Selasa, 21 Juni 2011

Free Download E-Buku Kisah Ka’bah

Assalamu’alaykum.

Wah adik-adik… Ada kabar gembira.

Alhamdulillah sekarang kalian bisa membaca Buku Kisah-kisah tentang Ka’bah dengan gratis tanpa membeli.

Kakak-kakak di Penerbit Al-Ilmu yang menerbitkan buku ini telah mengeluarkan edisi gratisnya. Berikut pengumumannya:
Dalam rangka menyebarluaskan materi dakwah islamiyah bermanhaj salaf serta semakin menambah manfaat dari buku-buku yang diterbitkan oleh Penerbit Al-Ilmu, kini para pengunjung dan pembaca dapat memperoleh e-book buku-buku Penerbit Al-Ilmu melalui situs kami.
Download E-Book Buku
Pada kesempatan kali ini kami rilis versi e-book dari buku “Kisah-kisah tentang Ka’bah”, yang dapat didownload gratis di http://penerbit.al-ilmu.com/2007/12/28/download-gratis-e-book-kisah-kisah-tentang-kabah/
(terdapat dalam pdf dan zip)
E-book ini kami perbolehkan dan bebas disebarluaskan kepada kaum muslimin dalam bentuk elektronik maupun print/copy. Nantikan versi e-book buku-buku Penerbit Al-Ilmu lainnya pada saatnya nanti insya Allah bisa didownload melalui web http://penerbit.al-ilmu.com .
Untuk memperoleh dalam bentuk buku terbitan Penerbit Al-Ilmu dapat diperoleh di :
Beli online di Toko Online Produk Muslim Al-Ilmu.Com,
Pesan atau beli melalui Agen dan toko cabang Al-Ilmu.
Atau cari di toko-toko buku terdekat di kota antum.
Baarokallohufiikum.
Alhamdulillah ya adik-adik, silakan minta orang tua atau kakak untuk mendownloadnya untuk kalian.

Assalamu’alaykum..

Adik-adik Jangan Suka Minta-minta Ya!

“Dul, minta dong kuenya!”

“Kamu diberi jajan ya sama abimu? Ayo kasih aku uangmu!”

“Fathimah, minta mainannya ya?!”

Kata-kata semacam itu terkadang terdengar keluar dari mulut mungil kalian yang lucu.

Mungkin, kalian menganggap meminta-minta sesuatu pada teman seperti itu adalah hal yang sangat biasa. Akan tetapi, tahukah kalian bahwa hal itu adalah perbuatan yang tercela dan dapat mendatangkan dosa?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

“Senantiasa seseorang itu meminta-minta, hingga kelak ia akan menghadap Allah dalam keadaan tiada sepotong daging pun di wajahnya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Hiii, apa kalian mau kelak menjumpai Allah dalam keadaan seperti itu?

Adik-adik…

Jangan sekali-kali kalian membiasakan diri dengan perilaku tercela ini. Jangan sekali-kali kalian memiliki kebiasaan meminta uang atau barang milik teman. Selain itu perbuatan tercera dan dilarang, bisa jadi hal itu dapat memberatkan teman kalian.

Mungkin teman kalian itu terpaksa memberi uangnya pada kalian. Atau mungkin teman kalian itu tidak rela apabila diminta-diminta makanannya. Akhirnya, lama kelamaan kalian tidak akan disukai oleh mereka. Mereka akan enggan bergaul dengan kalian.

Jika kalian ingin meminta kebutuhan kalian, mintalah kepada ummi atau abi, karena kalian masih berada dalam tanggungan mereka. Tapi ingat, jangan kalian suka meminta kepada Ummi dan Abi apa yang mereka tidak sanggup untuk memberikan.

Dan sungguh sangat terpuji, jika sejak kecil kalian belajar meminta apa saja keinginan kalian kepada Allah. Karena Allah-lah tempat kita meminta. Allah sangat suka jika meminta atau berdoa kepada-Nya. Dan Allah sangat tidak suka bila hamba-Nya sombong tidak mau meminta atau berdoa kepada-Nya.

Allah berfirman dalam surat Al-Mukmin ayat 60,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (٦٠)

Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina’.”

Berbeda dengan manusia. Manusia jika terus-menerus diminta maka ia akan marah. Ia merasa terbebani. Jadi, janganlah kalian terbiasa meminta-minta. Walaupun hanya meminta tolong kepada orang lain. Jika kalian masih bisa mengerjakan, maka kerjakanlah sendiri, semampu kalian. Kecuali hal-hal yang benar-benar kalian terpaksa meminta tolong kepada orang lain.

Misalnya, tas sekolah kalian terjatuh di pinggir sungai sungai yang dalam, apabila kalian nekat mengambilnya ada kemungkinan kalian akan tergelincir dan tercebur ke sungai yang dalam tersebut. Sementara jika kalian pulang memanggil orang tua kalian saat itu tidak memungkinan. Maka kalian bisa meminta tolong kepada orang dewasa yang ada di sekitar tempat itu untuk mengambilnya. Kalau seperti ini tidaklah mengapa, bahkan dianjurkan kalian untuk melakukannya.

(Sumber: 12 Perilaku Tercela di Sekitar Kita, Ummu Usamah Aliyyah, penerbit Darul Ilmi)

Dan Syaikh pun Terbiasa Membangunkan Anak-Anaknya Untuk Shalat Fajr

Ahmad, putra Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz bercerita,

“Asy Syaikh Bin Baaz sering membangunkan anak-anak beliau untuk shalat Fajr melalui telepon internal.

