Jumat, 25 Maret 2011

Hukum Qunut Subuh

Pertanyaan :
 
Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid’ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?

Jawab :

Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.

Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

Uraian Pendapat Para Ulama

Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.

Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi’iy.

Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.

Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-’Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.

Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy dari Ar-Robi’ bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur’ah : ” Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas : “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”

Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.

Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).

Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.

Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :

Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)” . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.

Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.

Kemudian sebagian para ‘ulama syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :

قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :

Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan ‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).

Kedua : Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma’il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.

Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.

Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.

Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.

Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : “Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’ in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.

Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.

Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibba n : “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya”.

Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.

1) Doa
2) Khusyu’
3) Ibadah
4) Taat
5) Menjalankan ketaatan.
6) Penetapan ibadah kepada Allah
7) Diam
8)Shalat
9) Berdiri
10) Lamanya berdiri
11) Terus menerus dalam ketaatan

Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur’an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)

Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :

وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.

Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i

قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.

Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”, قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
” Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.

Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do’a kemudian diaminkan oleh para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma’ad.

Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid’ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.

Semua Akan Memasuki Neraka ?

Allâh Ta'ala berfirman:

“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka).
Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan.
Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa
dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”
(Qs Maryam/19: 71-72)

Penjelasan dari Ayat

Ayat ini (ayat pertama) merupakan kabar berita dari Allâh Ta'ala kepada seluruh makhluk, baik orang-orang yang shaleh ataupun durhaka, Mukminin maupun orang kafir. Setiap orang akan mendatangi neraka. Ini sudah menjadi ketentuan Allâh Ta'ala dan janji-Nya kepada para hamba-Nya. Tidak ada keraguan tentang terjadinya peristiwa itu dan Allâh Ta'ala pasti akan merealisasikannya.

Yang perlu diketahui, Ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian kata al-wurûd (mendatangi neraka) dalam ayat tersebut. Sebagian Ulama menyatakan, maksudnya neraka dihadirkan di hadapan segenap makhluk, sehingga semua orang akan merasa ketakutan. Setelah itu, Allâh Ta'ala menyelamatkan kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Atau menurut penafsiran yang lain, semua makhluk akan memasukinya. Akan tetapi bagi kaum Mukminin meskipun mereka memasukinya, neraka akan menjadi dingin dan keselamatan bagi mereka. Di samping itu, terdapat penafsiran lain yang memaknai kata al-wurûd dengan mendekati neraka. Dan ada pula yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah panas badan yang dialami kaum Mukminin saat menderita sakit panas.

Syaikh ‘Abdul Muhsin menyatakan bahwa penafsiran paling populer mengenai ayat di atas ada dua pendapat. Pertama, semua orang akan memasuki neraka, akan tetapi kaum Mukminin tidak mengalami bahaya. Kedua, semua orang akan melewati shirâth (jembatan) sesuai dengan kadar amal shalehnya. Jembatan ini terbentang di atas permukaan neraka Jahannam. Jadi, orang yang melewatinya dikatakan telah mendatangi neraka. Penafsiran ini dinukil Ibnu Katsîr rahimahullâh dari Ibnu Mas’ûd radhiallâhu'anhu.

Dari dua pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh (wafat tahun 792 H) memandang bahwa pendapat kedua itulah yang paling kuat dan râjih.

Beliau berkata,

“Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai pengertian al-wurûd dalam firman Allah Surat Maryam ayat 71, manakah pendapat yang benar? Pendapat yang paling jelas dan lebih kuat adalah melintasi shirâth.”
Untuk menguatkan pendapat ini, Imam Ibnul Abil ‘Izzi rahimahullâh berhujjah dengan ayat selanjutnya (Qs Maryam/19:72) dan hadits riwayat Imam Muslim rahimahullâh dalam kitab Shahihnya no. 6354.

Imam Muslim rahimahullâh meriwayatkan dengan sanadnya dari Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda saat berada di samping Hafshah radhiallâhu'anha,
“Tidak ada seorang pun dari orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon (ikut serta dalam perjanjian Hudaibiyah, red) yang akan masuk neraka”.
Hafshah (dengan merasa heran) berkata,
“Mereka akan memasukinya wahai Rasulullah”.

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam pun menyanggahnya. Kemudian Hafshah radhiallâhu'anha berdalil dengan membaca ayat di atas (Qs Maryam/19: 71).

(Mendengar ini) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam kemudian (mendudukkan masalah seraya) bersabda:
“Sungguh Allah telah berfirman setelahnya: Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut)”.
(Qs Maryam/19: 72)

Usai mengetengahkan hadits di atas, Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullâh mengatakan bahwa Beliau (Rasulullah) Shallallahu 'Alaihi Wassallam mengisyaratkan (dalam hadits tersebut) bahwa maksud al-wurûd (mendatangi neraka) tidak mesti memasukinya.

