Selasa, 15 November 2011

Jika Anak Mengalami Kesulitan Belajar

Anak-anak yang mengalami kesulitan belajar seringkali membuat orangtua stres dan mendapat cap buruk di sekolah. Tapi orangtua perlu menyadari bahwa anak yang sulit belajar bukanlah suatu penyakit dan hal ini bisa ditangani.

"Kesulitan belajar bukanlah suatu penyakit, melainkan tanda dari perkembangan otak yang masih kurang optimal," ujar Ike R Sugianto, Psi, seorang psikolog anak dalam rilis seminar Identifikasi Gangguan Perkembangan yang diterima detikHealth.

Ike menuturkan ada beberapa ciri yang menunjukkan anak mengalami kesulitan belajar yaitu:

   1. Nilai pelajaran yang naik turun
   2. Sulit mengatur kegiatan atau barang
   3. Mudah lupa
   4. Sering kehilangan barang-barang
   5. Sering melamun
   6. Ceroboh dan tidak teliti
   7. Tidak termotivasi untuk belajar
   8. Mudah menyerah
   9. Sulit duduk tenang untuk jangka waktu yang lama
  10. Banyak berbicara
  11. Sulit menunggu giliran
  12. Suka jail, iseng dan impulsif

Meski begitu ada hal-hal yang harus dihindari karena tidak akan membantu anak mengatasi kesulitan belajarnya seperti:

   1. Memarahi, menghukum atau mempermalukannya
   2. Memberi cap atau sebutan negatif
   3. Memperbanyak latihan dan les
   4. Mengiming-imingi hadiah

"Tapi orangtua tidak perlu khawatir karena kesulitan belajar bisa ditangani," ujar Ike yang telah mendapatkan International Licensed Brain Gym International dan telah menjadi International RMT Consultant.

Apa yang orangtua bisa lakukan?

 1. Menerima keadaan yang ada, dalam hal ini bukan berdiam diri, bukan menyangkali, berhenti menyalahkan diri sendiri, orang lain atau Tuhan serta berhenti menangisi diri sendiri
 2. Melakukan pemeriksaan baik secara psikologis, motorik, neurologis, mata, THT dan alergi
 3. Berkomitmen 100 persen untuk menjalani program terapi serta mengubah pola pikir dan pola asuh
 4. Menyeimbangkan antara kasih sayang dan disiplin
 5. Memberikan pujian
 6. Menghindari label negatif


Sementara itu guru juga bisa berperan dengan memberikan suasana belajar yang menyenangkan seperti menggunakan visual, auditori atau praktek, menggunakan minat anak dalam memberikan contoh, memberikan target yang jelas, memberikan pernyataan positif serta menjadi inspirasi.

Sudah Tepatkah Cara Kita Merespon Anak Ketika Mereka Berbicara Kasar?

Oleh: Ummu Mahira


Tulisan ini saya buat setelah mendengarkan cerita seorang sahabat tentang anaknya yang berbicara kasar kepada orang lain. Setiap kali anaknya berbicara kasar, respon yang diberikan oleh sahabat saya adalah memarahi anaknya agar kata-kata itu tidak diucapkan lagi. Mungkin hal ini juga yang akan dilakukan oleh kebanyakan orang tua.


Tapi, apakah memang benar seperti itu? Apakah dengan cara seperti itu anak tidak akan mengucapkan kembali kata-kata kasar?


Sebenarnya mengapa anak kita berbicara kasar?

Yang dimaksud dengan kata kasar disini meliputi kata-kata yang ditujukan untuk melecehkan dan menyakiti orang lain, maupun kata-kata yang berhubungan dengan seksual

-Alasan utama anak berbicara kasar adalah anak ingin mencari perhatian . Karena ketika mengucapkan kata-kata kasar, umumnya orang tua akan memberikan perhatian kepada anak

-Untuk mengagetkan orang tua. Merupakan sesuatu hal yang menyenangkan untuk anak ketika berhasil membuat orang dewasa terkejut, dan ini membuat anak merasa superior dibandingkan orang dewasa

-Ada juga anak-anak yang mengucapkan kata-kata kasar untuk melepaskan kemarahan atau perasaan frustasi yang dialaminya, dengan demikian ketegangan yang dialaminya berkurang

-Anak juga seringkali mengucapkan kata-kata kasar karena ingin diterima oleh teman-temannya karena mereka juga berbicara seperti itu. 


Bagaimana mencegah agar anak kita tidak berbicara kasar ?

Kalau kita ingin anak kita memiliki tutur kata yang baik, tentunya kita juga harus memberikan contoh bagaimana bertutur kata yang baik. Sama seperti tulisan yang dimuat sebelumnya “hati-hati anak anda mengamati dan mencontek anda”. Dalam keadaan seperti apapun, orang tua harus memberikan contoh bagaimana bertutur kata baik, termasuk ketika marah, kesal atau dalam keadaan tidak menyenangkan,  karena anak mengamati dan mempelajari dari apa yang dikatakan dan dilakukan orang tua.


Sekarang bagaimana kalau anak terlanjur mendengarkan kata-kata kasar dan ikut mengucapkannya, apa yang harus kita lakukan?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengabaikannya. Karena kebanyakan anak mengucapkan hal itu tidak tahu artinya dan hanya ingin mencari perhatian orang tua. Jika anak kemudian melihat kita tidak merespon apa yang ia ucapkan, ia tidak akan mengulangi menyebutkan kata-kata kasar tersebut.

