Jumat, 15 April 2011

Bila Al-Qur'an Bisa Bicara !

Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku
Dengan wudu' aku kau sentuh dalam keadaan suci
Aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari
Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari
Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra


Sekarang engkau telah dewasa...
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku...
Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah...
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu
Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?

Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya 
Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu
Kadangkala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa 
Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan 
Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dalam kesepian 
Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.


Dulu...pagi-pagi...surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman
Sore harinya aku kau baca beramai-ramai bersama temanmu di surau.....


Sekarang... pagi-pagi sambil minum kopi...engkau baca Koran pagi atau nonton berita TV
Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia 
Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa.
Engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan...


Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surahku (Basmalah)
Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi
Tidak ada kaset yang berisi ayat Alloh yang terdapat padaku di laci mobilmu
Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu
Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku


Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja
Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu
Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun
E-mail temanmu yang ada ayat-ayatkupun kadang kau abaikan
Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu


Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku
Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV
Menonton pertandingan Liga Italia , musik atau Film dan Sinetron laga
Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk
Hanya sekedar membaca berita murahan dan gambar sampah


Waktupun cepat berlalu...aku menjadi semakin kusam dalam lemari
Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu
Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali
Itupun hanya beberapa lembar dariku
Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu
Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.


Apakah Koran, TV, radio , komputer, dapat memberimu pertolongan ? Bila
engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba Engkau akan
diperiksa oleh para malaikat suruhanNya 
Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selamat melaluinya.


Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu...
Setiap saat berlalu...kuranglah jatah umurmu...
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu
Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu.


Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati...
Di kuburmu nanti....
Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan
Yang akan membantu engkau membela diri
Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu Dari perjalanan di alam akhirat
Tapi Akulah "Qur'an" kitab sucimu
Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu


Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari
Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci
Yang berasal dari Alloh, Tuhan Yang Maha Mengetahui 
Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.


Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu...
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu
Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu
Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu


Sentuhilah aku kembali...
Baca dan pelajari lagi aku....
Setiap datangnya pagi dan sore hari
Seperti dulu....dulu sekali...
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos...
Di surau kecil kampungmu yang damai
Jangan aku engkau biarkan sendiri....
Dalam bisu dan sepi....
Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Sebutir Pasir

Penakluk pertama Mount Everest, puncak tertinggi dunia di  Pegunungan Himalaya, Sir Edmund Hillary, pernah  ditanya  wartawan apa yang paling ditakutinya dalam  menjelajah alam. Dia lalu mengaku tidak takut pada binatang buas, jurang yang  curam, bongkahan es raksasa, atau padang pasir yang  luas dan  gersang sekali pun!  Lantas apa? "Sebutir pasir yang terselip di  sela-sela jari  kaki," kata Hillary. Wartawan heran, tetapi sang penjelajah  melanjutkan kata-katanya, "Sebutir pasir yang masuk  di sela-sela jari kaki sering sekali menjadi awal  malapetaka. Ia bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama-lama  jari kaki terkena infeksi, lalu membusuk. Tanpa sadar, kaki pun tak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi  seorang penjelajah sebab dia harus ditandu." Harimau, buaya, dan beruang, meski buas, adalah  binatang yang secara naluriah takut menghadapi manusia. Sedang  menghadapi  jurang yang dalam dan ganasnya padang pasir, seorang  penjelajah sudah punya persiapan memadai. Tetapi, jika  menghadapi sebutir pasir yang akan masuk ke jari kaki, seorang penjelajah tak mempersiapkannya. Dia cenderung mengabaikannya.  
 
Apa yang dinyatakan Hillary, kalau kita renungkan, sebetulnya  sama dengan orang yang mengabaikan dosa-dosa kecil.  Orang yang melakukan dosa kecil, misalnya mencoba-coba mencicipi minuman keras atau membicarakan keburukan orang lain, sering  menganggap  hal itu adalah dosa yang kecil. Karena itu, banyak  orang yang  kebablasan melakukan dosa-dosa kecil sehingga lambat laun jadi  kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan, dosa kecil  itu pun akan  berubah jadi dosa besar yang sangat membahayakan  dirinya dan  masyarakat. 

Melihat kemungkinan potensi kerusakan besar yang  tercipta dari  dosa-dosa kecil itulah, Nabi Muhammad saw mewanti-wanti agar  ummatnya tidak mengabaikan dosa-dosa kecil seraya  tidak melupakan amal baik kendati kecil juga.  Dalam kisah disebutkan, seorang pelacur masuk surga hanya  karena  memberi minum anjing yang kehausan. Perbuatan yang cenderung dinilai sangat kecil itu ternyata di mata Allah punya nilai sangat besar karena faktor keikhlasannya. Bukankah semua roh yang ada di seluruh jagad ini, termasuk roh anjing  tersebut,  hakikatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Pencipta juga? Itulah  nilai setetes air penyejuk yang diberikan sang pelacur pada  anjing yang kehausan.

