Sabtu, 09 Juli 2011

KISAH SEORANG TUKANG BECAK



Siang itu teramat teriknya. Matahari seakan-akan membakar sepanjang jalanan beraspal ini. Bolongnya lapisan ozon di atas sana, membuat panas luar biasa rasanya di badan. Kadang justru terasa menggigil seperti demam karena amat panas. Meskipun pengendara motor sudah berjaket dan asesories lengkap, tapi tetap tembus, seperti diopen dalam microwave.

Tiba-tiba di depan sana. "Diiiinnnn......diiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnnnn..." suara klakson panjang melengking. Disambung lagi mobil di belakangnya. "Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......tet...teeeeeeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttt" panjang tak kalah geramnya. Di baris ketiga tak ketinggalan..."Diiin....din...diiiinnnn....", "Diiin...dinn...diiinn..., diiiiiiiiinnn....." membunyikan klakson mobilnya sesuka hatinya.

Bunyi-bunyian itu tak henti-hentinya, hingga memekakkan telinga. Suaranya berasal dari tiga buah mobil mewah edisi mutakhir. Mereka terhenti karena terjebak macet, dan rupanya ada sesuatu yang membuat macet di depan sana. Sesekali orang di dalamnya melongok-longok mengumpat-umpat mengomel.

Ternyata di depan ada tukang becak yang overload kelebihan beban. Setelah dimuati beberapa zak semen, dan material-material lainnya. Beberapa lonjor besi beton cor bertengger memanjang di atas becaknya. Tak terbayangkan betapa beratnya. Lagi pula di titik itu jalan sedikit menanjak.

Bapak tukang becak tampak kepayahan mendorong becaknya yang sarat beban. Tak ada seorang pun tergerak untuk sudi menolongnya. Hati manusia sudah pada tuli tampaknya. Pak becak itu sudah berusia lanjut tapi tubuhnya masih tegap berotot ulet. Kulitnya legam, menandakan secara historis dia sering bergelut dengan panas matahari dalam mencari nafkah.

Didorongnya becak itu sekuat tenaganya. Sepertinya sudah berkilometer dia mengayuh, dan di tanjakan ini adalah sisa-sisa tenanganya. Mukanya menunduk ke bawah agar tidak silau terpampang matahari. Sambil mengerahkan tenaganya menatap aspal di bawahnya yang seperti menggembur kepanasan. Sandal jepitnya seolah meleleh pula lengket dengan aspal.

"Diiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnn....teeeeeett...dooott..dott.....tiiiiiiiinnn" segala tetet towet klakson ditekan semakin kencang dan marah.
"Ya Allah....ya Allah...." gumam pak becak."Demi Tuhan!...ini sangat berat!"
Sambil mendorong, fikirannya berkecamuk."oh ..tidakkah kalian tahu..ini sungguh berat, otot-otot tubuhku serasa hendak putus, mohonlah bersabar sedikit""tolong sabarlah sedikit"

Pak becak tak mungkin menepikan becaknya karena trotoar sangat tinggi, jika nekat bisa-bisa muatannya tumpah bercerai-berai. Sementara kendaraan dari arah berlawanan tak henti-hentinya berlalu lalang.

"Doooeeeeeeeeeettttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt...doeeeeeeeeeeeeeetttt" makhluk-makhluk bermobil bertambah murka.

"Ya Tuhan....kalian manusia atau bukan!, oh..." dalam benaknya Pak Becak berkata-kata."Ada apa dengan kalian ini, tidak taukah rasanya melakukan ini. Tidakkah di dalam mobil begitu dingin dan sejuk. Berjam-jam didalamnya pun kalian bisa pulas. Keburu apa kalian? Hendak kemana? Apakah kalian ingin segera mencebur ke neraka?"

Suara klakson makin menggila bersahut-sahutan."Oh...mohon bersabarlah..berat sekali ini...Oh Tuhanku" "Andai boleh bertukar sebentar saja, kalian coba dorong benda ini, dan jika kalian mengeluh melakukan ini....akan kucambuk kalian dengan besi cor keras ini. Agar kalian mengerti." batinnya geregetan.

Fikiran Pak Becak kesana kemari. Napasnya seakan hampir putus.Setelah ada celah di sisi kanan, mobil-mobil itu menyalip dengan brutalnya."Oooo...Dasar Budheeeg!!!!!" seseorang mengumpatinya. Beberapa lainnya merengut dan memelototkan matanya sambil menggeber-geber gas mobilnya. Seolah-olah Pak Becak adalah pendosa yang amat berat.

Pak Becak terhenyak, dia hendak marah, tapi ditahan perasaannya. Lalu menunduk lagi tetap terus mendorong bebannya. Tak terasa air matanya menetes."Tidak tahukah kalian..demi 15ribu rupiah aku melakukan ini, dan demi menafkahi keluargaku"."Tuhan menghendaki aku seperti ini, dan menghendaki kalian demikian.

Sungguh enak sekali kalian, tidak bersusah payah setiap hari. Tapi kenapa kesejukan di dalam sana, sepertinya membuat otak kalian mendidih" "Rupanya kalian manusia tapi berotak hewan, yang kerjanya hanya menyalak" "Tidak adakah sedikitpun rasa sabar, dan bersyukur" "Andai kalian adalah anak-anakku, pasti sudah kutampar mulut kalian yang tak mengerti sopan santun. Kupukul kepala kalian yang dungu dengan bambu." "Supaya kalian mengerti, bahwa pukulanku adalah jauh lebih baik. Ketimbang kalian disiksa oleh Sang Pemberi Balasan". 
"Tubuhku boleh sangat lelah dan panas, tapi hati dan pikiranku amatlah sejuk"
"Oh Tuhan Terima kasih ....atas semua ini"

Apa jawabanmu???

 Bismillahirahmaanirrahim,
==================

Alkisah, disebuah rumah sederhana, seorang ibu memiliki dua orang anak perempuan, keduanya cantik dan pintar. Suatu hari setelah makan malam sang ibunda berbincang kepada kedua anak gadisnya itu. “Anak-anak bunda yang cantik, ini bunda berikan pertanyaan dalam secarik kertas, tolong tulis jawabannya sesuai dengan isi hatimu ya nak".


Ibu itu memberikan dua lembar kertas dengan pertanyaan yang sama. Pertanyaannya seperti ini :
Duhai anakku yang cantik,
Siapakah orang yang paling kau teladani?
Siapa yang paling kau benci?
Siapa yang paling kau sukai?
Siapa yang ingin kau contoh dan kau ingin menjadi dirinya di dunia ini?
Pertanyaan terakhir, Apa cita-citamu anakku?

Melihat pertanyaan sang ibunda masing-masing gadis itu menjawab penuh semangat di tempatnya masing-masing dan tak berapa lama kertas itu mereka kembalikan ke tangan sang ibunda.

Awalnya sang ibunda membaca kertas yang diberikan anak bungsunya yang berumur  18 tahun, isinya begini:
Orang yang paling aku teladani adalah Obama, karena dia hebat bisa meminpin negara adikuasa dan menjadi presiden Amerika. Aku mau meneladani perjuangannya sehingga bisa hebat seperti dia.
Orang yang paling aku benci ya Krisdayanti karena cerai sama Anang.  
Kalau orang  yang paling aku sukai adalah Beyonce dan Shakira, karena suaranya dan bodynya bagus, apalagi kalau nari..waw…aku paling suka deh.. 
Ehm..jawaban yang ke empat aku belum  tahu siapa bunda…nanti deh aku jawab… ok?????
dan jawaban tentang Cita-citaku adalah aku  ingin menjadi orang kaya raya. :)

