Rabu, 18 Mei 2011

Aku Rindu Pada-Mu

Ada seorang hamba Allah, beliau rajin sholat malam dan bermunajat, berkhalwat dengan Al-Kholiq. Setiap malam dari kedua matanya yang memerah karena menangis, mengalir air yang membasahi janggutnya, beliau berbisik-bisik lirih memohon beberapa permintaan dan pengharapan. Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun, hingga putih rambutnya tak kunjung jua permintaan beliau dikabulkan oleh Allah. Permintaannya (diantaranya) adalah agar segera diangkat kemiskinan yang menjadi selimut kehidupannya selama ini, keluarganya sering sakit-sakitan, setiap hari ia keluar untuk berusaha memperoleh rizki Allah tapi tidak tampaklah dilapangkan rizqi itu untuknya.

Padahal dahulu, KETIKA IA MASIH BEKERJA MENJADI PETUGAS BEA CUKAI UANG DAN KESENANGAN ADALAH KAWAN AKRAB. Hingga suatu saat ia mendengarkan ceramah yang menjelaskan bahwa penyelewengan yang sering ia lakukan selama ini adalah Haram dan tidak membawa keberkahan, kelak penyelewengan ini akan berhadapan dengan hukum Allah yang tidak bisa dibantah lagi di akhirat. Bergetar hatinya, masuk hidayah Allah atasnya.

Sejak itu tidak pernah lagi ia melakukan perbuatan tersebut, semakin rajin ia melakukan sholatul Lail mengadukan nasibnya hanya kepada Allah, agar diberikan harta yang halal dan rizqi yang lapang dalam menghidupi hidup ini.

Namun berangsur-angsur seakan terkena kualat (karena meninggalkan perbuatan haram itu) penghasilannya semakin menurun, beliau sekeluarga sering sakit dan menjadikan badannya yang sehat menjadi kurus, Aanak satu-satunya meninggal setelah menjalani perawatan selama beberapa minggu di rumah sakit.

Sampai saat itu ia masih bersabar, tak pernah terucap dari mulutnya kata-kata keluhan dan makian atas apa yang menimpa hidupnya. Malahan menjadikannya semakin sering dan khusyu ia mendekatkan diri kepada Allah. Dan malang yang tidak kunjung padam terhadapnya, korupsi yang dahulu ia lakukan bertahun silam terungkap, maka ia dan beberapa orang rekannya terkena pemecatan dengan tidak hormat. Subhanallah, semakin berat rasanya hidup ini baginya. Tambah satu kalimat panjang di malam harinya ia mengadu kehadapan Rabbnya,menangis dan perih rasa batinnya. Setiap dalam sedihnya ia berdoa, selalu ada bisikan lirih di hatinya, “Apa yang engkau harapkan itu dekat sekali, bila engkau bertaqwa!”. Setiap mendengar bisikan itu, timbul semangatnya. Kini setelah ia dipecat, ia berdagang. Baginya dagang yang tidak pernah untung, hutang yang semakin bertumpuk, musibah yang seakan tidak berujung _.. ahhhhh.

Setelah puluhan tahun kedepan sejak ia dekat dengan Allah setiap malamnya,tidak juga merobah hidupnya. Sejak puluhan tahun ia mendengar bisikan diatas, tidak juga tampak yang dijanjikanNya. Mulailah timbul pemikiran yang tidak baik dari syaithon. Hingga beliau berkesimpulan, tampaknya Allah tidak ridho terhadap doanya selama ini.Maka pada malam harinya, ia berdoa kepada Allah :

“WAHAI ALLAH YANG MENCIPTAKAN MALAM DAN SIANG, YANG DENGAN MUDAH MENCIPTAKAN DIRIMU YANG SEMPURNA INI. KARENA ENGKAU TIDAK MENGABULKAN PERMINTAANKU HINGGA SAAT INI, MULAI BESOK AKU TIDAK AKAN MEMINTA DAN SHOLAT LAGI KEPADAMU, AKU AKAN LEBIH RAJIN BERUSAHA AGAR TIDAKLAH HARUS BERALASAN BAHWA SEMUA TERGANTUNG DARIMU. MAAFKAN AKU SELAMA INI,AMPUNI AKU SELAMA INI MENGANGGAP BAHWA DIRIKU SUDAH DEKAT DENGANMU !”

