Rabu, 09 November 2011

Mencari Ridho Suami Ada Batasnya

Betapa butuhnya pasutri kepada sikap saling meridhoi, sebab keridhoan antara mereka berdua merupakan pangkal kecintaan, sedangkan kecintaan merupakan salah satu asas kebahagiaan.Bagi pasutri yang tidak berpijak pada pokok iman akan melakukan apa saja dengan sarana apapun untuk mencari keridhoan pasangannya tanpa peduli apapun dan tanpa ambil risiko selain hal keduniaan semata. Itu pun sedikit sekali yang peduli dan mempertimbangkannya. 

Keridhoan suami bagi seorang istri sejati merupakan kepuasan dan puncak harapannya, sementara keridhoan istri bagi suami sejati merupakan kebanggaan dan keberhasilannya. Hal inilah yang memotivasi para suami maupun para istri berusaha untuk saling meraih keridhoan pasangannya. Hanya saja benar-benar terdapat perbedaan yang sangat prinsip antara bentuk usaha pasutri muslim dengan selain mereka di dalam meraih keridhoan ini. Perbedaan itu berawal dari adanya dua hal yang sangat bertolak belakang pada dua macam pasutri tersebut, yaitu iman dan kemunafikan atau kekufuran. 

"Siapa saja yang mencari keridhoan Alloh Subhanahu wa Ta'ala meski dengan kemurkaan manusia, niscaya Alloh akan mencukupinya dari butuh kepada mereka. Dan siapa saja yang mencari ridho manusia dengan kemurkaan Alloh Subhanahu wa Ta'ala, niscaya AIIoh Azza wa Jalla akan timpakan seluruh kebutuhan mereka atasnva." 

Yang kami sebutkan ini sebagiannya saja. Yang jelas secara umum, sang istri tidak diperkenankan menaati suaminya sedangkan di saat yang sama ia bermaksiat Kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, termasuk dalam berbagai jenis tata rias di atas, hanya dengan dalih suaminya senang atau suaminya sangat suka dengan tata riasnya. Sebab yang demikian itu tentu akan menghilangkan mawaddah dan rohmah dari rumah tanggan dan memperkeruh masalah di kemudian hari. 

Sehingga harus tetap dipegangi sabda Rosululloh Shalalloohu 'alaihi wa Salam berikut sebagai syi'ar kita: "Ada dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat sebelum ini, yaitu ... dan wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya telanjang, berjalan menggoda dan berlenggak-lenggok, suka berbuat dosa, ( rambut) kepala mereka condong seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapati bau harumnya. Sesungguhnya bau harumnya surga telah didapati dari jarak sekian dan sekian (jauhnya)." (HR. Muslim: 3971) 

7. Menyanggul rambut di kepala. 6. Memakai pakaian yang tipis dan transparan. 5. Memakai pakaian yang tidak menutup aurot meskipun hanya sebagian aurot saja yang terbuka. 

Dan telah shohih dari 'Aisyah radhialloohu 'anha disebutkan bahwa seorang wanita Anshor menikah dan dia ditimpa sakit sampai rambutnya rontok sehingga mereka hendak menyambungnya. Lalu mereka bertanya kepada Nabi Shalalloohu 'alaihi wa Salam, lalu beliau bersabda: "Alloh Subhanahu wa Ta'ala melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta di sambung rambutnya." (HR. Bukhori:5478) 

Dari lbnu Umar radhialloohu 'anhu berkata: "Nabi Shalalloohu 'alaihi wa Salam melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya, juga wanita yang mentato dan yang meminta ditato". (HR. Bukhori: 5491) 

Karena Nabi Shalalloohu 'alaihi wa Salam melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya. 4. Menyambung rambut lain dengan rambutnya. Dalam ash-shohihain(1) dari jalan 'Alqomah radhialloohu 'anhu, ia berkata: "Abdulloh (bin Mas'ud) radhialloohu 'anhu melaknat wanita yang membuat tato di badannya, mengukir alisnya, dan wanita yang mengikir giginya untuk mempercantik diri. Kemudian Ummu Ya'qub radhialloohu 'anha berkata, 'Apa ini, mengapa engkau berkata seperti itu?' Berkata Abdulloh, 'Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat Rosululloh Shalalloohu 'alaihi wa Salam sebagaimana hal ini juga terdapat didalam al-Qur'an?' Ummu Ya'qub radhialloohu 'anha berkata, 'Demi Alloh, sungguh aku telah membaca al-qur'an dan belum aku temukan!' Maka Abdulloh berkata, 'Demi Alloh, bila kamu membacanya pasti kamu akan menemukannya (yakni dalam ayat): "Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.(QS. Al-Hasyr[59]: 7)'" 

3. Mengikir dan menjarangkan gigi. 2. Mengukir atau menggunting atau mengikis bulu alis. l. Bertato. Ada sesuatu yang harus dipahami bersama, yaitu bahwa tidak semua yang dipandang indah dan elok oleh manusia itu menguntungkan. Bisa jadi banyak hal yang seakan indah namun kenyataannya ia mendatangkan kerusakan dan bahaya. Sehingga wajar dan merupakan sebuah hikmah ilahiyah yang sangat agung bila Alloh Subhanahu wa Ta'ala mengharamkannya. 

