Aku sedang membeli kertas minyak untuk membungkus jajanan nasi bungkusku di warung Pak Kaji, ketika kudengar beberapa pemuda yang nongkrong di bawah pohon randu sambil bermain judi, melontarkan beberapa kalimatnya.
“Goyangannya memang tidak seaduhai goyangan emaknya dulu. Tapi pakaiannya itu, Gus. Seksi tenan…”
Kata “seksi” itu langsung disambut gelak tawa oleh beberapa pemuda lainnya.
“Sekali aku melihatnya waktu kutengok pamanku di Jakarta kemarin. Awalnya aku ragu, tapi setelah kuajak ngobrol, gadis itu benar-benar Cantika. Coba bisa lebih lama aku di Jakarta, bisa kuajak tidur dia. Hahaha…”
Kali ini tawa itu lebih keras dan membahana. Kemudian sambil masih mengisap rokoknya, pemuda yang sedari tadi berbicara itu melanjutkan,
“Nasibnya memang mujur seperti emaknya. Tapi mungkin saja ujung-ujungnya juga seperti si muka parut itu. Ha…”
Aku mempercepat aktivitas belanjaku sore itu untuk segera menutup telinga. Hatiku panas, tentu saja. Aku sudah lama sekali meninggalkan dunia seniku sebagai seorang penari tayub sejak terjadinya peristiwa itu. Tidak. Tak akan pernah kuulangi lagi. Aku mati-matian menahan luka yang kudapat dari cemoohan tetangga-tetanggaku yang tidak henti-hentinya memandangku sebagai sampah hingga menurut mereka, peristiwa itu pantas jika terjadi padaku. Aku disamakannya seperti pelacur. Padahal pekerjaanku bukanlah menjajakan tubuh seperti yang kulihat di dekat kontrakan Cantika sewaktu aku diajaknya pindah ke Jakarta . Dan aku tak betah melihat beberapa malam Cantika keluar rumah dengan alasan bekerja dan baru pulang keesokan harinya. Biasanya menjelang siang. Mataku juga sakit melihat perempuan-perempuan yang memoles wajahnya sedemikian rupa demi menarik pelanggannya. Mereka berdiri berjejer di sepanjang jalan dan melakukan satu negosiasi atas tubuhnya sendiri. Aku bukan hanya sakit karena melihat bayangan masa lalu hitamku, tapi lebih-lebih aku merasa pedih karena ketakutanku melihat kenyataan-kenyataan yang mungkin saja terjadi pada mereka seperti yang dulu menimpaku.
Dan sore itu, aku kesal bukan alang ketika ku tahu bahwa Cantika juga menjual tubuhnya, walaupun itu hanya kulit yang paling luar. Hasil dari pekerjaannya itulah yang ia pakai untuk untuk membiayaiku makan, membayar uang sekolah Lentika, adik satu-satuya. Aku marah semarah-marahnya. Tak dapat kutahan. Aku tidak rela gadisku dijamahi banyak orang walaupun itu atas nama profesioal. Dan yang paling membuatku tidak ikhlas adalah karena Cantika menikmati profesinya sebagai penari latar itu. Mirisnya lagi, tempat Cantika bekerja adalah sebuah diskotek.
“Kan mereka cuma memegang tubuh saja, Bu. Cantika nggak pernah mengizinkan lebih dari itu kok”, begitu kilahnya itu saat kucoba membujuknya untuk meninggalkan pekerjaan itu. Tapi Cantikaku tak bergeming, pun saat kemarahanku hampir mencapai puncak. Yang membuatku kalah justru kenyataan bahwa anakku itu mengetahui masa lalu ibunya sebagai seorang penari tayub dan itu dijadikannya argumen untuk memaksaku menyetujui profesinya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia akan tetap pada pendiriannya.
“Bukan hanya karena duit, Bu. Tapi Cantik sudah terlalu cinta dengan menari.”
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Cantika berwatak keras, sama seperti ibunya saat meladeni omongan kakek dan neneknya dulu.
