Oleh : Abi Sabila
Seorang anak sedang berbincang dengan ibunya di teras rumah. Ia baru saja pulang sekolah.
“ Bunda, hari Minggu besok aku mau ikut teman-teman renang. Boleh ya, Bun? Buat refreshing. Kan sudah selesai mid semester.” sang anak membuka pembicaraan.
“ Renang? Dimana?” tanya Bunda sambil berjongkok di samping gadis kecilnya yang sedang melepas sepatu.
“ Biasa, Bunda!” Sang anak kemudian menyebut kolam renang yang ia maksudkan.
“ Jangan, sayang! Itu kan kolam renang untuk umum!” jawab Bunda setengah kaget.
“ Ya, memang. Terus kenapa, Bunda?” gadis kecil itu balik bertanya.
“ Lho, kamu ini bagaimana sih, Nak. Di kolam renang itu kan tidak dibedakan antara kolam untuk laki-laki dan perempuan. Kamu nda boleh ke sana!”
“ Tapi dulu kita pernah kesana, Bunda.”
“ Memang, tapi itu dulu, sebelum Ayah dan Bunda mempelajari Islam lebih dalam. Bunda tidak melarang renangnya, bagaimanapun itu olah raga yang menyehatkan. Tapi yang Bunda tidak ijinkan adalah karena di kolam renang itu tidak dipisahkan antara pengunjung laki-laki dan perempuan.”
“ Pakai baju renang untuk muslimah kan bisa, Bunda “
“ Baju renang muslimah? Memangnya ada ya? Bunda belum pernah lihat, apalagi memakainya. Tapi ‘semuslimah’ apapun bentuk dan modelnya, tetep saja ngepas di badan kan? Kamu pernah liat orang berenang pakai baju model gamis? Kalaupun ada mungkin tidak sengaja jatuh ke kolam atau sedang kebanjiran. Lagian juga, baju renang muslimah itu dibuat bukan berarti bisa dan boleh dipakai di kolam renang yang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Baju itu semestinya dipakai di kolam renang yang khusus untuk perempuan. Meskipun sesama perempuan, bukan berarti kita boleh membuka aurat semau kita. Harus tetap dijaga!”
“ Dulu boleh, kenapa sekarang tidak!” protes sang anak, penasaran.
“ Kan sudah Bunda katakan. Pengetahuan Ayah dan Bunda tentang Islam waktu itu masih awam. Tidak semua yang pernah kita lakukan boleh kita ulangi lagi. Apalagi kalau ternyata itu sebuah kesalahan, jangan sampai terulang kedua kali. Kita harus mengambil hikmah dan pelajaran dari masa lalu. Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk.”
Gadis kecil itu terdiam, mencoba memahami apa yang Bundanya katakan.
“ Ingat nak, kamu sekarang sudah beranjak remaja, bukan anak-anak lagi. Kewajiban agama sudah melekat padamu, diantaranya menutup auratmu dengan baik dan benar. Soal kekhilafan Ayah dan Bunda di masa lalu, jangan diikuti. Kami sudah bertaubat dan terus memperbaiki diri, semoga Allah senantiasa membimbing agar kami senantiasa istiqomah menempuh jalan yang lurus ini.” Bunda menambahkan. Untuk beberapa saat Bunda terdiam. Perih terasa di hatinya bila mengingat ‘kejahiliyahan’nya di masa lalu.
“ Tapi, Bunda. Teman-temanku banyak yang mau ikut. Sebagian malah hampir setiap bulan kesana. Masa aku sendirian yang nda pernah ikut renang?”
Pertanyaan gadis itu membuyarkan lamunan Bunda.
“ Sayang, banyak yang melakukan bukan berarti boleh. Meski seluruh teman sekolahmu berenang di sana, sama sekali tidak mengurangi apalagi mengubah hukum Islam. Sekali haram tetap haram. Ingat, bukan pada renangnya tapi pada bercampurnya laki-laki dan perempuan, apalagi dengan pakaian renang yang jauh dari menutup aurat.”
Sebenarnya Bunda ingin menambahkan, memberi contoh dengan korupsi yang mewabah di negeri ini. Meski semua pejabat dalam sebuah instansi kompak menjadi penjahat, melakukan korupsi uang rakyat, sama sekali tidak merubah hukum korupsi. Korupsi tetaplah haram, dulu, kini dan yang akan datang, selamanya. Tapi niat itu Bunda batalkan, bukan waktunya menyampaikan ini pada anaknya yang sedang ngotot ingin berenang. Biarlah ini menjadi pengingat bagi yang membaca tulisan ini bahwa korupsi adalah haram, berapapun jumlahnya, apapun bentuk dan caranya, siapa dan berapapun orang yang melakukannya.
Mendapati sang Bunda tetap keukeuh dengan keputusannya, gadis kecil itu mulai berpikir mencari jalan lain agar ia dapatkan ijin untuk berenang bersama teman-temannya. Dan ketika ia menemukan, matanyapun berbinar-binar.
“ Aku mau nelpon Ayah, siapa tahu diijinkan” gadis kecil itu menyeringai, kembali bersemangat.
“ Tidak….”
Bunda ingin mencegah, tapi sang anak sudah terlanjur masuk ke kamar, mengambil handphone dan langsung menghubungi ayahnya yang masih di kantor.
Tiga menit kemudian.
“ Bagaimana, Ayah mengizinkan? Bunda yakin tidak! Benar kan?” tanya Bunda yang masih menunggu di depan pintu kamar.
“ Bunda sama Ayah sekongkol!” jawab gadis kecil itu, mulutnya manyun, ngambek.
“ Lho…lho..lho…kok nuduh begitu?” Bunda tersenyum melihat putri tunggalnya yang justru terlihat lucu kalau sedang ngambek. “ Ayah dan Bunda nda sekongkol, tapi memang begitu seharusnya. Orang tua harus sejalan dalam beramar maruf dan nahi munkar. Tadi Bunda mau mengingatkan kalau Ayah pasti tidak akan mengijinkan,tapi kamu keburu masuk kamar. Tanpa Bunda kasih tahu, insha Allah - ayahmu lebih paham soal ini.”
“ Sudahlah, simpan keinginanmu untuk ikut renang sampai kita temukan kolam renang khusus untuk perempuan. Mudah-mudahan suatu saat Ayah bisa buatkan kolam renang untuk kita di rumah, jadi kita bisa berenang kapanpun kita mau.” bujuk Bunda.
Gadis kecil itu diam, bergeming.
“ Biasanya jika tida setuju, Ayah memberikan pilihan lain. Kalau Bunda boleh tahu, Ayah tadi nawarin apa?” tanya Bunda mencoba mencairkan suasana.
“ Ayah bilang, insha Allah mau ajak aku dan Bunda ke toko buku yang ada di mall .“
“ Alhamdulillah. Tuh kan, masih ada cara refreshing yang lebih aman, tidak melanggar larangan agama. Kalau ada yang halal, untuk apa melakukan yang haram? “
“ Iya, Bunda. Tapi besok aku bebas memilih buku apa saja yang aku suka, ya? “
“ Bebas bukan berarti tanpa batas. Harus melihat kemampuan, juga segi kepentingannya. Kita beli yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan!”
0 komentar:
Posting Komentar