Beberapa Syubhat dan Jawabannya
SYUBHAT 1: Beberapa ayat Qur’an menunjukkan tidak adanya adzab dan nikmat kubur
Sebelumnya, dalam membahas syubhat ini kita perlu meyakini bahwa Al Qur’an dan hadits itu adalah kebenaran, dan tidak ada kebenaran yang saling bertentangan. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا
“Apakah engkau tidak men-tadabburi Al Qur’an? Andaikan Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)
Begitu juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu, sebagaimana firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Apa yang diucapkan olehnya (Muhammad) itu bukanlah dari hawa nafsu, melainkan wahyu” (QS. An Najm: 3-4)
Maka, Al Qur’an tidak akan bertentangan dengan Al Qur’an, Al Qur’an pun tidak akan bertentangan dengan hadits dan hadits tidak akan bertentangan dengan hadits. Dengan kata lain, ayat Al Qur’an saling menafsirkan, demikian juga ayat Al Qur’an dan hadits saling menafsirkan. Oleh karena itulah kita hendaknuya merujuk kepada para ulama, karena merekalah yang mampu mendudukan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits serta ayat dengan hadits sesuai tempatnya sehingga jelas bahwa tidak ada pertentangan.
Ayat pertama
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
“Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya).” (QS. Yaasin: 52)
Jika orang yang mati dikatakan ‘tidur’ setelah ia mati sampai hari kebangkitan, maka tentu tidak ada adzab kubur atau nikmat kubur. Demikian logika ahlul bid’ah yang menolak adanya adzab kubur, dan memang demikianlah mereka memahami ayat-ayat Allah dengan logika tanpa merujuk kepada ahlinya.
Padahal, kalau kita merujuk para ahli tafsir dari kalangan sahabat sampai ulama mu’ashiriin, Ubay bin Ka’ab -radhiallahu’anhu- , Khaitsamah, Mujahid dan Qatadah menafsirkan maksud dari ‘tidur’ dalam ayat ini adalah: “Tidur sejenak sebelum dibangkitkan dari kubur”. Qatadah juga menambahkan: “Itu terjadi di antara dua tiupan sangkakala” (Lihat Tafsir Ath Thabari, 20/532). Al Hafidz Ibnu Katsir juga menjelaskan: “Ayat ini tidak menafikan adanya adzab kubur, karena jika dibandingkan dengan apa yang terjadi setelahnya, yang terjadi di alam kubur seperti tidur” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 6/581).
Ayat kedua
وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)
Dalam ayat ini dikatakan Allah memberi tangguh, artinya tidak mengadzab mereka, sampai hari dimana mata manusia terbelalak, yaitu hari kiamat. Demikian logika mereka.
Padahal jika kita menilik penjelasan para ulama tafsir, Al Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan makna ‘Allah memberi tangguh kepada mereka‘ : “dikatakan demikian karena begitu ‘ngerinya’ keadaan mereka di hari kiamat” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 4/515). Al Baghawi menafsirkan: “Tidak akan menimpa mereka kengerian semisal yang akan mereka dapatkan di hari kiamat” (Ma’alim At Tanzil, 4/359). Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إن القبر أول منازل الآخرة فمن نجا منه فما بعده أيسر منه ، ومن لم ينج منه فما بعده أشد منه
‘Alam kubur adalah awal perjalanan akhirat, barang siapa yang berhasil di alam kubur, maka setelahnya lebih mudah. Barang siapa yang tidak berhasil, maka setelahnya lebih berat’
Jadi jelas bahwa karena begitu jauhnya perbandingan antara siksa kubur dengan siksa mereka kelak di hari kiamat, hingga ketika mereka masih disiksa di alam kubur dianggap masih dalam masa penangguhan.