Beliau tutup doa dengan perasaan berat yang semakin dalam dari awal ia berniat seperti itu (‘mengkhatamkan’ ibadah sholat lailnya). Beliau berbaring dengan pemikiran menerawang hingga ia tak mengetahui kapan ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi, mimpi yang membuatnya semakin merasa bersalah. Seakan ia melihat suatu Padang luas bermandikan cahaya yang menakjubkan, dan puluhan ribu, atau mungkin jutaan makhluq cahaya duduk diatas betisnya sendiri dengan kepala tertunduk takut. Ketika beliau mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat kepada siapa mereka bersimpuh, tidak mampu… kepalanya dan matanya tidak mampu memandang dengan menengadah.

Beliau hanya dapat melihat para makhluq yang duduk dihadapan Sesuatu Yang Dahsyat. Terdengar olehnya suara pertanyaan, “BAGAIMANA HAMBAKU SI FULAN, HAI MALAIKATKU ?” nama yang tidak dikenalnya. Seorang berdiri dengan tubuh gemetar karena takut, dan bersuara dengan lirih, “Subhanaka yaa Maalikul Quddus, Engkau lebih tahu keadaan hambaMu itu. Dia mengatakan demikian : “Wahai Allah yang menciptakan malam dan siang, yang dengan mudah menciptakan dirimu yang sempurna ini. Karena Engkau tidak mengabulkan permintaanku hingga saat ini, mulai besok aku tidak akan meminta dan sholat lagi kepadaMu, aku akan lebih rajin berusaha agar tidaklah terus beralasan bahwa semua tergantung dariMu. Maafkan aku selama ini, ampuni aku selama ini menganggap bahwa diriku sudah dekat denganMu !”
Ampuni dia yaa Al ‘Aziiz, yaa Al Ghofuurur Rohiim!”

Tersentak beliau, itu…_u kata-kataku semalam_ …celaka, pikirnya. Kemudian terdengar suara lagi : “Sayang sekali, padahal Aku sangat menyukainya, sangat mencintainya, dan Aku paling suka melihat wajahnya yang terpendam menangis, bersimpuh dengan menengadahkan tangannya yang gemetar kepadaKu, dengan bisikan-bisikan permohonannya kepadaKu, dengan pemintaan-permintaannya kepadaKu, sehingga tak ingin cepat-cepat Kukabulkan apa yang hendak Aku berikan kepadanya agar lebih lama dan sering Aku memandang wajahnya, Aku percepat cintaKu padanya dengan Aku bersihkan ia dari daging-daging haram badannya dengan sakit yang ringan. Aku sangat menyukai keikhlasan hatinya disaat Aku ambil putranya, disaat Kuberi ia cobaan tak pernah Ku dengar keluhan kesal dan menyesal di mulutnya. Aku rindu kepadanya… rindukah ia kepadaKu, hai malaikat-malaikatKu ?”

Suasana hening, tak ada jawaban. Menyesallah beliau atas pernyataannya semalam, ingin ia berteriak untuk menjawab dan minta ampun tapi suara tak terdengar, bising dalam hatinya karenanya. “Ini aku Yaa Robbi, ini aku. Ampuni aku yaa Robbi, maafkan kata-kataku !” semakin takut rasanya ketika tidak tampak mereka mendengar, mengalirlah air matanya terasa hangat di pipinya. Astaghfirullah !! Terbangun ia, mimpii…

Segeralah ia berwudhu, dan kembali bersujud dengan bertambah khusyu’, kembali ia sholat dengan bertambah panjang dari biasanya, kembali ia bermunajat dan berbisik-bisik dengan Al-Kholiq dan berjanji tak akan lagi ia ulangi sikapnya malam tadi selama-lamanya. “…aa Allah, Yaa Robbi jangan engkau ungkit-ungkit kebodohanku yang lalu, ini aku hambaMu yang tidak pintar berkata manis, datang dengan berlumuran dosa dan segunung masalah dan harapan, apapun dariMu asal Engkau tidak membenciku aku rela…aa Allah, aku rindu padaMu…”

Semoga menambah keimanan dan ketekunan kita dalam mengerjakan sholat lail…amiin.