Membaca jawabban si bungsu sang ibunda hanya tersenyum tipis dan mengelus kepala anaknya.
Selanjutnya sang ibunda membaca kertas yang kedua dari putri sulungnya yang berusia 19 tahun, isinya begini : 
Bundaku tersayang, orang yang paling aku teladani didunia ini ada dua, yang pertama adalah Nabi Muhammad SAW, beliau adalah tauladan seluruh umat, kekasih yang diidam-idamkan, Allah saja sangat mencintainya apalagi aku… aku sangat mencintainya dan segala akhlak terpuji yang dimilikinya, beliaulah suri tauladanku bunda. Yang kedua adalah dirimu bunda, karena kau begitu hebat dalam semua sisi, ibu yang baik bagi kami, istri yang baik bagi suamimu dan anak yang baik bagi orang tuamu.
Bunda, orang yang paling aku benci adalah orang-orang yang merusak kedamaian dunia, penguasa yang zalim, orang-orang yang menyiksa anak kecil, orang yang menzalimi kaum papa, orang yang mengacuhkan anak yatim, orang yang menghina orang miskin, anak yang durhaka kepada kedua orang tua, dan suami yang menzalimi anak istri.
Bunda, orang yang paling aku sukai adalah orang yang baik akhlaknya, luhur budinya, halus perkataannya dan orang itu adalah dirimu.
Bunda, orang yang ingin aku contoh dan aku ingin menjadi dirinya ada tiga, yang pertama adalah Fatimah Az Zahra (Putri Rasulullah), beliau adalah wanita yang sangat dicintai Rasulullah karena akhlak dan pribadinya sangat mulia bahkan Muhammad pernah bersabda: "Fatimah as adalah belahan jiwaku. Dia adalah malaikat berwajah manusia. Setiap kali aku merindukan aroma surga, aku pun mencium putriku, Fatimah", dan aku ingin seperti dirinya. Yang kedua adalah Asiyah (istri firaun), beliau  adalah sosok wanita yang lemah lembut dan berbudi pekerti yang luhur. Dalam dirinya terpancar kebaikan, teguh pendirian dan keimanannya. Keteguhan iman dan kesabarannya melalui sekian cobaan berat dalam kehidupan dunia meninggalkan ibrah yang akan terus di kenang dan diikuti oleh wanita-wanita muslimah di sepanjang zaman.  Maka apakah yang lebih pantas didapatkan oleh wanita mulia seperti Asiyah melainkan Syurga yang tiada bandingannya. Aku sangat ingin menjadi dirinya. Dan yang ketiga adalah  Aisyah (istri Muhammad SAW). beliau tak hanya cantik lahirnya, sopan tutur katanya, dan lembut perilakunya, tetapi juga dikenal sebagai wanita yang cerdas. Aku juga ingin seperti dirinya bunda.
Dan cita-citaku adalah menjadi anak yang berbakti kepada orang tuaku, menjadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anak-anakku kelak dan menjadi orang yang berguna bagi kebaikan bangsa, negara dan umat.

Sang  ibunda terharu membaca jawaban anak sulungnya, diciumnya pipi anaknya dan ditunjukkannya kertas itu kepada si bungsu. Ketika sang adik membaca tulisan sang kakak, air matanya menetes, lalu ia berkata. “Bunda, aku malu sekali sama kalian, aku juga malu dengan jawaban-jawabanku tadi, sekarang aku sudah tau jawaban dari pertanyaanmu yang keempat tadi, aku ingin sekali seperti kakakku, dialah orang yang ingin aku contoh karena sangat bijaksana dalam segala hal…


Sahabat-sahabatku yang baik, jika pertanyaan yang sama ditujukan kepada kita kira-kira seperti apakah jawaban kita?????
Semoga bisa menjadi renungan bagi semua…



Wassalam,

Ramadhan Tahun Lalu ...

 
Ramadhan tahun lalu, teramat banyak menu tersaji di meja makan, baik saat sahur, terlebih saat berbuka. Tidak sedikit sisa makanan sahur yang terbuang ke tempat sampah di pagi hari. Begitu juga setumpuk makanan yang tak mampu lagi tertampung di perut usai berbuka. Padahal, di luar sana jutaan anak yatim menangis menahan lapar mereka. Antrian pengemis dan kaum fakir menadahkan tangan meski kadang hanya lelah yang didapat. Sama dengan kita, mereka pun berpuasa. Bedanya, tak ada makanan untuk sahur maupun berbuka. Karena puasa bagi mereka, tak hanya di bulan ramadhan. Sepanjang tahun mereka lakukan hal yang mungkin hanya sebulan kita menjalaninya.

Sepanjang Ramadhan tahun lalu, banyak ibadah yang kita kerjakan. Banyak sudah doa yang terajut, untaian pinta yang terukir, air mata yang tumpah di setiap sujud dan panjang rakaat sholat kita. Sama dengan kita, di luar sana, jutaan fakir miskin tak henti berdoa berharap derma dari yang peduli. Sepanjang tahun kita hanya khusyuk berdoa, namun tanpa tangan yang terhulur menjawab pinta kaum fakir.

Di hari-hari terakhir Ramadhan tahun lalu, langkah-langkah kaki kita memenuhi pusat perbelanjaan untuk menyambut hari raya penuh ceria. Butuh waktu berhari-hari untuk menyambangi beberapa pusat perbelanjaan, teramat banyak peluh yang menetes untuk menjinjing hasil buruan berjam-jam di pusat perbelanjaan. Di hari-hari yang sama pula, kaki-kaki kaum dhuafa memenuhi pusat perbelanjaan. Bukan untuk berbelanja, mereka hanya singgah di emperan pertokoan sambil mengiba berharap kasih sayang. Berkaca mata mereka menyaksikan tawa riang orang-orang keluar masuk toko. Pilu hati mereka menatap jinjingan yang dibawa setiap orang yang keluar toko. Sesekali sepasang matanya singgah di baju lusuh yang kotor dan beraroma tak sedap yang mereka kenakan.

Usai sholat Id tahun lalu, aneka makanan berbagai bentuk dan warna. Beragam minuman aneka rasa menghiasi meja tamu dan meja makan kita. Ketupat, rendang daging, dan berbagai sajian khas lebaran siap terhidang. Untuk orang rumah, juga untuk tamu. Tapi tak ada makanan yang sengaja disiapkan untuk dikirim ke panti anak yatim. Apalah lagi membuka pintu untuk kaum fakir dan menyediakan meja untuk mereka bersantap.

Saat seluruh keluarga berkumpul, merasakan hangatnya silaturahmi yang terjalin indah, ada segepok uang yang kita bagi-bagikan kepada anak-anak, keponakan, cucu, atau pun anak-anak kerabat yang datang. Padahal di depan pagar rumah kita, berpuluh pasang mata menatap iri bermimpi mendapat santunan. Kata “maaf” atau sekadar uang kecil menjadi alat pengusir tamu-tamu tak diundang itu.

Di hari raya tahun lalu, ada tangan lembut yang kita kecup. Begitu juga tahun ini, ibu dan ayah manis duduk menanti antrian anak-anaknya bersimpuh meminta keridhaan. Satu persatu dari yang tertua hingga si bungsu menyalami dan mencium ibu dan ayah mereka. Tak jauh dari tempat kita, anak-anak yatim piatu di rumah panti menatap kosong pintu tempat tinggal mereka. Tak ada yang datang bersilaturahim, membawakan makanan kecil atau ketupat. Dan yang pasti, tak ada tangan-tangan lembut yang mereka kecup untuk dimintai keridhaannya. Sebagian mereka, bahkan tak pernah tahu sosok mulia yang melahirkannya.

Ramadhan tahun ini, mestinya kita lebih peduli. Agar ada secercah senyum terukir di wajah mereka. Semoga

Not "same..."





Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia akan bealjar memaki….
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia akan berlajar berkelahi…
Jika anak di besarkan dengan cemoohan,
Ia akan belajar rendah diri….
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri….
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri…..
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri….
Jika anak dibesarkan  dengan pujian,
Ia belajar menghargai….
Jika anak dibesarkan dengan sebaik – baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan….
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan….
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya….
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan…..

By : Dorothy Law Nolte

Bismillah….,

Dan semua kehidupan ini membutuhkan proses…,
Keberhasilan bukan bertitik tumpu atas hasil seseorang yang dicapainya, akan tetapi… sejauh dan seberapa besar perjuangan ia bertahan, ia berikhtiar dalam usahanya…

Anak adalah jiwa yang musti terpelihara se- awal ia berada di dunia…
Waktu kecil.. ia begitu polos dan putih….
Itulah mengapa terkadang kita yang dewasa harus mencontoh “kejujuran” mereka…
Dalam hal apapun jiwa kecil itu merasa peka terhadap lingkungannya…
Besar  batin dengan apa yang mereka terima…

Jiwa yang tergenggam hanyalah ada pada Allah saja.
Hati yang tercipta dari dua menjadi satu….
Atas ridho dan ijin-Nya..

Maka lepas dan bebaskanlah .. namun…. Ikatlah ia dengan kepedulian…
Karena tak satu hal pun di dunia ini secara terus menerus sesuai dengan apa yang kita inginkan…
Kita berbeda…
Sekalipun SAMA….
Kita berdiri sendiri….
Sekalipun  BERSAMA….


Saling mengerti dan menghargai….
Semoga  dari apapaun yang “tak sama” kan dapat menjadi suatu warna yang Anggun karena perbedaaan yang ada…
Insya Allah Amin.

Kisah Sedih Si Pencuci Piring

 

Sang Pencuci Piring

Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung?