Bicara Dengan Bahasa Hati

Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukkan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah berasal dari hati anda.     
 
Bicaralah dengan bahasa hati, maka akan sampai ke hati pula. Kesuksesan bukan semata-mata betapa keras otot dan betapatajam otak anda, namun juga betapa lembut hati anda dalam


menjalani segala sesuatunya.Anda tak kan dapat menghentikan tangis seorang bayi hanya dengan merengkuhnya dalam lengan yang kuat. Atau, membujuknya dengan berbagai gula-gula dan kata-kata manis. Anda harus mendekapnya hingga ia merasakan detak jantung yang tenang jauh di dalam dada anda. 

Mulailah dengan melembutkan hati sebelum memberikannya pada keberhasilan anda.

Sang Penari

Aku sedang membeli kertas minyak untuk membungkus jajanan nasi bungkusku di warung Pak Kaji, ketika kudengar beberapa pemuda yang nongkrong di bawah pohon randu sambil bermain judi, melontarkan beberapa kalimatnya.

“Goyangannya memang tidak seaduhai goyangan emaknya dulu. Tapi pakaiannya itu, Gus. Seksi tenan…”
Kata “seksi” itu langsung disambut gelak tawa oleh beberapa pemuda lainnya.
“Sekali aku melihatnya waktu kutengok pamanku di Jakarta kemarin. Awalnya aku ragu, tapi setelah kuajak ngobrol, gadis itu benar-benar Cantika. Coba bisa lebih lama aku di Jakarta, bisa kuajak tidur dia. Hahaha…”
Kali ini tawa itu lebih keras dan membahana. Kemudian sambil masih mengisap rokoknya, pemuda yang sedari tadi berbicara itu melanjutkan,
“Nasibnya memang mujur seperti emaknya. Tapi mungkin saja ujung-ujungnya juga seperti si muka parut itu. Ha…”

Aku mempercepat aktivitas belanjaku sore itu untuk segera menutup telinga. Hatiku panas, tentu saja. Aku sudah lama sekali meninggalkan dunia seniku sebagai seorang penari tayub sejak terjadinya peristiwa itu. Tidak. Tak akan pernah kuulangi lagi. Aku mati-matian menahan luka yang kudapat dari cemoohan tetangga-tetanggaku yang tidak henti-hentinya memandangku sebagai sampah hingga menurut mereka, peristiwa itu pantas jika terjadi padaku. Aku disamakannya seperti pelacur. Padahal pekerjaanku bukanlah menjajakan tubuh seperti yang kulihat di dekat kontrakan Cantika sewaktu aku diajaknya pindah ke Jakarta . Dan aku tak betah melihat beberapa malam Cantika keluar rumah dengan alasan bekerja dan baru pulang keesokan harinya. Biasanya menjelang siang. Mataku juga sakit melihat perempuan-perempuan yang memoles wajahnya sedemikian rupa demi menarik pelanggannya. Mereka berdiri berjejer di sepanjang jalan dan melakukan satu negosiasi atas tubuhnya sendiri. Aku bukan hanya sakit karena melihat bayangan masa lalu hitamku, tapi lebih-lebih aku merasa pedih karena ketakutanku melihat kenyataan-kenyataan yang mungkin saja terjadi pada mereka seperti yang dulu menimpaku.

Dan sore itu, aku kesal bukan alang ketika ku tahu bahwa Cantika juga menjual tubuhnya, walaupun itu hanya kulit yang paling luar. Hasil dari pekerjaannya itulah yang ia pakai untuk untuk membiayaiku makan, membayar uang sekolah Lentika, adik satu-satuya. Aku marah semarah-marahnya. Tak dapat kutahan. Aku tidak rela gadisku dijamahi banyak orang walaupun itu atas nama profesioal. Dan yang paling membuatku tidak ikhlas adalah karena Cantika menikmati profesinya sebagai penari latar itu. Mirisnya lagi, tempat Cantika bekerja adalah sebuah diskotek.