Oleh karenanya, meski para suami senang dan puas dengan bentuk maupun mode berhias tertentu tetapi itu diharamkan oleh Alloh Azza wa Jalla, seorang istri muslimah pun tidak akan melakukannya demi keridhoan suaminya. Mengapa? Sebab bila ia melakukannya berarti ia telah mendahulukan keridhoan suami di depan keridhoan Alloh Azza wa Jalla. 

"KatakanIah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Alloh yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khususs (untuk mereka saja) di hari kiamat." (QS. al-A'rof [7]:32)

Salah satu contohnya adalah ketika istri muslimah berhias dalam rangka mencari keridhoan suaminya, maka yang kita dapati ia akan sangat memperhatikan dan berhati-hati dalam memilih perhiasan maupun bentuk berhias yang hendak ia lakukan. Pertimbangannya adalah jangan sampai ia mendapati keridhoan suami namun dimurkai oleh Alloh Azza wa Jalla. Dan sebaliknya bagaimana ia bisa mendapatkan keridhoan suami sebagai buah dari keridhoan Alloh Subhanahu wa Ta'ala. (HR. Tirmidzi 2338, dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi: 2414) 

"Ketaatan itu hanya boleh dalam perkara yang ma'ruf (baik)." ditulis ulang dari majalah al-Mawaddah, thn ke-2, hlm 29-30 1. HR. B ukhori (al-Fath, 10/377) dan Muslim(4/836). (HR. Bukhori:6612 dan Muslim: 3424)

Jilbab Menurut Islam, Kristen dan Yahudi : Mitos dan Realita













Marilah kita buka satu persoalan yang di negara-negara Barat dianggap sebagai simbol dari penindasan dan perbudakan wanita, yaitu jilbab atau tudung kepala. Apakah betul tidak terdapat pembahasan mengenai jilbab di dalam tradisi Jahudi-Kristen ? Mari kita lihat bukti catatan yang ada. Menurut Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. Beliau disana mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: "Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala" dan "Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut isterinya terlihat," dan "Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan."

Hukum Rabbi melarang pemberian berkat dan doa kepada wanita menikah yang tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap "telanjang". Dr. Brayer juga mengatakan bahwa "Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya. Jika kepalanya tidak tertutup dia bisa dikenai denda sebanyak empat ratus zuzim untuk pelanggaran tersebut."

Dr. Brayer juga menerangkan bahwa jilbab bagi wanita Yahudi bukanlah selalu sebagai simbol dari kesopanan. Kadang-kadang, jilbab justru menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakannya ketimbang ukuran kesopanan. Jilbab atau tudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Jilbab juga diartikan sebagai penjagaan terhadap hak milik suami.

Jilbab menunjukkan suatu penghormatan dan status sosial dari seorang wanita. Seorang wanita dari golongan bawah mencoba menggunakan jilbab untuk memberikan kesan status yang lebih tinggi. Jilbab merupakan tanda kehormatan. Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237). Wanita-wanita Yahudi di Eropa melanjutkan menggunakan jilbab sampai abad ke sembilan belas hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Tekanan eksternal dari kehidupan di Eropa pada abad sembilan belas memaksa banyak dari mereka pergi keluar tanpa penutup kepala.

Beberapa wanita Yahudi kemudian lebih cenderung menggantikan penutup tradisional mereka dengan rambut palsu sebagai bentuk lain dari penutup kepala. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang saleh tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi) (S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239). Sementara beberapa dari mereka. seperti sekte Hasidic, masih menggunakan rambut palsu (Alexandra Wright, 19??, hal 128-129).

Bagaimanakah jilbab menurut tradisi Kristen?
Kita sendiri menyaksikan sampai hari ini bahwa para Biarawati Katolik menutup kepalanya yang suruhannya sebetulnya telah ada semenjak empat ratus tahun yang lalu. Tetapi bukan hanya itu, St. Paul (atau Paulus) dalam Perjanjian Baru, I Korintus 11:3-10, membuat pernyataan-pernyataan yang menarik tentang jilbab sebagai berikut: "Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan kepala Kristus adalah Allah. Tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga mengguting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan dicipt akan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena malaikat". (I Korintus 11:3-10).

St. Paul memberikan penalaran tentang wanita yang berjilbab atau berkerudung adalah bahwa jilbab memberikan tanda kekuasaan pada laki-laki, yang merupakan gambaran kebesaran Tuhan, atas wanita yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. St. Tertulian di dalam risalahnya "On The Veiling Of Virgins" menulis: "Wanita muda hendaklah engkau mengenakan kerudung saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam gereja, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu."

Di antara hukum-hukum Canon pada Gereja Katolik dewasa ini, ada hukum yang memerintahkan wanita menutup kepalanya di dalam gereja (Clara M Henning, 1974, hal 272). Beberapa golongan Kristen, seperti Amish dan Mennoties contohnya, mereka hingga hari ini tetap mengenakan tutup kepala. Alasan mereka mengenakan tutup kepala, seperti yang dikemukakan pemimpin gerejanya adalah: "Penutup kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita kepada laki-laki dan Tuhan," logika yang sama seperti yang ditulis oleh St. Paul dalam Perjanjian Baru (D. Kraybill, 1960, hal 56).