Pakai metode “menanyakan lagi”. Karena salah tujuan anak mengucapkan kata-kata kasar ingin membuat orang tua kaget dengan kata-kata kasar yang diucapkannya. Maka, dari pada orang tua merasa terkejut dan terganggu dengan apa yang diucapkan anak, jika anak sudah bisa diajak diskusi, lebih baik orang tua menerapkan metode “menanyakan lagi” . misalnya ketika anak mengatakan “ sialan” orang tua bisa menanyakan “ apa artinya kata itu? Ummi atau abi tidak mengerti” ketika ditanyakan seperti itu, biasanya anak akan kebingungan dan nantinya akan meninggalkan kebiasaannya berkata kasar.

Ketika orang tua mendapati bahwa anak mengucapkan kata-kata kasar karena sedang mengalami frustasi. Cobalah berempati pada anak, katakan bahwa yang ia alami mungkin terasa berat, tapi ummi dan abi akan coba bantu.

Cara lain yang bisa dipakai, orang tua mencatat berapa kali dalam sehari anak mengucapkan kata-kata kasar. Lalu katakan pada anak, ummi akan buat catatan, kalau setiap jam kamu tidak mengucapkan kata-kata kasar, ummi akan memberi tanda bintang di catatan ini. Nanti semakin banyak tanda bintang yang kamu kumpulkan, ummi akan ajak kamu jalan-jalan. Ummi atau abi juga jangan lupa untuk memuji anak setiap kali ia tidak mengucapkan kata-kata kasar dalam setiap jam atau dalam waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, karena yang direspon oleh orang tua adalah ketika anak berkata baik, maka ia akan mengulang terus untuk berkata baik.


Ingat: anak akan mengulangi perilaku yang mendapatkan respon dari orang tua, jadi responlah perilaku yang baik dari anak bukan malah sebaliknya.


Note: Tulisan ini dibuat bukan untuk mengatakan bahwa sahabat saya salah, tetapi sebagai orang tua seringkali kita juga tidak tahu harus merespon seperti apa terhadap perilaku anak-anak kita. Maklumlah ketika menjadi orang tua, sebelumnya kita tidak pernah mendapatkan sekolah khusus. Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat.  

Hati-Hati, Anak Anda Mengawasi Dan Mencotek Anda!!



Berapa sering kita menyuruh anak-anak kita mengganti bajunya, atau menyikat gigi mereka, atau mengerjakan PR atau perintah-perintah lainnya ? Tentu sudah berkali-kali bahkan mungkin tak terhitung jumlahnya.

Bagi sebagian besar dari kita, hal ini lumrah dan sudah menjadi bagian dari keseharian. Kita menyuruh mereka, mereka mengabaikannya, kemudian kita suruh lagi, lagi dan lagi. Dan jika kita beruntung, anak kita akan melakukan apa yang kita perintahkan setelah kita menyuruhnya hingga empat lima kali, atau setelah kita membentaknya. Namun tak jarang perintah kita itu tidak mendapat respon sama sekali dari mereka. Kitapun lantas mengeluh karena anak-anak tidak pernah mau mendengarkan kita, kemudian kita tanyakan pada ibu-ibu yang lain bagaimana caranya menyuruh anak mentaati mereka, mau makan sayuran, mau mebereskan mainan atau mau lekas tidur seperti kita perintahkan. Materi-materi pendidikan anak dan parenting di buku-buku dan internet tak lupa kita sikat, namun tetap saja anak-anak kita tak mau mendengarkan.

Namun yang perlu diingat, anak-anak kita selalu mengamati. Ketika kita berteriak-teriak pada mereka, mereka melihat kita. Ketika kita ribut dengan suami kita, mereka menyaksikan. Dalam kemacetan di jalanan, tatkala keluar makian dari mulut kita, anak-anak kita melihatnya. Percakapan kita dengan teman kita di telepon pun tak luput dari pengamatan mereka.

Jika anda punya anak batita (bawah tiga tahun), anda dapat melihat pengaruh pengamatan mereka. Anda mungkin pernah melihat mereka mengangkat telepon dan bilang "halo", atau melihat mereka membawa-bawa tas bilang mau ke kantor. Ya, anak-anak kita mengamati setiap tindakan kita, meski tak ada satu katapun yang mereka dengarkan.

Mereka Belajar

Sebenarnya, kita tak perlu khawatir anak-anak kita tidak mendengarkan kita. Namun yang musti kita khawatirkan adalah mereka selalu mengamati kita. Dan ini adalah nyata. Ketika kita minta anak kita untuk membereskan mainannya, mereka tidak mendengarkan. Kita kencangkan suara kita, dan mereka tetap mengacuhkannya. Lantas kitapun kesal dan berteriak, yang membuat mereka jadi ketakutan dan terkadang mereka menangis. Namun alih-alih mereka jadi patuh, malah ada satu catatan kecil yang membekas di hatinya.

Pada kenyataannya, setiap kali kita suruh anak kita melakukan sesuatu, kita telah memberikan mereka satu pelajaran. Kita bermaksud meminta satu hal, tapi sebenarnya kita menunjukkan pada mereka bagaimana melakukan hal lainnya. Ketika kita berteriak pada mereka karena marah perintah kita tak dituruti, di saat itu kita telah menunjukkan pada mereka bagaimana caranya memaksa orang melalukan apa yang kita mau. Begitu juga ketika kita melempar mainan ke kotak mainan, atau menendang mainan ke arah yang kita perintahkan, di situ kita telah menunjukkan pada mereka bagaimana cara menunjukkan kemarahan mereka pada orang lain.

Coba bayangkan ketika anda sedang mengantar anak ke sekolah pada pagi hari, ketika tiba-tiba ada pengemudi lain yang ngebut dan memotong jalan, mengakibatkan anda kaget dan hampir menabraknya. "Sialan!", atau kata-kata umpatan lain akan terlontar dari mulut anda. Anda kemudian menepi dan bersyukur pada Allah tak terjadi hal yang lebih buruk. Anak anda yang berada di belakang menyaksikan semua ini terjadi. Dalam kondisi seperti ini kita jarang menjelaskan pada anak jika pengemudi tadi telah salah karena ngebut dan memotong jalan. Malah, kita menunjukkan pada mereka bagaimana jika terjadi situasi seperti ini: mengumpat.