“Kan mereka cuma memegang tubuh saja, Bu. Cantika nggak pernah mengizinkan lebih dari itu kok”, begitu kilahnya itu saat kucoba membujuknya untuk meninggalkan pekerjaan itu. Tapi Cantikaku tak bergeming, pun saat kemarahanku hampir mencapai puncak. Yang membuatku kalah justru kenyataan bahwa anakku itu mengetahui masa lalu ibunya sebagai seorang penari tayub dan itu dijadikannya argumen untuk memaksaku menyetujui profesinya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan tetap pada pendiriannya.

“Bukan hanya karena duit, Bu. Tapi Cantik sudah terlalu cinta dengan menari.”
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Cantika berwatak keras, sama seperti ibunya saat meladeni omongan kakek dan neneknya dulu.

****

Aku masih saja menggerutu ketika sudah sampai di tempat yang menjadi tujuan Bapak dan Ibu. Tempat mereka mengais rezeki tiap harinya. Tempat sampah. Pasokan sampah yang terus bertambah tiap hari di bantaran kali itu seperti halnya tumpukan emas bagi kedua orang tuaku. Tapi aku jijik. Walau berulang kali Bapak dan Ibu memarahiku karena tidak mau membantu mereka sedikitpun, aku tetap tak peduli. Walaupun tidak muntah, aku sudah cukup puas dengan mual yang kurasakan terus membelit perut sedari tadi. Aku muak melihat kenyataan bahwa ternyata, aku si Prameswari, gadis manis tiga belas tahun, dipaksa hidup bergelimangan sampah dan kemiskinan.

“Coba dulu kaucari-cari di sini, Nak. Siapa tahu banyak sampah yang masih bisa kita jual. Kau ini sudah besar, harus membantu ibu dan bapakmu.”

Tapi teriakan ibuku kuanggap angin lalu saja, tak kugubris sama sekali. Aku malah berlari meninggalkan karung sampahku.

Dari dulu aku memang merasa tidak sanggup hidup dibelit kemiskinan. Walaupun sehari-hari keluarga kami ditopang oleh adanya sampah dan makanan kami pun selalu alakadarnya, tapi kenyataan itu sama sekali tidak berpengaruh bagiku, paling tidak menyadarkanku bahwa aku harus prihatin dengan hidup. Yang kulakukan dari dulu hanyalah bermain, tak pernah mau membantu orang tuaku berbaur dengan sampah. Bahkan sikap yang masih kupelihara sampai sekarang adalah rasa iri kepada teman-teman kelas satu SD-ku yang walaupun miskin, tapi tidak semiskin keluargaku. Kemiskinan itu jugalah yang membuat aku DO dari sekolah karena biaya.

Aku tak sanggup. Aku tak sanggup dibayangi derita yang kudapatkan dari ejekan teman-temanku. Aku tak tahan hidup miskin telalu lama, hingga selalu kukuatkan keinginanku untuk mengubah hidup dari nasib yang begitu melarat.

Dan pertemuanku dengan Yu Narmi itulah yang menjadi awal berubahnya masa suram hidupku. Yu Narmi mengenalkanku pada tayub. Waktu itu. Yu Narmi mengatakan bahwa wajahku benar-benar asli Indonesia. Asli Jawa sehingga terlihat lebih eksotik. Kalau dipoles sedikit saja, walapun itu hanya dengan pupur murahan, aku pasti akan terlihat begitu cantik. Lagi pula, badanku juga begitu menarik hingga nanti, ketika sudah ada di panggung, pasti akan menyedot perhatian kaum Adam yang bermata jelalatan dan berkantong tebal untuk menyisipkan lembaran puluhannya ke dadaku.

Aku panas oleh kemiskinanku. Aku tergiur oleh mimpi yang dikenalkan oleh Yu Narmi.
Mulailah aku belajar menari, dengan diam-diam tentunya, karena bagaimanapun Bapak dan Ibu tidak akan pernah mengizinkanku menari tayub dan disawer oleh banyak laki-laki. Mereka tidak akan mau melihat anaknya melenggak-lenggokkan pinggulnya untuk membuat para laki-laki terpikat.

Tapi tekadku sudah kuat. Tanpa sepengetahuan bapak dan ibu, aku berlatih menari tiap harinya dibimbing oleh Yu Narmi, diajari memoles wajah, sampai bagaimana harus menampakkan mimik muka untuk menggoda para pelangganku nanti. Ketika sudah mahir dengan tarian-tarianku dan dianggap sudah siap pentas, Yu Narmi mengajakku ke pagelayan tayub. Sungguh menakjubkan, aku hanya harus menggoyangkan pinggulku, memasang senyum manis yang tak boleh habis dan menggerakkan badan supaya sesuai dengan tembang yang dibawakan. Dari situlah para pelangganku berdatangan. Mereka yang sudah terlihat tertarik ataupun yang masih ragu-ragu kulemparkan sampur, selendang warna kuningku, dan ku ajak menari bersamaku. Dari satu dua goyangan itulah aku mendapatkan rupiah, meninggalkan amanat orang tuaku untuk menjaga tubuh supaya tidak terjamah oleh laki-laki, walaupun hanya oleh matanya saja.

