Kamis, 14 April 2011

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *
For vieny, welcome to your husband’s heart.

*dikutip dari Aku ingin mencintaimu dengan sederhana karya Sapardi Djoko Damono.

Di Atas Sajadah Cinta

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.

Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,

in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

===============================================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :



Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid

===============================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,
Afirah



===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

(Penulis:  Habiburrahman El Shirazy)

Kisah Cinta Paling Indah

Sahabatku sekalian, taukah kalian arti cinta sejati ? Apakah sahabat pernah mendengar atau mengetahui kisah cinta Qais dan Laila atau kisah cinta Romeo dan Juliet ataukah Laila dan Majnun ?

Apakah kisah cinta seperti itu yang dikatakan sebagai kisah cinta sejati ? Seperti yang sahabat ketahui bahwa kisah cinta mereka tidaklah berakhir di pelaminan bahkan rela mati demi cintanya.

Lalu, cinta seperti apakah yang dikatakan sebagai cinta sejati. Cinta sejati antara dua insan adalah cinta yang terus abadi dalam setelah pernikahan yang berlandaskan atas kecintaan mereka kepada Sang Pemilik Cinta yaitu Allah 'Azza Wa Jalla. Walaupun salah satu meninggal, namun cinta sejati ini terus saja abadi. Kisah cinta siapakah yang begitu indah ini ?

Kisah cinta yang paling indah ini siapa lagi yang memilikinya kalau bukan kisah cinta Junjungan kita, Muhammad Saw kepada Khadijah ra.

Sungguh sebuah cinta yang mengaggumkan, cinta yang tetap abadi walaupun Khadijah telah meninggal. Setahun setelah Khadijah meninggal, ada seorang wanita shahabiyah yang menemui Rasulullah Saw. Wanita ini bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak menikah ? Engkau memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar."

Sambil menangis Rasulullah Saw menjawab, "Masih adakah orang lain setelah Khadijah?"

Kalau saja Allah tidak memerintahkan Muhammad Saw untuk menikah, maka pastilah Beliau tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Nabi Muhammad Saw menikah dengan Khadijah layaknya para lelaki. Sedangkan pernikahan-pernikahan setelah itu hanya karena tuntutan risalah Nabi Saw, Beliau tidak pernah dapat melupakan istri Beliau ini walaupun setelah 14 tahun Khadijah meninggal.

Pada masa penaklukan kota Makkah, orang-orang berkumpul di sekeliling Beliau, sementara orang-orang Quraisy mendatangi Beliau dengan harapan Beliau mau memaafkan mereka, tiba-tiba Beliau melihat seorang wanita tua yang datang dari jauh. Beliau langsung meninggalkan kerumunan orang ini. Berdiri dan bercakap-cakap dengan wanita itu. Beliau kemudian melepaskan jubah Beliau dan menghamparkannya ke tanah. Beliau duduk dengan wanita tua itu.

Bunda Aisyah bertanya, "Siapa wanita yang diberi kesempatan, waktu, berbicara, dan mendapat perhatian penuh Nabi Saw ini?"

Nabi menjawab, "Wanita ini adalah teman Khadijah."

"Kalian sedang membicarakan apa, ya Rasulullah?" tanya Aisyah

"Kami baru saja membicarakan hari-hari bersama Khadijah."

Mendengar jawaban Beliau ini, Aisyah pun merasa cemburu. "Apakah engkau masih mengingat wanita tua ini (Khadijah), padahal ia telah tertimbun tanah dan Allah telah memberikan ganti untukmu yang lebih baik darinya?"

"Demi Allah, Allah tidak pernah menggantikan wanita yang lebih baik darinya. Ia mau menolongku di saat orang-orang mengusirku. Ia mau mempercayaiku di saat orang-orang mendustakanku."

Aisyah merasa bahwa Rasulullah Saw marah. "Maafkan aku, ya Rasulullah."

"Mintalah maaf kepada Khadijah, baru aku akan memaafkanmu." (Hadits ini diriwayatkan Bukhari dari Ummul Mukminin Aisyah)

Sahabatku, apakah mungkin ada cinta seperti itu, yang dapat terus abadi setelah orang yang dicintai meninggal 14 tahun yang telah lewat ? Yupz, karena cinta ini tidak pernah didahului hubungan haram dan karena ketaatan kepada Allah menjadi dasar dalam rumah tangga ini. Rumah tangga yang selalu dihiasi dengan dzikir kepada Allah, bukan rumah yang digunakan untuk mengingat setan.

Bagaimana pendapat kalian, sahabat muda sekalian, apakah kalian tidak ingin menjadikan rumah tangga kalian seperti ini ?. Suami membaca Al-Qur'an bersama istrinya. Betapa agungnya ketika anak-anak mereka turut serta membaca Al-Qur'an.

Menjelang waktu Shubuh tiba, si istri membangunkan suaminya untuk melaksanakan shalat Shubuh. Suami melaksanakan shalat Qiyaam al-lail 2 rakaat bersama istrinya. Seperti apa rumah ini ? Indah nian bukan ? betapa manisnya, betapa indah cinta di dalam rumah tangga ini.