Apa yang kita ajarkan

Sebagai orang tua tentu kita menyadari bahwa mendisiplinkan anak adalah salah satu hal yang tidak mudah. Dalam usaha ini, tidak jarang keluar dari diri kita teriakan-teriakan, luapan emosi dan kemarahan, juga kata-kata merendahkan anak. Jika kita coba liat diri kita dari kacamata anak-anak kita, mungkin ada satu atau dua hal yang  dapat kita pelajari.

Tentu saja kita tak dapat melihat perilaku kita sendiri, dan jarang bisa menghentikan emosi yang sedang meledak tatkala perintah kita tak digubris anak. Namun kita dapat menyiapkan diri kita menghadapi saat-saat seperti itu agar akibat-akibat yang tidak kita inginkan tidak terjadi. Sebagai contoh, kita ingin agar anak kiya belajar bahwa mereka tidak harus berteriak agar mereka didengarkan. Maka, lain kali ketika anda meminta anak anda memungut mainannya yang berserakan dan sudah siap untuk makan malam, cobalah anda bersabar. Jika anda ingin agar anak anda mendegarkan anda dan mau melakukan perintah anda, coba pikirkan satu cara yang tepat tanpa berteriak. Mintalah dia untuk melihat anda dan rendahkan tubuh anda, kemudian mulai tunjukkan padanya bagaimana cara merapikan mainan dan meletakkan di kotaknya. Lakukan apa saja, asala jangan berteriak dan ngomel-ngomel.


Apa yang kita pelajari

Jika kita menyadari bahwa anak kita selalu mengamati kita, kita akan selalu berusahan menjaga tingkah laku kita. Kita akan bicara lebih lembut, mengontrol emosi kita, dan mulai bersikap sebagaimana sikap apa yang kita mau dari mereka. Dengan kata lain, hal ini seperti lingkaran yang melatih orang tua dan anak-anak mereka agar berperilaku lebih baik dan menjaga emosi. Jika kita tahu bahwa anak-anak selalu mengamati setiap langkah kita, kita akan senantiasa berperilaku dan menjaga adab-adab yang baik, karena hal ini akan menjadi contoh bagi mereka. Dengan sendirinya anak akan meniru contoh yang baik itu, dan akhirnya kita semuapun senang.

Urusan janji adalah satu hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua. Mereka berjanji pada seseorang, terkadang menepati, terkadang melanggarnya. Amat mudah membuat janji, dan lebih mudah lagi melanggarnya. Banyak orang tua membuat janji sekedar untuk membuat anak diam, dan kemudian kata-kata itu tidak ada realisasinya. Berapa banyak anda bilang ke anak anda, "Iya, iya, insyaAllah nanti mama belikan mainan itu," hanya agar anak anda diam dan tidak merengek-rengek terus? Saat ketika kata janji itu terlontar dari mulut anda, anda harus menyadari bahwa janji itu telah ditulis di batu. Seorang anak yang dijanjikan hadiah, atau mainan, atau jalan-jalan ke suatu tempat, tidak akan melupakannya, tidak juga membiarkan anda melupakannya. Hal lain yang ditakutkan adalah, dan ini cukup menyedihkan, banyak anak ketika mendengar orang tuanya bilang "InsyaAllah" manganggap kata itu berarti "mungkin" atau bahkan berarti "tidak".

Banyak tindakan kita yang bergantung pada kemauan kita. Jika anda memang ingin membelikan mainan pada anak anda, yakinkan dia bahwa hal itu benar. Namun jika tidak berencana membelikannya, maka jujurlah. Sebuah janji yang tidak jujur mungkin berhasil membuat anak anda tidak merengek selama beberapa menit ketika belanja, namun hal ini akan terus membekas di hatinya dan berpotensi akan mereka tiru ketika dewasa kelak.

Intinya, kita mendesain masa depan anak-anak kita dengan tingkah laku kita sendiri. Mengapa kita masih mempraktekkan perilaku-perilaku yang kita tak mau kelak akan dilakukan oleh anak-anak kita? Tanamkan sekali lagi di pikiran kita bahwa anak-anak kita tidak hanya mengamati kita tapi juga mencontoh kita. Semoga ini cukup bagi kita untuk mulai merubah tingkah laku kita di depan anak-anak, agar kelak mereka menjadi generasi sebaik yang kita harapkan.Aamiin...

Berbisiklah di Telinganya Bahwa Kamu Sayang Padanya

Oleh Burhan Sodiq

Sudah berapa lama kita hidup? Mungkin sudah terlampau banyak derita yang telah kita torehkan. Kisah sedih, pembangkangan dan mungkin kenakalan yang membekas di hatinya. Kamu pun hanya diam, tak bisa berbuat apa-apa. Walau hanya sekedar mengembalikan hatinya yang telah kau renggut.

Ibu, yah sosok itulah yang selalu membuat kita berlinang air mata. Tulus tanpa pamrih, melayani dengan hati dan kasih sayang. Dari kecil hingga dewasa, tak pernah lelah putus asa. Dengan tangannya yang lembut, menyapa kita dengan senyum tanpa kabut. Cerah membingkai di hati, dekap tiada berhenti. Ibu yang selalu ada di saat kita butuh, membelai kegelisahan dan menggantinya dengan harapan dan pencerahan.