Awalnya aku bisa menyembunyikan bangkai dari Bapak dan Ibu, tapi ketika aku sudah mulai menjadi primadona di antara penari tayub lainnya, dan paguyuban juga sudah lebih ramai dari biasanya, Bapak dan Ibu marah besar. Mereka mengetahui info itu dari tetanggaku, seorang bujang yang banyak duit, terkenal badung dan tanpa tata krama yang menyawerku secara langsung. Aku tergagap tak bisa menjelaskan apa-apa lagi untuk membela diriku sendiri. Tapi aku telanjur cinta tayub. Bukan. Bukan itu sebenarnya. Aku terlalu cinta rupiah yang hanya bisa kudapatkan dengan mudah dari menayub saja. Dan aku tak mau meninggalkan pekerjaan itu, walau Bapak dan Ibu akan terus memusuhiku. Hingga suatu malam, ketika kemarahan beliau sudah memuncak, aku diusirnya. Tepat setelah aku pulang membawa banyak uang hasil saweran. Dengan kasar Bapak mengatakan bahwa beliau lebih rela makan uang dari hasil sampah daripada hasil menjual tubuh. Aku tak terima. Aku meradang dikatakan seperti itu, karena bagaimanapun, aku bukan pelacur. Aku hanya menjual kulitku, goyanganku, pinggulku, dan tidak pernah lebih dari itu.

Malam itu, kuputuskan hubungan darah dengan orang tuaku.
Aku semakin tergila-gila dengan tayub, karena dari situlah bisa kukumpulkan uang untuk membeli keperluanku yang tak bisa dipenuhi oleh Bapak ataupun Ibu. Aku cukup kaya untuk ukuran seorang gadis. Setelah diusir oleh Bapak dan Ibu dulu, aku datang kepada Yu Narmi dan mengadukan nasibku. Tentu dengan suka cita dipungutnya diriku. Dirawatnya aku sebagaimana merawat berlian yang paling mahal. Baginya, aku ini adalah aset yang sangat berharga. Dengan masih adanya diriku di paguyuban itu, tentulah semakin banyak uang yang akan didapatkan oleh Yu Narmi.

Lain halnya dengan rasa sumringah Yu Narmi atas kedatanganku, para wanita sesama penari tayub memandangku sinis. Kemakmuranku sering disambut dengan sindiran dan ucapan pedas. Walaupun berkali-kali Yu Narmi mencoba melerai pertengkaran sengit kami, tetap saja api kebencian sudah terlanjur membara di hati kami masing-masing.

“Coba saja berani menggeser kedudukanku di sini. Kau akan menyesal, Prameswari! Kau tak akan pernah bisa lagi menari di sini!” ucap Nunuk, salah satu penari.

Dan aku tak tahu rencana apa yang dibuat oleh mereka hingga terjadilah peristiwa mengerikan itu.
Malam itu aku terpaksa membeli obat nyamuk sendirian. Yu Narmi sudah tidur dan tak mungkin aku membangunkannya. Ia juga kelelahan. Sama sepertiku yang seharian tadi nayub. Badanku terasa pegal semua hingga aku butuh istirahat yang cukup dan nyaman. Tapi nyamuk-nyamuk di kamarku begitu banyak hingga membuatku tak bisa memejamkan mata. Menyebalkan. Apalagi ternyata obat nyamuk bakarku habis. Dan aku terpaksa membelinya di luar.

Waktu arlojiku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku keluar rumah. Tapi terlanjur, lagi pula, warungnya juga tidak terlalu jauh dan keinginan untuk tidur nyenyak malam ini supaya bisa nayub lagi esok membuatku memaksakan diri pergi ke luar seorang diri. Takut sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi.
Dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Andai saja aku bisa membaca mata benci saingan tayubku, mungkin aku akan berhati-hati tiap malamnya hingga tak nekat keluar seperti ini dan memilih tak bisa tidur dari pada bertemu serigala-serigala busuk di depanku. Aku tak bisa melawan ataupun berontak. Yang kutahu, malam itu aku digelandang ke semak-semak oleh beberapa pemuda di desaku. Aku kenal mereka, yang kerjaannya hanya bermain judi dan menggoda gadis-gadis yang melewati area judinya.