Dari semua bukti-bukti di atas, nyata bahwa Islam bukanlah agama yang mengada-adakan dan mewajibkan penutup kepala, tetapi Islam telah mendukung hukum tersebut. Al Qur'an memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Juga memerintahkan wanita beriman agar memanjangkan penutup kepalanya sampai menutupi leher dan dadanya.

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat..... Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya..." (An Nuur:30,31)

Di dalam Al Qur'an jelas tertulis bahwa kerudung sangat penting untuk menutup aurat. Mengapa aurat itu penting ? Hal itu dijelaskan dalam Al Qur'an surat Al Ahzab 59: "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu." (Al Ahzab:59)

Pada intinya, kesederhanaan digambarkan untuk melindungi wanita dari gangguan atau mudahnya, kesederhanaan adalah perlindungan.

Jadi, tujuan utama dari jilbab atau kerudung di dalam Islam adalah perlindungan. Kerudung di dalam Islam tidak sama seperti di dalam tradisi Kristen dimana merupakan tanda bahwa martabat laki-laki berada di atas wanita dan merupakan simbolisasi tunduknya wanita terhadap laki-laki. Kerudung di dalam Islam juga bukan seperti di dalam tradisi Yahudi dimana kerudung merupakan tanda keagungan dan tanda pembeda sebagai wanita bangsawan yang menikah. Kerudung di dalam Islam hanya sebagai tanda kesederhanaan dengan tujuan melindungi wanita, tepatnya semua wanita. Pada falsafah Islam dikenali prinsip bahwa selalu lebih baik menjaga daripada menyesal kemudian. Al Qur'an sangat
memperhatikan wanita dengan menjaga tubuh mereka dan kehormatan mereka atas pernyataan laki-laki yang berani menuduh ketidaksucian seorang wanita, mereka akan mendapat balasan;

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (mereka yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An Nuur 4)

Bandingkan sikap Al Qur'an yang sangat tegas, dengan hukuman yang sangat longgar bagi pemerkosa di dalam Injil:

"If a man find a damsel that is a virgin, which is not betrothed, and there was none to save her. Then the man that lay with her shall give unto the damsel's father fifty shekels of silver, and she shall be his wife; because he hath humbled her, he may not put her away all his days" (Deut. 22:28-29).

Terjemahannya:
"Jika seorang laki-laki menemui seorang gadis yang tidak dijanjikan untuk dinikahkan kemudian memperkosanya, dia harus membayar sebesar lima puluh shekels perak kepada ayah gadis itu. Laki-laki itu harus menikahi gadis tersebut karena perbuatannya dan dia tidak boleh menceraikannya selama hidupnya" (Ulangan. 22:28-29).

Patut ditanyakan, siapa yang sebenarnya dihukum dalam hal ini? Orang yang membayar denda karena telah memperkosa ataukah gadis yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang memperkosanya dan harus tinggal bersamanya sampai dia mati ? Pertanyaan lainnya: Mana yang lebih melindung seorang wanita sikap tegas Al Qur'an atau sikap kendor moral (lax) daripada Injil ?

Beberapa kalangan, terutama di belahan negara-negara Barat, mungkin cenderung untuk menertawakan bahwa kesederhanaan (modesty) berguna untuk perlindungan. Alasan mereka adalah perlindungan yang terbaik yaitu memperluaskan pendidikan, berperilaku yang sopan, dan pengendalian diri. Kami akan mengatakan: semua itu baik tapi tidak cukup.

Jika tindakan yang ada dipandang perlindungan yang sudah cukup, lalu mengapa wanita-wanita di Amerika Utara saat ini tidak berani berjalan sendirian di kegelapan atau bahkan cemas melewati tempat parkir yang sepi ?. Jika pendidikan adalah suatu penyelesaian lalu mengapa Universitas Queen yang terkenal pelayanan pendidikannya terpaksa harus mengantar pulang para mahasiswi di dalam kampus ?. Jika pengendalian diri adalah jawabannya, lalu mengapa kasus pelecehan sex di tempat kerja diberitakan di media masa nyaris setiap hari ?. Contohnya, yang tertuduh melakukan pelecehan sex dalam beberapa tahun terakhir: para perwira Angkatan Laut, Manager-manager,
Professor-professor, Senators, Pengadilan Tinggi (Supreme Court Justices), dan bahkan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton sendiri !

Saya tercengang saat saya membaca statistik yang ditulis dalam sebuah pamflet yang dikeluarkan oleh Dean of women's office di Universitas Queen berikut :

* Di Canada, setiap 6 menit ada seorang wanita yang mengalami pelanggaran sexual.

* 1 dari 3 wanita di Canada akan mengalami pelanggaran sexual pada suatu saat dalam kehidupannya.

* 1 dari 4 wanita berada dalam resiko diperkosa atau usaha pemerkosaan dalam kehidupannya.

* 1 dari 8 wanita akan mengalami pelanggaran sexual saat menjadi mahasiswi unitersitas.