Dia yang mengenalkan kita tentang makna bertahan dan sabar. Ketika diri ini dihantam badai dunia yang sering kali kejam. Dia yang mengajarkan untuk tetap optimis, di saat peluang satu persatu hilang dan tinggal meringis. Ia juga sosok yang selama ini memberi nilai-nilai kehidupan. Nilai tentang perjuangan, militansi, dedikasi dan loyalitas pada dien yang telah kita peluk. Dia yang mengajarkan kita tentang Allah, dan segala yang bermuara pada-Nya.

Mungkin ia pernah membentak, tapi ia tak pernah membenci kita. Mungkin ia pernah melotot, tapi ia tidak pernah menyesal memiliki kita. Ia ada untuk melayani kita, anak-anaknya.

Tetapi ketika kegagalan menerpa kita, telunjuk ini dengan mudah menuduhnya. Menyesali kehadirannya, dan malu memiliki dia. Hanya karena dia tidak seperti yang kita harapkan. Tidak se-trendi yang kita miliki. Dan tidak semodern yang kita lakukan. Bentakan kita lebih keras, mata pun nyaris mau keluar saat berbicara dengan dia. Sedih, perih, seolah-olah dia telah menghancurkan hidup kita. Padahal ia hanya bermaksud baik, tapi mungkin salah dalam melangkah. Kita sudah sering membuatnya menangis. Dan kini telunjuk itu bertanya, sudah berapa kalikah kita membuat dia bahagia?

Maka berbisiklah di telinganya bahwa kamu sayang dia kalau dia di sampingmu. Kalau dia nun jauh di sana, ambil teleponmu dan dengarkanlah suaranya yang merdu itu. Suara yang pernah membantumu tidur di masa kecil dulu. Kalau dia masih terjangkau, datangilah dia dan peluk serta cium pipinya. Tetapi kalau dia sudah pergi, dan tak kembali, maka doakanlah hidupnya di sana. Semoga Allah memberi pahala yang tiada terhingga, untuk bunda yang kita harapkan di surga.

Agar si Buah Hati Menjadi Percaya Diri

Para pakar menilai, percaya diri adalah faktor penting yang menjadi penentu seseorang akan sukses atau gagal. Karenanya, para pakar psikologis banyak mengemukakan teknik-teknik membangkitkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri tidak didapatkan begitu saja, melainkan ia harus diasah dan dipupuk sejak kecil.

Sejak usia dua tahun, anak mulai menentukan sikapnya terhadap lingkungan di sekelilingnya. Beberapa psikolog perkembangan berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu sense pertama yang masuk ke dalam penentuan-penentuan sikap tersebut. Kemudian kekuatan perasaan percaya diri yang mulai terbentuk pada usia tersebut sangat bergantung pada perhatian yang diterima sang anak dan sikap orangtua dalam memenuhi kebutuhannya.

Pada fase tersebut, anak menunjukkan sinyal-sinyal perkembangan dengan menampakkan hasrat independensinya; memiliki kebebasan berbicara, berjalan, dan bermain. Semua hal itu berhubungan dengan kebutuhan untuk menegaskan dirinya yang hanya bisa diwujudkan dengan memperkenankannya mengambil langkah-langkah independensi. Hal tersebut juga ditegaskan teori perkembangan yang menyatakan bahwa kita harus menghormati kepribadian anak-anak, membiarkan mereka untuk berkembang secara alamiah.
 
Tak sedikit anak-anak yang tumbuh dewasa dengan tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Sehingga mereka tidak mampu mengandalkan diri mereka sendiri dalam urusan apa pun, baik yang besar maupun kecil. Mereka tidak bisa mengambil inisiatif dan selalu menunggu seseorang berkata, “Lakukanlah hal ini dan itu.” Jika menghadapi masalah, tak sedikit anak perempuan yang tidak mampu mengambil keputusan, cenderung menjauhi masalah, dan hanya bisa menangis. Bisa jadi hal demikian merupakan kesalahan para orangtua, disebabkan beberapa hal:

1.  Orangtua terlalu berlebihan dalam mengawasi dan membatasi, baik dalam persoalan besar maupun kecil; seringkali mengucapkan, “Jangan melakukan itu, jangan melakukan ini.” Sehingga anak kehilangan spontanitas dan kepercayaan diri dalam bertindak. Maka jangan heran jika kemudian dia lebih banyak menunggu seseorang untuk mengoreksinya dan menjamin bahwa dirinya melakukan hal yang tepat.

2.  Selalu menyalahkan dan mengkritisi apa pun yang dilakukan oleh anak-anak, mencari-cari kesalahan mereka, dan memarahinya jika melakukan kesalahan-kecil yang tidak berarti. Maksudnya, anak-anak lebih banyak dimarahi daripada diberi pujian atas berbagai usaha yang dilakukannya. Sikap demikian justru akan menghancurkan motivasi anak-anak untuk bertindak dan melakukan sesuatu yang baik.

3.  Tidak memberi kesempatan kepada anak-anak untuk berbicara di hadapan orang lain, ditakutkan mereka akan melakukan kesalahan atau berbicara tentang hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk juga apabila memperkenankan mereka untuk berbicara, setelah terlebih dulu memberitahu mereka apa-apa saja yang boleh dibicarakan.

4.  Selalu memberi peringatan kepada anak-anak tentang bahaya dari sesuatu hal, sehingga membuat mereka senantiasa membayangkan hal-hal buruk dan menyayangkan bahwa mereka dikelilingi segala marabahaya.

5.  Senantiasa menganggap remeh mereka dan membanding-bandingkan mereka dengan orang lain. Kedua hal tersebut membuat mereka berpikir bahwa mereka tidak bernilai sama sekali.

6.  Menjadikan mereka sebagai objek candaan, dan mengejek mereka.

7.  Tidak memperhatikan permintaan-permintaan mereka.

8.  Orangtua terlalu banyak memberi perhatian kepada mereka dengan sikap yang menunjukkan kekhawatiran tentang –misalnya– kesehatan, masa depan mereka, dan lain-lainnya.