Selamatnya (seseorang) dari mara bahaya tidak mesti ia telah mengalaminya. Seperti halnya seseorang yang dikejar musuh yang hendak membunuhnya, namun musuh tidak sanggup menangkapnya, maka untuk orang yang tidak tertangkap ini bisa dikatakan Allah telah menyelamatkannya.

Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya:
  • "Dan ketika adzab Kami datang, Kami selamatkan Hûd..." (Qs. Hûd /11:58),
  • "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Saleh..." (Qs. Hûd /11:66),
  • "Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Syu’aib..." (Qs. D /11:94).

Siksa Allâh Ta'ala tidak ditimpakan kepada mereka, akan tetapi menimpa orang selain mereka. Jika tidak ada faktor-faktor keselamatan yang Allâh Ta'ala anugerahkan bagi mereka secara khusus, niscaya siksa akan menimpa mereka juga. Demikian pula pengertian al-wurûd (mendatangi neraka), maksudnya adalah orang-orang akan melewati neraka dengan melintasi shirâth, kemudian Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang zhalim di neraka dalam keadaan berlutut”

Senada dengan keterangan di atas, sebelumnya Imam Nawâwi rahimahullâh (wafat tahun 676 H) pun merâjihkan arti kata al-wurûd adalah menyeberangi shirâth. Beliau rahimahullâh berkata saat menerangkan hadits Umm Mubasysyir radhiallâhu'anha:
“Yang benar, maksud al-wurûd (mendatanginya) dalam ayat (Qs Maryam/19:71) adalah melewati shirâth. Shirâth adalah sebuah jembatan yang terbentang di atas neraka Jahanam. Para penghuni neraka akan terjatuh ke dalamnya. Sementara selain mereka akan selamat”.
Dalam kitab al-Jawâbuss Shahîh (1/228), Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh juga merâjihkan bahwa pengertian al-wurûd adalah menyeberangi shirâth.

Syaikh Abu Bakar al-Jazairi hafizhahullâh juga memilih pendapat ini dalam tafsirnya.

Orang-orang yang Bertakwa Selamat Melintasi Shirâth

Allâh Ta'ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya sesuai dengan amal mereka. Amal shaleh akan sangat berpengaruh dalam proses melewati shirâth. Semakin banyak amal shaleh seseorang di dunia, maka ia akan semakin cepat menyeberanginya.

Syaikh as-Sa’di rahimahullâh mengatakan:
“Orang-orang menyeberanginya sesuai dengan kadar amaliahnya (di dunia). Sebagian melewatinya secepat kedipan mata, atau secepat angin, atau secepat jalannya kuda terlatih atau seperti kecepatan larinya hewan ternak. Sebagian (menyeberanginya) dengan berlari-lari, berjalan atau merangkak. Sebagian yang lain tersambar dan terjerumus jatuh di dalam neraka. Masing-masing sesuai dengan kadar ketakwaannya. “

Sebagaimana Allâh Ta'ala berfirman yang artinya
“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa (kepada Allah Ta'ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya) dan membiarkan orang-orang zhalim (yang menzhalimi diri mereka sendiri dengan kekufuran dan maksiat) di dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.”

Semoga Allâh Ta'ala dengan Rahmat dan Kasih-Nya berkenan menyelamatkan kita sekalian dari neraka.

Daging Anjing Halal ?

Dewasa ini banyak orang memelihara anjing untuk dikonsumsi dan dijadikan sarana hiburan penyenang hati. Melihat kondisi ini perlu sedikit dijelaskan permasalahan anjing melalui perspektif syariat.

MEMELIHARA ANJING 

Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang memperlakukannya dengan istimewa melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal, memelihara anjing tanpa suatu kebutuhan, seperti untuk menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan.
Hal ini dijelaskan Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:

hadist
Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak
dan anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”

‘Abdullâh mengatakan bahwa Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.”
Juga sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

hadist
Penghuni rumah mana saja yang memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth.

Demikian juga Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

hadist
Barangsiapa memelihara anjing,
maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qirâth,
selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak.

Ibnu Sîrîn rahimahullâh dan Abu Shâleh rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengatakan,

hadist
Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu

Abu Hâzim rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

hadist
Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.”
(HR. al-Bukhâri)

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

hadist
Barangsiapa memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau pemburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”
(HR. Muslim 2940)

Iman An-Nawâwi rahimahullâh memandang haramnya memelihara anjing dengan membuat bab dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman.

NAJISNYA AIR LIUR ANJING

Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

hadist
Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian,
maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali.