Bisa jadi kedua mempelai yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski lelah menderanya namun tetap mampu tersenyum hingga tamu terakhirpun. Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka menunggu hari bahagia ini. Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan kewajiban terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan. Atau bahkan ibu pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah, ia membayangkan akan segera menimang cucu dari putranya. “Aih, pasti segagah kakeknya,” impinya.


Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu nampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak saudara dan kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa berlangsung di sela-sela pesta. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan bergizi plus, inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang sekadarnya di amplop yang tertutup rapat.


Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta itu kecuali air mata kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria dari luar kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka meratap di balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang baru saja menikah itu. Dan pria-pria sakit hati itu hanya bisa menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika harus menyalami dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi milik pria lain.


Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang pernah saya ketahui hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.


Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih di pesta itu. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.


Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan, itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.

Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.

Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.


Sekadar usul untuk Anda yang akan melaksanakan pesta pernikahan, tidak cukup kalimat

“Mohon Doa Restu”

dan

“Selamat Menikmati”

yang tertera di dinding pesta, tapi sertakan juga tulisan yang cukup besar

“Terima Kasih untuk Tidak Mubazir”.


Mungkinkah?

Demi Hidupi Keluarga, Nenek 70 Tahun Angkat 100 Galon Sehari

Bayangkan seorang nenek yang hanya memiliki berat badan 37,5 Kilogram dengan usia yang sudah senja ini harus menjadi kuli antar air mineral galon yang memiliki berat lumayan bagi orang tua seukuran dia, namun hal itu tetap dilakukan demi membiayai hidup keluarganya, karena nenek ini menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya.


Kebanyakan kita hanya bisa mengeluh dan mengeluh berkeluh kesah menjalani kehidupan dan rutinitas pekerjaan yang membosankan dan serasa berat, sekarang coba tanyakan pada diri Anda lebih susah mana apa yang Anda lakukan dalam mencari nafkah ketimbang apa yang dilakukan nenek ini?



Inilah kisah nyata dari salah satu sudut kota Beijing Cina, yang dikutip ruanghati.com dari sebuah situ lokal yaitu Sina.com, dimana seorang nenek yang bernama Gao Meiyun yang berusia 70 tahun musti bekerja keras banting tulang sebagai kuli angkut air mineral galon kerumah-rumah demi membiayai hidup anak nya yang cacat fisik dan membayar perawatan cucunya yang cacat mental dan membutuhkan biaya perawatan.


Ada apa dengan anak sang nenek sehingga sang nenek Gao harus melakukan ini, kondisi anak yang cacat fisik tak bisa berbuat banyak untuk menjalani hidupnya, sehingga sang ibu adalah tulang punggung hidup mereka. Mereka yang tinggal di Shijingshan District Yangzhuang Middle District Beijing mesti mengenal sang nenek yang dikenal sebagai nenek sang pengantar air galon mineral.
Bayangkan galon air mineral yang beratnya 20 kg lebih harus diangkat dan diantarkan sang nenek yang hanya memiliki berat badan 37,5 kg tersebut, sehari sang nenek bisa mengangkat dan mengantar lebih dari 100 galon dari tempat tuannya bekerja ke pelanggan yang memesannya. Beratnya galon bagi sang nenek membuat badannya yang kurus menjadi semakin bungkuk, bayangkan saja sobat ruanghati.com, sejak jam 6 pagi nenek super ini sudah memulai aktifitasnya hingga jam 10 malam.


Betapa perkasanya nenek renta ini menjalani hidupnya yang berat, namun optimis dan semangat tetap ada bersamanya, tidak malukah dia
Nah sobat, apa yang bisa kita ambil hikmah dari cerita ini, pertama adalah rasa syukur dengan kondisi hidup kita saat ini, masih banyak orang diluar sana yang lebih susah hidupnya dari pada kita, yang kedua adalah semangat hidup, seriang kita mengeluh menjalani hidup yang memang cukup berat sekarang ini, namun seberat apapun hidup yang ada dimuka kita tetap musti kita harus tempuh oleh karenanya tetaplah optimis dan penuh semangat, Tuhan tidak pernah terlelap sekejappun untuk melihat usaha apapun yang kita lakukan dan Tuhan Maha Penyanyang sehingga pastinya pertolongan Dia senantiasa akan datang bersama orang-orang yang sabar, bukankah demikian sobat?

Love You Mom........



“Dulu, ketika aku menikah, tidak pernah berpikir punya anak seperti apa, gimana jaganya, biayainya sekolah hingga lulus kuliah nanti… tapi kujalankan saja…

Ketika melahirkan dirinya, hampir diriku menyerah, tapi demi melihatnya lahir ke dunia ini, tumbuh besar dan menjadi anak yang berguna, aku terus berjuang, walaupun harus berkorban diri ini demi kehadiran dirinya di dunia ini…

Dia telah lahir ke dunia ini, pertama kali melihatnya, ada perasaan bergejolak di diriku, aku terharu dan bangga sekali bisa membawanya ke dunia ini, aku berjanji, apapun yang terjadi, gimanapun susahnya hidup ini, anak ini harus kubesarkan dengan kedua tanganku…

Tidak mudah untuk membesarkan dirinya, dia bandel sekali ketika kecil, suka bermain lupa waktu, berteman dengan anak-anak nakal, tidak mau makan, susah disuruh mandi, susah dibujuk tidur waktu malam hari, kadang dia marah dan bentak padaku, kadang dia mengejekku, kadang juga dia menghinaku…

Ketika besar, dia merasa diriku terlalu membatasi dirinya, ini tidak boleh, itu tidak boleh, dia juga merasa aku terlalu kolot, ketinggalan jaman, tidak mengerti apa maunya, tidak setuju terhadap setiap kelakuannya…

Kadang sakit hati sekali diriku ini, tapi ingat ketika pertama kali menggendongnya, ketika melahirkannya, semua sakit ini hilang seketika… dia adalah anakku, anak kesayanganku…

Aku telah berjanji akan membesar dirinya, apapun yang terjadi, rintangan apapun yang kuhadapi, karena dia anakku… Harapanku besar kelak dia bisa menjadi anak yang berguna… Aku cinta padamu, anakku…

kau lah, yang memberikan kekuatan pada diriku, membuatku mau bekerja keras pagi-siang-sore-malam, tidak takut akan sakit, derita.. Karena kehadiran dirimu lah membuat diriku ada artinya, bisa membesarkan dirimu dan mendengarkanmu memanggilku IBU, sungguh senang rasanya hati ini…

Aku tidak berharap banyak, hanya suatu saat, ketika dirimu sudah besar, kamu dapat menjadi anak yang baik, bisa hidup yang enak. Ibu mungkin sudah tua, tidak bisa hidup lama lagi, badanku ini sekarat, kerutan muka sudah banyak, perjalananku tidak lama lagi.
Ibu Cinta padamu… dari dulu, sekarang, dan selamanya…” , jika kamu bekerja keras, tidak perlu sampai memberikan rumah yang bagus, uang yang banyak, semuanya itu untuk dirimu saja. Ibu hanya berharap kamu mau menyisihkan sedikit waktumu untuk menemani masa-masa tua ibu, bisa disamping ibu dan ngobrol dengan ibu, itu sudah lebih dari cukup…

Ibu Bangga denganmu, nak, mungkin tidak pernah terucap lewat kata, tapi ini ibu rasakan dari lubuk hati yang dalam… Maafkan jika selama ini ibu pernah marah denganmu, memukulimu, melarangmu ini itu, semua ini demi kebaikanmu, nak…

Setia Sepanjang Usia



Disebuah rumah sederhana yang asri tinggal sepasang suami istri yang sudah memasuki usia senja. Pasangan ini dikaruniai dua orang anak yang telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri yang mapan.

Sang suami merupakan seorang pensiunan sedangkan istrinya seorang ibu rumah tangga.Suami istri ini lebih memilih untuk tetap tinggal dirumah mereka menolak ketika putra-putri mereka menawarkan untuk ikut pindah bersama mereka.

Jadilah mereka, sepasang suami istri yang hampir renta itu menghabiskan waktu mereka yang tersisa dirumah yang telah menjadi saksi berjuta peristiwa dalam keluarga itu.

Suatu senja ba’da Isya disebuah mesjid tak jauh dari rumah mereka, sang istri tidak menemukan sandal yang tadi dikenakannya kemesjid tadi.

Saat sibuk mencari, suaminya datang menghampiri
“Kenapa Bu?”

Istrinya menoleh sambil menjawab “Sandal Ibu tidak ketemu Pa”.