Menghindari Dampak Negatif Rasa Tidak Percaya Diri Pada Anak



Jika kita ingin anak kita sukses, jangan biarkan anak kita mengidap rasa tidak percaya diri, karena sifat ini menjadi salah satu faktor kegagalan seseorang. Rasa tidak percaya diri memiliki banyak efek negatif bagi anak-anak, di antaranya:

1.  Anak-anak tidak bisa melakukan apa pun secara mandiri dan independen. Jika mereka diminta untuk membawa sesuatu dan mendapatkan bahwa sesuatu tersebut berbeda dengan deskripsi dan instruksi yang diberikan, maka mereka menjadi ragu-ragu. Jika kemudian mereka menghadapi masalah, maka mereka tidak bisa mengambil keputusan.

2.  Mereka menjadi pendek akal dan tidak kreatif.

3.  Mereka senantiasa mengeluh dan merasa tidak nyaman setiap kali diminta untuk melakukan sesuatu. Karena mereka akan berpikir bahwa apa pun yang mereka lakukan pasti salah dan tidak sesuai dengan instruksi yang diberikan.
 
4.  Mereka tidak memiliki tekad kuat, tidak punya solusi, ‘lembek’, dan apatis di berbagai situasi, serta menjadi sembrono dan tidak teratur.

5.  Mereka akan mengalami kegelisahan dan frustrasi, memiliki sikap permusuhan atau tendensi untuk menjadi seorang introvert dan cenderung menarik diri.

Solusi bagi anak yang tidak percaya diri

Untuk menghindari efek-efek negatif seperti di atas, maka para orangtua harus menggunakan berbagai cara untuk mengembangkan kepercayaan diri anak-anak. Di antaranya adalah:

1.  Para orangtua harus membuat sejumlah petunjuk umum untuk diikuti, dengan jalan memberitahu mereka tentang hal-hal yang dibolehkan dan dilarang Allah untuk mereka. Dan mereka pun harus menyadari sifat-sifat mulia dan akhlak-akhlak terpuji, sehingga tertanam pada diri mereka kebencian terhadap perangai yang tercela. Setelah itu para orangtua bisa memberi kebebasan kepada mereka untuk bertindak berdasarkan inisiatif mereka.

2.  Lalu orang tua harus memberi mereka sejumlah tugas yang bisa mereka kerjakan. Jika mereka membuat sebuah kesalahan, maka orangtua harus melontarkan support dan pujian atas inisiatif mereka, lantas memberitahu mereka apa yang seharusnya mereka lakukan. Dan orangtua juga harus memberikan pujian kepada anak-anak atas usaha yang mereka lakukan, lalu selesaikan pekerjaan dengan cara yang lemah lembut, tanpa memberitahu secara langsung. Apabila pekerjaan atau tugas itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan anak-anak, maka orangtua bisa mengambil alihnya dan meminta pendapat mereka. Biarkan mereka memutuskan apa yang menurut mereka baik dan tidak baik. Jadi anak-anak akan menyadari bahwa setiap orang berpotensi melakukan kesalahan, tapi juga bisa melakukan sesuatu dengan benar. Hal tersebut bisa meneguhkan ketetapan hati mereka.


3.  Adakalanya orangtua harus memuji anak-anak di hadapan kerabat dan teman-teman mereka, dan memberi mereka balasan yang sesuai dengan usaha mereka. orangtua bisa melontarkan pujian atas amalan-amalan ibadah yang dilakukan anak-anak, seperti shalat, menghafal Al-Qur’an, belajar yang baik, dan lain sebagainya.


4. Teguhkan kehendak anak-anak dengan membiasakan mereka terhadap dua hal:

- menjaga rahasia. Ketika anak-anak mengetahui bagaimana caranya menjaga rahasia, dan tidak membocorkannya, maka kehendak mereka akan semakin meningkat dan tumbuh kuat. Dan pastinya kepercayaan diri mereka pun akan bertambah tinggi.
- biasakan anak-anak untuk berpuasa. Ketika mereka menahan lapar dan haus semasa berpuasa, maka mereka akan merasakan nikmatnya meraih kemenangan melawan hawa nafsu. Perasaan tersebut akan memperkuat kehendak dan kemauan mereka ketika menghadapi hidup, dan tentunya akan menambah rasa percaya diri mereka.
5. Perkuat rasa percaya diri anak-anak ketika mereka berurusan dengan orang lain, yaitu dengan jalan melibatkan mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, menginstruksikan mereka agar mematuhi perintah-perintah orangtua, dan membiarkan mereka duduk bersama orang-orang dewasa dan teman-teman sejawat mereka.


6. Perkuat rasa percaya diri anak-anak dalam memperoleh pengetahuan dengan mengajarkan mereka Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam serta sirah beliau. Dengan demikian mereka akan tumbuh dengan dibekali pengetahuan melimpah. Hal tersebut akan memicu pesatnya kepercayaan diri mereka, karena memiliki prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan yang sebenarnya, jauh dari mitos dan legenda-legenda tidak jelas.

Selain semua itu, para orangtua harus mengambil tindakan pencegahan dan tindakan efektif untuk menyelamatkan anak-anak dari perasaan minder. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan perasaan minder pada anak-anak, di antaranya adalah menganggap remeh mereka, mempermalukan dan mengejek mereka dengan nama-nama yang menyakitkan hati di hadapan teman-teman mereka atau orang lain. Hal-hal tersebut membuat mereka merasa tidak bernilai dan berharga serta menyebabkan sejumlah persoalan psikologis yang membuat mereka memandang benci kepada orang lain, menarik diri dari pergaulan, dan merasa ingin lari dari kehidupan.