Apabila beliau membangunkan, beliau akan membacakan doa bangun tidur,

Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da ma amaatana wailaihin nusyuur”

“Segala puji bagi Allah yang memberikan kita kehidupan setelah kami dimatikannya, dan kepadanyalah tempat kembali”

Karena mereka masih dikuasai kantuk, As Syaikh akan meminta mereka mengulangi doa ini sampai beliau memastikan bahwa anak-anak beliau telah bangun dari tidur.

(Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/jewelsofguidance/ibnbaaz/0010619.htm
untuk http://anakmuslim.wordpress.com)

Suapan Pertama Untuk Anakku

Ada banyak cara yang berkembang di masyarakat untuk menyambut datangnya bayi. Islam mengajarkan agar bayi yang baru lahir ditahnik, yaitu memberi kurma (atau makanan manis) yang sudah dilumatkan lebih dulu. 

Lahirnya seorang bayi merupakan awal dari kehidupannya di dunia. Dia mulai merasakan aktivitas hidup di dunia ini. Tentunya tak patut ayah dan ibu yang menginginkan buah hatinya menjadi anak yang shalih membiarkan hari-hari pertamanya berjalan tanpa dihiasi tuntunan syariat yang mulia ini, bahkan dikotori oleh hal-hal yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Banyak hal dipandang oleh masyarakat sebagai adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Ada yang memasang lentera di kuburan ari-ari (plasenta) bayi, ada yang memasang gunting atau senjata tajam lain di dekat kepala bayi, ada yang meletakkan rangkaian bawang dan cabai merah di atas kepala bayi, ada pula yang memasang gelang dari benang untuk penangkal bala’ bagi si bayi. Bahkan sebagian orang meyakini, kalau hal itu tidak dilakukan, maka keselamatan si jabang bayi pun terancam. Kalau sudah begini, dikhawatirkan kesyirikan akan masuk tanpa terhindarkan.

Sebenarnya apa yang harus dilakukan pada hari-hari pertama setelah kelahiran telah diajarkan oleh Allah. Melalui perbuatan Rasulullah kita bisa melihat dengan jelas penetapan syariat dalam hal ini. Kita simak, apa yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap seorang bayi yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, ‘Aisyah bintu Abi Bakr Ummul Mukminin :

Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan Rasulullah, maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya.” (Shahih, HR Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no. 2147)

Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran seorang anak. Demikian dijelaskan oleh Imam an-Nawawi ketika menerangkan tentang tahnik ini.

Gambaran perbuatan Rasulullah ini bisa kita lihat dalam hadits Anas bin Malik :

“Aku membawa ‘Abdullah bin Abi Thalhah al-Anshari kepada Rasulullah  pada hari kelahirannya, dan waktu itu beliau mengenakan mantelnya sedang mengecat untanya dengan ter. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau membawa kurma?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian kuberikan pada beliau beberapa buah kurma, lalu beliau masukkan ke mulut dan mengunyahnya. Kemudian beliau membuka mulut bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi itu. Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan lidahnya untuk merasakan kurma tersebut. Maka Rasulullah  bersabda, “Kesukaan Anshar adalah kurma.” dan beliau memberinya nama ‘Abdullah. (Shahih, HR Imam Bukhari no. 5470 dan Imam Muslim no. 2144)

Hadits Anas bin Malik di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa tahnik dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang disenangi. Apabila dilakukan dengan selain kurma, maka tahnik itu pun telah terlaksana, namun kurma lebih utama. Dari sini pula kita memetik faidah bahwa tahnik dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki ataupun perempuan. (Syarh Shahih Muslim)

Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang pelaksanaan tahnik yang datang dari sahabat-sahabat yang lainnya. Abu Musa al-Asy’ari z menceritakan:

Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi , kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma. (Shahih, HR Imam Bukhari no. 5467 dan Imam Muslim no. 2145)

Asma’ bintu Abi Bakr c mengisahkan ketika dia mengandung anaknya, ‘Abdullah ibnu az-Zubair di Mekkah :

“Dia mengatakan: Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat waktuku melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba’, serta melahirkan di sana. Kemudian aku mendatangi Rasulullah , lalu beliau meletakkan anakku di pangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma, dan mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali masuk ke perutnya adalah ludah Rasulullah . Beliau mentahniknya dengan kurma, kemudian mendoakannya dan memintakan barakah baginya. Dan dia adalah bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin). (Shahih,, HR Imam Bukhari no. 5469 dan Imam Muslim no. 2146)

Kisah Asma’ x ini memberikan faidah kepada kita tentang disenanginya mendoakan bayi yang dilahirkan itu ketika tahnik. (Syarh Shahih Muslim)

Tak luput dari perhatian kita, semua yang kita simak dari Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy’ari serta Asma’ bintu Abi Bakr radhiallahu ‘anhum di atas menunjukkan bolehnya memberi nama anak pada hari kelahirannya. Ini pun diperkuat oleh penuturan sahabat yang mulia, Sahl bin Sa’d z :

“Didatangkan al-Mundzir putra Abu Usaid ke hadapan Rasulullah  ketika dia dilahirkan. Maka Nabi  meletakkannya di atas pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk. Pada waktu itu Rasulullah sedang sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan agar anaknya dibawa kembali, maka anak itu diangkat dari pangkuan Rasulullah  dan mereka pun mengembalikannya pada Abu Usaid. Ketika Rasulullah  selesai dari kesibukannya, beliau bertanya, “Di mana bayi tadi?” Abu Usaid pun menjawab, “Kami membawanya kembali, ya Rasulullah!” 
 
Lalu beliau bertanya, “Siapa namanya?” Jawab Abu Usaid, “Fulan, ya Rasulullah!” Beliau pun bersabda, “Tidak, akan tetapi namanya Al-Mundzir.” Kemudian pada hari itu beliau memberinya nama Al-Mundzir. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 2149)
 

Kedermawanan

Kedermawanan bukanlah semata sikap yang tumbuh dengan sendirinya pada diri seorang anak. Namun juga butuh pembiasaan sedari kecil. 