Dalam riwayat lain:

hadist
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu bahwa Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“ Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali,
salah satunya dengan tanah”
(HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427)

Jumhur ulama berpendapat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian Ulama memandang levelnya adalah mughallazhah (najis yang berat). Sebab, untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan,

“Di antara hukum Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.

HUKUM JUAL BELI ANJING

Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.
Yang demikian itu didasarkan pada keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd radhiyallâhu'anhu. Beliau berkata:

hadist
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun.

HUKUM MEMAKAN ANJING

Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.

1) Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Padahal Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah melarangnya dalam beberapa hadits, di antaranya:
 
a. Hadits Abu Hurairah z yang berbunyi, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
 
hadist
 
Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas
maka memakannya haram.
b. Hadits Ibnu Abbâs radhiyallâhu'anhu yang berbunyi:
 
hadist
  Sesungguhnya Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang makan semua hewan buas yang bertaring.
   
Berdasarkan hadits-hadits ini, maka harimau, singa, serigala, dan anjing haram dimakan.  
2) Adanya larangan memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang berbunyi:
 
hadist
 
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun.
   
  Jika harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
 
hadist
  Sesungguhnya jika Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu
maka (Allah) haramkan harganya atas mereka”.
   
3) Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allâh Ta'ala : 
 
hadist
 
Katakanlah,
“Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi
- karena sesungguhnya semua itu kotor -
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Qs al-An’âm/6:145)
   
 
Ayat di atas adalah ayat Makiyah, yang turun sebelum hijrah, bertujuan untuk membantah orang-orang jahiliyah yang mengharamkan al-Bahîrah, as-Sâ‘ibah, al-Washîlah dan al-Hâm. Kemudian setelah itu Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal, seperti daging keledai, daging bighâl, dll. Termasuk di dalamnya semua hewan buas yang bertaring.
Ayat di atas tidak lain hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu yang mengharamkan semua hewan buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan.

Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân merâjihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring, beliau menukilkan pernyataan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqiti yang menyatakan,

“Semua yang sudah jelas pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahîh dari al-Qur ‘ân atau Sunnah, maka hukumnya haram dan ditambahkan empat yang diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan al-Qur‘ân, karena sesuatu yang diharamkan di luar ayat tersebut dilarang setelahnya. Memang pada waktu turunnya ayat itu, tidak ada yang diharamkan kecuali empat tersebut. Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya. Apabila muncul pengharaman sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru, maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama.

Kebenaran pendapat yang mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki cacing pita yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi air liur anjing yang najis, sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan mempengaruhi dagingnya. Padahal Rasululâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita memakan daging hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:

hadist
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang makan hewan al-Jalâlah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya.
Dengan demikian sangat jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi, realitanya banyak orang yang memakan daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i. Semoga ini semua dapat membantu menjelaskan permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing.

Menghadiri Tahlilan Kematian


PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum.

Ada hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah akan mendoakan ayahnya yang sudah meninggal, tapi dilarang oleh Allâh Ta'ala. Kenapa banyak orang-orang mengadakan yasinan, tahlilan dengan alasan mendo’akan orang tua yang sudah meninggal. Mereka juga mengatakan bahwa ini merupakan sebentuk perwujudan anak shaleh mendo’akan orang tua. Dan kyai-nya menyebutkan bahwa ini acara tradisi. Bolehkah menghadiri acara tersebut ? Kalau tidak, dimana kemungkarannya ?
Bagaimana cara mendoakan yang sesuai sunnah. Terima kasih, wasalam.

JAWABAN :

Wa’alaikumussalam.

Yang kami ketahui, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam akan memohonkan ampun untuk ibunya tetapi beliau tidak diidzinkan, sebagaimana hadits di bawah ini:

hadits
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata,
“Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menziarahi kubur ibunya,
lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya menangis juga.
Lalu beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
'Aku meminta idzin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku,
tetapi aku tidak diberi idzin.
Dan aku meminta idzin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya,
maka aku diberi idzin.
Maka hendaklah kamu berziarah kubur,
karena ziarah kubur itu bisa mengingatkan kepada kematian.'"
(HR. Muslim)

Adapun tentang ayah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam terdapat hadits sebagai berikut :

hadits
Dari Anas radhiyallâhu'anhu bahwa seorang laki-laki berkata,
“Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku?”,
beliau menjawab, “Di dalam neraka”.
Ketika dia berpaling, beliau memanggilnya lalu bersabda,
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka”.
(HR. Muslim)

Untuk menjawab pertanyaan saudara, kami akan membaginya dalam tiga hal yaitu :

a.
Bolehkah menghadiri acara ini yasinan atau tahlilan untuk mendoakan orang yang telah mati ?
Jawaban kami untuk pertanyaan ini adalah tidak boleh menghadirinya. Karena hal ini tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Kecuali jika dia hadir dalam rangka menjelaskan kemungkarannya, lalu meninggalkannya. Anggapan bahwa itu sebagai aktualisasi dari kebaikan anak yang shalih untuk orang tua, tidak lantas bisa dijadikan legitimasi bagi amalan ini. Karena cara mewujudkan bakti kepada orang tua yang sudah meninggal telah dijelaskan caranya-caranya dalam Islam seperti memohon ampun atau menyambung tali silaturrahim dengan teman dekatnya.