———————————————————————————————————————-

Sumber : dudung.net

Setiap Perkataan Adalah Doa

Kata orang “Mulutmu Harimaumu, yang akan menerkammu”.

Rasulullah Shallallahu’alaihiws allam bersabda:” Yang dikatakan muslim itu adalah manusia selamat dari bahaya lidah dan tangannya”.

Imam Ali Radhiallhu’anhu berkata:”Hati yang jahat terletak pada mulutnya, dan mulut yang baik, terletak pada hatinya”.

Terkadang kita sebagai manusia yang penuh dengan segala kekurangan dan kelebihan, akan selalu dihadapi dengan segala macam problematika kehidupan.Terkadang kita menghadapi berbagai benturan yang sama sekali kehadirannya tidak diundang dan tidak terbersit dalam pikiran kita, dimana segala yang terjadi diluar prediksi kita sebelumnya.

Disaat kita sedang menyupir mobil kita , tiba-tiba ditengah jalan ada saja mobil yang menyecocos, hal ini akan menimbulkan rasa sakit dihati kita, maka seringnya terjadi keluar kata-kata yang kurang enak kedengaran sama sekali ditelinga siapa saja mendengarnya, cacian makian akan keluar dari mulut kita dari lidah kita yang katanya tidak bertulang itu.

Ketika seorang ibu, melihat kenakalan anak-anaknya, tanpa disadari juga keluar kata-kata yang sama sekali seharusnya hal itu tidak pantas dikeluarkan dari mulut seorang ibu terhadap anaknya:” Anak sialan, anak kurang ajar, anak tak tau diuntung, bodoh..dsbnya…”, seorang ibu kurang menyadari akan sabda Rasulullah :”

Kullu kalam addu’a, setiap perkataan itu adalah merupakan do’a”.(Astagfirullaha ladziim, semoga kita bertaubat bila hal ini terlanjur kita keluarkan disaat-saat emosi kita datang).

Disaat seorang istri atau suami merasa disakiti pasangannya, tanpa disadari akan keluar cacian makian, baik kepada pasangannya, ataupun musuhnya, semua itu keluar dengan perasaan emosi yang amat sangat, tanpa kita bisa menyadari, dan berusaha mencoba melatih diri kita untuk bisa menahan emosi, karena, Rasulullah bersabda : “ Bukanlah dikatakan berani bagi mereka yang dapat mengalahkan musuhnya, (yang bisa merasa memang atas sebuah pertikaian, perkelahian) ,Yang dikatakan berani itu adalah mereka yang bisa menahan dirinya ketika dalam keadaan marah”.

Kita jarang, atau kurang atau bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa yang dikatakan sabar atas segala musibah adalah mereka yang bisa bersabar disaat menghadapi problema pertama sekali datang, bukan setelah itu. Hal ini dapat kita lihat dari sebuah hadits, dari cerita seorang ibu yang menghadapi musibah akan kematian keluarganya, saat itu Rasulullah memberikannya nasihat agar bersabar, apa kata perempuan itu pada Rasulullah, :” Anda tidak tau apa-apa”, setelah rasulullah menghilang, diberitahukanlah kepada [perempuan itu bahwa yang menegurnya tadi adalah Rasulullah, dan ia datang kepada Rasulullah, apa jawab Rasulullah:”Sesungguhnya dinamakan kesabaran itu adalah sabar ketika menghadapi goncangan yang pertama sekali.”

Sedih Pada Tempatnya

Banyak di antara kita yang lebih bersedih pada urusan-urusan sepele seputar duniawi; bersedih karena sedikitnya harta, bersedih karena belum mendapatkan jodoh, bersedih karena belum memiliki anak, bahkan ada yang bersedih karena tim sepak bolanya kalah. Padahal dunia ini tempat persinggahan sementara.