“Ya udah pakai ini saja” kata suaminya sambil menyodorkan sandal yang dipakainya. walau agak ragu sang istri tetap memakai sandal itu dengan berat hati.

Menuruti perkataan suaminya adalah kebiasaannya.Jarang sekali ia membantah apa yang dikatakan oleh sang suami.

Mengerti kegundahan istrinya, sang suami mengeratkan genggaman pada tangan istrinya.

“Bagaimanapun usahaku untuk berterimakasih pada kaki istriku yang telah menopang hidupku selama puluhan tahun itu, takkan pernah setimpal terhadap apa yang telah dilakukannya.

Kaki yang selalu berlari kecil membukakan pintu untuk-ku saat aku pulang,
kaki yang telah mengantar anak-anakku ke sekolah tanpa kenal lelah, serta kaki yang menyusuri berbagai tempat mencari berbagai kebutuhanku dan anak-anakku”.

Sang istri memandang suaminya sambil tersenyum dengan tulus dan merekapun mengarahkan langkah menuju rumah tempat bahagia bersama….

Karena usia yang telah lanjut dan penyakit diabetes yang dideritanya, sang istri mulai mangalami gangguan penglihatan. Saat ia kesulitan merapikan kukunya, sang suami dengan lembut mengambil gunting kuku dari tangan istrinya.

Jari-jari yang mulai keriput itu dalam genggamannya mulai dirapikan dan
setelah selesai sang suami mencium jari-jari itu dengan lembut dan bergumam
“Terimakasih ya, Bu ”.

“Tidak, Ibu yang terimakasih sama Bapak, telah membantu memotong kuku Ibu” tukas sang istri tersipu malu.

“Terimakasih untuk semua pekerjaan luar biasa yang belum tentu sanggup aku lakukan. Aku takjub betapa luar biasanya Ibu. Aku tau semua takkan terbalas sampai kapanpun” kata suaminya tulus.

Dua titik bening menggantung disudut mata sang istri “Bapak kok bicara begitu?
Ibu senang atas semuanya Pa, apa yang telah kita lalui bersama adalah luar biasa.

Ibu selalu bersyukur atas semua yang dilimpahkan pada keluarga kita, baik ataupun buruk. Semuanya dapat kita hadapi bersama.”

Hari Jum’at yang cerah setelah beberapa hari hujan. Siang itu sang suami bersiap hendak menunaikan ibadah Shalat Jum’at,

Setelah berpamitan pada sang istri, ia menoleh sekali lagi pada sang istri menatap tepat pada matanya sebelum akhirnya melangkah pergi.

Tak ada tanda yang tak biasa di mata dan perasaan sang istri hingga saat beberapa orang mengetuk pintu membawa kabar yang tak pernah diduganya.

Ternyata siang itu sang suami tercinta telah menyelesaikan perjalanannya di dunia.
Ia telah pulang menghadap sang penciptanya ketika sedang menjalankan ibadah Shalat Jum’at, tepatnya saat duduk membaca Tahyat terakhir.

Masih dalam posisi duduk sempurna dengan telunjuk kearah Kiblat, ia menghadap Yang Maha Kuasa.

“Subhanallah sungguh akhir perjalanan yang indah” gumam para jama’ah setelah menyadari kalau dia telah tiada.

Sang istri terbayang tatapan terakhir suaminya saat mau berangkat kemesjid.
Terselip tanya dalam hatinya, mungkinkah itu sebagai tanda perpisahan pengganti ucapan selamat tinggal.

Ataukah suaminya khawatir meninggalkannya sendiri didunia ini. Ada gundah menggelayut dihati sang istri. Walau masih ada anak-anak yang akan mengurusnya,

Tapi kehilangan suami yang telah didampinginya selama puluhan tahun cukup membuatnya terguncang. Namun ia tidak mengurangi sedikitpun keikhlasan dihatinya yang bisa menghambat perjalanan sang suami menghadap Sang Khalik.

Dalam do’a dia selalu memohon kekuatan agar dapat bertahan dan juga memohon agar suaminya ditempatkan pada tempat yang layak.

Tak lama setelah kepergian suaminya, sang istri bermimpi bertemu dengan suaminya.
Dengan wajah yang cerah sang suami menghampiri istrinya dan menyisir rambut sang istri dengan lembut. “Apa yang Bapak lakukan?’ tanya istrinya senang bercampur bingung.

“Ibu harus kelihatan cantik, kita akan melakukan perjalanan panjang. Bapak tidak bisa tanpa Ibu, bahkan setelah kehidupan didunia berakhir,Bapak selalu butuh Ibu. Saat disuruh memilih pendamping Bapak bingung, kemudian bilang pendampingnya tertinggal,
Bapakpun mohon izin untuk menjemput Ibu.”

Istrinya menangis sebelum akhirnya berkata “Ibu ikhlas Bapak pergi, tapi Ibu juga tidak bisa bohong kalau Ibu takut sekali tinggal sendiri.. Kalau ada kesempatan mendampingi Bapa sekali lagi dan untuk selamanya tentu saja tidak akan Ibu sia-siakan."

Sang istri mengakhiri tangisannya dan menggantinya dengan senyuman.
Senyuman indah dalam tidur panjang selamanya…..

Terima kasih Ibu, Terima kasih Ayah..



“Nak, bangun.... Sarapanmu udah ibu siapin di meja..."

Kebiasaan ini tlah berlangsung selama 27 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat dan kini usiaku sudah mau kepala 3 dan aku telah menjadi seorang karyawan disebuah Perusahaan swasta, tapi kebiasaan Ibu tak pernah sama sekali berubah sejak dulu.

" Ibu sayang... jangan repot-repot Bu, aku dan adik-adikku kan udah pada dewasa" Pintaku pada Ibu pada suatu pagi.

Wajah tua yang lembut itu langsung mendadak berubah. Dan ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran, buru-buru aku keluarkan uang dan aku bayar semua yang kami pesan.

Dalam hati ini ingin sekali rasanya walau hanya sedikit walau tak bermakna aku dapat membalas jasa Ibu kepadaku, kepada adik-adik ku dengan hasil keringatku sendiri. Toh aku sekarang sudah bekerja dan sudah waktunya aku berikan penghasilanku kepadanya.

Tetapi raut sedih diwajahnya itu tak bisa disembunyikan. Kenapa ya Ibu mudah sekali sedih ? Pikiranku sudah mulai merasakan entahlah dan aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang waktunya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena pernah aku membaca dari sebuah buku, bahwa orang yang sudah lanjut usia biasanya bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak. Tapi entahlah, itukan kata buku, dan yang pasti aku mempunyai niat adalah ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih dan bawaan Ibu jika sedang sedih ia tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

Keesokannya aku coba memberanikan diri untuk bertanya, "Bu, maafin aku ya kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang aku lakukan Bu sehingga membuat Ibu begitu bersedih?” Tanyaku…

Aku tatap mata Ibu yang sudah mulai tambah keriput dikarenakan katarak yang dialaminya, ada mengalir tetesan airmata yang jatuh dipipinya. Terisak Ibu berkata, "Ibu sangat khawatir merasa kalian anak-anak ku sudah tak lagi membutuhkan Ibu. Kalian semuanya telah dewasa, sudah bekerja, mempunyai penghasilan dan sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian karena semua sudah bisa kalian lakukan sendiri"

Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan yang dia miliki yang tak pernah kami sadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.

Diam-diam aku berjanji. .. Apa yang telah aku persembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada kami ? Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab, "Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan Ibu . Kalian mempunyai prestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu . Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua."

Lagi-lagi aku hanya bisa berucap, "Ampunkan aku ya Allah jika selama ini sedikit sekali ketulusan yang dapat kami berikan kepada Ibu kami. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu. "

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk "cuti" dari pekerjaan rumah. Tapi tidak dengan Ibu! Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang tak akan bisa dilimpahkan kepada siapapun.

Pukul 3 dinihari Ibu sudah bangun dan pukul 5 shubuh Ibu membangunkan kami. Ia ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi... Ah, maafin kami Ibu .... 18 jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat Ibu lelah.. Sanggupkah aku Tuhan ?

" Nak... bangun nak, sarapannya udah Ibu siapin dimeja.. "Tanpa males-malesan dikasur dan kali ini aku segera beranjak. Aku buka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang sudah keriput, aku tatap matanya lekat dan Aku ucapkan, "TERIMA KASIH IBU, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakanmu Ibu...".