Tak hanya itu, bahkan penggunaan kata-kata menghina yang dilontarkan orangtua dengan maksud untuk mendisiplinkan anak-anak pun tidak diperbolehkan. Ini mengingat, metode tersebut malah menimbulkan efek buruk terhadap kejiwaan anak-anak, dan mengakrabkan mereka dengan bahasa-bahasa kasar serta hinaan. Jelas, hal demikian akan menghancurkan sisi moral dan psikologis mereka.

Dan yang terpenting, cara terbaik untuk mengatasi persoalan psikologis anak-anak adalah dengan menjelaskan kepada mereka hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan berdasarkan aturan syariat Islam. Ketika terjadi kesalahan yang dilakukan mereka, orangtua harus mengedepankan bukti sehingga membuat mereka mengakuinya, dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan lagi di masa mendatang.
 
Demikian pula, penting sekali untuk menggunakan metode baik dalam memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan. Membangun rasa percaya diri anak-anak merupakan langkah awal untuk membangun kepribadian dan karakter mereka di segenap fase kehidupan.

Demi Masa Depan, Penuhi 7 Kebutuhan Emosional Anak

Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan emosional seorang anak, dapat menghalangi masa depannya. Anak yang ‘tangki’ emosionalnya selalu terpenuhi, biasanya, lebih ulet dan cenderung tidak banyak bergantung kepada teman sebayanya. Selain itu, dia juga akan lebih percaya diri dan menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Apa sajakah kebutuhan emosional anak?

Sebagaimana dinyatakan Wes Fleming, seorang pakarparenting, di dalam bukunya Raising Children on Purpose –seperti dilansir situs www.parentguidenews.com–, anak setidaknya memiliki tujuh kebutuhan emosional. Ketujuh kebutuhan tersebut terangkum dalam kata PARENTS (dalam Bahasa Inggris berarti orangtua), yaitu Protection (perlindungan),Acceptance (penerimaan/dukungan), Recognition(pengakuan/penghargaan), Enforced limits (terlaksananya batasan-batasan aturan), Nearness (kedekatan), Time (waktu), dan Support (sokongan).


Protection (perlindungan)


Anak-anak sangat membutuhkan perasaan aman dan nyaman. Mereka membutuhkan rumah yang apabila terjadi konflik di dalamnya bisa dengan segera terselesaikan, rumah yang mana penghuninya saling menghormati, dan rumah di mana tingkah laku orangtua bisa diprediksi dan terpercaya. Di dalam rumah tersebut, sifat saling percaya tumbuh subur, di mana anak-anak tahu bahwa mereka bisa mendatangi ibu, ayah, atau orang-orang yang merawat mereka untuk mendapatkan kasih sayang dan dukungan, kapan saja.
Tanpa atmosfer saling percaya, kedekatan dan interdependensi keluarga akan mendapatkan hambatan yang berarti untuk didapatkan, jika tidak ingin dikatakan mustahil. Dan ketika orangtua berjuang merawat anak-anak mengikuti irama moodyang fluktuatif, kemarahan meledak-ledak, atau kegelisahan kronis, maka anak-anak akan merasa diabaikan, tidak dicintai, dan penuh ketakutan. Anak-anak juga tidak mampu untuk mengerti secara sepenuhnya, dan tidak bisa menerima alasan-alasan baik orangtua yang disibukkan persoalan tagihan atau kemarahan terhadap pasangannya.

Pada kenyataannya Islam juga mengajarkan konsep perlindungan anak. Dalam artikelnya, Perlindungan Anak dalam Konsep Islam, Taufik Hidayat SH, menulis, afirmasi perlindungan anak dalam Islam dapat ditelusuri secara jelas dari hadits “Cukup berdosa seorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Al-Hakim)

Hadits tersebut turun (asbab al-wurud) disebabkan adanya penelantaran terhadap anak. Dengan demikian, Islam melarang terjadinya penelantaran terhadap anak, karena mengabaikan perlindungan kepadanya yang merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadapnya.

Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki Allah Ta'ala tertuang dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al-Ma’idah 8)

Ayat di atas turun berawal dari peristiwa yang menimpa An-Nu’man bin Basyir. Suatu ketika, An-Nu’man bin Basyir mendapatkan sesuatu pemberian dari ayahnya, kemudian Ummi Umrata binti Rawahah berkata “Aku tidak akan ridha sampai peristiwa ini disaksikan oleh Rasulullah.” Persoalan itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW untuk disaksikan. Rasul kemudian berkata “Apakah semua anakmu mendapat pemberian yang sama?” Ayah An-Nu’man menjawab, “Tidak”. Beliau berkata lagi, “Takutlah engkau kepada Allah dan berbuat adillah engkau kepada anak-anakmu.”


Sebagian perawi menyebutkan bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi dalam kecurangan.” Mendengar jawaban itu lantas ayah An-Nu’man pergi dan membatalkan pemberian kepada An-Nu’man. (HR. Bukhari dan Muslim).
 
Esensi ayat tadi adalah semangat menegakkan keadilan dan perlindungan terhadap anak. Anak yang tidak mendapatkan perlindungan, tidak kepercayaan, dan perhatian orang dewasa, maka dia akan bereaksi dengan penuh perasaan terluka dan dendam.


Acceptance (dukungan)


Anak-anak sangat membutuhkan dukungan dan penerimaan yang baik. Mereka membutuhkan dua hal tersebut dari teman-teman, para guru, pengasuh, pelatih, dan pendidik mereka. Dan terlebih lagi, mereka membutuhkan dukungan dari orangtua mereka. Anak-anak sangat menginginkannya, meski mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan alamiah, ketidaksempurnaan fisik, dan perbedaan-perbedaan prestasi dan prestise. Bagaimanapun kondisi setiap anak, mereka tetap layak mendapatkan cinta.