Ketika anak mulai memasuki usia balita, biasanya ia mulai mengerti tentang apa itu ‘milik’. Dia mulai memahami, ada barang-barang miliknya, ada barang milik orang lain.

Namun kesadaran tentang milik ini terkadang –atau malah seringnya– disertai berkembangnya sifat ‘pelit’. Ada rasa keberatan bila dia harus memberikan sebagian miliknya kepada orang lain atau barang miliknya sekadar dipegang, dipinjam atau digunakan oleh orang lain. Yang seperti ini kadangkala menjadi biang pertengkaran si anak dengan saudara atau teman sepermainannya. 

Keadaan seperti ini tentu tak dapat dibiarkan, karena sifat buruk ini bisa jadi akan terus berkembang dan melekat pada pribadi anak. Tentu kita tak ingin anak kita menjadi anak yang bakhil, karena sifat ini jelas-jelas dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Kitab-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى. وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى. وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى. وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

”Adapun orang yang memberikan hartanya dan bertakwa, serta membenarkan keyakinan yang benar berikut balasannya, maka akan Kami mudahkan baginya keadaan yang mudah. Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya tidak butuh kepada Allah, serta mendustakan keyakinan yang benar berikut balasannya, maka akan Kami mudahkan baginya keadaan yang sukar.” (Al-Lail: 5-10)

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

”Orang-orang yang bakhil dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil, serta menyembunyikan karunia yang telah Allah berikan kepada mereka, dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” (An Nisa`: 37) 

Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggambarkan bagaimana beratnya seorang yang bakhil memberikan hartanya. Al-Imam Bukhari rahimahullahu meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْبَخِيْلِ وَالْـمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيْدٍ مِنْ ثَدْيِهِمَا إِلَى تَرَاقِيْهِمَا، فَأَمَّا الْـمُنْفِقُ فَلاَ يُنْفِقُ إِلاَّ سَبَغَتْ –أَوْ وَفَرَتْ– عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ، وَأَمَّا الْبَخِيْلُ فَلاَ يُرِيْدُ أَنْ يُنْفِقَ إِلاَّ لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقٍ مَكَانَهُ، فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلاَتَتَّسِعُ

”Perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka berinfak seperti dua orang yang memakai jubah besi yang dia masukkan dari dada hingga kerongkongannya. Adapun orang yang suka berinfak, setiap kali dia berinfak jubahnya bertambah longgar dari kulitnya, sampai akhirnya menutupi jari-jemarinya dan menghapus jejak langkahnya (karena panjangnya, pen.). Adapun orang yang bakhil, setiap kali dia akan berinfak, maka menyempitlah baju besi itu, dia ingin melonggarkannya, tapi jubah itu tetap tidak bertambah longgar.” (HR. Al-Bukhari no. 1443)

Oleh karena itu, orangtua harus melatih anak-anak untuk menghilangkan sifat bakhil ini, disertai penanaman sifat dermawan. Anak-anak harus diajarkan, bahwa segala sesuatu yang dia miliki adalah rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberikannya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memerintahkan kita untuk bersedekah dan berbuat baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan balasan yang lebih banyak bila kita mematuhi perintah-Nya untuk bersedekah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian sebelum datang suatu hari yang pada saat itu tidak ada jual beli, tidak ada hubungan kasih sayang dan tidak ada pula syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dzalim.” (Al-Baqarah: 254)

Di ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan apa pun yang kalian infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rizki.” (Saba`: 39)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah sekuat kemampuan kalian, dengar dan taatlah kalian kepada-Nya, serta infakkanlah harta yang baik bagi diri kalian, dan barangsiapa dilindungi dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-Taghabun: 16)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memberikan hasungan kepada kita untuk senantiasa melapangkan diri untuk memberi. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اللَّّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُوْلُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tidak ada suatu hari yang dimasuki oleh seorang hamba, kecuali pada hari itu ada dua malaikat yang turun. Salah seorang dari mereka berdoa, ‘Ya Allah, berikan ganti pada orang yang menginfakkan hartanya.’ Yang lainnya berdoa, ‘Ya Allah, berikan kemusnahan harta pada orang yang tidak mau memberi’.” (HR. Al-Bukhari no. 1442)

Benarlah berita yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Sehingga sudah semestinya kita hasung anak-anak untuk memiliki sifat dermawan, dengan mengingatkan mereka akan doa malaikat bagi orang-orang yang berinfak. 

Selain itu, bisa pula kita ceritakan, bagaimana kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintah untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Tak pernah beliau menolak apabila diminta. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم شَيْئًا قَطُّ فَقَالَ: لاَ.

“Tak pernah sekalipun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta sesuatu kemudian beliau mengatakan ‘tidak’.” (HR. Muslim no. 2311)

Kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat mengesankan siapa pun. Bahkan seseorang yang baru masuk Islam menjadi lunak hatinya dengan pemberian beliau ini, sehingga membuat dia mencintai Islam dan menjadi baik keislamannya. Diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: 

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ فَأَتَى قَوْمَهُ فَقَالَ: أَيْ قَوْمِ، أَسْلِمُوا، فَوَاللهِ إِنَّ مُحَمَّدًا لَيُعْطِي عَطَاءً مَا يَخَافُ الفَقْرَ. فَقَالَ أَنَسٌ: إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيُسْلِمُ مَا يُرِيْدُ إِلاَّ الدُّنْيَا، فَمَا يُسْلِمُ حَتَّى يَكُوْنَ الْإِسْلاَمُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