Berbinar dari mata Ibuku itu memancarkan kebahagiaan. ..
Cintaku ini milikmu,
Ibu... Aku masih sangat membutuhkanmu
Maafkan kami yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu


Dear sahabat TERIMA KASIH IBU tidak selamanya kata sayang itu harus diungkapkan dengan kalimat "aku sayang padamu... ", namun begitu, Allah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang tua yang kita cintai karenaNYA.
Jangan malu, jangan ragu, buanglah rasa gengsimu sahabat, ayo.. Kita mulai dari orang-orang terdekat yang sangat mencintai kita.
Seorang Ibu dan seorang Ayah, walau mereka tak pernah meminta atau mungkin telah tiada, percayalah… hanya sepatah kata “TERIMA KASIH IBU” dan “TERIMA KASIH AYAH” akan sangat membuat mereka berarti dan bahagia selalu dan selalu.
Dan sebuah sajak sederhana aku tulis,
Cintanya seperti air, tak akan pernah habis..
Terus berputar.. terus mengalir.. seterusnya dan seterusnya
pada sebuah telaga yang memberi kehidupan.
Terima kasih Ibu, Terima kasih Ayah..
Cinta kalian seperti biru langit..
Kemana aku melangkah, aku dapat berteduh dibawahnya.
Terima kasih Ibu, Terima kasih Ayah..
Bahkan biru laut pun tak akan bisa menampung,
atas jutaannya pujian yang terharuskan untuk kalian.

Kisah Ibu Tua Yang Hendak Ditelantarkan


Ini cerita dari Jepang kuno. Mudah mudahanan bisa kita ambil hikmahnya (cerita ini didapat dari buku pelajaran bahasa Jepang). Konon pada jaman dahulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.

Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.

"Bu, kita sudah sampai" kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya.

Si ibu , dengan tatapan penuh kasih berkata:"Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang.

Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan".

Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang dan merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggalkan dunia.

Mungkin cerita diatas hanya dongeng. Tapi di jaman sekarang, tak sedikit kita jumpai kejadian yang mirip cerita diatas. Banyak manula yang terabaikan, entah karena anak-anaknya sibuk bisnis dll. Orang tua terpinggirkan, dan hidup kesepian hingga ajal tiba. kadang hanya dimasukkan panti jompo (baca: curhat seorang kakek dari panti jompo), dan ditengok kalau ada waktu saja.

Kiranya cerita diatas bisa membuka mata hati kita, untuk bisa mencintai orang tua dan manula. Mereka justru butuh perhatian lebih dari kita, disaat sisa umur mereka menunggu waktu dipanggil Tuhan yang maha kuasa. Ingatlah perjuangan mereka pada waktu mereka muda, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, membekali kita hingga menjadi seperti sekarang ini.

Maafkan Suamimu, Istriku

Malam kian larut, diluar sana hujan gerimis masih membasahi bumi, semilir angin meniup lembut memasuki lorong-lorong jendela, udara yang sejuk memanjakan para insan melelapkan tidur-tidur mereka.

Dinginnya malam mampu membuat tulang rusuk menggigil meskipun tanpa pendingin ruangan sekalipun. Tetapi suhu yang dingin itu tidak mampu membuat mata Rina terpejam, ia masih duduk dipinggiran tempat tidur, disamping suaminya yang sedari tadi telah lama mendengkur.

Malam itu, Rina sulit sekali terpejam, ia merasa bersalah kepada suaminya, karena meminta sesuatu diluar kesanggupan suaminya yang berpenghasilan pas-pasan, tapi karena sindiran para tetangga, akhirnya ia beranikan diri mengutarakan keinginannya dihadapan suaminya, meski ia tahu, suaminya tidak akan mampu mewujudkannya saat ini.

Pikirannya menerawang kembali pada kejadian beberapa hari lalu, siang itu, ia bertemu dengan orangtua wali murid teman sekolah anaknya. Temannya itu mengundang dirinya untuk hadir pada acara syukuran menempati rumah baru, ya rumah baru yg menjadi impian tiap pasangan yg telah menikah. Mendengar undangan itu hatinya tertegun, ia yg sudah menikah hampir limabelas tahun masih menumpang di rumah orangtuanya, bukan tanpa alasan tapi karena ia dan suaminya memang belum mampu mewujudkannya.

Setiap kali ada teman lama yg menanyakan kabarnya pastilah pertanyaannya selalu membuat hatinya gundah, "tinggal dimana sekarang jeng", ia hanya bisa menjawab "masih ditempat yg lama" , begitulah seterusnya. Padahal ingin sekali ia menjawab, "Sekarang kami tinggal di perumahan A atau di kompleks B" tapi tidak bisa dan tidak tahu kapan ia bisa menjawab seperti itu.

Belum lagi sindiran tetangga yg selalu menyakitkan hatinya, betapa tidak, ia bersama suaminya masih tinggal dirumah orangtuanya, padahal kedua adiknya sudah pergi dibawa suaminya tinggal dirumah masing-masing. Memang dirinya tidak persis tinggal dirumah orangtua, tetapi di bekas garasi dan kamar yg dibuat menjadi rumah petakan dan dibatasi dengan tembok dan sedikit pagar untuk menunjukan bahwa rumah itu terpisah tapi tetap saja dalam lingkup halaman yg sama dan satu atap pula.

Padahal pernah ia mendengar rumor dari neneknya almarhum bahwa malaikat mengirim rezeki kepada manusia satu atap-satu atap, bukan satu keluarga-satu keluarga dan rumor inilah yg selalu menggayuti benaknya senantiasa. Apa mungkin rezekinya seret karena masih tinggal satu atap dengan orangtua hingga ia sulit untuk memiliki rumah sendiri. Kadang ketika ia sedang kalut ia sangat mempercayai rumor itu, tapi ketika ia sadar bahwa rezeki allah yg mengatur ia pun hanya bisa menghela nafas dan istighfar dalam-dalam.

Sore itu ia membulatkan tekad untuk meminta haknya kepada suaminya, ia tak lagi menunggu suaminya berganti pakaian sepulang mengajar di sebuah sekolah swasta. Ketika suaminya tiba langsung ia berondong dengan pertanyaan dan komplain tentang kehidupan rumahtangganya yg dirasakan belum layak, ia tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa ia iri dengan kedua adiknya, ia juga membandingkan penghasilan suaminya dengan penghasilan suami adiknya, kehidupan materi dirinya dan kehidupan materi adiknya.

Sang suami yang kaget karena tidak siap dengan pertanyaan bertubi-tubi hanya diam membisu, hanya sudut matanya terlihat bening membulat yg makin lama makin membesar. Jujur dalam hati sang suami memang ia belum mampu memberikan kehidupan yg layak seperti yg diminta istrinya, ia pasrahkan sang istri mengeluarkan emosi dan amarahnya tanpa membantah satu patah kata pun.

Ia hanya bisa menunduk tak mampu menahan tajam mata istrinya, ia sadar bahwa itu memang tanggungjawabnya memberikan nafkah, sandang serta papan merupakan tugas dirinya tapi apa mau dikata, ia belum bisa mewujudkan semua itu. Di helanya nafas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan lagi secara perlahan. Perlahan buliran-buliran di ekormatanya mulai menggumpal, ia menangis bukan karena meratapi nasibnya, tapi karena sedih melihat istrinya menderita karena ketidakberdayaannya.

Betapa tidak, ia sangat mencintai istrinya yg dinikahinya limabelas tahun lalu, dan selama itu istrinya tetap sabar atas kekurangan dirinya, tetap tersenyum meski lapar dan dahaga kerap menerpa keluarga mereka. Kadang ia malu ketika ibu mertuanya membawa lauk pauk untuk dirinya, istrinya dan anak-anaknya.

Semasa ayah mertuanya masih hidup, ia masih bisa menahan malu, karena ayah mertuanya mempunyai penghasilan dari pensiunan tentara, dengan uang pensiun itu sang kakek kerap mengajak cucunya pergi jalan-jalan ke minimarket di ujungjalan dan pulang dengan membawa sekantong makanan kesukaan anaknya. Tapi kini, sang ibu mertua hanya mengandalkan sisa pensiun almarhum suaminya dan ia tidak tega jika ibu mertuanya itu memberi makanan kepada keluarganya.

Ia menangis karena tidak tega melihat istrinya menderita secara batin akibat sindiran para tetangga yg kerap datang menyinggungnya. Ia merasa bersalah tak mampu memberikan kebahagiaan yg sudah patut diterima istrinya. Kekuatan cinta istrinya kepada dirinya selama bertahun-tahun itulah yg membuat hatinya semakin miris, betapa begitu tega dirinya membiarkan sang istri menderita, padahal pengorbanan yg telah dilakukan kepadanya sangat begitu besar.