* Sebuah penelitian menemukan bahwa 60% dari mahasiswa laki-laki mengatakan mereka akan berbuat pelanggaran seksual jika mereka yakin mereka tidak ditangkap.

Ada sesuatu yang secara fundamental amat sangat keliru di masyarakat kita ini [negara Barat, penerjemah] Suatu perubahan yang radikal sangat perlu dilakukan di dalam gaya hidup dan budaya kita ini. Budaya hidup sederhana (modesty) teramat sangat dibutuhkan.Sederhana dalam berpakaian, dalam bertutur kata, dan dalam sopan santun berhubungan antara pria dan wanita. Kalau perubahan tidak dilakukan, maka angka-angka statistik yang kelabu di atas akan makin suram dari hari ke hari hingga benar-benar semuanya terjerembab dalam kegelapan. Dan sialnya, penanggung beban masyarakat yang paling berat adalah para wanita.

Sesungguhnya kita semua menderita sebagaimana Khalil Gibran (sastrawan nasrani dari Libanon, penerjemah) pernah mengatakan: "...for the person who receives the blows is not like the one who counts them." (Khalil Gibran, 1960, hal 56). Oleh sebab itu, sebuah masyarakat seperti Perancis yang pernah mengusir seorang gadis dari sekolahnya lantaran si gadis menampilkan kesederhaan dengan mengenakan tudung, sesungguhnya hanyalah tindakan yang mencelakakan masyarakat itu sendiri.

Adalah sebuah ironi maha besar di dalam dunia yang kita tinggali saat ini. Secarik tudung penutup kepala mereka katakan sebagai simbol 'kesucian' saat dikenakan oleh seorang biarawati Katolik, padahal dalam ajaran Kristiani hal itu untuk menunjukkan kekuasaan pria. Namun apabila secarik tudung kepala tersebut dikenakan oleh seorang muslimah untuk keperluan melindungi diri, justru dituduh sebagai simbol penindasan pria atas wanita!

Jumat, 04 November 2011

Maa sya'a Allah

Ketika saya sedang belajar di luar negeri,  seorang sahabat dari Pakistan bertanya, "Erwin, kamu sudah punya anaka berapa?". "Empat," jawabku lagi. "Maa sya'a Allah," respon sahabat tersebut dengan muka gembira.

Saya agak terkejut sedikit. Lah sudah punya anak empat, kok direspon dengan Masya Allah. Apa punya anak banyak menjadi musibah di matanya? Ternyata selidik punya selidik, maksud Masya Allah yang saya pahami selama ini ternyata salah.

Kebanyakan orang di negara kita mengaitkan kata Masya Allah apabila mereka melihat atau mendengar suatu kejelekan ataupun maksiat.

Masya Allah, tega benar orang itu memakan badan orang yang dibunuhnya.
Masya Allah, kenapa ustadz itu menyamakan al-Quran dengan kitab porno.
Masya Allah, kasihan anak itu ya, otaknya tidak punya tempurung.
Masya Allah, Buku Petunjuk bagi Pedofilia Dijual Bebas di Amazon.com.
Masya Allah! Rombongan DPR yang Pergi ke Makkah 67 Orang.
Masya-Allah pemahaman ini sungguh berbahaya.
Masya Allah, bebal nian dikau mas.
Masya Allah kulihat di TV tulisan Front Pembela Islam diganti menjadi Front Pembela Iblis.

Dan banyak contoh lainnya.

Saya dulunya dan kebanyakan orang, salah memahami arti dari Maa sya'a Allah. Padahal maksud kata tersebut lebih keterkejutan melihat atau mendengar suatu berita gembira atau ajaib. Ibn Kathir menyatakan bahawa terdapat dikalangan salaf apabila melihat perkara yang ajaib mengenai harta dan anak akan menyebut "Maa-Syaa-aAllah La Quwata illa billlah".

Jadi mengaitkan Maa sya'a Allah dengan perkara-perkara buruk, seolah-olah menyatakan "Apa boleh buat, memang Allah sudah menakdirkan berbuat maksiat" adalah salah kaprah. Kata yang lebih tepat kalau melihat kemaksiatan adalah Astagfirrullahhalazim (Aku mohon ampun kepadamu Ya Allah).

Sedangkan kesalahan kedua adalah dengan menyebut Ma secara pendek sambil menyatuka dengan Sya yang menjadi MaSyaa (مشاء الله). Kalau anda menyebut Masya Allah, ini berati "Penyebar adalah Allah". Kan bahaya tuh. Masakan perkara jelek itu disebarkan oleh Allah. Yang betul adalah dengan menyebut Maa secara panjang dan penulisannya terpisah dari Sya. Jadi tulisan yang betul adalah Maa sya'a Allah (ما شاء الله). Coba bandingkan tulisan Arabnya. Anda akan segera menemukan perbedaanya.