Malam itu aku merintih. Dipermalukannya diriku habis-habisan. Dibuatnya hidupku menderita seumur hidup dengan menanggung malu. Tak cukup melakukan itu, dengan sayatan pisau yang tajam, bajingan–bajingan itu merobek-robek wajahku.

****
Aku mengurung diri setelah mendengar obrolan para pemuda di depan warung Pak Kaji tadi. Sudah cukup panas telingaku mendengarkan omongan tetangga. Tapi walaupun pedih yang kurasakan tiap saatnya, aku tak bisa lagi memaksa Cantika pulang dan meningalkan pekerjaannya.

Sejatinya, aku ingin membuat Cantika bahagia, dengan uang. Karena alasan itu jugalah yang membawa Cantika minggat ke Jakarta.

Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah berharap agar Cantika tak mengalami nasib sepertiku. Entahlah, walau hal itu bisa terjadi pada siapa saja, tapi peristiwa bejat malam itu membuatku trauma. Aku seperti ketakutan kalau ada saudara atau keluargaku memilih profesi sebagai penari. Profesi yang dulu sempat kupilih dan mengantarkanku pada bisu. Bisunya dunia saat gerombolan laki-laki itu memaksa tubuhku meladeni mereka semua hingga yang kurasakan bukan hanya ragaku yang terasa sakit, tapi juga batinku ngilu. Yang lebih menghancurkanku, namaku tercemar sejak saat itu, karena setelah kejadian malam itu tak ada yang percaya kepadaku bahwa aku telah diperkosa dan ingin menuntut keadilan. Apalah artinya keadilan bagi gadis sepertiku yang datang dari kubangan sampah. Warga lebih percaya pada Nunuk, sesama penari tayub yang menganggapku sebagai saingan. Mereka lebih terhasut dengan kalimatnya yang mengatakan bahwa akulah yang menjual diri, bukannya diperkosa. Dan hidupku luntang lantung setelah itu. Aku tidak mungkin menayub lagi karena wajahku lebih mengerikan dari pada orang yang berparas jelek sekalipun akibat sayatan-sayatan pisau para bajingan itu.

Aku juga tak sanggup lagi datang untuk yang kedua kalinya ke rumah orang tuaku karena Ibu berkali-kali mengusirku. Alasan yang dikatakannya begitu mengejutkanku. Setelah mendengar bahwa aku menjadi pelacur dan menjual diriku pada beberapa gerombolan pemuda desa, Bapak tiba-tiba langsung tak sadarkan diri, dan tak bisa tertolong karena shock yang amat sangat. Tak tahu lagi bagaimana jalan hidupku jika sore itu aku tidak menerobos hujan dan berniat mengakhiri hidupku di jembatan. Tepat saat beberapa senti lagi tubuhku akan terjun bebas, tiba-tiba aku diperkenalkan oleh alam pada seorang laki-laki yang tidak tampan, tapi berhati emas. Laki-laki itulah yang menyelamatkanku sebelum aku benar-benar mati. Sebulan setelah itu ia mengawiniku, walau tahu bahwa mukaku sudah tak secantik dulu. Bahkan setelah peristiwa mengerikan itu, warga desa sering menghinaku dengan sebutan si muka parut. Tapi suamiku itu sama sekali tak peduli. Dia mencintaiku, memberiku dua anak, Cantika dan Lentika. Saat keduanya belum sampai melihat dunia sampai berumur lima tahun, Mas Sugeng, laki-laki itu meninggalkanku, tewas dilindas kereta api.

Ada alasan yang memungkinkan seseorang tetap mau menjalani hidup meski nasib selalu menggiringnya pada kekerasan. Motivasi. Beberapa sanak saudara, impian, anak, keluarga, dan hal-hal lain yang menjadi motivasi mengapa seseorang itu tetap bertahan hidup di antara kekejaman-kekejaman yang selalu menimpanya. Dan demi impian-impian untuk terus hidup bersama mereka itulah, seseorang yang paling menderita pun akan melawan arus kuatnya dunia.

Tapi bagaimana denganku? Aku sudah tak punya siapa-siapa. Saat hidupku kini menunggu detik detik berkurangnya usia, aku juga tak kunjung merasakan bahagia. Aku bukanlah anak yang sanggup berbakti kepada orang tua hingga mereka tak sudi menerimaku lagi sebagai anak. Aku juga tak memiliki keluarga dari Mas Sugeng karena yang diceritakannya padaku saat hendak menikahi adalah kenyataannya sebagai pedagang asongan dan tak memiliki siapa-siapa lagi. Lalu Cantika sudah tak mau menggubrisku, walaupun sesekali ia masih menyapa ibunya ini dengan manis. Kemudian Lentik, menyusul kakaknya ketimbang menemani ibunya di kampung.