Dulu ketika ia hendak melamar istrinya, sebenarnya ada pemuda kaya yg akan melamar istrinya, tapi sang istri menolak. Istrinya memilih dirinya karena pemahaman agamanya lebih bagus dari pada pemahaman agama pemuda kaya itu. Dan itulah yang membuat istrinya bangga menikah dengannya, karena ia yakin cinta dan kesalehan akan membawa kepada kebahagiaan abadi.

Mengingat hal itu hati sang suami bagai diiris-iris sembilu, ia yg dibanggakan istrinya ternyata tidak mampu membahagiakan balik istrinya. Ia hanya bisa berharap kepada rabb pencipta semesta, untuk memberikan kekuatan kepada dirinya dan diri istrinya untuk tetap tegar menghadapi kehidupan ini. Tapi sebagai manusia, kesabaran menjadi terbatas ketika waktu yg berlalu ternyata melewati batas toleransi.

Apalagi ditambah hasutan syetan yg senantiasa memanas-manasi keadaan. Ketika orang lain bisa, mengapa dirinya tidak bisa, itulah perkataan terakhir Rina kepada suaminya saat sebelum meninggalkan dirinya dan pergi masuk kamar untuk menangis tersedu-sedu. Tinggal sang suami duduk lesu tak mengerti harus berkata apa, dalam rasa bersalah yg mendalam, dalam rasa iba kepada istrinya yg merasuk kedalam buluh-buluh nadi lalu mencengkrap kuat ototjantungnya. Saat itu kehidupan dirasakannya seperti berhenti berdetak, sementara azan maghrib sayup-sayup mengalun, mengabarkan dunia akan waktu sholat telah tiba.
-o0o-
Malam pun kian larut, Rina masih memandang wajah lelah suaminya yg telah bekerja seharian, ia tahu suaminya pasti belum makan karena marahnya sore tadi. Sang suami pasti enggan meminta disediakan makan malam untuknya melihat ia dalan keadaan marah seperti itu. Setelah sholat isya, sang suami lebih memilih tidur untuk menenangkan fikiran.

Ia tidak perduli perutnya bergejolak karena lapar. Dalam keheningan, Rina memandangi guratan-guratan diwajah suaminya, guratan yg membuat wajahnya terlihat lebih tua dari usia seharusnya. Rina merasa bersalah, mengapa ia menyakiti suami yg tidak pernah menyakiti dirinya sedikitpun selama perkawinan mereka. Ia seakan lupa bahwa dulu ia memilih suaminya bukan karena hartanya, tapi karena kekayaan hati suaminya.

Dan ia sangat bahagia akan hal itu. Tapi kini mengapa ia harus menggugat, meskipun gugatannya itu adalah gugatan wajar, ketika seorang istri menuntut hak kepada suaminya untuk mendapatkan tempat tinggal yg layak. Tapi bagi dirinya, hal itu sudah mencederai janji tulus kepada suaminya. Ia yang selama ini tetap tegar dan sabar ternyata bisa lepas kendali hanya karena sindiran tetangganya.

Seorang suami yg paling baik, yg tidak pernah memarahinya, yg tidak pernah menuntutnya, yg tidak pernah menyakitinya seujung kukupun kini terluka oleh lidahnya. Ia yg sangat sabar dan telaten, penyayang dan santun, yg selalu mengajarkan tentang kebaikan dan keutamaan wanita solehah kepada dirinya kini harus tersudut oleh ucapan kerasnya. Rina begitu sangat menyesal sekali.

Dipandangnya wajah lelap suaminya berkali-kali, diusapnya keringat yg mengalir dikening suaminya. Melihat pemandangan yg menyentuh pada raut muka suaminya,membuat mata Rina berkaca-kaca, nafasnyapun mulai sesenggukan, perlahan airmatanya menetes, butiran demi butiran mengalir dan jatuh menimpa kelopak mata sang suami. Sang suami kaget, ia terbangun dan perlahan membuka matanya lantas berkata.

"Ada apa sayang, mengapa engkau bangunkan aku dengan airmatamu, biasanya engkau membangunkan aku dengan kecupan didahiku". Bukannya menjawab, tangisan Rina malah semakin pecah, ia menangis tersedu-sedu dibahu suaminya. Suaminya yg merasa tidak enak karena merasa Rina belum puas atas amarahnya tadi sore kini memberanikan diri untuk berkata.

"Istriku sayang, kali ini aku mohon maaf kepadamu lagi, dan aku tidak tahu, sudah berapa kali aku meminta maaf kepadamu atas kelemahan diriku ini, akupun sudah malu karena seringnya aku meminta maaf kepadamu, jika engkau tidak puas kepadaku. Aku pasrahkab diriku atas keputusan yg engkau berikan, apapun keputusanmu itu."

Sayangku, izinkan aku membela diri atas kelemahanku sebelum engkau memvonis aku, izinkan aku berbicara tentang hakikat rezeki sebelum engkau pergi dari ku, izinkan aku bicara atas nama cinta dan kasih sayang keluarga kita. Sayangku, aku tahu engkau menikahiku bukan karena melihat latarbelakang diriku yg papa, engkau memilih aku atas dasar keimanan yg aku punya, dan memang hanya itu harta yg aku punya ketika aku melamarmu.

Itupula yang membuat aku bangga kepadamu melebihi kebanggaan apapun didunia ini. Aku tahu sebagai istri, kamu ingin seperti adik-adikmu atau seperti wanita lain, memiliki rumah sendiri meskipun kecil, memiliki "rumahku syurgaku" seperti idaman para remaja putri ketika hendak menikah. Memiliki taman kecil dihalaman depan, atau kolam ikan dihalaman belakang, memiliki hiasan kaligrapi diruang tamu, atau pancuran shower dikamar mandi. Bisa berksperimen membuat kue untuk anak-anak kita didapur yg mungil, atau sekedar berteduh di gazebo kecil di depan rumah.

Semua itu adalah wajar bagi seorang istri. Semua itu adalah kesempurnaan dalam hidup dan kesenangan dalam rumah tangga. Tapi istriku, aku ingin engkau melihatnya dari sisi lain. Ketika adik-adikmu mempunyai kebahagiaan dan kebanggaan karena memiliki rumah sendiri, kamu pun memiliki kebanggaan dan kebahagiaan juga.

Karena Tuhan menakdirkan kita masih tetap disini, disamping orangtua kita saat mereka memasuki usia senja, ketika orang lain sulit untuk berbakti kepada orangtua, kita justru menerima anugerah itu, bakti kita kepada mereka, merawatnya ketika sakit, menemaninya ketika sepi, menghiburnya ketika sedih dan membantunya dalam segenap aktifitas sehingga ia bisa melewati masa tuanya dengan tenang tanpa beban bukankah menjadi rezeki tersendiri bagi kita, rezeki berupa pahala yang akan diberikan allah kelak karena bakti kita kepada orangtua.

Mungkin dari sisi materi, orangtua lebih bangga kepada adik-adikmu, tetapi dari sisi pengabdian dan kasih sayang kepada orangtua, justru kamulah yg dibanggakannya, berapa kali ibu memujimu dihadapanku karena ketelatenanmu merawatnya. Bukankah itu rezeki yg luar biasa istriku?

Ketika adikmu memiliki dua kebahagiaan yakni kebahagiaan karena memiliki rumah sendiri dan kebahagiaan karena kehidupan yang layak, kamupun memiliki dua kebahagiaan pula, kebahagiaan yg belum tentu dimiliki oleh seorang istri sekaligus, yakni kebahagiaan karena keridhaan orangtua atas baktimu, dan kebahagiaan karena ridha suamimu atas pengorbanan dan kesetiaanmu. Bukankah dua keridhaan itu yg bisa mengangkat derajatmu menuju syurga-NYA".

Rina tak bisa bicara, tenggorokannya tercekat, betapa suaminya telah berhasil merobohkan tiang kebodohannya, ia telah berhasil membukakan mata batinnya, keluguannya memahami kebahagiaan seolah lenyap, digantikan pencerahan akan kebahagiaan sesungguhnya. Dalam bisik ia bertanya kepada suaminya, "apakah kau ridha kepadaku sayang?" Sang suami pun tersenyum sambil berkata "Ya, aku ridha kepadamu, atas semua bakti yg kamu lakukan selama ini dan aku pun berharap, engkaupun ridha kepadaku"

Kuharap dengan dua keridhaan yang kau miliki, engkau berdoa kepada Allah untuk memuluskan langkah kita kedepan, mengabulkan semua impian kita dan meneguhkan langkah-langkah kaki kita agar kuat menahan godaan". Rina pun bergumam "amin" seraya berbisik hangat ia berkata" maafkan aku sayang, akupun ridha kepadamu..."