****
Aku masih saja menggerutu ketika sudah sampai di tempat yang menjadi tujuan Bapak dan Ibu. Tempat mereka mengais rezeki tiap harinya. Tempat sampah. Pasokan sampah yang terus bertambah tiap hari di bantaran kali itu seperti halnya tumpukan emas bagi kedua orang tuaku. Tapi aku jijik. Walau berulang kali Bapak dan Ibu memarahiku karena tidak mau membantu mereka sedikitpun, aku tetap tak peduli. Walaupun tidak muntah, aku sudah cukup puas dengan mual yang kurasakan terus membelit perut sedari tadi. Aku muak melihat kenyataan bahwa ternyata, aku si Prameswari, gadis manis tiga belas tahun, dipaksa hidup bergelimangan sampah dan kemiskinan.
“Coba dulu kaucari-cari di sini, Nak. Siapa tahu banyak sampah yang masih bisa kita jual. Kau ini sudah besar, harus membantu ibu dan bapakmu.”
Tapi teriakan ibuku kuanggap angin lalu saja, tak kugubris sama sekali. Aku malah berlari meninggalkan karung sampahku.
Dari dulu aku memang merasa tidak sanggup hidup dibelit kemiskinan. Walaupun sehari-hari keluarga kami ditopang oleh adanya sampah dan makanan kami pun selalu alakadarnya, tapi kenyataan itu sama sekali tidak berpengaruh bagiku, paling tidak menyadarkanku bahwa aku harus prihatin dengan hidup. Yang kulakukan dari dulu hanyalah bermain, tak pernah mau membantu orang tuaku berbaur dengan sampah. Bahkan sikap yang masih kupelihara sampai sekarang adalah rasa iri kepada teman-teman kelas satu SD-ku yang walaupun miskin, tapi tidak semiskin keluargaku. Kemiskinan itu jugalah yang membuat aku DO dari sekolah karena biaya.
Aku tak sanggup. Aku tak sanggup dibayangi derita yang kudapatkan dari ejekan teman-temanku. Aku tak tahan hidup miskin telalu lama, hingga selalu kukuatkan keinginanku untuk mengubah hidup dari nasib yang begitu melarat.
Dan pertemuanku dengan Yu Narmi itulah yang menjadi awal berubahnya masa suram hidupku. Yu Narmi mengenalkanku pada tayub. Waktu itu. Yu Narmi mengatakan bahwa wajahku benar-benar asli Indonesia. Asli Jawa sehingga terlihat lebih eksotik. Kalau dipoles sedikit saja, walapun itu hanya dengan pupur murahan, aku pasti akan terlihat begitu cantik. Lagi pula, badanku juga begitu menarik hingga nanti, ketika sudah ada di panggung, pasti akan menyedot perhatian kaum Adam yang bermata jelalatan dan berkantong tebal untuk menyisipkan lembaran puluhannya ke dadaku.
Aku panas oleh kemiskinanku. Aku tergiur oleh mimpi yang dikenalkan oleh Yu Narmi.
Mulailah aku belajar menari, dengan diam-diam tentunya, karena bagaimanapun Bapak dan Ibu tidak akan pernah mengizinkanku menari tayub dan disawer oleh banyak laki-laki. Mereka tidak akan mau melihat anaknya melenggak-lenggokkan pinggulnya untuk membuat para laki-laki terpikat.
Tapi tekadku sudah kuat. Tanpa sepengetahuan bapak dan ibu, aku berlatih menari tiap harinya dibimbing oleh Yu Narmi, diajari memoles wajah, sampai bagaimana harus menampakkan mimik muka untuk menggoda para pelangganku nanti. Ketika sudah mahir dengan tarian-tarianku dan dianggap sudah siap pentas, Yu Narmi mengajakku ke pagelayan tayub. Sungguh menakjubkan, aku hanya harus menggoyangkan pinggulku, memasang senyum manis yang tak boleh habis dan menggerakkan badan supaya sesuai dengan tembang yang dibawakan. Dari situlah para pelangganku berdatangan. Mereka yang sudah terlihat tertarik ataupun yang masih ragu-ragu kulemparkan sampur, selendang warna kuningku, dan ku ajak menari bersamaku. Dari satu dua goyangan itulah aku mendapatkan rupiah, meninggalkan amanat orang tuaku untuk menjaga tubuh supaya tidak terjamah oleh laki-laki, walaupun hanya oleh matanya saja.