Sebagian ulama memang menafsirkan secara mutlak bahwa maknanya adalah ‘mereka tidak akan mendapat adzab hingga hari kiamat’, namun yang dimaksud adalah sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Katsir dan Al Baghawi di atas. Karena faktanya, sebagian orang kafir bahkan diadzab ketika mereka masih hidup. Dan perlu dicatat, para ahli tafsir yang menafsirkan secara mutlak demikian tidak ada yang memahami bahwa ayat ini menafikan adzab kubur. Jadi memahami ayat ini dengan pemahaman para penolak adanya adzab kubur, adalah pemahaman baru yang tidak ada pendahulunya, serta bertentangan dengan ratusan dalil.
Ayat ketiga
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)” (QS. Ar Ruum: 55)
Menurut logika para penolak adanya adzab kubur, berdasarkan ayat ini, antara matinya seorang manusia dengan hari kebangkitan itu hanya terasa sesaat saja, hingga seorang manusia merasakan seolah setelah mati tiba-tiba sudah dibangkitkan. Maka tidak ada alam kubur yang dia merasakan adzab atau nikmat.
Para ahli tafsir menjelaskan mengenai makna ’sesaat’, Al Baidhawi berkata, “Maksudnya adalah masa di alam kubur dianggap terlalu sebentar jika dibandingkan dengan lamanya siksaan mereka di akhirat kelak. Atau penafsiran yang lain, mereka lupa akan lamanya berada di alam kubur” (Anwar At Tanziil, 4/488).
Sebagian ahli tafsir memaknai bahwa maksudnya adalah masa ketika hidup di dunia, Al Baghawi mengatakan, “Maksudnya adalah masa di dunia dianggap terlalu sebentar dibandingkan dengan akhirat” (Ma’alim At Tanzil, 6/278). Seluruh tafsiran di atas tidak ada yang bertentangan dengan dalil-dalil adanya adzab kubur.
Dan sekali lagi perlu di catat, tidak ada ahli tafsir yang memahami bahwa ayat ini menafikan adanya adzab kubur. Menunjukkan bahwa ayat ini dengan dalil-dalil shahih tentang adanya adzab kubur tidaklah bertentangan.
Demikianlah beberapa ayat yang menjadi ’syubhat’ karena dipahami secara salah oleh para pengikut hawa nafsu. Tidak menutup kemungkinan adanya ayat lain yang mereka gunakan untuk melariskan pemahaman menyimpang mereka, namun cukuplah kita meyakini bahwa di antara dalil tidak ada yang saling bertentangan.
SYUBHAT 2: Hadits-hadits tentang adanya adzab dan nikmat kubur adalah hadits ahad, sedangkan hadits ahad bukan hujjah dalam masalah aqidah
Penjelasan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- yang sudah kami kutip sebelumnya sudah mewakili dalam menjawab syubhat ini. Ringkasnya, hadits-hadits tentang adanya adzab kubur itu mutawatir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mutawatir terbagi menjadi ‘aam dan khas. Bagi para ulama yang paham hadits dan fiqih ada hadits-hadits mutawatir bagi mereka yang tidak dianggap mutawatir oleh orang awam. Semisal hadits tentang sujud sahwi, kewajiban syuf’ah, kewajiban membayar diyat bagi yang berakal, kewajiban merajam pezina yang muhshan, hadits-hadits ru’yah, adzab kubur, ….. ” (Majmu’ Fatawa, 18/69)
Namun perlu digaris-bawahi pula, andaikan hadits-hadits tentang alam kubur atau tentang masalah lain adalah hadits Ahad pun tetap merupakan hujjah. Penjelasan rinci mengenai hal ini akan mencakup banyak bab dari ilmu ushul fiqh yang tidak mungkin kami paparkan pada kesempatan ini. Semoga beberapa poin di bawah ini cukup memberikan pencerahan bahwa hadits Ahad adalah hujjah, baik dalam masalah aqidah atau bukan:
- Wajib beramal dengan hadits ahad adalah ijma para ulama
Imam Asy Syafi’i berkata: “Aku tidak mengetahui adanya fuqaha kaum muslimin yang berselisih pendapat dalam menetapkan khabar ahad, sebagaimana yang baru saja saya jelaskan bahwa hadits-hadits ahad ada pada mereka semua” (Ar Risalah, 457-458).Al Khatib Al Baghdadi berkata: “Beramal dengan hadits Ahad adalah pendapat semua ulama tabi’in dan setelah mereka, yaitu para ulama-ulama di semua zaman sampai zaman kita ini (zamannya Al Khatib, -pent). Dan saya tidak mengetahui adanya seorang di antara mereka yang mengingkarinya atau menolaknya” (Al Kifayah, 48)
- Dalil-dalil wajibnya beramal dengan hadits ahad
- Hadits-hadits mutawatir tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan, amil zakat, hakim hanya satu orang saja kepada sekelompok orang. Sebagaimana diutusnya Mua’dz bin Jabal:
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب, فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله و أني رسول الله, فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم و ليلة
“Engkau akan mendatangi kaum yang terdiri dari ahli kitab. Ajaklah mereka untuk bersyahadat ‘Laailaaha Illallah Wa Anna Muhammadan Rasulullah’, jika mereka mau taat, ajarkanlah mereka untuk shalat lima waktu sehari-semalam….” (HR. Muslim 19)
Imam Asy Syafi’i berkata, “Rasulullah tidak pernah mengutus seseorang utusan kecuali sendirian. Ini adalah bukti berita yang dibawa oleh satu orang utusan tersebut adalah benar, Insya Allah” (Ar Risalah, 415)
- Ijma para sahabat bahwa khabar ahad itu diterima (Lihat Al Kifayah, 43-45; Raudhatun Nazhir 1/268-274; Syarh Kaukab Al Munir, 2/369-375). Di antara dalil ijma ini adalah hadits tentang pindahnya kiblat yang hanya dikabarkan oleh satu orang (HR. Muslim, 1208)
- Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)Sisi pendalilan ayat ini ada dua:
Pertama, Allah memerintahkan thaifah untuk memberi peringatan kepada kaumnya. Sedangkan secara bahasa:
والطائِفَةُ من الشيءِ: القطْعَةُ منه، أو الواحِدُ فَصاعِداً، أو إلى الأَلْفِ، أو أقَلُّها رجُلانِ أو رَجُلٌ
“Thaifah dari sesuatu artinya bagian dari sesuatu, atau berjumlah satu atau lebih, atau berjumlah di antara 1 sampai 1000, atau paling sedikit satu atau dua” (Lihat Al Qamus Al Muhith)
Ini menunjukkan tegaknya kebenaran walau hanya dari satu orang atau dua orang. Dan kebenaran itu wajib diterima oleh kaumnya.
Kedua, Allah menyebutkan manfaat adanya beberapa orang yang mendalami agama yaitu ‘supaya mereka itu dapat menjaga dirinya‘. Andai hujjah tidak bisa diterima dari satu atau sedikit orang, tentu manfaat tersebut tidak tercapai dan konsekuensinya ayat ini tidak benar.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengarkan hadits dariku, lalu dia menghafalnya, lalu menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang disampaikan itu lebih paham dari orang yang menyampaikan. Dan terkadang orang yang menyampaikan itu tidak paham” (HR. Tirmidzi 2868, ia berkata: “Hadits hasan”)
Di sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan imra-an yang menyampaikan hadits. Sedangkan imra-an itu artinya satu orang.