Cara Mudah Istinja'


Bayangkan anda baru saja tiba di Adelaide airport, ketika keinginan buang hajat besar tidak tertahankan lagi. Setelah melewati petugas imigrasi, langsung saja anda berlari menuju toilet terdekat. Untung saja, toiletnya masih kosong karena hari masih pagi sekali. Tanpa berpikir panjang anda langsung melepaskan hajat yang sudah tidak tertahankan lagi. Ketika hendak membersihkan dari hajat tersebut, anda menjadi pucat-pasi.

"Waduh, kemana selang airnya...bagaimana saya harus membersihkan hajat saya?" anda menjadi panik.

Yang tersedia disitu cuma tissue toilet. Anda berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan air.

"Apakah aku harus membuka "flusher" ini untuk mengambil airnya?"

Kalaupun bisa dibuka, bagaimana cara mengambil airnya? Puyeng dah...

Memang puyenglah, kalau cara membersihkan diri dari hajat besar yang diketahui cuma memakai air. Lah, itu yang memang kita pelajari sejak kecil di pelajaran agama. Tidak ada cara lain. Apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara sendiri, kalau buang hajat, air harus tersedia dengan melimpah. Jangan heran, toiletpun selalu becek. Berlainan dengan toilet di sini yang selalu dalam keadaan kering dan bersih.

Tidak Wajib Bersuci Dengan Air

Sebenarnya pendapat yang mengatakan wajib membersihkan hadas besar atau kecil (istinjaa') dengan air, tiada sumbernya sama sekali. Yang ada adalah pendapat yang mengatakan bahwa penggunaan air itu lebih baik dari pada benda-benda lain seperti batu.

Zaman Rasulullah SAW dulu, kebiasaanya adalah menggunakan tiga buah batu yang berbeda untuk membersihkan sisa-sisa yang menempel pada saat buang air. Dalam istilah fiqh ini disebut dengan istijmar, yaitu menggunakan benda-benda selain air untuk beristinja'. Kenapa bukan kertas yang digunakan pada saat itu?

Dr Yusuf al-Qaradhawi berkata, zaman dulu ulama' tidak menyukai istinja' dengan kertas, karena kertas adalah bahan penting untuk menulis. Namun sekarang telah tersedia kertas khusus untuk toilet yang dikenali dengan "toilet roll". Maka beliau berkata, sudah tentu kertas tisu ini lebih baik dari istijmar (istinja') dengan menggunakan batu atau kerikil di zaman salaf. (Fiqh ThaHarah)

Bagaimana Cara Memilih Benda-Benda Tersbut?

Selain batu, benda yang bisa digunakan adalah semua yang memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
  1. Bisa untuk membersihkan bekas najis.
  2. Tidak kasar seperti batu bata dan juga tidak licin seperti batu akik, karena tujuannya agar bisa menghilangkan najis.
  3. Bukan sesuatu yang bernilai atau terhormat seperti emas, perak atau permata. Juga termasuk tidak boleh menggunakan sutera atau bahan pakaian tertentu, karena tindakan itu merupakan pemborosan.
  4. Bukan sesuatu yang bisa mengotori seperti arang, abu, debu atau pasir.
  5. Tidak melukai manusia seperti potongan kaca beling, kawat, logam yang tajam, paku.
  6. Tidak boleh juga menggunakan tulang, makanan atau roti, kerena merupakan penghinaan.
  7. Harus suci, sehingga beristijmar dengan menggunakan tahi kotoran binatang tidak diperkenankan.
Jumhur (mayoritas) ulama mensyaratkan mesti memakai benda padat, bukannya yang cair. Namun ulama Al-Hanafiyah membolehkan dengan benda cair lainnya selain air,  seperti air mawar atau cuka.

Jadi teringat dengan cerita seorang kawan, ketika kami dalam perjalanan pulang dari Melbourne dengan mobil. Di tengah perjalanan, tiba-tiba dia berkeinginan untuk buang hadas kecil. Buru-buru aku menghentikan mobil dan dia segera meloncat dari mobil.

"Pakai apa kamu membersihkannya. Kan kita tidak punya air?" aku bertanya dengan heran ketika dia kembali ke mobil.

"Ini nih...pakai minuman Fanta merah," jawabnya dengan polos.

Pecahlah ketawaku. Pada saat itu dia tidak tahu bagaimana cara membersihkan diri tanpa menggunakan air. Tapi ijtihad dia tepat, karena menggunakan Fanta merah, bahan cair yang diizinkan dalam mazhab Hanafi.

Bila mengacu kepada ketentuan para ulama, maka kertas tissue termasuk yang bisa digunakan untuk istijmar. Namun para ulama menambahkan bahwa sebaiknya selain batu atau benda yang memenuhi kriteria, gunakan juga air agar istinja'  itu menjadi sempurna dan bersih.

Saran saya adalah menggunakan gabungan tissue toilet dan air ketika sedang berada diluar rumah. Anda cukup membawa botol mineral water yang berukuran sedang kemana anda pergi. Jadi sebelum menggunakan air dari botol tersebut, gunakan tissue toilet terlebih dahulu. Bersihkan dengan tissue toilet hingga betul-betul hilang warna dan bau. Setelah itu baru dicuci dengan air. Dengan demikian air dari botol tersebut mencukupi, dan pada saat yang bersamaan toilet tidak becek.