Awalnya aku bisa menyembunyikan bangkai dari Bapak dan Ibu, tapi ketika aku sudah mulai menjadi primadona di antara penari tayub lainnya, dan paguyuban juga sudah lebih ramai dari biasanya, Bapak dan Ibu marah besar. Mereka mengetahui info itu dari tetanggaku, seorang bujang yang banyak duit, terkenal badung dan tanpa tata krama yang menyawerku secara langsung. Aku tergagap tak bisa menjelaskan apa-apa lagi untuk membela diriku sendiri. Tapi aku telanjur cinta tayub. Bukan. Bukan itu sebenarnya. Aku terlalu cinta rupiah yang hanya bisa kudapatkan dengan mudah dari menayub saja. Dan aku tak mau meninggalkan pekerjaan itu, walau Bapak dan Ibu akan terus memusuhiku. Hingga suatu malam, ketika kemarahan beliau sudah memuncak, aku diusirnya. Tepat setelah aku pulang membawa banyak uang hasil saweran. Dengan kasar Bapak mengatakan bahwa beliau lebih rela makan uang dari hasil sampah daripada hasil menjual tubuh. Aku tak terima. Aku meradang dikatakan seperti itu, karena bagaimanapun, aku bukan pelacur. Aku hanya menjual kulitku, goyanganku, pinggulku, dan tidak pernah lebih dari itu.
Malam itu, kuputuskan hubungan darah dengan orang tuaku.
Aku semakin tergila-gila dengan tayub, karena dari situlah bisa kukumpulkan uang untuk membeli keperluanku yang tak bisa dipenuhi oleh Bapak ataupun Ibu. Aku cukup kaya untuk ukuran seorang gadis. Setelah diusir oleh Bapak dan Ibu dulu, aku datang kepada Yu Narmi dan mengadukan nasibku. Tentu dengan suka cita dipungutnya diriku. Dirawatnya aku sebagaimana merawat berlian yang paling mahal. Baginya, aku ini adalah aset yang sangat berharga. Dengan masih adanya diriku di paguyuban itu, tentulah semakin banyak uang yang akan didapatkan oleh Yu Narmi.
Aku semakin tergila-gila dengan tayub, karena dari situlah bisa kukumpulkan uang untuk membeli keperluanku yang tak bisa dipenuhi oleh Bapak ataupun Ibu. Aku cukup kaya untuk ukuran seorang gadis. Setelah diusir oleh Bapak dan Ibu dulu, aku datang kepada Yu Narmi dan mengadukan nasibku. Tentu dengan suka cita dipungutnya diriku. Dirawatnya aku sebagaimana merawat berlian yang paling mahal. Baginya, aku ini adalah aset yang sangat berharga. Dengan masih adanya diriku di paguyuban itu, tentulah semakin banyak uang yang akan didapatkan oleh Yu Narmi.
Lain halnya dengan rasa sumringah Yu Narmi atas kedatanganku, para wanita sesama penari tayub memandangku sinis. Kemakmuranku sering disambut dengan sindiran dan ucapan pedas. Walaupun berkali-kali Yu Narmi mencoba melerai pertengkaran sengit kami, tetap saja api kebencian sudah terlanjur membara di hati kami masing-masing.
“Coba saja berani menggeser kedudukanku di sini. Kau akan menyesal, Prameswari! Kau tak akan pernah bisa lagi menari di sini!” ucap Nunuk, salah satu penari.
Dan aku tak tahu rencana apa yang dibuat oleh mereka hingga terjadilah peristiwa mengerikan itu.
Malam itu aku terpaksa membeli obat nyamuk sendirian. Yu Narmi sudah tidur dan tak mungkin aku membangunkannya. Ia juga kelelahan. Sama sepertiku yang seharian tadi nayub. Badanku terasa pegal semua hingga aku butuh istirahat yang cukup dan nyaman. Tapi nyamuk-nyamuk di kamarku begitu banyak hingga membuatku tak bisa memejamkan mata. Menyebalkan. Apalagi ternyata obat nyamuk bakarku habis. Dan aku terpaksa membelinya di luar.
