Kamis, 20 Oktober 2011

Mengelola Separation Anxiety

Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Master Trainer Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)

Saya menyebutnya ‘mengelola’ bukan ‘menghilangkan’ karena menurut saya Separation Anxiety pada sebagian besar anak usia tertentu adalah hal yang tak dapat dihindari, lepas dari apakah keluarga anak harmonis atau tidak. Daripada menganggap sepele dan menganggap angin lalu, lebih diperhatikan untuk dikelola. 

Kecemasan berpisah (Separation anxiety) adalah perasaan takut anak kecil bahwa orangtua mereka akan meninggalkan mereka. Anak dengan separation anxiety panik dan menangis ketika orangtua meninggalkan mereka, bahkan jika hanya untuk pergi ke ruang sebelah. Separation anxiety adalah normal untuk bayi berusia sekitar 8 bulan, paling hebat diantara usia 10 dan 18 bulan, dan biasanya sembuh diusia 2 tahun. Kehebatan dan durasi separation anxiety seorang anak bervariasi sebagian tergantung pada hubungan orang tua-anak. Biasanya, separation anxiety pada seorang anak yang kuat dan sehat menempel pada orangtua lebih cepat sembuh dibandingkan seorang anak yang kedekatannya kurang kuat. 

Separation anxiety terjadi suatu waktu ketika bayi mulai tahu bahwa orangtua mereka adalah pribadi yang unik, bahwa orangtua mereka adalah seperti bagian tak terpisahkan dari hidup mereka. Penelitian otak membuktikan pada usia sebelum 1 tahun bahkan orangtua adalah layaknya seperti cermin bagi seorang bayi. Karena mereka belum memiliki abstraksi terhadap waktu, anak kecil ini takut setiap kepergian orangtua mereka kemungkinan akan ‘selamanya’. Separation anxiety sembuh sebagaimana perkembangan anak yang kecil pada ingatan dan menjaga gambar orangtua di pikiran ketika mereka pergi. Anak tersebut mengingat kembali bahwa di masa lalu orangtua akan kembali. 

Justru menjadi masalah pada saat orangtua tidak konsisten menghadapi Separation anxiety anak. Sebagian orangtua kerap kemudian mengundur-undur atau bahkan membatalkan perpisahan sementara mereka dengan anak akibat melihat reaksi anak saat fase Separation anxiety ini. Saat orangtua hendak pergi kerja misalnya, lalu kemudian kembali lagi gara-gara melihat anak menangis, ini justru akan membahayakan perkembangan dan kematangan anak tersebut. 

Kekhawatiran orangtua terhadap reaksi anak seharusnya diantisipasi dan dilakukan sebelum kejadian, bukan pada saat kejadian Separation anxiety. Sebelum meninggalkan rumah, orangtua sebaiknya memberikan persiapan untuk anak secara bertahap. Adalah diperbolehkan mengalihkan anak tersebut dengan mainan atau kegiatan lain seperti bermain atau menidurkan anak sebelumnya. Atau sebelum berpisah sementara dengan anak, orangtua dapat melakukan permainan ‘tak terlihat’ di dekat anak meski sebenarnya Anda masih berada tak jauh dari anak, di tempat atau ruang yang berbeda misalnya. Orangtua tidak harus segera kembali dalam reaksi terhadap tangisan, tetapi boleh merespon atau memanggil anak tersebut dari ruangan lain tersebut.. Hal sederhana, tetapi Ini mengajar anak tersebut bahwa orangtua masih ada meskipun anak tersebut tidak melihat mereka. 

Meski Separation anxiety normalnya terjadi pada usia yang telah disebutkan di atas, tak menutup kemungkinan terjadi pula pada anak usia anak prasekolah bahkan pada saat menjelang anak awal masuk usia SD. Saya menemukannya misalnya pada saat memperhatikan beberapa anak di sekolah dasar anak saya. Seorang anak laki-laki terlihat masih ‘nempel’ benar-benar pada orangtuanya dan sambil terus mengingat orangtuanya “bunda jangan jauh-jauh ya”. 

Bagaimana mengelola Separation anxiety pada anak awal usia SD ini? Ada beberapa hal yang dapat orangtua lakukan, setidaknya ini berhasil saya lakukan pada anak saya Salma Alya Ihsan (7 tahun), yang meski introvert ternyata begitu antusias bersekolah dan hanya memerlukan waktu 2 harian untuk dapat berpisah dengan orangtua. 