Setiap orang sudah pasti akan mati, menemui Tuhannya, masuk surga atau neraka. Jangan pernah berpikir bahwa kematian kita akan datang pada usia 70 atau 80 tahun, misalnya. Tetapi berpikirlah bagaimana kita mengisi waktu dengan kebaikan.

Para ulama adalah orang yang hidup sederhana. Jika mendapatkan harta sekian, mereka mensyukurinya dan merasa cukup ( qana'ah) dengannya. Sebut saja misalnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Taimiyah, Rabi'ah al-Adawiyah, dan Sayyid Quthb. Mereka hidup melajang hingga wafatnya, tapi mereka tidak bersedih karena belum menikah. Imam Bukhari hingga wafatnya belum memiliki anak satu pun, tapi tak pernah sekalipun dalam hidupnya dia meratap karena tidak dikaruniai anak.

Kebahagiaan seseorang itu tidak diukur dari materi duniawi, melainkan dari kebenaran yang sedang ditegakkannya dan kedekatannya pada Allah SWT. Bersedih karena urusan-urusan duniawi tidaklah menenteramkan hati dan tidaklah menambah kebaikan apa pun kepada kita. Sebaliknya, kesedihan hanya menambah gejolak dalam jiwa kita.

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki pernah mendatangi salah seorang tabi'in yang sedang menangis, maka orang itu menaruh belas kasihan kepadanya. Ia lalu bertanya, ''Apa yang menyebabkanmu menangis? Apakah ada rasa sakit yang kau alami?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Orang tadi bertanya lagi, ''Apakah kamu mendapat berita bahwa salah seorang anggota keluargamu meninggal dunia?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.'' Orang itu bertanya lagi, ''Apakah kamu kehilangan hartamu?'' Tabi'in itu menjawab, ''Lebih dahsyat dari itu.''

Laki-laki itu pun berkata sambil terheran-heran, ''Lalu, apakah yang lebih dahsyat dari semua itu?'' Tabi'in itu menjawab, ''Kemarin, karena tertidur, saya lupa bangun malam ( tahajud ).'' Semestinya memang itulah yg harus kita sedihkan ....

Shalat yang tidak khusyuk, tidak mengisi waktu luang dengan amal shalih, tidak qiyamul lail, atau tidak bersedekah. Atau, melalaikan segala amal shalih lainnya padahal seharusnya kita sempat mengerjakannya.

Kita bersedih mestinya karena bekal untuk akhirat belum terisi penuh, padahal kita tak pernah tahu sampai batas mana usia kita. Lalu kesedihan itu akan menggerakkan hati untuk menjadi manusia yang lebih baik.

from : Millis Kafe Muslimah

BERTANYA TENTANG CINTA

Aku bertanya pada alam semesta tentang arti “CINTA”, lalu satu demi satu mereka menjawab…

Bumi menjawab:
“CINTA adalah hamparan tempat tumbuh segala bahagia dan harapan akan itu. Ia memang diinjak dan dihinakan, tetapi ia tak peduli. Pikir Cinta hanya memberi, dan itu sajalah inginnya.”

Air menjawab:
“CINTA adalah hujan yang menumbuhkan benih-benih rasa kesukaan, kerelaan akan keterikatan, kerinduan dan kesenduan, atau samudera kasih yang luas sebagai naungan segala perasaan

Api menjawab:
“CINTA adalah panas yang membakar segala, ia memusnahkan untuk dapat hidup dan menyala. Demi merasakannya, makhluk rela terbakar dalam amarah dan kedurhakaan.”

Angin menjawab:
“CINTA adalah hembusan yang menebar sayang tanpa tahu siapa tujuannya. Orang bilang ia buta, sebab itu inginnya. Ia tak terlihat, tapi tanpanya segala raga akan hampa.”

Langit menjawab:
“CINTA adalah luasan tanpa batas. Luasnya tiada makhluk yang tahu. Kecuali bahwa cinta itu bahagia yang biru, atau derita kelam yang kelabu.

Matahari menjawab:
“CINTA adalah hidup untuk memberi energi kehidupan dan cahaya harapan. Ia tak akan lelah memberi sampai ia padam dan mati.”