Waktu arlojiku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku keluar rumah. Tapi terlanjur, lagi pula, warungnya juga tidak terlalu jauh dan keinginan untuk tidur nyenyak malam ini supaya bisa nayub lagi esok membuatku memaksakan diri pergi ke luar seorang diri. Takut sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi.
Dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Andai saja aku bisa membaca mata benci saingan tayubku, mungkin aku akan berhati-hati tiap malamnya hingga tak nekat keluar seperti ini dan memilih tak bisa tidur dari pada bertemu serigala-serigala busuk di depanku. Aku tak bisa melawan ataupun berontak. Yang kutahu, malam itu aku digelandang ke semak-semak oleh beberapa pemuda di desaku. Aku kenal mereka, yang kerjaannya hanya bermain judi dan menggoda gadis-gadis yang melewati area judinya.
Malam itu aku merintih. Dipermalukannya diriku habis-habisan. Dibuatnya hidupku menderita seumur hidup dengan menanggung malu. Tak cukup melakukan itu, dengan sayatan pisau yang tajam, bajingan–bajingan itu merobek-robek wajahku.
****
Aku mengurung diri setelah mendengar obrolan para pemuda di depan warung Pak Kaji tadi. Sudah cukup panas telingaku mendengarkan omongan tetangga. Tapi walaupun pedih yang kurasakan tiap saatnya, aku tak bisa lagi memaksa Cantika pulang dan meningalkan pekerjaannya.
Sejatinya, aku ingin membuat Cantika bahagia, dengan uang. Karena alasan itu jugalah yang membawa Cantika minggat ke Jakarta.
Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah berharap agar Cantika tak mengalami nasib sepertiku. Entahlah, walau hal itu bisa terjadi pada siapa saja, tapi peristiwa bejat malam itu membuatku trauma. Aku seperti ketakutan kalau ada saudara atau keluargaku memilih profesi sebagai penari. Profesi yang dulu sempat kupilih dan mengantarkanku pada bisu. Bisunya dunia saat gerombolan laki-laki itu memaksa tubuhku meladeni mereka semua hingga yang kurasakan bukan hanya ragaku yang terasa sakit, tapi juga batinku ngilu. Yang lebih menghancurkanku, namaku tercemar sejak saat itu, karena setelah kejadian malam itu tak ada yang percaya kepadaku bahwa aku telah diperkosa dan ingin menuntut keadilan. Apalah artinya keadilan bagi gadis sepertiku yang datang dari kubangan sampah. Warga lebih percaya pada Nunuk, sesama penari tayub yang menganggapku sebagai saingan. Mereka lebih terhasut dengan kalimatnya yang mengatakan bahwa akulah yang menjual diri, bukannya diperkosa. Dan hidupku luntang lantung setelah itu. Aku tidak mungkin menayub lagi karena wajahku lebih mengerikan dari pada orang yang berparas jelek sekalipun akibat sayatan-sayatan pisau para bajingan itu.
Aku juga tak sanggup lagi datang untuk yang kedua kalinya ke rumah orang tuaku karena Ibu berkali-kali mengusirku. Alasan yang dikatakannya begitu mengejutkanku. Setelah mendengar bahwa aku menjadi pelacur dan menjual diriku pada beberapa gerombolan pemuda desa, Bapak tiba-tiba langsung tak sadarkan diri, dan tak bisa tertolong karena shock yang amat sangat. Tak tahu lagi bagaimana jalan hidupku jika sore itu aku tidak menerobos hujan dan berniat mengakhiri hidupku di jembatan. Tepat saat beberapa senti lagi tubuhku akan terjun bebas, tiba-tiba aku diperkenalkan oleh alam pada seorang laki-laki yang tidak tampan, tapi berhati emas. Laki-laki itulah yang menyelamatkanku sebelum aku benar-benar mati. Sebulan setelah itu ia mengawiniku, walau tahu bahwa mukaku sudah tak secantik dulu. Bahkan setelah peristiwa mengerikan itu, warga desa sering menghinaku dengan sebutan si muka parut. Tapi suamiku itu sama sekali tak peduli. Dia mencintaiku, memberiku dua anak, Cantika dan Lentika. Saat keduanya belum sampai melihat dunia sampai berumur lima tahun, Mas Sugeng, laki-laki itu meninggalkanku, tewas dilindas kereta api.