Segenap respons kita atas kebutuhan anak-anak kita akan dukungan menjadi sumber utama pemahaman diri mereka. Kita merupakan cermin pertama yang dipandangi anak-anak kita. Mereka memandangi wajah-wajah kita dan melihat sebuah refleksi betapa mereka sangat berharga dan bernilai, sehingga mereka merasa akan diberi dukungan —atau mungkin sebaliknya.

Apabila respons dan dukungan kita kepada anak disertai kesabaran dan penghormatan, maka paradigma terhadap dirinya pun positif. Namun apabila kita seringkali mengkritik anak dan bersikap kasar kepadanya, maka pemahaman terhadap dirinya pun akan negatif; mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri, dan berkorespondensi dengan lingkungan secara destruktif.

Islam telah lama mengatur hal ini. Perhatian dan dukungan orangtua kepada anak-anak semasa kecil menjadi sebuah kewajiban dalam ajaran Islam. Allah berfirman, “Dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (Al-Ahqaf: 15).

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa orangtua yang baik senantiasa memohon kepada Allah agar bisa mencurahkan kebaikan kepada anak cucu, demi mendukung perkembangan dan pertumbuhan mereka. Anak adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada orang tua supaya mereka dididik dengan baik, diberi nama dengan baik, diberi pendidikan dengan secukupnya, diajarkan dasar-dasar pendidikan Islam dan halal-haram, baik dan buruk serta akhlak yang mulia.

Jelas, semua ini adalah sebuah perhatian dan dukungan paripurna untuk anak, seperti diinstruksikan Islam.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)


Recognition (pengakuan/penghargaan)


Anak akan merasa sangat kecewa dan hancur jika dia dianggap gagal di mata orangtuanya. Meskipun hasrat mereka tersembunyi, anak-anak Anda memendam kerinduan mendalam untuk menyenangkan dan mendapat penghargaan Anda. Mereka sangat ingin mendengar orangtua mereka berkata, “Saya sangat bangga kepadamu. Pekerjaan yang bagus. Saya sangat menghargai kamu.” Artinya, mereka sangat ingin merasakan restu dan apresiasi Anda.

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam selalu membuat anak-anak bergembira dan merasa berharga, antara lain dengan menyambut anak dengan baik, mencium dan bercanda dengan mereka, mengusap kepala mereka, menggendong dan memangku mereka, menghidangkan makanan yang baik, makan bersama mereka, membangun kompetisi sehat dan memberi imbalan kepada pemenangnya.
 
Umumnya manusia, apalagi anak-anak, suka berlomba. Rasulullah pun suka membuat anak-anak berlomba, misalnya ketika beliau membariskan Abdullah, Ubaidillah, dan anak-anak ‘Abbas lainnya, lalu bersabda, “Siapa yang mampu membalap saya, dia bakal dapat ini dan itu …” Maka mereka pun berlomba membalap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam  sehingga berjatuhan di atas dada dan punggung beliau. Setelah itu mereka diciumi dan dipegangi oleh beliau.

Karena biasanya, jika rasa menghargai dan apresiasi itu lenyap dari rumah, maka anak-anak akan kehilangan harapan dalam menerima penghargaan apa pun dari orang lain. Hasilnya, beberapa anak biasanya suka cemberut dan bertabiat suka mengejek orang lain. Anak-anak yang memiliki harapan tinggi dan jarang mendapatkan afirmasi, biasanya tumbuh menjadi anak-anak yang rewel dan suka mengomel. Logika emosional mereka berkata bahwa jika mereka tidak mampu merebut restu dan penghargaan orangtua mereka, maka mereka memiliki kekurangan dalam diri. Mereka berkesimpulan bahwa mereka tidak cukup baik atau bagus.

Kemudian ketika beranjak dewasa, mereka kerap mendorong orang untuk menyenangkan orang lain, agar meraih apa yang tidak didapatkan mereka ketika kecil. Atau mereka akan menunjukkan kebiasaan bekerja berlebihan, berusaha dengan penuh dendam untuk membuktikan kepada orang lain bahwa mereka baik dan bagus.

Secara paradoks, ketiadaan pengakuan pada masa kanak-kanak bisa menyebabkan anak-anak –ketika dewasa— menjadi menjalani kehidupan tidak produktif dan tidak berprestasi. Perasaan kekurangan dalam diri mampu menimbulkan sikap menunda-nunda pekerjaan yang kronis, tidak mampu mengemban tanggung jawab, dan memiliki sifat mudah menyerah.


Enforced limits (terlaksananya batasan-batasan aturan)


Anak-anak membutuhkan peraturan dan batasan-batasan yang mengatur kehidupan mereka secara wajar, sebagai mereka membutuhkan berbagai peraturan ketika bermain sepakbola. Tanpa adanya aturan, anak bisa putus asa, hidup tanpa arah yang jelas, dan penuh ketakutan. Tanpa adanya disiplin yang penuh kasih sayang, anak-anak akan merasakan ketiadaan proteksi dan perawatan dari orangtua mereka.

Anak-anak terbiasa ber-acting dalam tingkah laku mereka. Hal itu merupakan cara mereka untuk mengekspresikan kebutuhan akan struktur dan keselamatan dalam kondisi-kondisi yang mereka rasakan penuh kekacauan, tidak terduga, dan lingkungan yang mengancam. Makanya, dalam beberapa hal, anak benar-benar memohon adanya disiplin.