Begitu juga klaim, bahwa acara ini sebagai tradisi semata, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan amalan ini. Karena faktanya mereka yang melakukan itu berharap pahala dari Allâh Ta'ala ketika melaksanakannya bahkan disebagian tempat orang yang tidak melaksanakannya dianggap tidak mau melaksanakan sunnah. Bukankah ini berarti ibadah ?
Padahal yang namanya ibadah harus berlandaskan dalil. Kalaupun dianggap sebagai tradisi, maka dalam Islam, tradisi itu boleh dipertahankan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Sementara yasinan yang mereka klaim sebagai tradisi ini ternyata menyelisihi agama Islam yang telah sempurna yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

hadits
"Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami
yang tidak berasal darinya, maka perkara itu tertolak."[1]
b.
Dimanakah letak kemungkarannya ?
Kemungkaran-kemungkaran amalan ini banyak, diantaranya :
  1. Yasinan atau tahlilan merupakan bentuk ibadah yang tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
  2. Berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian dan apalagi disertai dengan penghidangan makanan dari tuan rumah setelah penguburan merupakan bentuk niyâhah (meratap) yang dilarang oleh agama.
  3. Jamuan yang diberikan tuan rumah kepada tetamu bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang memerintahkan para tetangga untuk memberi makan kepada keluarga mayit, bukan keluarga mayit yang menghidangkan makanan kepada tetangga.
  4. Bertentangan dengan akal. Karena orang yang sedang didera kesusahan dengan sebab kematian anggota keluarganya sepantasnya dihibur. Bukan ditambahi beban dengan menghidangkan jamuan buat para tamu, baik tetangga maupun kerabat atau dengan membayar orang yang membacakan al- Qur’ân, tahlil atau doa.
  5. Mengadakan perayaan untuk kematian, seperti perayaan pada hari ketiga, kesembilan dan seterusnya adalah kebiasaan yang berasal dari ajaran agama Hindu. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam meninggalkannya.
Dan berbagai kemungkaran lainnya yang tidak mungkin disebutkan di sini, karena terkadang jenis kemungkaran ini berbeda-beda sesuai dengan daerahnya.
c.
Bagaimana cara yang benar dalam mendo’akan mayit ?
Sebatas yang kami tahu, cara mendo’akan mayit menurut Sunnah adalah sebagai berikut :
  1. Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika mendengar berita atau mengetahui kematian seorang muslim.
  2. Mendo’akan dan memohonkan ampunan saat shalat jenazah.
  3. Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika ziarah kubur.
  4. Mendoakan dan memohonkan ampunan di setiap ada waktu dan kesempatan, dengan tanpa menentukan waktu, tempat dan tata-cara khusus yang tidak diajarkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.
Inilah jawaban kami secara ringkas. Bagi para pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan secara rinci bisa meruju’ ke kitab-kitab Ulama yang membahas masalah hukum-hukum jenazah, seperti kitab Ahkâmul Janâ’iz karya syaikh al-Albâni rahimahullâh, dan kitab-kitab yang lain.

Musik Islami

PERTANYAAN :

Apakah Majalah As-Sunnah pernah membahas lagu atau musik Islami, dan bagaimana orang yang memainkan atau mendengarkannya? Jika boleh, apakah ada hari-hari tertentu untuk memainkan atau mendengarkannya, dan kapan waktunya? Besar harapan saya untuk dimuat pada edisi ini.
Terima kasih.


JAWABAN :
Majalah As-Sunnah belum pernah membahas masalah ini. Adapun jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Anda sebagai berikut :

Pertama, dalam Islam, tidak ada istilah musik Islami, walaupun istilah itu diucapkan oleh sebagian orang Islam. Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân hafizhahullah- pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini:
“Banyak pembicaraan tentang nasyid-nasyid Islami, di sana ada yang memfatwakan boleh. Ada juga yang menyatakan, nasyid-nasyid Islami itu sebagai ganti kaset-kaset nyanyian. Bagaimanakah pendapat Anda, (wahai Syaikh) yang terhormat?”