Aku sudah tak kuat. Walaupun masih kumiliki dua gadis manis darah dagingku, aku masih tetap merasa sepi. Ketakutan yang kini menimpaku adalah bayangan-bayangan yang selalu saja menghantui tidurku tentang perihal yang menimpa dua putriku di dekat kontrakannya yang tidak aman itu. Aku benar-benar takut membayangkan apa yang akan terjadi dengan nasib keduanya. Aku tak mau melihatnya berduka. Aku trauma. Aku phobia. Dan aku tak ingin kedua terlindas nista oleh kejamnya manusia.

Saat pikiranku sudah tak tahu ada di mana, aku tersenyum saja sambil mengambil sebuah bungkusan yang sering kupergunakan untuk membunuh tikus-tikus di gubuk reot ini. Bahkan aku masih bisa tertawa saat menyadari betapa tercekiknya leherku setelah lima menit meminumnya.

Warga desa Klamengan geger. Pasalnya, mantan penari tayub yang sudah bertahun-tahun menjadi pemulung itu ditemukan mati bunuh diri di rumahnya. Sedikit sekali yang melayatnya. Di samping tak banyak yang suka terhadap wanita itu, tak ada juga keuntungan yang akan didapatkan dengan mendatangi rumah duka itu. Parahnya lagi, tak ada yang tahu alamat kedua anaknya di Jakarta hingga warga menguburkan secara alakadarnya seteleh sebelumnya sempat ditangani polisi.

Suasana panas di kereta api itu tidak menyurutkan senyum yang terpancar dari dua kakak beradik itu. Terlihat sekali bahwa mereka begitu bahagia. Tak ada yang terpancar dari wajah keduanya selain sinar puas dan rasa rindu yang amat sangat pada seseorang. Gadis itu ingin sekali cepat sampai di kampungnya untuk menyampaikan bahwa dirinya sudah keluar dari tempat kerjanya yang lama dan diterima di suatu biro pelayanan travel. Ia ingin menyampaikan berita gembira itu pada ibunya sekaligus menjemputnya ke Jakarta . Diyakininya bahwa kali ini, ibunya tidak akan menolak lagi karena uang yang didapatkannya lebih halal dari pada sebelumnya.

Gadis itu tersenyum sambil mengusap keringat adiknya. Sebentar lagi, kereta api akan sampai di tempat tujuan, membawa dua gadis itu, Cantika dan Lentika pada berita yang akan mengejutkannya.

(sumber : Annida)

Hilangnya Akibat Khilafku

“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”

Alunan azan membahana dari masjid seantero kota Surabaya. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tanganku menarik selimut dan menyempurnakan posisiku, menutupi seluruh bagian tubuhku.

“Allahu Akbar… Allhu Akbar!”
Seruan itu kembali mengoyak telingaku. Akhh… mataku terasa berat sekali. Kurasakan lelah yang mendera di sekujur tubuh. Kututup kedua telingaku dengan bantal. Aku tak hendak mendengarkan seruan itu.

“Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!” Aku tak sanggup lagi. Mataku telah tergembok rapat. Semalaman aku berkencan dengan seabrek tugas kantor yang harus kuselesaikan hari kemarin. Keadaan seperti ini sering terjadi saat aku sedang kelelahan tak bisa mengahantarkan tubuhku ke kedinginan air yang menyergapku. Aku kalah pada keadaan. Sebenarnya tidak juga begitu. Aku terserang penyakit malas. Karena kesibukanku yang makin menggila. Aku rasa, aku butuh istirahat yang cukup.