Cobalah, pasti kalian dapat menemukan segalanya berubah, cinta pun bertambah, dan Allah melimpahkan berkah-Nya kepada kalian.

"Menikah jauh lebih baik daripada pacaran"

Selasa, 12 April 2011

Shalat Yuk, Nak.....!!!

"Adik, shalat yuk !" ajak seorang ibu kepada putrinya yang baru berumur empat tahun.
Kontan si anak menganggukkan kepala dengan mimik gembira. Putrinya memang lagi senang-senangnya belajar shalat.

Seorang bayi atau anak kecil bagaikan suatu bahan mentah yang siap dicetak oleh kedua orang tuanya, sebagai mana sabda Rasulullah Nabi Muhammad :

"Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah, dan kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi dan Kafir (menympang dari fitrah tersebut)".

Oleh karenanya, peran orang tua sangatlah besar untuk mendidik anak atas akhlak islam, pengajaran ibadah maupun hal lain. Sebagai contoh, tak sedikit para orang tua mengalami kesulitan dalam mengajarkan shalat pada anak. Padahal, shalat merupakan hal yang wajib diajarkan pada anak.

Sejak Dari Dalam Kandungan

Sebenarnya mengajarkan anak akan pentingnya shalat sudah harus dimulai sejak dari janin. Ibu yang senantiasa menjaga wudhu dan shalatnya pada saat hamil berarti telah mengenalkan shalat pada janinnya. Makna bacaan shalat akan terekam dan akan memberikan pengaruh positif bagi si janin. Mau seperti apa anak kita, penanaman hal hal yang kita inginkan dimulai dari kandungan. Tentu kita masih ingat seorang anak berusia 7 tahun penghafal Al-Qur'an. Kenapa bisa ? Ya, karena ibunya sejak si anak dalam kandungan selalu membaca Al-Qur'an setiap saat. Ada juga seorang anak yang sudah mahir memainkan tuts piano pada saat umur lima tahun. Setelah ditanyakan kepada ibunya, ternyata dia pada saat hamil hampir setiap hari menggunakan waktu luangnya dengan memainkan piano. Apa jadinya kalau ibu yang lagi hamil, sering bergosip, menonton sineron atau sering bertengkar dengan suaminya ??

Dari Sejak Dini

Semua bermula dari keteladanan orang tua. Menyaksikan kedua orang tuanya melakukan shalat lima waktu setiap hari sejak dini, membuat anak terpicu untuk meniru. Apalagi dikisahkan sebuah hadist ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah mengenai kapan waktu untuk mulai mengajak anak beribadah shalat. Nabi menjawab, " Jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya". Pada anak kemampuan membedakan tangan kanan dan tangan kiri diperolehnya pada masa balita, atau masa lima tahun pertama usianya, ketika ia sedang senang-senangnya meniru apapun yang dilakukan ayah dan ibunya.

Ketika anak memasuki usia sekolah, yaitu sekitar usa 7 tahun, maka mulailah anak siap untuk memasuki masa untuk mempelajari tata cara shalat yang benar. Seperti yang dijelaskan Rasulullah, "Ajarilah anakmu shalat pada usia tujuh tahun".
Beberapa cara yang dapat dilakukan pada fase ini, yaitu mengajarkan rukun-rukun shalat melalui pendekatan praktek langsung. Misalnya pada waktu-waktu shalat orang tua mengajak anak untuk langsung melakukan shalat dengan bimbingan. Mulai dari tata cara thaharah dan berwudhu pada anak, bagaimana membentuk barisan, shaf-shaf pada shalat diikuti dengan praktek shalat yang benar serta menghafalkan doa-doa secara bertahap.

Ketika berusia sepuluh tahun anak belum juga mau mengikuti perinah shalat, maka diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda :

"Suruhlah anak-anak kalian untuk shalat ketika nerumur tujuh tahun dan ketika telah berumur sepuluh tahun, namun tidak mau mengerjakan shalat, maka 'pukullah'".

Disini  tentu bukan melakukan hukuman dengan kekerasan fisik yang menyakitkan dan melukai anak, tetapi bahwa orang tua harus menunjukkan ketidak senangan dan konsenkuensi yang sangat tegas saat anak menolak shalat.

Penghargaan

Setiap pencapaian anak dalam belajar shalat merupakan prestasi baginya, selayaknyalah kita orang tuanya memberikan penghargaan.
Penghargaan tidak hanya diberikan aas prestasi akademik formal, tetapi hendaknya penghargaan diberikan ketika anak mengerjakan shalat lima waktu atau mampu membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Penghargaan sebagai bentuk ekspresi agar anak mengetahui bahwa hal tersebut memang benar-benar prestasi membanggakan sekaligus membahagiakan orang tuanya.
Penghargaan dari orang tua pun akan menumbuhkan sikap menghargai. Jika orang tua menghargai presasi anak dalam ibadah, maka anak pun menghargai ibadah itu. Penghargaan tidak selalu diekspresikan dalam bentuk barang, tetapi dengan ucapan terima kasih, pelukan cium, belaian yang diberikan sesudah anak mengerjakan shalat juga merupakan penghargaan yang tidak dapat diukur dengan materi.