Angin sepoi sejuk bertiup perlahan, memasuki sela-sela pintu dan jendela. Udara dingin yg mengkristal tak mampu membekukan dua hati manusia yang saling mencintai karena Allah, kehangatan yg hadir dari para hati yg saling ridha mendamaikan kehidupan dikamar yg sempit itu, tetapi sempitnya kamar tidak membuat hati mereka ikut sempit, dengan ridha di hati justru meluaskan dan melapangkan kebahagiaan mereka, seluas samudera yang tak bertepi...

Jadikanlah Ia Bidadari Ayah


“Horee ayah beli mobil baru, hore ayah beli mobil baru, horee.....” teriak Dina, bocah kecil berusia lima tahun itu berjingkrak-jingkrak kegirangan, kemudian ia melompat-lompat dan berlarian mengitari sebuah mobil tipe baru berwarna silver mengkilap yang terparkir di carport depan rumah yang cukup luas itu.

Sekali-kali ia memeluk mobil itu seperti memeluk boneka mainannya. Sementara sang istri duduk di depan kemudi mencoba menghidupkan dan mematikan mesin mobil itu sambil memperhatikan semua interior mobil dengan seksama, takut ada cacat sedikitpun barang yang ia terima, mumpung sang pengantar mobil masih ada di sini, menyerahkan tanda terima barang plus semua asesories mobil kepadanya.

Ya, hari itu sang suami berhasil memenuhi keinginannya untuk memiliki mobil sendiri, memang bukan mobil mewah tapi cukup bergengsi untuk dimiliki oleh pasangan muda seperti dirinya, mobil sedan toyota Vios tipe G, seharga dua ratus jutaan rupiah.

Rani, sang istri merasa bahagia sekali, sebab keinginannya untuk pergi bekerja membawa mobil sendiri terkabulkan sementara sang suami hanya tersenyum kecut mengingat cicilan yang akan dibayarnya beberapa bulan kedepan.

Sebenarnya Hadi, sang suami enggan untuk membeli mobil itu pada tahun-tahun ini, mengingat kebutuhan dan penghasilannya masih belum cukup untuk menyicil mobil baru, belum lagi ia harus mencicil rumah baru yang cukup luas yang dibelinya dua tahun lalu.

Tapi kecintaannya pada sang istri membuatnya mengambil keputusan itu, apapun resikonya. Ia memang sudah berjanji kepada istrinya tentang dua hal jika ingin menikahinya, rumah luas dan mobil dan janji itu sudah lunas ia tunaikan, meski ia harus menelan ludah dalam-dalam.

Hadi bersandar di samping pintu rumah, dari kejauhan matanya berbinar menatap kegembiraan anak dan istrinya, sesekali ia menarik nafas dan mendesah dalam-dalam, ia berusaha tersenyum saat istrinya melambai meminta komentar dirinya tentang mobil itu.

Senyum yang berat yang harus ia kulum, seberat janjinya kepada sang istri, seberat beban kehidupan rumahtangga yang ia tanggung sendiri.

Pikiran Hadi menerawang kembali ke masa silam, masa dimana ia bertemu dengan Rani, seorang gadis pujaan para mahasiswa kampusnya, yang ia sendiri tidak mengerti mengapa ia nekat memperistri sang primadona itu.

Perkenalan Rani dan Hadi terjadi ketika mereka sama-sama kuliah di jurusan dan fakultas yang sama di universitas terkenal di Jakarta, keduanya pun melalui jalur masuk mahasiswa baru yang sama yakni PMDK.

Rani yang pintar dan cantik menjadi idola di kampusnya dan Hadi termasuk salah satu penggemarnya, meski hanya dalam hati. Bagi Hadi, mengingat Rani pada masa lalu, seperti mengingat sejarah masa silam yang tak mungkin bisa kembali, Rani yang dulu dikenal selama masa kuliah ternyata telah banyak berubah apalagi setelah lulus kuliah dan bekerja pada bank swasta nasional.

Dulu semasa kuliah Rani dikenal sebagai gadis bersahaja, tidak glamour dan tidak neko-neko. Ia supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Meski banyak pria yang jatuh cinta padanya, tapi tak satupun yang ia tanggapi, alasannya, ia tidak mau kisah cinta mengganggu kuliahnya, semua dianggap teman biasa saja.

Sikap Rani yang acuh terhadap asmara memang dilatar belakangi oleh kehidupan keluarganya yang amat sederhana bahkan bisa dibilang miskin sama seperti latar belakang dirinya, untuk itu Rani berniat kepada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada kuliah dan karir, agar ia bisa menaikan taraf hidup keluarganya, bagi Rani kemiskinan harus menghilang dari kamus hidupnya, apapun caranya itu.

Karena sikap Rani yang cuek dan acuh itu, akhirnya banyak para pemuda yang mundur, hanya Hadi yang terus memantau, meski hanya dari jarak jauh.

Selepas kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan tetap, Hadi memberanikan diri untuk mengkhitbah Rani, tapi Rani menolaknya, karena ia menginginkan cowok yang sudah mapan, bahkan tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan bahwa calon suaminya harus sudah mempunyai rumah luas dan bermobil pula.

Akhirnya ia hanya minta waktu kepada Rani untuk mewujudkan semua itu dalam waktu tiga tahun. Tetapi Rani tetap enggan, hingga akhirnya Rani memilih calon lain yang sudah mapan, yakni seorang PNS pada departemen keuangan. Jadilah Hadi sedih bukan kepalang, ia hanya bisa meratapi nasibnya yang miskin dan papa.

Cinta yang disimpannya di sudut hati dan dirawatnya hingga mekar selama lima setengah tahun, kini layu bagai disiram air panas, menyisakan pedih dan perih, merontokkan mimpinya dan mengubur dalam-dalam angan dan khayalnya.

Perjuangan mempertahankan rasa cinta harus berakhir sebelum ia sanggup menahan beban kekalahan, sebelum ia sanggup menahan kekecewaan bahwa rencananya tidak semulus yang ia inginkan. Angannya yang terlalu tinggi ingin menikahi gadis pujaan membawanya terbang kealam mimpi yang menyakitkan.

Padahal, ia merasa yakin, kehidupan asmaranya akan diridhai Allah, karena ia tidak pernah melakukan perbuatan melanggar batas pergaulan lawan jenis, boro-boro bersentuhan tangan, menatap wajah perempuan saja ia tidak sanggup, apalagi berpacaran layaknya anak muda jaman sekarang. Haram, itulah yang terpatri dalam hatinya.

Semenjak ditolak Rani, Hadi mulai memperbaiki ibadahnya, mungkin kemarin ia merasa Allah belum berkenan memberikan rezeki kepadanya karena ibadahnya belum maksimal dan keikhlasannya belum terbukti, selama ini ia beribadah agar Allah mengijinkan ia menikah dengan Rani, begitu selalu doa yang ia panjatkan dalam setiap kesempatan, tapi kini hatinya mulai sadar, keikhlasan dirinya mulai menggumpal.

Ia tak lagi beribadah karena mengharapkan balasan, tapi semata-mata lilahi taala. Kini hatinya lebih tenang dan jiwanya lebih damai, ia pasrahkan jodohnya ke ilahi robbi, siapapun itu.

Dalam kepasrahan dan keikhlasan, Tuhan selalu mendengar doa hamba-hambanya, enam bulan setelah ia ditolak Rani, ternyata calon suaminya membatalkan pernikahan dengan Rani, tanpa alasan yang jelas, rumor yang ia dengar sang calon lebih memilih sekolah lagi di luar negeri atas biaya dinas dan dilarang menikah dahulu tanpa seijin atasannya.

Perasaan Hadi bingung mendengar kabar itu, apakah harus sedih atau gembira. Yang jelas, mendengar kabar itu menggumpalkan kembali butiran-butiran semangatnya yang sempat hancur berkeping-keping, merajutkan kembali remah-remah asmaranya kepada sang pujaan hati.

Esoknya, ia kembali mendatangi kediaman Rani dan bertemu dengan orangtuanya untuk melamar Rani. Orangtua Rani yang merasa malu atas pembatalan nikah sebelumnya, langsung menyetujuinnya, sedang Rani, meskipun setuju, ia masih tetap dengan syaratnya itu, yakni rumah cukup luas dan mobil, meski akhirnya bisa ia sanggupi enam tahun kemudian setelah pernikahan mereka.

Kini dengan hadirnya mobil sedan di garasi rumah itu, semua syarat istrinya telah ia penuhi, hatinya sangat bahagia meski semua itu ia penuhi dengan tetesan keringat dan darah, dengan luka dan airmata, dengan tebal muka dan pinggang patah-patah.

