Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Master Trainer Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)
Saya menyebutnya ‘mengelola’ bukan ‘menghilangkan’ karena menurut saya Separation Anxiety pada sebagian besar anak usia tertentu adalah hal yang tak dapat dihindari, lepas dari apakah keluarga anak harmonis atau tidak. Daripada menganggap sepele dan menganggap angin lalu, lebih diperhatikan untuk dikelola.
Kecemasan berpisah (Separation anxiety) adalah perasaan takut anak kecil bahwa orangtua mereka akan meninggalkan mereka. Anak dengan separation anxiety panik dan menangis ketika orangtua meninggalkan mereka, bahkan jika hanya untuk pergi ke ruang sebelah. Separation anxiety adalah normal untuk bayi berusia sekitar 8 bulan, paling hebat diantara usia 10 dan 18 bulan, dan biasanya sembuh diusia 2 tahun. Kehebatan dan durasi separation anxiety seorang anak bervariasi sebagian tergantung pada hubungan orang tua-anak. Biasanya, separation anxiety pada seorang anak yang kuat dan sehat menempel pada orangtua lebih cepat sembuh dibandingkan seorang anak yang kedekatannya kurang kuat.
Separation anxiety terjadi suatu waktu ketika bayi mulai tahu bahwa orangtua mereka adalah pribadi yang unik, bahwa orangtua mereka adalah seperti bagian tak terpisahkan dari hidup mereka. Penelitian otak membuktikan pada usia sebelum 1 tahun bahkan orangtua adalah layaknya seperti cermin bagi seorang bayi. Karena mereka belum memiliki abstraksi terhadap waktu, anak kecil ini takut setiap kepergian orangtua mereka kemungkinan akan ‘selamanya’. Separation anxiety sembuh sebagaimana perkembangan anak yang kecil pada ingatan dan menjaga gambar orangtua di pikiran ketika mereka pergi. Anak tersebut mengingat kembali bahwa di masa lalu orangtua akan kembali.
Justru menjadi masalah pada saat orangtua tidak konsisten menghadapi Separation anxiety anak. Sebagian orangtua kerap kemudian mengundur-undur atau bahkan membatalkan perpisahan sementara mereka dengan anak akibat melihat reaksi anak saat fase Separation anxiety ini. Saat orangtua hendak pergi kerja misalnya, lalu kemudian kembali lagi gara-gara melihat anak menangis, ini justru akan membahayakan perkembangan dan kematangan anak tersebut.
Kekhawatiran orangtua terhadap reaksi anak seharusnya diantisipasi dan dilakukan sebelum kejadian, bukan pada saat kejadian Separation anxiety. Sebelum meninggalkan rumah, orangtua sebaiknya memberikan persiapan untuk anak secara bertahap. Adalah diperbolehkan mengalihkan anak tersebut dengan mainan atau kegiatan lain seperti bermain atau menidurkan anak sebelumnya. Atau sebelum berpisah sementara dengan anak, orangtua dapat melakukan permainan ‘tak terlihat’ di dekat anak meski sebenarnya Anda masih berada tak jauh dari anak, di tempat atau ruang yang berbeda misalnya. Orangtua tidak harus segera kembali dalam reaksi terhadap tangisan, tetapi boleh merespon atau memanggil anak tersebut dari ruangan lain tersebut.. Hal sederhana, tetapi Ini mengajar anak tersebut bahwa orangtua masih ada meskipun anak tersebut tidak melihat mereka.
Meski Separation anxiety normalnya terjadi pada usia yang telah disebutkan di atas, tak menutup kemungkinan terjadi pula pada anak usia anak prasekolah bahkan pada saat menjelang anak awal masuk usia SD. Saya menemukannya misalnya pada saat memperhatikan beberapa anak di sekolah dasar anak saya. Seorang anak laki-laki terlihat masih ‘nempel’ benar-benar pada orangtuanya dan sambil terus mengingat orangtuanya “bunda jangan jauh-jauh ya”.
Bagaimana mengelola Separation anxiety pada anak awal usia SD ini? Ada beberapa hal yang dapat orangtua lakukan, setidaknya ini berhasil saya lakukan pada anak saya Salma Alya Ihsan (7 tahun), yang meski introvert ternyata begitu antusias bersekolah dan hanya memerlukan waktu 2 harian untuk dapat berpisah dengan orangtua.
• Sedapat mungkin tidak melakukan perpisahan secara mendadak terutama pada anak-anak tipe introvert. Anda atau figur pengganti (pengasuh, nenek, kakek) dapat menemaninya kira-kira 2-7 hari di sekolah atau sampai benar-benar anak merasa nyaman berpisah. Jika Anda memaksakan perpisahan dengan anak secara ekstrim ini dapat membuat anak trauma dan menjadi salah satu penyebab anak fobia sekolah.
• Bila perlu, kondisikan sejak tiga bulan sebelumnya. Misalnya menjelaskan tentang bagaimana keadaan sekolah nanti. Apa yang dapat dilakukan di sekolah. Observasi bersama anak ke sekolah. Melihat bagaimana suasana sekolah dengan anak.
• Jelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti anak, alasan orangtua meninggalkan mereka dan bahwa orangtua tak dapat selamanya mendampingi anak di sekolah.
• Terangkan dan kenalkan juga tentang orang-orang yang dapat anak percayai di sekolah. Jika perlu beberapa minggu sebelumnya anak dapat diajak bicara dan ngobrol dengan calon guru/wali kelasnya untuk membangun kedekatan dengan figur pengganti sementara di sekolah.
• Datang lebih pagi, hindari untuk tergesa-gesa apalagi telat sekolah. Tergesa-gesa pada saat masuk sekolah mungkin dapat membuat anak tak memiliki ‘pemanasan’ mental yang cukup terhadap ruang (spasial) baru yang mereka tempati. Saya melihat tak sedikit orangtua yang datang ke sekolah telat (tuh lihat kan, kedisiplinan anak dimulai dari orangtua kan?).
• Mulailah rutinitas pagi dari rumah sejak bangun pagi, mandi dan sarapan dari rumah dengan senyuman, bukan dengan tergesa-gesaan apalagi dengan tekanan segala. Tidur yang cukup dengan penanganan pengasuhan yang tepat dapat membuat pikiran fresh ketika berada di sekolah.