***

Kriiingg… kring…! suara jam weaker mengejutkanku hingga aku terbangun dari tidur yang tak begitu nyaman. Pukul tujuh. Artinya, aku harus segera bersiap-siap pergi ke kantor. Aku harus lekas menemui relasi dan klien-klienku, tak boleh terlambat. Tak lama kemudian, hand phoneku berdering.
“Hallo… dengan Rio, ada apa menghubungi saya pagi-pagi begini?”
“…………”
“ Baik saya segera ke kantor!”
Dalam sekejap BMW-ku melaju melewati jalanan kota yang mulai dilanda macet dan berbaur dengan aroma CO2. Udara yang seharusnya masih segar dan sehat sepagi ini, telah dilalap kentalnya kadar karbondioksida yang membanjiri Surabaya. Namun aku sudah bersahabat dengan segala keadaan ini, karena mencari uang adalah hidupku. Kesibukan duniawi yang membawaku kepada kenyamanan lahir, telah membuatku puas.
Dulu, waktu Ibu masih hidup, aku selalu dibanjiri oleh nasihatnya agar aku tak meninggalkan shalat. Tapi nikmatnya dunia kini membuatku berpikir, untuk apa aku shalat? Toh rezeki itu aku yang kejar sendiri. Ia tak akan datang ketika aku hanya berdiam diri dan shalat di rumah. Kalau aku begitu, jadilah aku orang yang miskin, yang hanya mengharap belas kasihan orang lain untuk dapat makan barang sehari. Tak mungkin uang akan turun dari langit seperti hujan. Mustahil. Dan jadi orang miskin itu hanya merusak martabat manusia. Membuat aib saja.

“Assalamualaikum! Selamat pagi, Bos!” sapa seorang karyawan.
“Pagi..” aku menjawab tanpa menoleh. Aku menerobos ruang dan waktu, berjalan angkuh layaknya seorang bos. Itulah hari-hariku. Ya, seperti yang aku ceritakan sebelumnya. Aku puas dengan semua kecukupan yang aku miliki sekarang. Limpahan harta. Kesenangan dunia membuatku perlahan melupakan bahkan tak merasa ada orang yang telah melahirkanku dulu. Bagiku, itu memang sudah takdir. Dan sekarang aku bisa mengubah takdir dengan tanganku. Haahh… aku senang dengan hidupku.

***

Ruang kantorku sengaja dirancang kedap suara, karena aku menginginkan kenyamanan ketika berada di dalamnya. Aku tak mau terganggu oleh deru mesin kendaraan yang berlalu hilir mudik di sekitar kantorku. Memang, letak kantorku sangat strategis. Dan aku tak sadar, bangunan seperti itu juga telah melalaikanku dari mendengarkan suara azan. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman hinggap di bagian tubuhku yang paling dalam. Menyeringai, menelusuk relung hatiku. Aku merasakan ketaknyamanan tak bertepi. “Jangan lupa sholat Nak!…” sekelebat bayangan wanita 50 tahun-an lewat di ruang otakku. Namun segera kuenyahkan perasaan dan bayangan itu.

“Tok..tok..tok!”
Partikel-partikel pada daun pintuku bergerak menghasilkan gelombang bunyi yang berfrekuensi tinggi dan mengejutkanku.
“Masuk!” jawabku sekenanya.
“Pak Rio, saya minta izin 15 menit keluar dulu…!”
“Dari kemarin kok izan, izin… Bapak tidak lihat apa kantor kita sedang banyak orderan?! Baru setahun jadi karyawan di sini sudah berani sering-sering izin!”
“Iya, saya tau, Pak… insya Allah nanti setelah saya kembali, saya selesaikan tugas saya.”
“Baiklah! Sepuluh menit!” Aku marah.

Entah apa yang membuatku marah. Mungkin rasa berkuasalah yang selama ini telah mengalahkanku. Selama ini memang aku selalu sensitif jika sedang berhadapan dengan karyawan-karyawanku. Aku selalu memposisikan diriku sebagai bos. Aku merasa bahwa aku berkuasa atas hidup mereka. Aku merasa hidup mereka ada di tanganku. Kapan pun aku bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan. Dan selama ini, jika ada karyawan yang ku-PHK, banyak dari mereka yang memohon-mohon padaku untuk dikembalikan pekerjaannya.

Tapi kurasakan keanehan kini, aku merasa tak enak hati setelah memarahi Pak Halim, seorang karyawan yang setiap pukul 12.00 dan 15.00 meminta izin untuk keluar sejenak. Yang mukanya selalu teduh menghadapi keegoisanku. Selalu sabar menghadapi luapan emosiku yang kerap meledak-ledak di hadapannya.

Setahuku dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku juga tahu dia mempunyai potensi yang besar untuk memajukan perusahaanku. Karena itulah, aku tetap mempertahankannya di perusahaanku. Pun ia tak pernah melalaikan tugasnya. Ia sangat bertanggung jawab. Lantas apa yang membuat aku marah-marah padanya hari ini dan tak jarang pada hari-hari lain?

“Lama sekali orang ini!” Aku membatin sambil menunggu Pak Halim yang sudah hampir setengah jam tak muncul- muncul juga di hadapanku.