- Hadits ahad adalah hujjah dalam masalah hukum ataupun akidah
Dalil-dalil yang ada di poin b menunjukkan bahwa kebenaran atau hujjah itu diterima dari satu orang tanpa dirinci apakah perkaran aqidah atau bukan, berlaku secara umum dan mutlak. Bahkan hadits Muadz bin Jabal berbicara masalah aqidah.Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Semua perkara aqidah mengenai asma dan sifat Allah Ta’ala hanya diketahui dari nash Kitabullah dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih atau dari ijma ulama. Sedangkan yang berasal dari hadits ahad, semuanya diterima dan tidak ada perdebatan tentang ini” (Jaami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih, 2/96). Adapun membeda-bedakan penyikapan hadits Ahad dalam masalah aqidah dan masalah hukum adalah keyakinan baru dalam Islam, yang merupakan bid’ah. Pembedaan seperti ini tidak pernah dikenal oleh salah seorang sahabat Nabi, tidak juga oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in, juga tidak dikenal oleh para Imam. Pembedaan seperti ini hanya dikenal dari tokoh-tokoh ahlul bid’ah dan yang mengikuti mereka (Lihat Mukhtashar Shawa’iqil Mursalah, 503)
(Semua poin a-c ini kami sarikan dari Ma’alim Ushulil Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, 141-143)
Keyakinan bahwa masalah aqidah harus ditetapkan dengan hadits mutawatir itu sendiri merupakan sebuah aqidah (keyakinan) dalam agama. Kalau mereka konsisten, hendaknya mereka mendatangkan dalil yang mutawatir tentang adanya aqidah tersebut dalam Islam.
SYUBHAT 3: Beberapa ulama menilai hadits ahad bernilai zhan, sehingga mereka pun tidak mengimani adzab kubur
Syubhat ini adalah turunan dari syubhat kedua. Dalam tulisan-tulisan mereka yang menolak adanya
adzab kubur, mereka mengutip beberapa pernyataan sebagian ulama ahlussunnah yang menganggap hadits ahad hanya bernilai
zhan dan tidak bernilai ilmu. Sehingga mengesankan bahwa sebagian ulama tersebut juga tidak mengimani adanya adzab kubur. Inilah kecurangan mereka dalam berargumentasi.
Memang benar terjadi ikhtilaf di antara para ulama tentang apakah hadits Ahad bernilai zhan, ataukah bernilai ilmu, ataukah bernilai ilmu namun dengan syarat. Namun mereka sepakat beramal dengan hadits Ahad, sebagaimana telah kami sampaikan pernyataan ijma dalam hal ini. Memang juga sebagian ulama, mengatakan bahwa terhadap hadits Ahad, wajib beramal dengannya namun tidak diyakini. Namun hal ini pada hakekatnya hanyalah ikhtilaf lafzhi, karena setiap dalil dari Al Qur’an dan sunnah yang shahih adalah hujjah yang wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan. Bagaimana mungkin seseorang diperintah untuk beramal tanpa meyakini apa yang dia amalkan?
Semisal hadits tentang meminta perlindungan dari adzab kubur setiap selesai shalat:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdoa ketika sedang shalat dengan doa (yang artinya): ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, dari fitnah al masih ad dajjal, dari fitnahnya orang yang masih hidup atau yang telah mati. Ya Allah aku berlindung kepadamu dari dari perbuatan dosa dan hutang’” (HR. Bukhari 798)
Bagaimana mungkin dengan dasar hadits ini, dikatakan bahwa disunnahkan membaca doa tersebut setiap sebelum salam ketika shalat namun tidak boleh meyakini isinya?? Dari sini terlihat jelas bahwa memisahkan permasalahan hukum dan aqidah dalam pembahasan hadits Ahad adalah perkara yang aneh.
Diantara nama ulama yang sering di-’catut’ untuk melariskan pemahaman mereka adalah Al Imam Al Bukhari. Pasalnya, dalam kitab Shahih Bukhari beliau menulis judul bab:
باب مَا جَاءَ فِى إِجَازَةِ خَبَرِ الْوَاحِدِ الصَّدُوقِ فِى الأَذَانِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّوْمِ وَالْفَرَائِضِ وَالأَحْكَامِ
“Bab dalil-dalil tentang bolehnya menggunakan khabar ahad yang shahih dalam masalah adzan, shalat, puasa, waris dan ahkam”
Al Bukhari tidak menyebutkan i’tiqad atau ‘aqaa-id dalam kalimat tersebut, sehingga diklaim bahwa beliau tidak berhujjah dengan hadits ahad dalam masalah aqidah. Padahal faktanya, Al Bukhari banyak meriwayatkan hadits-hadits Ahad dalam masalah aqidah di Shahih Bukhari. Adapun judul bab yang beliau buat demikian, justru untuk membantah orang-orang yang menolak kehujjahan hadits ahad secara umum. Dan yang paling penting dan perlu digarisbawahi adalah, Imam Al Bukhari mengimani adzab kubur. Sebagaimana telah kami singgung pada bagian dalil-dalil Al Qur’an.