• Sedapat mungkin tidak melakukan perpisahan secara mendadak terutama pada anak-anak tipe introvert. Anda atau figur pengganti (pengasuh, nenek, kakek) dapat menemaninya kira-kira 2-7 hari di sekolah atau sampai benar-benar anak merasa nyaman berpisah. Jika Anda memaksakan perpisahan dengan anak secara ekstrim ini dapat membuat anak trauma dan menjadi salah satu penyebab anak fobia sekolah. 

• Bila perlu, kondisikan sejak tiga bulan sebelumnya. Misalnya menjelaskan tentang bagaimana keadaan sekolah nanti. Apa yang dapat dilakukan di sekolah. Observasi bersama anak ke sekolah. Melihat bagaimana suasana sekolah dengan anak. 

• Jelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti anak, alasan orangtua meninggalkan mereka dan bahwa orangtua tak dapat selamanya mendampingi anak di sekolah. 

• Terangkan dan kenalkan juga tentang orang-orang yang dapat anak percayai di sekolah. Jika perlu beberapa minggu sebelumnya anak dapat diajak bicara dan ngobrol dengan calon guru/wali kelasnya untuk membangun kedekatan dengan figur pengganti sementara di sekolah. 

• Datang lebih pagi, hindari untuk tergesa-gesa apalagi telat sekolah. Tergesa-gesa pada saat masuk sekolah mungkin dapat membuat anak tak memiliki ‘pemanasan’ mental yang cukup terhadap ruang (spasial) baru yang mereka tempati. Saya melihat tak sedikit orangtua yang datang ke sekolah telat (tuh lihat kan, kedisiplinan anak dimulai dari orangtua kan?). 

• Mulailah rutinitas pagi dari rumah sejak bangun pagi, mandi dan sarapan dari rumah dengan senyuman, bukan dengan tergesa-gesaan apalagi dengan tekanan segala. Tidur yang cukup dengan penanganan pengasuhan yang tepat dapat membuat pikiran fresh ketika berada di sekolah.

Renungan: Kita, Bukan Orangtua Malaikat

Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)
Email: inspirasipspa@yahoo.com
www.auladi.org

Ayah, Ibu…..
Ketahuilah, menjadi orangtua terbaik untuk anak-anak kita
bukanlah berarti kita diharapkan menjadi orangtua 'malaikat'
yang tak boleh kecewa, sedih, capek, pusing menghadapi anak.
Perasaan-perasaan negatif pada anak itu wajar,
bagaimana menyalurkannya hingga tak sampai menyakiti anak
itu yang menjadi fokus perhatian.

Artinya, ayah ibu,
sebenarnya kita masih tetap boleh sedih, kecewa pada anak,
tetapi kita sama sekali tak berhak untuk melukai
dan menyakiti anak-anak kita.
Ketahuilah, melotot, mengancam, membentak
dapat membuat hati anak terluka.
Apalagi, mencubit dan memukul tubuhnya.
Tubuhnya bisa kesakitan,
tapi yang lebih sakit sebenarnya apa yang ada dalam tubuhnya.

Ayah, Ibu…..
Karena kita bukan orangtua malaikat,
maka yakinlah anak kita pun bukan anak malaikat
yang langsung terampil berbuat kebaikan.
Mereka tengah belajar ayah,
mereka masih berproses Ibu.
Seperti belajar bersepeda,
kadang mereka terjatuh,
kadang mereka mengerang kesakitan ketika terjatuh.

Demikian juga dengan perilaku anak-anak kita,
mereka bereksplorasi,
mereka berproses,
mereka mengayuh kehidupan
untuk meraih kebaikan
dan menjadi manusia yang berperilaku baik.

Ketika mereka terjatuh saat belajar berperilaku,
sebagian kita lalu memvonisnya sebagai anak nakal,
padahal sebenarnya mereka belum terampil berbuat kebaikan.

Jika Ayah Ibu membimbing kebelumterampilan perbuatan baik anak
dengan cara yang baik.
Insya Allah kebelumterampilan berbuat baik mereka
akan terus tergerus dari kehidupan mereka.

Tetapi Ayah, Ibu,
jika kita menghadapi ketidakterampilan ini
dengan tekanan, ancaman, bentakan, cubitan, pelototan,
mereka akan semakin terpuruk ke arah keburukan.