Syaikh Shâlih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab :
 "Penamaan ini tidak benar. Itu merupakan penamaan baru. Di kitab-kitab Salaf dan para ulama yang perkataannya terpercaya, tidak ada yang dinamakan dengan nasyid-nasyid Islami itu. Yang dikenal, bahwa orang-orang Shufi-lah yang telah menjadikan nasyid-nasyid sebagai agama bagi mereka. Itulah yang mereka namakan dengan samaa’. Adapun pada zaman kita ini, ketika banyak golongan dan kelompok, sehingga setiap kelompok memiliki nasyid-nasyid yang menjadikannya sebagai pemberi semangat. Mereka terkadang memberinya nama dengan “nasyid-nasyid Islami”.[1] Penamaan ini tidak benar. Oleh karenanya, tidak boleh memiliki nasyid-nasyid, dan meramaikannya di tengah masyarakat. Wabillahit-taufiq. [2]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh ditanya:
“Bagaimana hukum mendengarkan nasyid-nasyid? Bolehkah seorang da’i mendengarkan nasyid-nasyid islami?”

Menanggapi pertanyaan seperti ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh menjawab:
"Aku sudah lama mendengar nasyid-nasyid Islami, dan tidak ada padanya sesuatu yang harus dijauhi. Tetapi, akhir-akhir ini aku mendengarnya, lalu aku mendapatinya dilagukan dan didendangkan dengan irama lagu-lagu yang diiringi musik. Nasyid-nasyid dalam bentuk seperti ini, maka aku tidak berpendapat seseorang boleh mendengarkannya. Akan tetapi, jika nasyid-nasyid itu spontanitas, tanpa disertai dengan irama dan lagu, maka mendengarkannya tidak mengapa, tetapi dengan syarat tidak menjadikannya sebagai kebiasaan.

Syarat lainnya, jangan menjadikan hatinya merasa tidak memperoleh manfaat dan nasihat, kecuali dengannya. Karena dengan menjadikannya sebagai kebiasaan, berarti ia telah meninggalkan yang lebih penting. Dan dengan tidak memperoleh manfaat serta tidak mendapatkan nasihat kecuali dengannya, berarti dia menyimpang dari nasihat yang paling agung, yaitu apa-apa yang terdapat di dalam kitab Allâh dan Sunnah Rasul-Nya.

Jika terkadang dia mendengarkan (nasyid yang tidak mengandung larangan), atau ketika dia sedang mengemudikan mobilnya dan ingin menghibur dalam perjalanan, maka mendengarkannya tidak mengapa."[3]

Di tempat lainnya, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Melagukan nasyid Islam adalah melagukan nasyid bid’ah, yang diada-adakan oleh orang-orang Shufi. Oleh karenanya, sepantasnya hal itu ditinggalkan, dan beralih kepada nasihat-nasihat Al-Qur`an dan as-Sunnah. Demi Allâh, kecuali jika hal itu dilakukan di medan perang untuk mengobarkan keberanian dan jihad fii sabilillah, maka ini baik. Jika nasyid itu diiringi dengan rebana (apalagi alat musik yang lain, Red.), maka hal itu lebih jauh dari kebenaran”.[4]

Kedua
, tentang lagu semata tanpa diiringi musik, hukum asalnya boleh, dengan syarat-syarat sebagaimana sebagian telah dijelaskan oleh Syaikh al-’Utsaimin rahimahullâh di atas, yaitu :
  1. Lagu atau nasyid itu spontanitas, dengan tanpa irama dan lagu.
  2. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan, yaitu selalu atau sering mendengarkannya. Karena jika menjadikannya sebagai kebiasaan, berarti ia telah meninggalkan urusan yang lebih penting.
  3. Tidak menjadikan hati merasa tidak memperoleh manfaat dan nasihat kecuali dengan memainkan ataupun sekedar mendengarkan musik. Bila beranggapan seperti ini, berarti dia menyimpang dari nasihat yang paling agung, yaitu Kitab Allâh dan Sunnah Rasul.
  4. Kandungan lagu tidak bertentangan dengan ajaran agama, seperti nyanyian yang berisi kemusyrikan, bid’ah, ratapan terhadap orang yang mati, mengisahkan wanita-wanita cantik, pacaran, perzinaan, khamr, kemaksiatan, dan kerusakan lainnya. Karena semua ini akan membawa kepada keharaman.
  5. Tidak mengikuti aturan-aturan seni musik. Karena hal ini termasuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir atau orang-orang fasik.