Selain beliau, Al Imam Ibnu Hajar Al Asqalani pun seringkali di-’catut’ dengan cara demikian. Padahal beliau dalam kitab Fathul Baari, menyetujui aqidah Imam Al Bukhari dalam mengimani adzab kubur dan menyelisihi orang-orang yang menafikannya. Ketika beliau mengomentari kalimat:
… بَاب مَا جَاءَ فِي عَذَاب الْقَبْر وَقَوْله تَعَالَى
Ibnu Hajar berkata: “Seolah-olah, maksud Al Bukhari mendahulukan penyebutan ayat-ayat ini karena ingin menjelaskan bahwa pembahasan adzab kubur ada dalam Al Qur’an, menyelisihi sebagian orang yang mengklaim bahwa pembahasan adzab kubur hanya ada dalam hadits ahad” (Fathul Baari, 4/443).
Selebihnya, nama-nama ulama yang mereka sebutkan untuk melariskan pemahaman menyimpang mereka, biasanya berasal dari kalangan ulama yang terpengaruh ilmu kalam atau pemikiran mu’tazilah.
SYUBHAT 4: Dilalah ayat yang dianggap menafikan adzab kubur adalah qath’i, sedangkan dilalah ayat dan hadits yang menetapkan adzab kubur adalah zhanni
Dari surat Yasin ayat 52, mereka memahami bahwa jika orang yang mati dikatakan ‘tidur’ setelah ia mati sampai hari kebangkitan, maka tentu tidak ada adzab kubur atau nikmat kubur. Lalu mereka mengatakan bahwa pendalilan ayat ini adalah pendalilan yang qath’i (tegas dan jelas), atau dilalah qath’iyyah.
Sedangkan surat Ghafir (Al Mu’min) ayat 45-46 tentang Fir’aun dan kaumnya setelah matinya mereka dinampakkan neraka setiap pagi dan sore, jika ayat ini digunakan sebagai dalil untuk membenarkan adanya adzab kubur maka pendalilannya tidak qath’i, tidak tegas, belum jelas maksudnya atau dilalah zhanniyyah. Terlebih lagi terdapat perselisihan di antara para ulama apakah yang dimaksud surat Ghafir ayat 45-46 atau semisalnya itu dirasakan oleh ruh dan jasad atau keduanya sekaligus. Perselisihan ini menambah ketidak-tegasan pendalilan ayat tersebut. Sehingga akhirnya mereka, dengan modal akal mereka, mengambil ayat dengan dilalah qath’iyyah menurut logika mereka, lalu menutup mata (baca:membuang) terhadap dalil yang menurut mereka memiliki dilalah zhanniyyah. Subhanallah!
Orang yang berpenyakit hati gemar mempermainkan dalil
Dari syubhat yang ke 4 ini akan terlihat sekali bagaimana mereka mendewakan akal dalam memahami dalil-dalil syariat. Dengan akal pula mereka mementahkan dalil lain yang tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka. Padahal dalil syar’i tidak ada yang bertentangan dan semua dalil wajib kita imani dan amalkan. Orang-orang yang dipuji Allah dengan ilmu berkata:
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Kami mengimani semua yang diwahyukan oleh Rabb kami” (QS. Al Imran: 7).
