untukmu wahai buah hatiku ...