Ketiga, adapun memainkan alat musik –dengan segala jenisnya- hukumnya haram, kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita-wanita dewasa atau gadis-gadis kecil dan dipertunjukkan di kalangan wanita sendiri, pada waktu pernikahan atau pada waktu hari raya.
Di antara dalil-dalil yang mengharamkan memainkan alat-alat musik sebagai berikut:

hadits
Dari Abdur-Rahman bin Ghanm Al-Asy’ari, ia berkata:
Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari telah menceritakan kepadaku,
demi Allâh dia tidak berdusta kepadaku,
dia telah mendengar Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Benar-benar akan ada beberapa kelompok orang dari umatku
akan menghalalkan kemaluan (yakni zina), sutera, khamr, dan alat-alat musik.
Dan beberapa kelompok orang benar-benar akan singgah
ke lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka.
Seorang yang miskin mendatangi mereka untuk satu keperluan,
lalu mereka berkata: ‘Kembalilah kepada kami besok,”
kemudian Allâh menimpakan siksaan kepada mereka di waktu malam,
menimpakan gunung (kepada sebagian mereka),
dan merobah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi sampai hari Kiamat”.[5]

Juga sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

hadits
Dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; (yaitu)
nyanyian di saat kenikmatan, dan jeritan ketika musibah.[6]

Juga hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

hadits
Dari Abdur-Rahman bin Auf, dia berkata:
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
'Aku tidak melarang dari menangis,
tetapi aku telah melarang dari dua suara yang bodoh dan maksiat;
suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan, dan lagu-lagu setan;
dan suara di saat musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan”.[7]

Dan hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadits
Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata:
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
'Sesungguhnya Allâh telah mengharamkan atasku (pada riwayat lain, atas mereka)
-atau telah diharamkan- khamr, judi, dan al-kûbah”,
beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga bersabda:
“Dan tiap-tiap yang memabukkan haram”.
Sufyan (salah seorang perawi) berkata:
“Aku bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang al-kûbah,
dia menjawab ‘beduk (drum, gendang, atau semacamnya)’.” [8]

Semua hadits-hadits yang disebutkan ini, secara umum melarang musik. Kemudian ada hadits-hadits lain yang menunjukkan bolehnya wanita memainkan rebana pada waktu pernikahan, dan gadis-gadis kecil memainkannya di waktu hari raya. Oleh karenanya, hal ini dikecualikan dari larangan. Tetapi, tentu tidak boleh menyebabkan fitnah (kemaksiatan) dan kerusakan, sehingga dilakukan di kalangan para wanita itu sendiri, tidak di hadapan umum, serta tidak memakai pengeras suara. Wallahu a’lam.

Poligami Melindungi Wanita

Menciptakan manfaat sebesar-besarnya dan menepis bahaya, kendatipun kecil, itulah spirit yang melekat pada setiap aturan Islam. Tidak ada satu pun ketetapan hukum Ilahi yang berimplikasi buruk bagi umat manusia. Semua mengandung kemaslahatan demi kemaslahatan. Termasuk juga bolehnya melakukan poligami bagi kaum laki-laki, sama sekali tidak menimbulkan ekses negatif pada diri wanita. Justru poligami (yang sesuai dengan syari'at Islam) memberikan aspek positif pada mereka.

Oleh karena itu, poligami tidak perlu ditakuti, apalagi sampai antipati. Sebelum Islam datang, poligami sudah ada dan merupakan sesuatu yang wajar, bahkan di lingkungan kerajaan di negeri ini pada masa lalu. Tak sedikit para raja yang memiliki isteri lebih dari satu, bahkan mungkin tak terhitung. Begitu pula yang terjadi pada masa Jahiliyah. Seorang laki-laki bisa memiliki isteri bisa lebih dari sepuluh, bahkan lebih. Yang lebih mengenaskan, seolah wanita diperlakukan layaknya barang, yang bisa dipindah kepemilikannya.

Kemudian Islam datang dengan membawa pencerahan, mengoreksi kebiasaan buruk tersebut. Tidak lain ialah untuk “memanusiakan” wanita, yang keberadaannya tertindas. Tidak memiliki hak sebagai manusia merdeka. Islam datang untuk mengangkat derajat wanita setinggi-tingginya, memuliakannya, menjaga kehormatannya, dan menjauhkan mereka dari tempat yang hina.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Berwasiatlah kalian (kepada orang lain) untuk berbuat baik kepada wanita.
(HR. Bukhari)

Data statistik di banyak negara mengindikasikan jumlah wanita melebihi kaum Adam, Jika sensus ini benar, sementara aturan pernikahan hanya membolehkan seorang laki-laki menikah dengan satu wanita, lantas bagaimana wanita-wanita yang belum bertemu jodohnya mencari perlindungan, keamanan, memenuhi kebutuhannya, dan menjaga kehormatannya?

Tentu, siapa pun tidak ingin menghabiskan hari-harinya sendirian. Ini sebuah permasalahan sosial. Meski para wanita ini dipaksa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, kemungkinan justru menjadi bumerang bagi keamanan dan kehormatannya.