Bagaimana tidak, ia di-deadline oleh istrinya harus mengumpulkan uang ratusan juta dalam waktu lima tahun untuk mewujudkan semua itu. Ia terpaksa bekerja bagai mesin, pagi sampai malam, belum lagi mencari tambahan pada hari libur.

Kadang ia harus menebalkan muka untuk mencari hutangan untuk menutupi DP pembelian kedua asset itu yang nilainya pun tidak sedikit. Kadang harus bekerja sampai larut malam mencari sambilan mengerjakan proyek kecil-kecilan.

Pada tahun-tahun pertama ia tak perduli, tapi menginjak tahun keempat, ia mulai tidak kuat, semua energinya sudah terkuras habis, tapi hasil yang didapat belum seberapa. Nasib baik masih belum berpihak kepadanya.

Di saat gundah gulana seperti itu, pada saat keheningan malam memeluk erat sang waktu, bersamaan dengan saat Hadi pulang bekerja, Hadi hanya bisa duduk mematung di teras rumah, tak tega membangunkan istrinya yang telah lelap tertidur bersama sang bocah.

Sejumput kemudian ia melangkah menuju keran di pinggir carport dan mengambil wudhu untuk menghilangan kelelahan jiwa dan raganya, lalu ia sholat dua rakaat di teras rumah dan meneruskan dengan tangisan penuh harap kepada sang pencipta sampai ia tertidur di sajadahnya, begitu seterusnya yang ia lakukan setiap malam sampai azan subuh terdengar dan udara dingin menusuk-nusuk tulangnya, membangunkan dirinya yang terlelap di beranda rumah. Barulah kemudian ia membangunkan istrinya untuk menyiapkan sarapan pagi dan bersiap berangkat lagi, sang istri, hanya mengetahui bahwa suaminya pulang pagi karena sibuk mencari nafkah.

Demi cintanya pada sang istri, Hadi terpaksa bekerja siang malam tanpa henti, demi sebuah janji yang harus ditunaikan, ia relakan dirinya bersakit-sakitan, demi keutuhan keluarganya yang ia banggakan, terpaksa ia gadaikan separuh nafasnya demi kebahagiaan orang yang sangat dicintainya itu. Ia lakukan semuanya itu dengan ikhlas, demi sang bidadari pujaan hatinya.

Kehidupan mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, hanyut bersama cita-cita, mimpi dan angan-angan manusia. Dengan bermodalkan sebongkah harapan, bekal keimanan dan jala asa, mereka mengayuh bahtera rumah tangga menyelusuri sungai kehidupan itu, seraya berharap tiba ditujuan dengan selamat. Tapi takdir Allah jualah yang menentukan roda kehidupan mereka, tanpa seorang manusiapun yang sanggup mengetahuinya.

Karena bekerja terlalu keras, Hadi jatuh sakit, ia terserang lever akut, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya hanya menyarankan agar ia mengikhlaskan semuanya, supaya penyakitnya tidak bertambah parah, ia paham apa maksud pernyataan dokter, sebab dokter tidak akan membohongi pasiennya yang tidak sanggup ia tangani.

Dalam lirih suara, hadi memanggil istrinya, yang tampak begitu terpukul akan kondisi hadi, ia hanya bisa menangis sesenggukan. "Rani sayangku" panggilnya, "ya sayang aku di sini di sampingmu.." jawab Rani, "dari hati yang paling dalam aku sangat mencintai kamu, aku sangat menyayangi kamu", Hadi berbisik lemah, "ya sayangku aku tahu itu, cintamu padaku tak pernah aku ragukan" Hibur Rani, "izinkan aku bicara sebentar saja, aku khawatir jika aku menundanya aku tak bisa lagi berbicara denganmu."

Kemudian, Hadi berkata dengan perkataan yang membuat tubuh Rani semakin tak berdaya, ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi berusaha untuk mendengar lantunan suara suaminya yang semakin lirih, "Sayangku Rani, sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah menyisakan ruang kosong di sudut hatiku untuk dirimu, aku jaga jangan sampai ia terisi oleh yang lain, dan aku simpan rapat-rapat sampai aku yakin bahwa aku siap untuk melamar dirimu. Keyakinanku atas dirimu begitu kuat, kesabaranku menantimu begitu dalam, meski di tengah jalan aku sempat terluka karena rupanya aku hanya bertepuk sebelah tangan."

Hadi berhenti sejenak, ia memperhatikan kelopak mata istrinya yang makin penuh dengan airmata, airmata penyesalan karena pernah menolak manusia yang begitu sabar dan telaten menyayanginya.

Hadi meneruskan ucapannya, "Tapi sayangku, ternyata Allah sangat sayang kepadaku, ia mengembalikanmu kepadaku diriku lagi, bahkan menjadikan dirimu belahan jiwaku hingga engkau bisa menemaniku di sini, di saat-terakhirku ini, sayangku, hanya satu permintaanku, aku ingin engkau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat, meski aku tahu, setelah kepergianku, engkau bebas memilih kembali pangeranmu, memilih orang yang akan mendampingimu meneruskan sisa-sisa hidupmu."

"Sayangku, tapi aku sudah sangat puas atas nikmat yang Allah berikan kepadaku selama ini, selama aku menjadi suamimu. Memilikimu merupakan anugerah terbesar dalam hidupku, maka demi menghargai anugrah itu akupun melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Jika Allah berkehendak lain, percayalah itu sudah menjadi takdir antara kita dan aku tak pernah menyesal menikahimu."

"Sayangku ketika lidah ini masih bisa berucap, maka aku berucap kepadamu, maafkanlah atas kesalahanku selama ini, maafkan aku yang memaksamu menjadi belahan jiwaku, meski aku tak bisa memenuhi harapan-harapanmu. Jangan kau sesali pernikahan kita, sebab aku bangga dengan apa yang telah kita lakukan bersama, jaga dan rawatlah baik-baik anak kita, sampaikan salam kepadanya bahwa ayah hanya pergi sebentar, menunggu kalian dipintu surgaNya nanti."

Rani tak kuasa mendengar kelanjutan lirihan suara suaminya, rasa bersalah menusuk hatinya dalam-dalam, ia terlalu egois, ia terlalu naif, memaksakan beban kehidupan dirinya ditanggung suaminya sendiri, ia yang trauma terhadap kemiskinan, memaksakan kompensasinya ke orang yang begitu baik kepadanya, yang begitu sayang kepadanya, ia begitu otoriter.

Sebelum habis Hadi bicara, Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, rasa sesal yang dalam ditambah rasa takut kehilangan membuat syaraf kesadarannya terlepas perlahan, ia pingsan di samping tubuh suaminya, yang makin lama suaranya makin tak terdengar, hanya suara "maafkan aku sayang, maafkan aku..., maafkan aku sayang..." yang muncul bergantian dengan kalimat tasbih, tahlil dan tahmid.

Terus berucap hingga hembusan nafas berhenti, dan jantung tak lagi berdetak. Hanya airmata terlihat mengalir dari kelopak mata sang suami, meski bibir tersenyum puas karena sudah memberikan yang terbaik untuk orang yang paling disayanginya.

Hampir dua jam Rani pingsan di sisi suaminya, yang kini telah menjadi jenazah. Saat ia terbangun, Rani belum menyadari, ia terus menangis seraya memohon maaf kepada suaminya atas sikapnya selama ini, sampai kedatangan dokter yang menyadarkan Rani bahwa suaminya telah pergi untuk selama-lamanya.

Nasi telah menjadi bubur, tetapi pintu maaf dari sang pencipta masih terbuka lebar. Rani yang telah menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya kekayaan, dan kemiskinan bukanlah suatu aib, kini perlahan mulai meluruskan jalan hidupnya, dan ia bertekad akan merawat anak semata wayangnya sendiri.

Empat puluh tahun kemudian di sebuah pusara yang masih basah, seorang wanita berjilbab masih tercenung di hadapan makam ibunya, perempuan itu, Dina, masih mendoakan ibu dan ayahnya agar dipertemukan kembali di surga.

Ia adalah harapan orangtuanya yang tersisa, yang melempangkan jalan pertemuan mereka kembali sebagai pasangan abadi, doa dari anak yang shaleh, yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya.

"Ya Allah ya Rabbi, ampuni kedua orang tua kami, dan kabulkan permintaan ibu yang sering ia ceritakan kepadaku, melanjutkan mendampingi ayah kami di surgaMu, dan jadikanlah ia bidadari ayahku, amin."