Ayah Ibu….
Yakinlah, ketika seorang anak emosinya kepanasan:
nangis, marah yang terekspresikan dalam bentuk
yang mungkin dapat membuat orangtua jengkel,
siramlah ia dengan kesejukan.
Menyiram kayu yang terbakar dengan minyak panas
hanya membuat ia makin terbakar.

Ayah, Ibu…..
Yakinilah, sifat-sifat negatif anak
hanyalah bagian 'eksplorasi' untuk mencari cahaya kehidupan.
jika kita memahaminya sebagai sebuah bagian proses kehidupan,
insya Allah anak-anak kita akan akan menebar cahaya untuk kehidupan.

Karena itu ayah, ibu…,
jika kadang amarah dengan kejahilian memperlakukan anak
mampir lagi dalam hidup kita,
kamus yang benar adalah 'inilah uji ketulusan'
bukan kegagalan,
terus belajar tentang kehidupan,
bukan tak berhasil dalam kehidupan.
Belajar, memburu ilmu,
adalah ikhtiar yang kita tuju,
karena sebagian kita ketika menikah
tidak disiapkan jadi orangtua.

Jadi, ayah ibu,
mari kita terus belajar,
meskipun telah jadi orangtua: belajar….jadi orangtua.
Andaikan keluarga kita kuat,
insya Allah anak-anak kita memiliki ketahanan mental
terhadap lingkungan yang gawat.

Di Balik Rok Mini (di mata lelaki)

Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Sahabatku yang dirahmati Allah, tentu masih ingat jika beberapa waktu lalu ada berita heboh di televisi-televisi Indonsia, yang menyangkut tentang ROK MINI, nah, postingan kali ini akan membahas tentang hal tersebut.
Catatan ini di buat oleh sahabat/bapak/akhi Wahyu Aji (bingung mau nyebut gimana, heheehehe).
Meski agak telat mempostingnya, semoga tulisan ini bermanfaat untuk sahabat.
Ya menurut saya, Beginilah Cara Kasih Tau Wanita Tentang Rok Mini, 

^_^


Rok mini sedang "trending". 

Soal rok mini ini memang menggelitik. Saya sendiri di dalam dilema yang besar. Alasannya, pertama karena saya laki-laki. Kedua, karena saya belum pernah memakai rok mini. Sebagai orang berpendidikan, saya khawatir perspektif saya terhadap rok mini ini menjadi sangat subyektif, dipenuh asumsi, dan ngawur. 

Tapi sebenarnya saya selalu ingin mengajukan pertanyaan kepada setiap pengguna rok mini atau celana super pendek di area publik demi mendapat sudut pandang yang obyektif dari si pemakai agar saya tidak salah sangka:

1. "Mbak-mbak, boleh tau apakah dengan rok mini yang mbak pakai itu, saya atau kami boleh menikmati paha mbak?"
2. "Kalau boleh, apakah mbak memang sengaja agar kami melihatnya? atau malah risih kalau kami melihatnya?"
3. "Atau tolong jelaskan kepada kami, bagaimana seharusnya kami boleh menikmati paha mbaknya biar mbak merasa nyaman dan kita bisa sama-sama menikmati, agar saya merasa aman dalam menikmati, dan mbaknya nikmat juga dilihati?" 

Pertanyaan ini sebenarnya penting untuk ditanyakan sebagai dasar ilmiah untuk mengambil kesimpulan, tapi belum kesampaian saya tanyakan sampai saat ini. Malu nanyanya. Dan saya memilih untuk menikmati rok mini tersebut dengan diam-diam, dengan "etika" yang saya karang sendiri agar tidak berdampak sosial yang buruk. 

Ada yang bilang ini soal iman. Kalau iman kuat, rok mini lewat. Saya kira setiap orang beriman yang jujur, kalau ditanya pasti menjawab akan timbul pikiran bukan-bukan ketika menjumpai perempuan muda berpaha indah memakai rok mini atau celana pendek sekali di tempat umum. 

Tidak usah jauh-jauh, saya sendiri akan mengaku beriman, sholat tidak pernah lewat, kadang-kadang juga ngaji, tapi rok mini is rok mini, daya tariknya sungguh sering melewati daya tangkal iman. Kalau ada yang bilang "Pikiran situ saja yang jorok", duh, ingin sekali saya jawab "Saya sudah susah payah membersihkan pikiran dari yang nggak-nggak, tapi situ lewat sambil menjorok-jorokkan paha .... memaksa untuk dilihat".