Aku tahu, Pak Halim izin keluar hanya untuk menunaikan shalat; yang seharusnya aku pun melakukannya. Namun karena sering melalaikannya, aku jadi terbiasa tidak melaksanakan shalat. Aku tak merasa berdosa. Aku membiasakan diriku tuk tidak mendengarkan hatiku.

“Maaf, Pak! Tadi saya harus…”
“Ah… Alasan saja Anda ini! Mulai besok, Anda tidak boleh duduk di kursi itu lagi!”
Pak Halim paham apa maksud ucapanku dan ia lalu berpamitan setelah mengucapkan terima kasih.

***

Sejak kejadian itu, aku kini sering merenung. Aku sendiri kini yang harus memikirkan nasib perusahaanku. Dalam kondisi diriku yang seperti ini, bayangan wanita tua yang selalu mengingatkanku akan shalat pun selalu muncul setiap kali aku membutuhkan konsentrasi untuk memikirkan nasib perusahaan. Keputusan yang kuambil tak pernah tepat kini. Alhasil, perusahaanku pun gulung tikar. Utang di mana-mana.

“Aghhhhrrrhhh…!” Aku marah pada diriku sendiri. Aku terlalu egois. Kalau saja Pak Halim masih mendampingiku, aku tak akan sesusah ini. Ah… aku menyesal.

Kustarter BMW-ku, mesin berbunyi halus. Tanpa konsentrasi yang penuh, aku melaju.. Kali ini tak tahu aku akan pergi ke mana. Aku tak tahu, ingin aku kembali ke kampung halaman, meminta maaf pada ibuku, menziarahi kuburnya, aku malu. Pun begitu juga kepada saudara-saudaraku. Pak Halim, yang terkadang menjadi tempat curhatku, kini tak ada lagi di sampingku.

“Nak, bagaimanapun, jangan tinggalkan shalat! Itu adalah ibadah yang pertama kali dihisab.” Tiba-tiba bayangan Ibu muncul lagi di kaca depan mobilku. Menghalangi pandanganku ke depan.
“Nak! Kembalilah kejalan Tuhan-Mu!” Kali ini keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan.
“Nak! Ingatlah… semua harta benda hanya titipannya… kembalilah!”
“Tidaakk…!” Klakson dari mobil belakangku membuat konsentrasiku makin membuyar. Sorotan cahaya lampu dari mobil yang berlawanan arah denganku menyilaukan pandangan ini, saat bayangan Ibu hilang, yang kulihat hanya cahaya terang. Terang sekali, hingga aku tak nyaris buta. Klakson dari belakang terus beriringan.

“Ciiitttt! Brakkkk!!”
“Aduhh…” kurasakan nyeri yang tak terperi di bagian kepalaku. Cairan hangat mengalir dari kedua telingaku. Aku tak dapat menahan rasa nyeri yang amat sangat ini. “Bu,… maafkan aku…!”
“Ini peringatan buatmu, Nak! Kembalilah!” itu adalah kalimat terakhir ibu yang masih dapat kudengar dan kuingat. Ingatanku hilang seiring hilangnya bayangannya.

***

“Di mana aku? Mana Ibu ..?” Samar-samar kulihat wajah yang tak asing itu duduk di sampingku.
“Pak Halim? Kau kah yang membawaku ke rumah sakit ini?!”sembari bertanya-tanya pada diriku sendiri, mulutku terus berkomat-kamit.

Pak Halim hanya memandangiku haru. Air matanya mengalir. Sesekali ia seperti mengucapkan sesuatu kepadaku. Tapi aku tak mendengar apa-apa. “Astaghfirullohal’azhiim…!!!” ku berteriak mengharapkan ampunan dari Allah. Namun lagi-lagi, aku tak mendengar teriakanku sendiri. Tiba-tiba telingaku sakit. Dan aku baru sadar, kecelakaan malam itu membuatku tak dapat mendengar dan mungkin juga tak dapat berbicara. Aku tuli.

Tak ada yang lain yang bisa kulakukan. Hanya jeritan dalam hati yang mampu aku teriakkan. Tubuhku menggigil, kurasakan ngilu di ulu hatiku, seperti ditusuk sembilu. Dalam dan semakin dalam. Aku ingin shalat. Jam di dinding kamar putih itu menunjukkan pukul dua belas siang, waktu yang aku gunakan untuk memarahi Pak Halim yang izin keluar untuk melaksanakan shalat. Waktu ketika aku sering mengunci rapat-rapat telingaku dari suara azan yang mengalun syahdu. Dan kini suara itu benar-benar tak dapat lagi kudengar. Selama-lamanya.

sumber : majalah annida