Ada alasan yang memungkinkan seseorang tetap mau menjalani hidup meski nasib selalu menggiringnya pada kekerasan. Motivasi. Beberapa sanak saudara, impian, anak, keluarga, dan hal-hal lain yang menjadi motivasi mengapa seseorang itu tetap bertahan hidup di antara kekejaman-kekejaman yang selalu menimpanya. Dan demi impian-impian untuk terus hidup bersama mereka itulah, seseorang yang paling menderita pun akan melawan arus kuatnya dunia.
Tapi bagaimana denganku? Aku sudah tak punya siapa-siapa. Saat hidupku kini menunggu detik detik berkurangnya usia, aku juga tak kunjung merasakan bahagia. Aku bukanlah anak yang sanggup berbakti kepada orang tua hingga mereka tak sudi menerimaku lagi sebagai anak. Aku juga tak memiliki keluarga dari Mas Sugeng karena yang diceritakannya padaku saat hendak menikahi adalah kenyataannya sebagai pedagang asongan dan tak memiliki siapa-siapa lagi. Lalu Cantika sudah tak mau menggubrisku, walaupun sesekali ia masih menyapa ibunya ini dengan manis. Kemudian Lentik, menyusul kakaknya ketimbang menemani ibunya di kampung.
Aku sudah tak kuat. Walaupun masih kumiliki dua gadis manis darah dagingku, aku masih tetap merasa sepi. Ketakutan yang kini menimpaku adalah bayangan-bayangan yang selalu saja menghantui tidurku tentang perihal yang menimpa dua putriku di dekat kontrakannya yang tidak aman itu. Aku benar-benar takut membayangkan apa yang akan terjadi dengan nasib keduanya. Aku tak mau melihatnya berduka. Aku trauma. Aku phobia. Dan aku tak ingin kedua terlindas nista oleh kejamnya manusia.
Saat pikiranku sudah tak tahu ada di mana, aku tersenyum saja sambil mengambil sebuah bungkusan yang sering kupergunakan untuk membunuh tikus-tikus di gubuk reot ini. Bahkan aku masih bisa tertawa saat menyadari betapa tercekiknya leherku setelah lima menit meminumnya.
Warga desa Klamengan geger. Pasalnya, mantan penari tayub yang sudah bertahun-tahun menjadi pemulung itu ditemukan mati bunuh diri di rumahnya. Sedikit sekali yang melayatnya. Di samping tak banyak yang suka terhadap wanita itu, tak ada juga keuntungan yang akan didapatkan dengan mendatangi rumah duka itu. Parahnya lagi, tak ada yang tahu alamat kedua anaknya di Jakarta hingga warga menguburkan secara alakadarnya seteleh sebelumnya sempat ditangani polisi.
Suasana panas di kereta api itu tidak menyurutkan senyum yang terpancar dari dua kakak beradik itu. Terlihat sekali bahwa mereka begitu bahagia. Tak ada yang terpancar dari wajah keduanya selain sinar puas dan rasa rindu yang amat sangat pada seseorang. Gadis itu ingin sekali cepat sampai di kampungnya untuk menyampaikan bahwa dirinya sudah keluar dari tempat kerjanya yang lama dan diterima di suatu biro pelayanan travel. Ia ingin menyampaikan berita gembira itu pada ibunya sekaligus menjemputnya ke Jakarta . Diyakininya bahwa kali ini, ibunya tidak akan menolak lagi karena uang yang didapatkannya lebih halal dari pada sebelumnya.
Gadis itu tersenyum sambil mengusap keringat adiknya. Sebentar lagi, kereta api akan sampai di tempat tujuan, membawa dua gadis itu, Cantika dan Lentika pada berita yang akan mengejutkannya.
(sumber : Annida)
0 komentar:
Posting Komentar