Kalau ketinggalan botol air, bagaimana ya?

Kalau begitu cukup gunakan tissue toilet saja. Tapi harus betul-betul bersih supaya tidak ada bau yang tersisa. Cukup sering saya mencium bau dari orang yang tidak bersih membersihkan sisa-sisa kotoran, baik ketika berada dalam bus ataupun di kantor. Sebagai seorang Muslim, yang terkadang harus sholat di surau atau mesjid ketika sedang di luar rumah, anda kan tidak ingin orang lain mencium bau tersebut ketika sedang sholat berjamaah bukan?

Anda bisa menerapkan cara ini untuk anak-anak anda juga. Saya sangat tegas dalam hal ini kepada anak-anak saya. Ketika anak laki-laki saya masih bersekolah di sebuah International School di Malaysia, saya sering bertanya kepadanya apakah ada membersihkan ketika sudah buang air kecil?

Dia menjawab, bahwa dia tidak membersihkannya karena tidak ada air dalam toilet tersebut, dan kawan-kawannya tidak membersihkannya juga.

"Apakah ada tissue toilet?" tanyaku lagi.

"Ada,"  jawab anakku.

"Nah gunakan tissue toilet untuk membersihkan dari hadas kecil. Karena siksa berat akan menanti di kubur, kalau lupa melakukan hal tersebut. Islam itu mudah bukan?" aku menjelaskan dengan panjang lebar.

Selasa, 01 November 2011

Aku Ingin Kembali

”Hey, gak boleh melamun!” aku menyikut Aldisa, adik kelasku di SMA dulu. Kini ia sedang mengurus administrasi di kampus yang sama denganku.

“Eh iya, Mbak.” Ia tersenyum, tapi lalu mengembalikan tatapannya ke posisi semula. Aku sadar betul apa yang diperhatikannya. Seorang wanita berjilbab besar dengan gamis marun sedang khusyuk membaca Al-Qur’an. Ia memang tampak menyejukkan di tengah KRL ekonomi yang pengap dan gersang. “Aku kagum mbak sama mereka itu.” Ujar Aldisa bersemangat. “Kemarin, waktu aku pertama kali nyampe Jakarta, aku ketemu sama mbak-mbak kayak gitu. Nyapa aku ramah banget, mungkin kasian liat wajah ndeso-ku ya mbak.” Tambahnya lugu. 

“Hati-hati, Nduk. Mereka nyapa ada maunya!” jawab Rina sahabatku dengan ketus, menatap sinis ke arah wanita yang mengaji itu.

“Lho, maksudnya mbak?”

“Iya awalnya mereka ngajak kenalan, trus lama-lama ngajakin kamu ngaji di pengajian mereka.”

“Lah, emang kenapa toh mbak aku ndak boleh ikut ngaji sama mereka? Aku kan mau jadi sholehah juga kayak mereka..”

“Sudahlah, nanti kamu akan tahu sendiri.”
“Cukup, Rin.” Aku memutus pembicaraan itu.

Aldisa mengangguk seolah mengerti maksud kami. Aku faham betul, Rina sahabatku dua tahun terakhir ini memang tidak suka wajah-wajah sok alim mereka, tidak suka sapaan ramah yang dibuat-buat katanya, intinya ia tidak suka dengan para aktivis mesjid itu.
***
“Kamu mau pergi kemana toh, Dis? Temenin mbak pergi ke toko buku yuk hari ini!” aku memperhatikan Aldisa yang tengah bersiap di depan cermin, mematut-matutkan wajahnya dengan jilbab merah muda yang katanya baru dibelinya kemarin,

“Cantik ndak mbak kalo aku pake ini?” tanyanya masih sibuk di depan cermin. Aku mengangguk acuh, “Setiap wanita muslimah berjilbab itu akan terlihat lebih cantik, Dis.”
“Iya mbak? Wah kata-kata Mbak Ayu mirip dengan kata-kata mbak Aini, mentor ngajiku.”

“Ngaji?”

“Iya mbak, aku mulai ngaji sejak minggu lalu sama mbak Aini. Mbaknya baik, aku belajar banyak tentang Islam. Mbak Aini juga yang bikin aku mantep pake jilbab ini, insya Allah ini akan seterusnya mbak.”

Aini Althafunissa, aku mengenalnya baik saat satu organisasi di tingkat satu dahulu. Semua orang menyebut kami dua serangkai karena kami selalu terlihat bersama. Kami sama-sama menjalankan amanah dakwah kampus, mengikuti halaqoh rutin tiap pekan, berlomba mengikuti kajian rutin di mesjid kampus. Sampai saat itu,

"Ayu, aku pikir kamu sudah terlalu dekat dengan Aldi.”
“Aku cuma temenan sama dia, gak ada hubungan apa-apa. Kamu tenang aja ya Aini…” saat itu aku menenangkannya yang berwajah cemas. Meskipun wajahnya masih menyimpan kekhawatiran, ia mengangguk juga, “Iya aku percaya sama kamu, Yu. Kita sudah dewasa, sudah paham mana yang baik dan yang buruk.”

Aku mengangguk mengiyakan.