”Ada seseorang meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kambing sebanyak antara dua bukit. Beliau pun memenuhi permintaannya. Maka orang itu mendatangi kaumnya sambil berkata, ’Wahai kaumku, masuk Islamlah kalian! Sesungguhnya Muhammad itu suka memberi dengan pemberian yang dia sendiri tidak khawatir akan fakir!’ Anas mengatakan, ’Tadinya orang itu masuk Islam karena menginginkan dunia, sampai akhirnya setelah masuk Islam, Islam lebih dia cintai daripada dunia seisinya’.” (HR. Muslim no. 2312)

Sifat dermawan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tampak lebih menonjol saat tiba bulan Ramadhan. Karena itu, kita ajarkan pula anak-anak untuk banyak berbuat kebaikan dan banyak memberi saat bulan Ramadhan tiba. ’Abdullah bin ’Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ، وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ n حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْـمُرْسَلَةِ

”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, ketika Jibril menemui beliau. Jibril biasa menemui beliau setiap malam sepanjang bulan Ramadhan, lalu mengajari beliau Al-Qur’an. Maka ketika itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan untuk memberikan kebaikan daripada angin yang bertiup kencang.” (HR. Al-Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, hadits ini memiliki beberapa faedah, di antaranya penjelasan tentang besarnya kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta disenanginya memperbanyak kedermawanan ini pada bulan Ramadhan. (Syarh Shahih Muslim, 15/68)

Biasanya, mengajarkan kebaikan pada anak bisa pula didukung dengan menyampaikan berbagai kisah yang benar. Mudah mereka mengingatnya dan membekas dalam hati. Demikian pula dalam hal mengajari mereka agar dermawan. Kisah-kisah tentang kedermawanan para sahabat radhiyallahu ‘anhumaperlu kita tuturkan pada mereka, seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang paling banyak menyerahkan harta dan persahabatannya untuk mendukung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga seperti ’Utsman bin ’Affan radhiyallahu ‘anhu yang membeli sumur Ruumah milik seorang Yahudi dengan hartanya agar bisa diambil airnya oleh kaum muslimin. Demikian pula para sahabat lain yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Dari kalangan wanita, ada Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang sangat gemar bersedekah sampai-sampai lupa menyisakan sedikit pun hartanya untuk berbuka puasa. Juga Ummul Mukminin Zainab bintu Khuzaimah radhiyallahu ‘anha yang dijuluki Ummul Masakin, ibunda kaum miskin, karena senantiasa mengulurkan bantuan kepada orang-orang miskin. Begitu pula Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsy yang paling banyak bersedekah di antara para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha yang gemar membuat sesuatu kemudian hasilnya dia sedekahkan, dan masih banyak lagi. 

Melalui biografi yang membeberkan kisah hidup para sahabat ini, mereka akan mengenal sosok mulia para sahabat radhiyallahu ’anhum. Di samping itu, mereka akan mendapatkan teladan dari kisah yang mereka baca. Diharapkan, mereka akan bisa meniru kedermawanan para sahabat radhiyallahu ’anhum.

Yang tak kalah pentingnya adalah teladan kita sebagai orangtua. Seorang anak yang melihat orangtuanya senantiasa memberikan kebaikan pada orang-orang yang ada di sekelilingnya, akan lebih mudah dibiasakan untuk bersifat dermawan. Diiringi pula doa kebaikan kita untuk mereka, agar Allah Subhanahu wa Ta’ala jauhkan mereka dari sifat-sifat yang yang tercela dan menghiasi mereka dengan sifat-sifat yang mulia.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Cerita Dalam Dunia Anak

Cerita fiksi, dengan niat sebaik apapun -termasuk “berdakwah”, tetaplah kedustaan. Sehingga tak sepantasnya anak-anak kita dijejali oleh beragam cerita rekaan yang hanya akan memperkuat fantasi khayalnya. Terlebih cerita-cerita tersebut, baik yang berbentuk cerpen, komik, ataupun novel, mengandung hal-hal yang bisa merusak akidah mereka.

Kalau kita berkunjung ke perpustakaan atau toko buku, deretan buku cerita untuk anak-anak sangat mudah kita jumpai. Dari cerita legenda sampai yang bertema agama. Mulai cerita daerah sampai cerita yang diadopsi dari negeri asing.

Memang, anak-anak –sebagaimana orang dewasa– sangat menyukai cerita. Cerita memang bisa menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan dan menanamkan berbagai nilai, baik positif maupun negatif, pada diri anak.

Namun sayang, sebagian besar cerita yang disuguhkan kepada anak-anak adalah cerita fiksi. Dengan kata lain, menyuguhkan kedustaan dan khayalan. Ironisnya, cerita-cerita seperti inilah yang justru digemari oleh anak-anak, termasuk anak-anak kaum muslimin. Karakter-karakter khayal dan asing dengan alur cerita yang mengasyikkan membuat mereka menjadi pengkhayal; ingin menjadi seorang “jagoan” yang perkasa atau seorang “putri” yang lembut dan jelita.

Isi cerita pun turut mendukung kerusakan yang ada. Cerita yang seram dan menakutkan membuat anak menjadi ciut nyali dan kehilangan keberaniannya. Bahkan banyak cerita yang nyaris meruntuhkan tauhid. Cerita tentang “kantong ajaib” sampai “peri yang baik” bisa membuat anak percaya, segala yang mereka inginkan bisa tercapai bukan melalui kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wal ‘iyadzu billah!

Kalaupun ada cerita bertema agama –baik yang tercantum di rubrik-rubrik kisah majalah anak ataupun yang terbukukan–, seringkali yang ada adalah cerita rekaan, atau kisah-kisah yang benar namun dibumbui dengan berbagai tambahan dan pengurangan. Semuanya berujung pada kedustaan.