Arahan dan peraturan yang tegas merefleksikan kemauan kita untuk menolong anak-anak menemukan kontrol yang mereka cari. Menerapkan peraturan dan membiasakan disiplin kepada anak-anak dapat membantunya untuk kelak taat kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Karena Islam sangat meniscayakan ketaatan dan disiplin para pemeluknya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Dalam ajaran Islam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ 59)

Atau perintah agar disiplin dan memerhatikan waktu. Allah kerap kali menyatakan dengan berbagai penyebutan waktu di dalam Al-Qur’an, misalnya: Wal-Fajri (demi waktu shubuh), Wadh-Dhuha (demi waktu pagi), Wan-Nahar (demi waktu siang),Wal-‘Ashr (demi waktu sore), Wal-Lail (demi waktu malam).

Dari catatan perjalanan sejarah Islam, kita juga dapat memperoleh pelajaran penting tentang kedisiplinan. Ketika Rasulullah dan para sahabat beliau menghadapi musuh pada Perang Uhud, ada sebagian pasukan yang ditugaskan untuk menempati posisi penting dalam strategi perang rancangan Rasulullah mengabaikan perintah dan tugas yang telah diberikan. Akibat tindakan indisipliner, pasukan Islam pada perang tersebut mengalami kekalahan besar menghadapi tentara kafir Quraisy Makkah.
 
Itu hanya sebagian contoh dari kasus ketidakdisiplinan dalam perang, tentu kita bisa memastikan akibat yang sama dalam aspek-aspek lain. Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan Islam.


Nearness (kedekatan)


Memeluk, memegang, dan bahkan permainan gulat penuh kasih sayang dengan anak Anda dapat mendepositokan sensasi-sensai kenangan akan kenyamanan dan keamanan dalam kehidupan. Kemungkinan besar, cara paling mujarab untuk memberi jaminan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan merasa aman adalah menggendong dan memeluk mereka. Jari dan tangan Anda memberi anak perasaan terlindungi, kenyamanan, dan penghargaan.
Kedekatan orangtua juga memberi anak-anak pengetahuan bahwa mereka sangat bernilai, sehingga mereka harus digendong dan dipeluk. Kasih sayang itu mengatakan, “Nak, engkau begitu kusayangi, sehingga aku selalu ingin menggendongmu, dan membuatmu nyaman.”

Pun demikian dengan Rasulullah yang begitu pengasih dan penyayang kepada anak-anak. Ketika Nabi Muhammad SAW melewati rumah putrinya, yaitu Fatimah, beliau mendengar Al-Husain sedang menangis, maka beliau berkata kepada Fatimah, “Apakah engkau belum mengerti bahwa menangisnya anak itu menggangguku?” Lalu beliau memangku Al-Husain di atas lehernya dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku cinta kepadanya, maka cintailah dia.” Lalu ketika Rasulullah sedang berada di atas mimbar, Al-Hasan tergelincir. Lantas beliau pun turun dari mimbar dan merangkul anak tersebut.

Rasulullah pun tak jarang memanggil anak-anak dengan nama panggilan penuh kasih sayang, untuk membangun kedekatan dengan mereka. Bermacam-macam cara beliau memanggil anak, tujuannya untuk menarik perhatian dan membuat anak siap mendengar apa yang hendak dipesankan. Panggilan semisal nughair (si burung pipit), ghulam (anak, berarti: “wahai anakku”), Zuwainib (Zainab kecil), dan lain sebagainya.


Time (waktu)


Anak-anak sangat membutuhkan waktu, baik dari segi kualitas dan kuantitas. Relasi orangtua-anak yang baik membutuhkan perhatian terfokus (kualitas) dan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama (kuantitas). Bersenang-senang dengan anak-anak kita sangat sederhana, hanya dengan bermain-main bersama mereka, kemudian kirimlah pesan kepada mereka, “Kamu sungguh menarik, menyenangkan, dan berharga.”

Tidak cukup bagi anak-anak Anda untuk mengetahui bahwa Anda ada di sekitar mereka; tapi mereka juga harus tahu bahwa kita begitu menikmati ada bersama mereka. Ketika Anda mengejar anak-anak dalam sebuah permainan, tertawa bersama, menggelitiki, dan menggoda mereka, maka kehadiran Anda sangat dirasakan oleh mereka.

Kesibukan Anda dalam bekerja atau mengurusi tugas-tugas domestik, tidak menjadi penghalang untuk bercengkerama dengan anak-anak. Karena persoalan tidak terletak pada minimnya waktu yang Anda miliki, tapi lebih kepada bagaimana Anda menghabiskan waktu tersebut. Sah-sah saja Anda bekerja, atau merapikan rumah, memasak, mencuci, menyetrika, dan lain-lain, tapi harus diingat bahwa anak-anak pun membutuhkan Anda.


Support (dukungan)


Sebagaimana anak-anak membutuhkan dukungan dan bantuan secara fisik ketika mereka belajar berjalan pertama kali, mereka juga membutuhkan dukungan emosional ketika –misalnya— ‘berjalan’ menapaki masa depan, seiring dengan bertambahnya usia mereka. Berlawanan dengan keyakinan kebanyakan orang, yang menyatakan bahwa remaja tidak membutuhkan bantuan dan ingin independen, sejatinya mereka menginginkan dukungan.
 
Berilah anak Anda kebebasan untuk tumbuh, selama tidak menyelisihi aturan-aturan yang diterapkan, berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Dan biarkan mereka tahu bahwa Anda siap mengulurkan bantuan dan dukungan kepada mereka.

Demikianlah, memenuhi tujuh kebutuhan emosional anak-anak sejatinya meletakkan dasar bagi masa depan mereka. Cinta dan kasih sayang mampu mengembangkan kapasitas kepercayaan, yang pada gilirannya membekali anak-anak dengan berbagai piranti yang mereka butuhkan untuk menanggulangi permasalahan di masa mendatang. Jika ‘tangki’ emosional anak-anak terpenuhi, maka mereka siap untuk meniti jalan sukses di  masa depan. Aamiin...!