Tapi hubunganku dengan Aldi memang tidak berjalan seperti teman biasa, ia tambah sering mengirimkan sms padaku, menelponku bahkan untuk membahas hal yang tidak penting. Pembicaraan kami berubah dari masalah kader, syuro, amanah, menjadi rayuan gombal pria dan wanita. Sadar bahwa hubungan kami salah, sadar bahwa orang-orang di sekeliling akan memprotes kami, maka aku pun menjauh perlahan dari komunitasku. Aku jarang hadir di kajian, halaqoh pekanan jadi prioritas ke sekian, hingga akhirnya ke anehanku tercium juga. Aku diputihkan dari amanah setelah aku bersikukuh mempertahankan hubungan tanpa statusku dengan dia.
           
“Dia berjanji akan menikahiku setelah lulus.”
“Kami tidak pernah jalan berdua layaknya orang pacaran.”
“Lagipula kami hanya tinggal menunggu waktu sampai menikah nanti.”


Begitu kalimat-kalimat pamungkasku ketika teman-teman bertanya perihal hubungan kami. Aku tersenyum kecut setiap mengingatnya.
“Mbak, aku berangkat ya. Assalammu’alaikum..” suara Aldisa mengembalikan kesadaranku yang sempat melayang ke masa lalu tadi.

“Eh, iya.. wa’alaikumsalam..” aku menghela nafas, mematikan televisi dan memilih merebahkan tubuhku di atas karpet beludru. Ada rasa aneh menyeruak di hatiku.
***

“Ayu, malem minggu nanti kita karokean yuk!” ajak Rina membuyarkan lamunanku sambil mencomot kacang kulit yang kuhidangkan di piring tadi sebagai teman nonton dvd. Aku menggeleng pelan, “Lagi gak mood..”

Alis Rina berkerut, “Kamu aneh belakangan ini. Diajak jalan selalu menghindar, ada apa sih? Padahal kemarin itu aku mau kenalin kamu sama David, kayaknya dia naksir kamu tuh.”

“Gak minat.” Jawabku pendek.
“Hey, kalo gini terus, gimana kamu mau ngelupain Aldi??” ujarnya sewot.
“Jangan pernah sebut nama itu lagi di depanku.” Mataku menyala, ada yang terluka di sini, tepat di ulu hati setiap nama itu terdengar di telingaku. Kenangan buruk itu selalu terasa menyakitkan,

“Ibuku tidak menyetujui hubungan kita, Yu.”
“Bukankah sejak awal begitu? Dan kau berjanji akan tetap memperjuangkanku hingga ibumu luluh?”

“Awalnya seperti itu, tapi sekarang tidak bisa..”
“Maksudmu, kau akan meninggalkanku?”
“Aku tidak mau melawan ibu.”
“Hey, Aldi yang kukenal tidak selemah ini! Kemana Aldi yang mempertahanku meski orang-orang menolak kita? Apa dia sudah tenggelam ke laut?!”

Tepat sebulan setelah pertengkaran itu, undangan berwarna merah marun mampir ke tempat kostku. Nama seseorang yang sangat kukenal tertera disitu, Aldi Pratama dan nama gadis yang disandingkan dengan namanya semakin menyesakkanku. Layla Fatimah, adik tingkatku, sempat satu kepanitian denganku saat aku masih aktif di DKM. Aku hampir gila. Belum lagi membayangkan bisik-bisik teman-teman dan komunitas rohis yang kutinggalkan dahulu. 
Saat kondisiku tengah terpuruk itulah, aku mengenal Rina lalu akrab hingga kini. Sedikit demi sedikit, atribut ‘keakhwatanku’ terkikis. Jilbab tebal dan lebarku sudah tidak terlihat indah di pandanganku, kajian rutin per pekan tak terlihat menarik lagi dibanding kongkow di mall atau nonton di bioskop. Rok panjangku terasa membatasi. Jadilah kini jeans, kaos ketat dan jilbab modis menemani keseharianku.

“Hey, Disa… mau kemana? Malem mingguan ya?” Tanya Rina penasaran, aku memperhatikan Aldisa sudah rapi dengan jilbabnya keluar dari kamar.

“Iya Mbak, malem mingguan sama temen-temen ngaji, aku mau mabit Mbak.” Aldisa tersenyum cerah sekali, dan aku baru menyadari rok hitam panjang yang dikenakannya. Bukankah baru kemarin ia bilang tak punya satu potong rok pun dalam lemarinya.

“Roknya baru?” tanyaku menyelidik. Aldisa tersenyum, “Dikasih Mbak Aini…” jawabnya malu-malu, “Tapi aku janji kalau punya uang nanti, aku mau beli rok yang banyak..” ujarnya semangat.

“Buat apa? Jeansmu memang pada kemana?” Tanya Rina menunjukkan gelagat tidak suka.

“Aku berniat pake rok untuk seterusnya Mbak…soalnya aku gak nyaman pake jeans yang membentuk, gak nyar’i banget!”