Tidak dipungkiri, cerita dapat menimbulkan pengaruh bagi yang mendengar atau membacanya. Oleh karena itulah di dalam Al-Qur`an kita dapati berbagai kisah yang bermanfaat, tentang para nabi ataupun umat-umat terdahulu. Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menuturkan kisah-kisah dengan bahasa yang begitu fasih, penyampaian yang begitu jelas dan gamblang.

Namun bedanya, kisah-kisah dalam Al-Qur`an maupun yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisi tentang kenyataan yang benar-benar terjadi dan jauh dari sekadar dusta dan khayalan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي اْلأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi sebagai pembenar kitab-kitab yang sebelumnya dan penjelas segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf: 111)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula tentang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى

“Tidaklah dia berkata dari hawa nafsunya. Yang dikatakannya itu tidak lain wahyu yang diwahyukan.” (An-Najm: 3-4)

Maka dari itu, mestinya kita benar-benar memerhatikan ketika hendak memilihkan bacaan, menuliskan cerita atau menuturkan kisah kepada anak-anak. Tak boleh ada unsur kedustaan sepanjang cerita itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (An-Nahl: 105)

Dusta, biarpun dalam rangka berkisah yang sifatnya menghibur anak-anak, tetaplah dilarang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan hal itu dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ القَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ

“Binasalah orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta. Binasalah dia, binasalah dia!” (HR. At-Tirmidzi no. 2315, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Oleh karena itu, kita perlu waspada dan ekstra hati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan seperti ini. Apalagi jika kita terbiasa membuat-buat dongeng atau cerita rekaan, hingga tanpa terasa kita jadi terbiasa berdusta. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan bahwa orang yang terbiasa berdusta akan dicatat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai seorang pendusta. Na’udzu billah!

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إلَى الْجَنَّةِ ومَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَلاَ يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing ke surga, dan seseorang senantiasa jujur dan membiasakan untuk jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta akan membimbing pada kejahatan, dan kejahatan akan membimbing ke neraka, dan seorang hamba senantiasa berdusta dan membiasakan untuk dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)

Dusta juga termasuk perangai orang munafik. Demikian dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu ada tiga: bila bicara dia dusta, bila berjanji dia mengingkari, dan bila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)

Lebih dari itu, dusta merupakan dosa besar yang diancam dengan azab di neraka, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa suatu pagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat:

إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ وَإِنَّهُمَا ابْتَعَثَانِي وَإِنَّهُمَا قَالاَ لِي: انْطَلِقْ. وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا…- الْحَدِيثَ- وَفِيهِ: وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ وَمِنْخَرَهُ إِلَى قَفَاهُ وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكِذْبَةَ تَبْلُغُ الْآفَاقَ

“Semalam aku didatangi oleh dua orang malaikat, lalu mereka berdua mengajakku pergi. Mereka berkata padaku, ‘Mari kita pergi!’ Aku pun pergi bersama mereka berdua….” (sampai beliau mengatakan), “Adapun orang yang kaulihat sedang merobek/memotong mulutnya hingga ke tengkuknya, hidungnya hingga ke tengkuknya, kedua matanya hingga ke tengkuknya adalah orang yang suka berangkat di pagi hari dari rumahnya, lalu dia membuat kedustaan, sampai kedustaan itu mencapai seluruh penjuru.” (HR. Al-Bukhari no. 7047)

Orang seperti ini berhak mendapatkan azab, karena berbagai kerusakan yang timbul dari kedustaan yang dibuatnya. Sementara, dia melakukan dusta itu dengan keinginannya, bukan karena dipaksa atau karena terdesak. (Fathul Bari, 12/557)

Ancaman apa lagi yang lebih mengerikan daripada azab seperti ini?

Kalau memang kita ingin memberikan kisah-kisah untuk memberikan pelajaran kepada anak dan menanamkan akhlak yang baik, kita bisa mengambil cerita-cerita yang ada di dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Atau melalui kisah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, dari kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama, yang di dalamnya sarat dengan keteladanan dan pelajaran serta dituturkan sebagaimana jalan cerita yang ada, tanpa pengurangan dan penambahan, sekalipun kita menuturkannya dengan bahasa anak-anak.

Yang banyak pula ditemukan sekarang ini, kisah-kisah para tokoh Islam, baik dari kalangan para rasul, sahabat, dan yang lainnya, dalam bentuk cerita bergambar. Nabi Adam ‘alaihissalam maupun nabi-nabi yang lain digambarkan sedemikian rupa dalam ilustrasi buku cerita maupun karakter film kartun. Begitu pula tokoh-tokoh yang lainnya.

Yang seperti ini dilarang, karena jelas-jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membuat gambar-gambar makhluk bernyawa ataupun menyimpannya di dalam rumah. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan:

سَمِعْتُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

“Aku pernah mendengar Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang membuat sebuah gambar (makhluk hidup) di dunia, ia akan dibebani untuk meniupkan ruh kepada gambar tersebut pada hari kiamat, padahal ia tidak bisa meniupkannya’.” (HR. Al-Bukhari no. 5963 dan Muslim no. 5507)

Jabir radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memasukkan gambar (makhluk hidup) ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.” (HR. At-Tirmidzi no. 1749, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ. وَقَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيْهِ الصُّوَرُ لاَ تَدْخُلُهُ الْمَلاَئِكَةُ

“Sesungguhnya pembuat gambar-gambar (makhluk bernyawa) seperti ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan pada mereka, ‘Hidupkan apa yang kalian ciptakan ini!’.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa) tidak akan dimasuki oleh malaikat.” (HR. Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 2107)

