“Shifa, where are you going?” pertanyaan Cathy, teman sekelasku, membuat diriku terhenyak.
“As usual. Mosque.” Jawabku singkat sambil mengambil tas dari dalam lokerku.
“Haha... what? Mosque? Shifa, what are you doing in that boring place? Come on, Let’s join us to the party. It’s gonna be fun!” Janet menambahkan sambil mengerlingkan mata. Aku agak sedikit kesal dengan nada bicaranya yang seakan menghina tempat suciku.
“I’m afraid I can’t. For me, it’s more important rather than going to the party.”
“Well, it’s up to you. But, I bet you will regret. See you then.”
Aku menarik nafas panjang. Sabar. Satu kata yang harus aku tanam erat-erat di benakku. Memang sulit hidup di negara yang menganut sistem kebebasan individu yang tanpa batas. Masyarakatnya sangat mendewakan sikap hedonisme, bahkan terkadang beberapa dari mereka menganggap remeh soal agama. Sebenarnya aku agak geram dan muak melihat kenyataan ini. Aku seperti berada di zaman jahiliah versi modern. Wanita-wanita berprilaku layaknya mereka tidak ada harganya. Mereka mengenakan baju-baju ketat, bahkan tak malu memamerkan auratnya. Tak hanya wanita, pria pun demikian. Pesta, menghamburkan uang, mabuk-mabukkan, freesex dan lain-lain menjadi santapan biasa bagi mereka. Atas nama kebebasan dan demokrasi, mereka menganggap wajar hal yang demikian. Padahal, mereka adalah orang-orang cerdas dan terpelajar.
Ya, mungkin semua itu bukan sepenuhnya salah mereka. Hal itu sudah menjadi budaya turun temurun di kalangan masyarakat barat. Padahal, tidakkah mereka sadar bahwa keindahan, keanggunan, dan kecantikan seorang wanita tergantung bagaimana mereka menjaga diri mereka. Apakah mereka tidak memikirkan bahwasanya wanita yang menutup auratnya dan menjaga dirinya dari tangan-tangan jahil bagaikan sebuah mutiara berharga yang terlindung di dalam kerangnya?
Mereka bahkan terkadang memandang sebelah mata terhadap muslimah yang berhijab. Mereka pikir, hijab itu adalah sebuah oppression. Hijab membatasi kebebasan mereka. Alangkah piciknya. Padahal hijab bukan semata-mata penutup kepala. Hijab merupakan jati diri sebagai muslimah. Hijab melindungi wanita dari hal-hal yang dapat membahayakan. Most of all, hijab is showing our modesty, dignity, and integrity to God. Hijab is my freedom.
Sampai saat ini aku hanya bisa memberontak di dalam hati. Rasanya aku ingin cepat-cepat menyelesaikan study-ku disini dan kembali ke negara asalku tercinta, Indonesia. Ya Rab, berilah hamba kekuatan, ketegaran dan kesabaran agar hamba tidak terpengaruh westernisasi. Kuatkanlah iman hamba agar hamba tetap istiqamah berada di jalan-Mu yang lurus.
***
Pagi yang cerah di New York. Meski dengan udara yang agak dingin, tetapi mentari tetap menyiratkan senyum hangatnya. Padahal, perkiraan cuaca semalam memprediksikan hari ini akan turun hujan. Tak disangka Allah Sang Maha Kuasa berkehendak lain. Begitulah, Man purpose but God dispose. Pagi ini kuawali dengan Shalat Subuh. Seperti yang kubaca dalam buku La Tahzan, jika kita mengawali hari dengan Shalat Subuh, kita akan senantiasa berada dalam jaminan dan perlindungan Allah. Shalat Subuh merupakan pembuka buku keberhasilan dari sisi penting sebuah kemenangan dan kemuliaan. Shalat Subuh seakan memberiku energi positif untuk siap melakukan segudang kegiatan yang menguras tenaga.
Aku melihat pantulan wajahku lewat cermin besar di kamarku. Tak lupa kusematkan hijab, untuk menutupi rambutku. Tak kutambah sedikitpun sapuan make up di wajahku. Kuraih tas merah muda kesayanganku. Well, I’m ready to leave for school.
Hari ini suasana di kampus terasa berbeda. Kudengar pembicaraan teman-temanku, semua membicarakan hal yang sama. Mereka membicarakan tentang persiapan pesta dansa yang akan digelar dalam rangka memperingati HUT universitas. Dan dalam pesta ini akan dipilih sepasang dancing queen and king. Para wanita sibuk membahas gaun apa yang akan mereka kenakan, make up, aksesoris dan hal remeh temeh lainnya. Sedangkan para pria sibuk menentukan tuxedo seperti apa yang akan mereka pakai. Memang acara ini akan menjadi sedikit formal. Dan aku? Aku sama sekali tak tertarik untuk pergi ke acara itu. Aku kesini hanya untuk belajar. Aku tak ingin menyia-nyiakan amanah pemberi beasiswa yang mempercayakan aku untuk menuntut ilmu di negara adikuasa ini.
Aku meletakkan tasku, dan duduk di kursi paling depan. Kukeluarkan sebuah buku intisari ekonomi. Aku berniat untuk membaca buku itu sekilas, sebelum kuliah dimulai. Tiba-tiba sebuah suara menghampiriku.
“Hey, Shifa. Would you like to come to the party with me?” suara yang amat tak asing di telingaku. Aku mendongakkan kepala. Dan benar saja. That’s Richard. Tunggu! Richard?!
“Richard...? Are you talking with me?”
“Ya, kenapa kau kaget?”
“Tidak, aku cuma... tadi kau bilang apa?
“Well, apa kau mau pergi ke pesta dansa denganku?” Apa aku tidak salah dengar? Seorang Richard mengajakku datang bersamanya ke pesta? Kulihat tak nampak sedikitpun gurauan dari nada bicaranya.
Richard adalah pria terpopuler di kampus dan dia menjadi idola banyak teman-temanku. Dia sangat tampan, pintar dan kaya. Dia selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang mengobral auratnya. Juga tak ayal sering sekali bergonta-ganti pacar. Siapa yang dapat menolak pria flamboyan nan karismatik yang satu ini? Sebuah jawaban pasti sudah kupersiakan.
“Maaf Richard, aku tak bisa.”
Richard nampak kaget.
“Are you sure? No one has ever refused to go with me.”
“I’m really sorry. I don’t mean to let you down. But I really can’t.”
“Ok... I got it”
Dia berlalu dengan langkah gontai. Sekilas kulihat gurat kecewa di wajahnya. Alhamdulillah, I did it! Aku berhasil lolos dari godaan ini. Syetan benar-benar cerdik dengan segala tipu dayanya. Ya Allah, aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk. Setelah Richard menghilang, Janet yang duduk di sebelahku menggelengkan kepalanya. “She’s terribly stupid!” gumamnya pelan. Aku hanya tersenyum.
***
source : I love being muslimah
0 komentar:
Posting Komentar