Soal hak, semua memang punya hak masing-masing. Selama masih berada di tempatnya, hak menjadi sesuatu yang aman bagi dirinya maupun orang lain.

Contohnya merokok. Saya yakin itu adalah hak. Tidak seorangpun kecuali keluarga dan orang-orang yang bergantung hidupnya pada perokok boleh melarang orang untuk merokok. Tetapi ketika merokok di tempat umum, hak itu jadi tidak aman untuk orang lain. "Tolong ya mas, merokoknya di ruang merokok, atau menggunakan helm full face saja biar asapnya tidak terhirup oleh saya".  Gimana kalau perokok menjawab, "Ya situ saja jangan hirup asap saya kalau memang tidak suka bau asap". Kira-kira Anda mau langsung mengajak adu hantam tidak?

Mamainkan musik adalah hak. Tetapi ketika bertetangga, genjrang-genjreng di jam dua pagi di depan rumah orang, kira-kira akan membuat tidur orang terganggu tidak? Gimana kalau ketika ditegur si penggitar menjawab "Tolong ya Bu, kalau memang tidak suka dengan suara gitar saya, ibu jangan dengerin suaranya, gitar-gitar saya kok ibu yang repot". Kira-kira si ibu akan melempar sandal atau tidak?  Kalau bermainnya di dalam kamarnya sendiri, di studio musik kedap suara, saya kira volume sebesar apapun tidak akan jadi masalah. Minimal tidak jadi masalah untuk orang lain. 

Sama jadinya dengan rok mini dan hot pant. Di rumah, rok mini akan menjadi sangat asik. Aman, dan nyaman buat semuanya. Apalagi di kamar, tidak pakai rok pun akan semakin menambah suasana jadi lebih sesuatu banget :)  Dan, semua orang akan merasa happy dan dijamin aman.

Tapi di boncengan sepeda motor, di busway, di jalanan ... duuuh biyung, please mbak, bu, kalau sekadar saya yang lihat dijamin akan aman. Karena nafsu dan pikiran saya akan saya manage sedemikian rupa sehingga akan hanya meledak tanpa melukai Anda. Tapi kalau yang nafsunya meledak itu lelaki yang sedang sakit parah jiwanya dan tak tau tempat?

Pemerkosa adalah orang yang sedang sakit jiwanya. Dan kata orang tua, mencegah lebih mudah dan murah dari pada mengobati. Mengobati mereka tetap harus dilakukan karena bisa membahayakan orang lain, berapapun biaya material dan sosial yang dibutuhkan, termasuk kita memberi makan mereka di penjara seumur hidup.

Tapi sambil mengobati, akan lebih cerdas, mudah, dan murah kalau kita semua juga ikut mencegah, salah satunya dengan tidak mengguanakn rok mini di tempat umum. Masih banyak pilihan busana yang lain, yang tetap menarik (tanpa menggoda) dan pantas. 

Cara ini pasti lebih murah sebelum ada yang menjadi korban lelaki sakit jiwa. Kecuali, kalau memang rok mini telah menjadi sumber penghasilan pengenanya. 

Mbak-mbak, ibu-ibu. Sebagai lelaki, saya selalu mengagumi perempuan. Dalam teori saya, perempuan itu setiap inchi kulitnya adalah fashion. Karena itu, benang dililit-lilit pun ke beberapa bagian tubuh, sudah seperti keindahan yang menyeluruh. Perempuan juga sangat ekspresif. Mereka suka bicara, suka berdandan, suka "menunjukkan" keindahan dirinya. Itu memang kodratnya. 

Dan sedikit ini komentar lelaki. Kami-kami ini juga sangat ekspresif. Tapi berbeda caranya dengan perempuan. Kami tidak terlalu suka bicara, suka berdandan, menunjukkan keindahan diri sendiri. Tapi langsung bertindak. 

Sebagian yang lain, ekspresinya malah tidak terlihat sama sekali. Tetapi sesuatu di balik celananyalah yang langsung bereaksi. 

Maka, seperti Bang Napi bilang, kejahatan terjadi bisa bukan karena niat pelakunya, tetapi ketika ada kesempatan. 

Semoga kita semua aman dan selamat. Di manapun berada.


Cekidot, berikut tulisan aslinya bisa di lihat di link:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150307600472740