Di samping itu, perbuatan semacam ini mengandung pelecehan terhadap para nabi dan para tokoh yang digambarkan. Demikian difatwakan oleh para ulama, sebagaimana termaktub dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t: “Dilarang menggambar para sahabat atau salah seorang di antara mereka, karena hal itu mengandung peremehan dan pelecehan terhadap mereka, serta mengakibatkan penghinaan terhadap para sahabat. Walaupun diyakini di sana ada maslahat, namun mafsadah yang ditimbulkan jauh lebih besar. Sementara segala sesuatu yang mafsadahnya lebih besar itu terlarang. Keputusan tentang larangan atas hal ini telah ditetapkan dalam Majlis Hai`ah Kibaril ‘Ulama. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`, 1/712 no. 2044)

Bagaimana kiranya dengan menggambar para nabi yang lebih mulia daripada para sahabat? Tentu lebih jelas lagi pelarangannya.

Sudah semestinya kita bersikap bijak untuk memilah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang menyelamatkan dan mana yang membahayakan, baik untuk anak-anak maupun diri kita.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Membangun Istana Kelembutan

Tahun delapanpuluhan, dunia pendidikan Indonesia terhenyak kelabu. Seakan tiada habis tanya, mengapa peristiwa itu terjadi. Namun begitulah. Suratan takdir telah menorehkan peristiwa lain. Seorang bocah yang belum menginjak usia baligh terkapar. Tubuhnya lebam-lebam, sebagai pertanda dirinya telah dianiaya. Bertubi siksaan, deraan dan pukulan mendarat di sekujur tubuhnya. 

Dalam ketiadaan daya, dirinya cuma bisa merintih kesakitan. Lalu, iapun meninggalkan alam fana ini. Apa salah bocah itu? Konon, katanya ia telah mencuri. Atas tindakan bocah ini, orangtuanya pun kalap. Kemarahan membakar hatinya. Maka terjadilah apa yang terjadi. Episode kelabu ini menjadi noktah hitam dalam lembar riwayat dunia pendidikan di Tanah Air.

Kekerasan terhadap anak, telah demikian banyak terjadi. Bahkan, kekerasan yang terjadi tidak sedikit yang dilakukan secara tidak terukur. Dorongan untuk melakukan kekerasan pada anak lebih dikarenakan situasi emosional yang tidak stabil. Nafsu angkara menjadi mudah tersulut kala anak bertindak salah. Struktur kejiwaan seperti ini, ibarat petasan, ia bersumbu pendek. Sekali sulut, langsung meledak. Sekali anak melakukan perbuatan tak berkenan, langsung amarahnya menggelegar. Marah telah menghilangkan kontrol diri. Akibatnya, lisan tak terjaga, tindakan pun membabi buta. Kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, “Sungguh marah itu tidak diragukan lagi telah memberi pengaruh pada manusia, sehingga dirinya berperilaku (dengan) perilaku seperti orang gila.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/925)

Berdasar hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي. قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ

“Sesungguhnya seorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Nasihatilah aku.’ Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah.’ Kalimat itu terus diulang-ulang. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah’.”(Shahih Al-Bukhari, no. 6116)

Kalimat لَا تَغْضَبْ (janganlah kamu marah), menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, bermakna janganlah kamu menjadi orang yang cepat marah, yang akan memengaruhimu pada setiap sesuatu. Tapi, jadilah dirimu orang yang tenang, tidak cepat marah, karena sesungguhnya kemarahan itu adalah bara api yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Dengan bara api itu, mendidihlah hati seseorang. Karena ini pula, urat-urat leher dan jaringan pembuluh darah menegang, mata pun memerah. Lalu seseorang melakukan tindakan (agresivitas), setelah itu timbullah penyesalan.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/925)

Tentu sebuah sikap bijak, bila mendapati orang yang tengah geram dibakar angkara murka lalu menasihatinya. Nasihat nan bijak ini diharapkan mampu meredam tindakan-tindakan yang bakal tak terkendali. Seperti melakukan agresivitas; pemukulan atau tindakan sadistis lainnya yang tak patut dikenakan pada anak-anak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh terbaik, bagaimana upaya meredam amarah yang tengah menggelegak pada diri seseorang. Nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menembus pusat kesadaran. Sehingga, peristiwa pemukulan lantaran sikap amarah berhasil dihentikan. Bahkan tak cuma di situ. Pada diri orang itu tumbuh kesadaran untuk tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak miliknya selama-lamanya. Ini merupakan revolusi perubahan sikap dan perilaku yang mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia.

‘Uqbah bin ‘Amir bin Tsa’labah Al-Anshari atau lebih dikenal dengan nama kunyah Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, bertutur:

كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ. فَلَمْ أَفْهَمِ الصَّوْتَ مِنَ الْغَضَبِ، قَالَ: فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ. قَالَ: فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي، فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ. قَالَ: فَقُلْتُ: لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا

“Saat aku memukuli budak milikku dengan cambuk, aku mendengar suara dari arah belakang: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Aku tak memahami suara itu karena sedang marah.”

“Maka tatkala mendekat kepadaku,” kata Abu Mas’ud, “Ternyata dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’.”