Pohon menjawab:
“CINTA adalah akar yang menopang segalanya. Ia tulus hingga tak perlu terlihat dan dikenal. Tapi ia terus memberi agar batang bahagia tetap kokoh abadi, berbuah dan berbunga indah.”

Gunung menjawab:
“CINTA adalah rasa yang menjulang tinggi. Rasa itu demikian tenang dan menyejukkan. Namun saat gundah, Ia akan meleburkan sekelilingnya dengan lautan lava cemburu yang membara.”

Lalu, Aku bertanya pada CINTA:
“Wahai CINTA, apakah sebenarnya arti dirimu??”

CINTA menjawab:
“CINTA adalah engkau patuh terhadap-Nya, meski kau tak melihat-Nya. Engkau tidak mencium-Nya atau meraba-Nya, tapi engkau patuh karena engkau merasa akan hadir-Nya. Sebab CINTA bukan indera, tapi adalah rasa.”

“CINTA adalah engkau takut akan amarah-Nya, dan takut jika Ia meninggalkanmu. Takut jika Ia tak menyukaimu lagi. Lalu engkau mencari-cari alasan untuk selalu dekat dengannya, bahkan jika engkau harus menderita, atau yang lebih mengerikan dari itu.”

“CINTA adalah engkau menyimpan segala harapan pada-Nya dan tidak pada yang lain. Engkau tidak mendua dalam harapan, dan demikian selamanya. Cinta adalah engkau setia menjadi budak-Nya, yang engkau hidup untuk-Nya dan mati untuk kesukaan-Nya akan dirimu, hidup dan mati untuk Dia. Engkau berusaha sekerasnya agar engkau diakui, hanya sebagai budak, sebagai hamba.”

“Diatas segalanya, CINTA adalah engkau merasa kasih sayang yang tunggal yang tidak engkau berikan pada yang lain, selain pada-Nya. Engkau rindu akan hadir-Nya dan melihat-Nya. Engkau suka apa yang Ia sukai dan benci apa yang Ia benci, engkau merasakan segala ada pada-Nya dan segala atas nama-Nya.”

Aku lantas bertanya pada CINTA:
“Bisakah aku merasakannya?”

Sambil berlaru CINTA menjawab:
“Selama engkau mengetahui hakikat penciptaanmu dan bersyukur dengan apa yang Dia beri, maka itu semua akan kau rasakan, percayalah padaku tambahnya….”

Aku pun Berteriak, “Wahai KAU SANG MAHA PECINTA terimalah cintaku yang sederhana ini, izinkanlah aku merasakan cintaMu yang Maha Indah…”

Bercermin Diri

Sahabatku,

Dalam keseharian kehidupan ini, kita seringkali melakukan aktivitas bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap, itu-itu juga, aneh bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan, kita selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya, kurang lebih karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.

Hanya saja, jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya topeng yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isi dari topeng yang kita pakai ini. Yaitu diri kita sendiri.

Sahabatku,

Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, “Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara jahannam?”

Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, “Apakah mata ini  yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap Allah yang Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama ini?”

Lalu tataplah mulut ini, “Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thayibah, ‘laaillaahaillallaah’, ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akhirat akan memakan buah zakum yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!”

“Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Betapa banyak kata-kata yang manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Allah mengampunimu?”

Sahabatku,

Tataplah diri kita dan tanyalah, “Hai kamu ini anak shaleh atau anak durjana? Apa saja yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini? Dan apa yang telah engkau berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya?! Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!”

“Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar membara jahannam tanpa ampun dengan derita tiada akhir?”

“Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau rampas?”

“Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?”

Sahabatku,

Ingatlah amal-amal kita, “Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikkan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini? Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu”

“Apakah engkau ini shaleh atau shalehah seperti yang engkau tampakkan? Khusyu-kah shalatmu, zikirmu, do’amu, …ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!”
Sungguh  betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi. Betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi!

Sahabat-sahabat sekalian,

Sesunguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.

(Sumber : Jurnal MQ Vol.1/No.1/Mei 2001)