Jika mau jujur, hidup sendiri tanpa pasangan resmi, bak orang yang berjalan dengan pincang, penuh resiko. Gelar berjejer, status sosial tinggi, atau seabreg kesibukan dalam karir, tidak akan dapat mengobati kesendirian seorang wanita yang mendambakan kehadiran seorang lelaki. Dan yang demikian ini adalah fitrah bagi wanita.

Mereka membutuhkan tempat bernaung yang bisa melindungi, membimbing, mencurahkan kata hatinya, dan mendapatkan kasih sayang. Bahkan untuk mengobati kerinduannya dipanggil ibu oleh anak-anaknya.
Dalam konteks ini, kemaslahatan poligami yang didapatkan wanita lebih besar dibandingkan kemaslahatan lelaki yang menjalankan poligami, sebagaimana telah diungkapkan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan saat ditanya mengenai solusi penanganan banyaknya jumlah wanita yang belum menikah. (Lihat al Muntaqa, 3/168).

Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini termasuk asasi. Ironisnya, meski mengetahui kemaslahatan poligami, tak kurang para penentang poligami seolah selalu menutup mata terhadap keindahan yang terkandung dalam syari’at Islam ini. Dengan berbagai alasan, propaganda penolakan didengungkan di mana-mana, media massa, mimbar-mimbar, bahkan dipolitisasi. Seolah-olah poligami adalah buruk, sedangkan perzinaan sesuatu yang baik.

Begitu pula para wanita, tidak sedikit yang merasa berat suaminya melakukan poligami, tetapi tak merasa terganggu jika suaminya melakukan perselingkungan dengan wanita lain. Na’udzubillah.

Padahal jika ditelusur secara mendalam, perzinaan telah menimbulkan keresahan. Dampak sosialnya sangat mahal untuk dibayar. Perzinaan sangat meresahkan masyarakat, merancukan nasab, dan yang telah terjadi, perzinaan telah memberikan saham sejumlah penyakit menular, sejak dikenal dengan sipilis, rajasinga, hingga pada masa kiwari ini munculAIDS. Jadi, perzinaan sangat tidak menguntungkan bagi wanita.

Begitu pula dengan “wanita simpanan”, hakikatnya telah mempecundangi harkat dan martabat wanita. Dia tidak mendapat perlindungan, tetapi justru sekedar dijadikan pemuas nafsu belaka. Di hadapan hukum, bila terjadi kematian pasangan selingkuhnya, tidak ada pasal-pasal yang menguatkan posisinya. Ketidakpastian, lilitan dosa dan penyesalan akan mendera dan menghiasi hari-harinya. Jadi, jika kita mengupas poligami, sangat banyak maslahat dan faidah yang bisa dipetik. Bahwa poligami itu indah, karena ia melindungi wanita.





Kiat-Kiat Mendapatkan Syafa'at


Pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang dapat menolong seorang hamba, kecuali Allâh Ta'âla, kemudian amal-amal shalih yang dikerjakan seorang hamba, serta syafa’at Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
Berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan seorang muslim untuk mendapatkan syafa’at, yaitu :

1.
Tauhid dan Mengikhlaskan Ibadah Kepada Allâh Ta'âla Serta Ittiba’ Kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.





Tidak diragukan lagi bahwa tauhid sebagai penyebab yang paling besar untuk mendapatkan syafa’at pada hari Kiamat. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam pernah ditanya:
“Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafa’atmu pada hari Kiamat?”
Nabi menjawab :

hadits
“Yang paling bahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat adalah, orang yang mengucapkan Laa ilaahaa illallaah
dengan ikhlas dari hatinya atau dirinya”.
(HR Bukhari, no. 99)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata :

“Syafa’at, sebabnya adalah tauhid kepada Allâh, dan mengikhlaskan agama dan ibadah dengan segala macamnya kepada Allâh. Semakin kuat keikhlasan seseorang, maka dia berhak mendapatkan syafa’at. Sebagaimana dia juga berhak mendapatkan segala macam rahmat. Sesungguhnya, syafa’at adalah salah satu sebab kasih sayang Allâh kepada hambaNya. Dan yang paling berhak dengan rahmatNya adalah ahlut tauhid dan orang-orang yang ikhlas kepadaNya. Setiap yang paling sempurna dalam mewujudkan kalimat ikhlas (laa ilaahaa illallaah) dengan ilmu, keyakinan, amal, dan berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan, loyal kepada kalimat tauhid, memusuhi orang yang menolak kalimat ini, maka dia yang paling berhak dengan rahmat Allâh." (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, XIV/414 dengan ringkas).