Kata Abu Mas’ud: “Aku pun melemparkan cambuk yang ada di tangan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kuasa atas dirimu daripada engkau terhadap budak ini’. Aku berkata: ‘Setelah peristiwa itu, aku tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak selama-lamanya’.” (Shahih Muslim, no. 1659)

Terkait hadits di atas, Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut mengandung motivasi untuk bersikap lemah lembut terhadap budak. Termuat pula nasihat serta kepedulian untuk bersikap pemaaf, menahan diri dari amarah dan menghukum sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum hamba-hamba-Nya. (Al-Minhaj, 11/132)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)

Meretas pendidikan bagi anak-anak sehingga mereka menjadi generasi berakhlak mulia di masa sekarang ini tidaklah mudah. Berbagai kendala menghadang. Serbuan budaya kekerasan dan sadisme senantiasa mewarnai kehidupan sehari-hari. Aksi-aksi kekerasan dipertontonkan secara vulgar di hadapan anak-anak. Melalui kemampuan meniru yang kuat, seorang anak akan dengan mudah merekam dan menirukan apa yang dilihat dan dirasakannya. 

Lambat laun budaya itu terserap, mengkristal dalam jiwa anak dan terbentuklah kepribadian anak yang kasar, bengis, beringas, vandalis (suka merusak dengan ganas), dan pemarah. Anak menjadi ringan tangan untuk menyakiti teman-temannya, atau bahkan adiknya sendiri. Satu hal yang sangat ironis sekali, manakala kepribadian tanpa rahmah ini justru terbentuk pada diri anak melalui sikap-sikap yang diperlihatkan orangtua atau gurunya.

Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang bernama Al-Aqra’ bin Habis. Dia seorang ayah yang memiliki sepuluh anak. Satu hari, dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan, cucu beliau. Lantas Al-Aqra’ bin Habis berucap, “Sungguh, aku memiliki sepuluh anak. Tak satupun dari mereka yang pernah aku cium.” Menimpali ucapan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

“Sesungguhnya siapa yang tak menyayangi, dia tak akan disayangi.”
Dalam riwayat lain disebutkan:

مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Siapa yang tak menyayangi orang lain, Allah k tak akan menyayanginya.” (Kisah ini merujuk pada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih Muslim no. 2318 dan 2319)

Hadits di atas memberikan tekanan yang sangat kuat bahwa keluarga atau komunitas terdekat anak berperan dalam menumbuhkan kepribadian anak yang rahmah. Sarat kelembutan, bertabur kasih sayang. Sulit dan sangat sulit sekali, membangun rumah menjadi istana nan padat kelembutan bila masing-masing anggota keluarga tiada berkepribadian yang rahmah. Kekerasan, pertengkaran, caci maki, dan dendam kesumat menjadi menu santapan sehari-hari. Maka, kisah di atas memberikan semangat guna melabur kasih kepada anak-anak dan selainnya. Salah satu dari sekian banyak ekspresi untuk ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak adalah dengan menciumnya. Inilah dasar pembentukan watak, karakter anak. Inilah manhaj yang sangat bersifat asasi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmah bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan:

قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ. قَالَ: إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Dikatakan: ‘Ya Rasulullah, doakan kejelekan bagi orang-orang yang berbuat syirik.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sungguh, aku tidaklah diutus sebagai orang yang suka melaknat. Sesungguhnya aku diutus untuk membawa rahmah’.” (Shahih Muslim, no. 2599)

Pendidikan tanpa disertai sikap rahmah akan membawa akibat yang tidak ringan. Sama seperti halnya dalam dakwah. Tanpa sikap yang diliputi rahmah, dakwah bakal membuncah tiada arah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmah dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)

Kemudian selisiklah, bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembangkan sikap penuh hikmah, lembut, tidak menampakkan kekerasan terhadap orang Arab badui yang belum mengenyam pendidikan, padahal dia buang air di masjid. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengungkapkan kisah ini dalam haditsnya:

بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَهْ مَهْ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ. فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ


“Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba datang seorang A’rabi (Badui). Kemudian dia berdiri, buang air di masjid. Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Mah, mah.’1 Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jangan hentikan (buang air kecilnya). Biarkan dia.’ Para sahabat pun meninggalkannya hingga orang tersebut menyelesaikan buang air kecilnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil A’rabi itu dan berbicara kepadanya: ‘Sesungguhnya masjid-masjid ini tidaklah boleh untuk buang air kecil atau buang kotoran. Masjid itu tempat untuk dzikir kepada Allah k, shalat dan membaca Al-Qur`an.’ –Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam–. Lantas beliau memerintahkan seseorang dari kaum tersebut, maka orang itu datang membawa seember air. Disiramlah bekas buang air kecil tadi.” (Shahih Muslim, no. 285)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu mengungkapkan faedah dari hadits tersebut. Kata beliau, hal itu menunjukkan kebagusan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengajaran beliau dan sikap lemah lembutnya. Karenanya, hendaklah bagi kita bila berdakwah, menyeru pada perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara yang mungkar dilakukan dengan cara yang lemah lembut. Sesungguhnya cara yang lembut akan membuahkan kebaikan. Sebaliknya, cara yang kasar dan galak, bakal membuahkan kejelekan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/921)

Bagaimana bila dikaitkan dengan dunia pendidikan? Tentu pada hakikatnya sama antara dunia dakwah dengan dunia pendidikan. Karenanya, bagi para orangtua, pendidik, pengasuh, dan semua kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan hendaknya bisa mengedepankan sikap lemah lembut ini. Tidak mengedepankan aksi kekerasan, mudah mengayunkan tongkat atau alat pemukul ke tubuh anak didik. Dari Aisyah x, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan menyukai kelemahlembutan dalam seluruh perkara.” (Shahih Al-Bukhari no. 6927 dan Shahih Muslim no. 2165)

Juga dari Aisyah x, dia berkata:

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya. Tidak terhadap istri, juga terhadap pelayan. Kecuali saat jihad di jalan Allah.” (Shahih Muslim, no. 2328)

Menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, yang dimaksud hadits itu yaitu memukul istri, pelayan, hewan; dan jika (memukul sesuatu) yang dibolehkan maka dilandasi dengan adab (aturan). Namun, meninggalkannya (yakni tidak memukul, pen.) itu lebih utama. (Al-Minhaj, 15/84)