Mengambil dalil yang sesuai dengan seleranya, lalu membuang dalil yang tidak sesuai dengan seleranya adalah sikap orang-orang yang terdapat penyakit di dalam hatinya. Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7)
Zhanni dan Qath’i itu nisbi
Penilaian qath’i atau zhanni terhadap sesuatu itu nisbi atau relatif. Bagi sebagian orang sesuatu itu qath’i, namun bagi yang lain zhanni. Dalam hal menilai sebuah dalil itu qathi atu zhanni, relatifitas di sini bergantung kepada:
- Kedalaman penelaahan dalil-dalil syar’i
- Penguasaan kaidah-kaidah dalam berdalil
- Perbedaan tingkat kecerdasan
- Kecepatan memahami sesuatu masalah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Telah jelas bahwa para ulama mujtahid itu berbicara dengan ilmu. Mereka mengikuti dalil. Dan ilmu fiqih itu adalah ilmu yang agung. Para ulama bukanlah termasuk orang-orang yang mengikuti prasangka semata. Namun, di antara mereka terkadang ada yang mengetahui suatu ilmu yang belum diketahui ulama lain. Dikarenakan ulama yang lain belum pernah mendengarnya atau terkadang karena ulama lain belum memahaminya” (Majmu’ Fatawa, 13/124-125. Dikutip dari Ma’alim Ushulil Fiqh, 80-81)
Maka, apa yang mereka (ahlul bid’ah) klaim zhanni, ternyata bagi para ulama adalah perkara yang qath’i. Disebabkan kedangkalan akal mereka dan hawa nafsu yang terlanjur membutakan akal mereka.
Merujuk kepada ahli ilmu dalam memahami dalil
Dalam kasus di atas, ahlul bid’ah mempertentangkan dalil-dalil karena dalam memahami dalil mereka hanya mengandalkan logika semata, sama sekali enggan merujuk kepada penjelasan ulama. Padahal dalam surat Al Imran ayat 7 di atas, Allah telah mengisyaratkan bahwa untuk memahami dalil secara sempurna tanpa menolak sebagian dalil adalah dengan mengembalikannya kepada ahli ilmu yang raasikh (mendalam ilmunya). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضاً بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضاً فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوا بِهِ وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ
“Ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan itu tidak saling mendustakan, bahkan saling membenarkan satu sama lain. Ayat-ayat yang kalian pahami, amalkanlah. Ayat-ayat yang kalian tidak pahami, kembalikanlah kepada orang alim yang memahaminya” (HR. Ahmad 2/161, dishahihkan oleh Al Albani dalam Syarh At Thahawiyah, 585)
Karena para ulama memahami dalil dengan dalil, menafsirkan dalil dengan atsar sahabat Nabi, tabi’in serta orang yang mengikuti mereka, yang merupakan generasi terbaik dan paling paham terhadap Qur’an dan Sunnah.
Dan faktanya, ketika kita mengembalikannya kepada ulama, tidak ditemukan adanya pertentangan di antara dalil-dalil di atas. Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Surat Ghafir (Al Mu’min) ayat 45-46 menetapkan adanya adzab kubur berdasarkan tafsir dari Mujahid rahimahullah, seorang tabi’in yang dijuluki imamul mufassir, juga riwayat dari ulama mufassir (pakar tafsir) yang lain. Juga karena bersesuaian dengan hadits-hadits shahih yang mencapai derajat mutawatir. Pendalilan yang berdasarkan hadits shahih serta atsar salaf ini tentu lebih utama dan lebih agung dibanding pendalilan berdasarkan ra’yu (logika). Dan pendalilan yang demikian ini adalah pendalilan yang qath’i.
Sedangkan surat Yasin ayat 52, berdasarkan riwayat dari seorang sahabat Nabi, Ubay bin Ka’ab -radhiallahu’anhu- , juga dari para tabi’in yaitu Khaitsamah, Mujahid dan Qatadah -radhiallahu’anhum- tafsiran ‘tidur‘ dalam ayat ini adalah: “Tidur sejenak sebelum dibangkitkan dari kubur”. Sehingga ayat ini tidak menafikan adanya adzab kubur. Sekali lagi, pendalilan dengan atsar salaf ini tentu merupakan pendalilan yang qath’i. Walhasil, tidak ada pertentangan di antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, walillahilhamdu.