2.
Membaca al Qur‘an





Dari Abi Umamah bahwasanya dia mendengar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
"Bacalah al Qur‘an.
Sesungguhnya al Qur‘an akan datang pada hari Kiamat
sebagai pemberi syafa’at bagi sahabatnya…"
(HR Muslim, no.804)

Yang dimaksud dengan 'para sahabat al Qur‘an', adalah orang-orang yang membacanya, mentadabburinya, dan mengamalkan isinya.

3.
As-Shiyâm (Puasa)





Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
As-Shiyam (puasa) dan al Qur‘an akan memberi syafa’at
kepada seorang hamba pada hari Kiamat kelak.
Puasa akan berkata :
“Wahai, Rabbku.
Aku telah menahannya dari makan pada siang hari dan nafsu syahwat. Karenanya, perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya”. Sedangkan al Qur‘an berkata :
“Aku telah menahannya dari tidur pada malam hari.
Karenanya, perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya”. Maka keduanya pun memberi syafa’at.
(HR Ahmad, II/174; al Hakim, I/554; dari Abdullah bin ‘Amr.
Sanad hadits ini hasan.
Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim
dan disetujui oleh Imam adz Dzahabi.
Kata Imam al Haitsami, diriwayatkan oleh Ahmad
dan Thabrani dalam Mu’jam Kabir.
Rijal hadits ini rijal shahih. Lihat Majma’uz Zawaid III/181. Dishahihkan oleh al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 394)

4.
Doa Setelah Adzan





Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
Barangsiapa yang membaca ketika mendengar adzan :

‘Ya Allâh, Rabb pemilik panggilan yang sempurna ini
dan shalat (wajib) yang didirikan.
Berilah al wasilah (derajat di surga), dan keutamaan kepada
Muhammad (shallallâhu 'alaihi wasallam), dan bangkitkan beliau,
sehingga bisa menempati maqam terpuji yang engkau janjikan’.
Maka dia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari Kiamat”.
(HR Bukhari no.614, dari Jabir bin Abdillah)



5.
Tinggal di Madinah, Sabar Terhadap Cobaannya, dan Mati di Sana.





Abu Sa’id pernah mendengar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah)
kemudian dia mati,
kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya,
atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat, jika dia seorang muslim.
(HR Muslim, no.1374, 477; dari Abu Sa’id al Khudri)
hadits
Tidaklah seseorang dari umatku sabar terhadap cobaan Madinah
dan kesusahannya,
kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya
atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat.
(HR Muslim, no.1378, 484; dari Abu Hurairah)
hadits
Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah disana.
Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati disana.
(HR Ahmad, II/74,104; Tirmidzi, no.3917; Ibnu Majah, no.3112;
Ibnu Hibban, no. 3741, dari Ibnu Umar. Tirmidzi berkata:
“Hadits ini hasan shahih”)



6.
Shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam





Dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, bahwasannya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku
pada hari kiamat adalah, yang paling banyak shalawat kepadaku.
(HR Tirmidzi, no.484, Hadits Hasan)



7.
Shalatnya Sekelompok Muslim Terhadap Mayit Muslim.





Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh sekelompok orang Islam
yang jumlah mereka mencapai seratus,
semuanya memintakan syafa’at untuknya,
melainkan syafa’at itu akan diberikan pada dirinya.
(HR Muslim, no.947, 58)
hadits
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia,
lalu jenazahnya dishalatkan oleh empat puluh orang
yang tidak menyekutukan Allâh dengan sesuatu apapun,
melainkan Allâh akan memberikan syafa’at kepadanya.
(HR Muslim, no.948, 59)



8.
Memperbanyak Sujud





Dari Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami, dia berkata:

“Aku pernah bermalam bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, lalu aku mendatangi beliau sambil membawa air untuk wudhu’ beliau. Kemudian beliau berkata kepadaku :
’Mintalah!’
Aku berkata :
’Aku minta untuk dapat menemanimu di surga.’
kemudian beliau berkata :
‘Atau selain itu?’
Aku berkata :
’Itu saja.’
Lalu beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
"Tolonglah aku atas dirimu dengan banyak bersujud”
(HR Muslim, no.489, 226)

Demikianlah delapan faktor yang bisa menjadi penyebab seseorang mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad pada hari Kiamat, bila kita mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allâh dan ittiba’ (mengikuti contoh) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.

Adapun pendapat sebagian orang, bahwa di antara sebab-sebab untuk bisa mendapatkan syafa’at adalah dengan ziarah ke kubur Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang palsu, dan sama sekali tidak ada asalnya dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Seperti hadits, barangsiapa yang ziarah ke kuburku, maka dia berhak mendapatkan syafa’atku, dan masih banyak lagi yang lain.

Jadi, ziarah kubur Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam tidak termasuk faktor yang bisa menyebabkan seseorang untuk mendapatkan syafa’at, karena tidak adanya dalil-dalil yang shahih tentang masalah tersebut.