Karenanya, penting sekali bagi seorang pendidik untuk memiliki sifat al-hilm, at-ta`anni, dan ar-rifq. Yang dimaksud al-hilm, menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, adalah seseorang yang mampu mengendalikan diri ketika marah. Sedangkan at-ta`anni yaitu bersikap tenang dalam menghadapi masalah yang ada. Tidak tergesa-gesa (dalam menyikapi perkara). Adapun ar-rifq, yaitu dalam bergaul dengan sesama manusia yang didasari kelemahlembutan dan merendah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/914)

Maka, seseorang yang tidak memiliki sifat al-hilm, dirinya akan senantiasa hanyut oleh gelombang kemarahannya. Pikiran jernihnya pupus disapu nafsu angkara murka yang telah merebak dalam dirinya. Sehingga, yang selalu dikedepankan oleh dirinya adalah ‘ilmu kekuatan’ (memukul, mencambuk, dan yang sejenisnya), bukan kekuatan ilmu (nasihat, bimbingan, arahan, dan sejenisnya). Begitu pula dengan sifat at-ta`anni dan ar-rifq. Tanpa memiliki sifat tersebut, seseorang akan tergesa-gesa dalam memutuskan suatu perkara tanpa mau secara bijak menyelami hakikat masalah yang ada pada anak. Ini sering terjadi terkait dalam penerapan sanksi atau hukuman pada anak. Karenanya, penting sekali memahami keadaan anak disertai sifat al-hilm, at-ta`anni, dan ar-rifq.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: ‘Ini jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108)

Pengertian بَصِيْرَةٍ pada ayat tersebut adalah ilmu. Yang dimaksud di sini bukan semata ilmu syar’i, namun meliputi pula keadaan mad’u (obyek dakwah) dan ilmu yang mengantarkan kepada tujuan, yaitu al-hikmah. Maka harus dimiliki, bashirah (ilmu) tentang hukum syar’i, bashirah (ilmu) berkenaan dengan keadaan obyek dakwah, dan bashirah (ilmu) terhadap jalan yang mengantarkan kepada hakikat dakwah. Ini selaras dengan apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat hendak diutus ke Yaman:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab.” (Shahih Al-Bukhari, no. 4347, hadits dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma Lihat Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, hal. 119)

Itu berarti, saat mendidik anak, selain memiliki bekal pemahaman agama, seseorang harus pula memahami kondisi anak. Juga tentunya, bagaimana harus memperlakukan anak tersebut. Sehingga dengan kepribadian nan penuh rahmah, dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan rumah, pesantren dan tempat lainnya sebagai istana kelembutan, bukanlah sesuatu yang mustahil. Dari sanalah lahir insan berilmu dan memiliki adab nan luhur.

Wallahu a’lam.

Kiat Memperlakukan Buah Hati

- Pahami anak sebagai individu yang berbeda. Seorang anak dengan yang lainnya memiliki karakter yang berbeda. Memiliki bakat dan minat yang berbeda pula. Karenanya, dalam menyerap ilmu dan mengamalkannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sering terjadi kasus, terutama pada pasangan muda, orangtua mengalami “sindroma” anak pertama. Karena didorong idealisme yang tinggi, mereka memperlakukan anak tanpa memerhatikan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak. Misal, anak dipompa untuk bisa menulis dan membaca pada usia 2 tahun, tanpa memerhatikan tingkat kemampuan dan motorik halus (kemampuan mengoordinasikan gerakan tangan) anak.

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)

Kata مَا اسْتَطَعْتُمْ (semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua karena pengaruh berbagai macam latar belakang.

- Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

- Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Jangan mencaci maki anak karena kegagalannya. Tapi berikan ungkapan-ungkapan yang bisa memotivasi anak untuk bangkit dari kegagalannya. Misal, “Abi tidak marah kok, Ahmad belum hafal surat Yasin. Abi tahu, Ahmad sudah berusaha menghafal. Lain kali, kita coba lagi ya.”

- Tidak membentak, memaki dan merendahkan anak. Apalagi di hadapan teman-temannya atau di hadapan umum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa`: 5)

- Tidak membuka aib (kekurangan, kejelekan) yang ada pada anak di hadapan orang lain. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) dirinya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2442)

- Jika anak melakukan kesalahan, jangan hanya menunjukkan kesalahannya semata. Tapi berilah solusi dengan memberitahu perbuatan yang benar yang seharusnya dia lakukan. Tentunya, dengan cara yang hikmah. ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:

كُنْتُ غُلَامًا فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatiku, ‘Wahai ananda, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah Bismillah saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5376)

- Tidak memanggil atau menyeru anak dengan sebutan yang jelek. Seperti perkataan: “Dasar bodoh!” Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

“Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 920)

- Perbanyak ucapan-ucapan yang mengandung muatan doa pada saat di hadapan anak. Seperti ucapan:

بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ

“Semoga Allah memberkahi kalian.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)

Juga selalu mendoakan kebaikan bagi sang anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)

- Berusahalah untuk senantiasa berlaku hikmah dalam menghadapi masalah anak. Tidak mengedepankan emosi. Tidak mudah menjatuhkan sanksi. Telusuri setiap masalah yang ada pada anak dengan penuh hikmah, tabayyun (klarifikasi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269)

- Berusahalah bersikap adil terhadap anak-anak dan berbuat baik kepadanya.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

- Hindari sikap-sikap dan tindakan yang menjadikan anak mengalami trauma, blocking (mogok), malas atau enggan belajar. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا

“Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.” (HR. Al-Bukhari no. 69)

Wallahu a’lam.

(Sumber: www.asysyariah.com)