Bagi anak-anak, guru yang paling baik adalah contoh yang benar dari kita orang tuanya.
Wallahu'alam bishawab.

Haji Berkah Tanpa ke Makkah

Makkah saat musim haji. Waktu siang yang terik, tersebutlah seorang ulama sufi, Abdullah bin Al-Mubarak sedang melepas penat di salah satu sudut Masjidil Haram. Saat diantara tidur dan terjaganya, sayup-sayup ia mendengar perbincangan dua malaikat.

Malaikat yang pertama bertanya pada temannya.
"Berapa banyak orang yang berhaji tahun ini ?"
"Enam ratus ribu !" jawab temannya
"Lantas, berapa banyak yang hajinya diterima oleh Allah ?"
"Hanya dua, Ibnu Mubarak dan seorang tukang sepatu di Damsyiq yang bernama Muwaffaq. Sayangnya Muwaffaq tidak dapat datang ke tanah suci ini, ia hanya sampai di depan pintu rumahnya saja. Tapi justru berkat haji Muwaffaq inilah semua umat muslim yang melaksanakan ibadah haji tahun ini diterima ibadahnya".

Abdullah bin Al-Mubarak kaget dan terbangun mendengar pembicaraan itu. Rasa penasaran meliputi benaknya. Bukan karena namanya yang disebut. Namun perhatiannya pada sosok yang disebut-sebut bernama Muwaffaq. Siapa gerangan dia ? Padahal ia sendiri berhalangan hadir ke tanah suci.

Setelah menyelesaikan ibadah hajinya, bergegas Ibnu Mubarak menuju Damsyiq. Ia bertekad menyelidiki sekaligus menmba ilmu dari Muwaffaq. Sesampainya di depan pintu rumah Muwaffaq, Ibnu Mubarak sempat terpana. Muwaffaq yang dicarinya ternyata jauh dari gambaran yang ia kira sebagai seorang ulama ataupun ahli ibadah. Muwaffaq hanya seorang laki-laki biasa. Sederhana bahkan terkesan polos. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Ibnu Mubarak langsung menceritakan apa yang dialaminya di Masjidil Haram, sekaligus bertanya apa yang telah diperbuat oleh Muwaffaq hingga derajatnya mulia di sisi Allah.

Selanjutnya mengalirlah sebuah rangkaian kisah yang menakjubkan dari mulut lelaki sederhana penambal sepatu ini :
Muwaffaq, sebenarnya sudah lama ingin menunaikan ibadah haji. Dua belas tahun lebih ia menabung untuk bekal hajinya. Tapi karena kemiskinannya, bekal itu tidak pernah bisa terkumpul. Hingga di tahun itu, Allah memberinya rizqi dengan uang tiga ratus dirham hasil dari pekerjannya membuat dan menambal sepatu. Dengan bekal uang itulah ia sudah berniat dan bersiap menunaikan haji.
Menjelang hari keberangkatan, ia berpamitan pada tetangga dan sanak saudaranya, sekaligus memohon doa. Saat perjalanan pulang dari rumah kerabatnya, istrinya mencium bau makanan di rumah seorang tetangganya. Istri Muwaffaq ingin sekali mencicipi makanan itu. Muwaffaq tidak ingin mengecewakan istrinya. Maka ia mengetuk pintu rumah tetangganya, yang ternyata seorang perempuan setengah baya. Saat ia meminta sedikit makanan untuk istrinya, secara mngejutkan perempuan itu berkata : "Maaf tuan, makanan ini halal untuk kami, tapi haram untuk Anda...!". Muwaffaq perlahan menanyakan mengapa wanita itu berkata demikian.

Akhirnya, wanita itu membuka rahasianya pada Muwafaaq. Sebenarnya ia adalah ibu dari anak-anaknya yang sudah yatim. Dan sudah tiga hari di rumah itu tidak ada makanan. Dan tak ada seorang pun yang berkenan mengulurkan tangan untuk membantu kesulitan mereka. Di hari keempat, sang ibu keluar mencari makan buat anak-anaknya. Sampai ia menemukan bangkai khimar ( sejenis daging kuda ) di tempat sampah, diantara sisa-sisa makanan. Dengan sangat terpaksa ia potong sebagian dagingnya untuk dimasak sekedar untuk makan anak-anaknya. "Oleh karena itu aku katakan pada Anda bahwa makanan itu halal untuk kami, tetapi haram bagi Anda," jawab perempuan itu.

Mendegar jawababn wanita itu, Muwaffaq kembali ke rumah. Diceritakannya pada sang istri perihal kesulitan yang dialami tetangga mereka. Istri Muwaffaq menangis dan mengangguk setuju saat Muwaffaq memutuskan menyerahkan seluruh uang bekal hajinya pada ibu dari anak-anak yatim tetangganya itu.. Diserahkannya uang itu. Semuanya. "Belanjakan uang ini untuk anak-anakmu yang yatim itu !", katanya.

Mendengar penjelasan Muwaffaq, pahamlah Ibnu Mubarak mengapa Muwaffaq sampai mendapat derajat yang mulia meski ia batal datang ke Makkah.