Rina mengangkat bahu. Aku seperti disengat aliran listrik. Lagi, ada sesuatu yang memberontak di hatiku.
***
Senin sore, sepulang kuliah, aku dan Rina memilih makan di sebuah warung tenda dekat kampus. Sore ini agak lenggang, suasana ujian membuat para mahasiswa lebih memilih tinggal lebih lama di kamar masing-masing bersama bahan ujian dan catatan kuliahnya. Rina tengah menceritakan pria incarannya yang baru ia kenal minggu lalu, sampai tiba-tiba aku melihat sosoknya, Aini Althafunnisa.

Ia mengucapkan salam dan menyalamiku serta Rina seperti biasa tanpa rasa kikuk. Aku salah tingkah, Rina melirik sinis masih dengan kebenciannya dengan para aktivis.

“Apa kabar Yu?” tanyanya ramah seperti biasa.

“Baik.” Jawabku salah tingkah. Ia mengangguk, agak lama kami hanya saling diam.

“Kamu sekostan sama Aldisa yah, Yu? Salamin ya..”
“Iya.” Jawabku singkat. Aini mengangguk lagi, mungkin ia pikir aku tak mau berbicara dengannya. Padahal aku hanya sedang speechless, jujur aku lebih ingin memeluknya dari pada ngobrol panjang dengannya. Aku lebih ingin menangis di pundaknya ketimbang berjabat tangan dengannya.

Ia pergi setelah menerima bungkusan pesanan makanannya dan mengucapkan salam untuk pamit. Aku memperhatikan punggungnya yang semakin mengecil.

Sepulang dari warung tenda, aku mampir ke kostan Rina untuk meminjam beberapa buku bahan ujian. Kostan Rina tampak lebih mentereng dari kostanku, maklum ia salah satu anak pejabat pemerintahan di kota asalnya. Ia membiarkan aku merebahkan tubuh di tempat tidurnya yang empuk sementara ia keluar sebentar untuk membeli cemilan. Kuperhatikan tiap sudut kamarnya, meskipun ini bukan pertama kali mampir ke tempatnya, aku selalu senang memperhatikan detail kamarnya. Foto-foto yang terpajang, buku-buku yang berserakan di mejanya sampai yang tersusun rapi di rak bukunya, album-album kenangannya, koleksi kaset dan CDnya.

Mataku menyipit, menangkap satu kaset bersampul grup nasyid yang sangat kukenal. Letaknya memang berada di pojok, hampir berdebu karena mungkin jarang dikeluarkan dari tempatnya. Sejak kapan Rina suka nasyid? Perlahan kubuka kaset itu, rupanya ada sebuah foto di dalamnya. Tiga orang gadis berjilbab besar berbaris rapi, salah satunya berwajah sangat familiar.

Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu
Berhimpun dalam naungan cintaMu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakan syariah dalam kehidupan
Kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintaNya
Tunjukilah jalan-jalanNya
Terangilah dengan cahyaMu yang tiada pernah padam
                                              Divisi Keputrian SMAN 1 Probolinggo

Penggalan do’a rabithoh tertera di balik foto yang kupegang. Aku tercekat, bersamaan dengan kedatangan Rina. Ia merebut paksa foto dalam genggamanku.

“Sejak kapan kau suka melihat barangku tanpa izin?!”
“Maaf…” aku tertunduk merasa bersalah.

“Sudahlah… ini masa lalu.” Ia melempar lembaran foto itu ke lantai, ia berusaha menunjukkan tidak ada apa-apa meski aku dapat melihat tatapan nanar di matanya.

Selasa dini hari, kudengar sayup tilawah dari balik dinding kamar Aldisa. Akhir-akhir ini, aku memang lebih sering mendengar adik kelasku itu membaca mushaf. Aku juga jadi sering mendengar gemericik air keran ketika sepertiga malam tiba.  Malam ini aku tergugah untuk ikut terbangun dan mendirikan qiyamul lail yang kini sangat jarang kulakukan.

Aku menangis tanpa bisa berkata apa-apa setelah menghabiskan dua rakaatku. Aku terlampau malu mengutarakan resah dan sedihku, setelah semua yang aku lakukan selama ini. Wajah-wajah teman seperjuanganku di DKM berkelebat, bergantian satu-satu. Aku semakin sendu. Terlebih jika mengingat Rina, saat aku tanpa sengaja melihat fotonya masa SMA dimana akhirnya aku tahu asal muasal kebencian Rina pada aktivis.

Ia salah satu korban kekecewaan, kecewa pada jama’ah manusia dalam kumpulan rohis. Ia terlalu berharap anak rohis itu sempurna, tidak melakukan kesalahan sekecil apapun. Namun ia lupa, kalau anak rohis hanyalah kumpulan manusia, kadang khilaf dan alpa. Akhirnya ia memilih lepas dari komunitas keislaman dimana pun karena kekecewaan itu, sampai saat ini.

Lalu, bayangan saat awal aku memperoleh hidayah terekam jelas.

“Berbahagialah wahai orang asing.. berbahagialah wahai orang asing.." sabda itu terdengar begitu menyejukkan kala itu, saat rok bahan panjang menjadi benda tabu digunakan oleh gadis seusiaku, saat aku beringsutan mencari kaos kaki walau hanya untuk membeli bakso di depan rumah. "Dien ini datang dalam keadaan asing, ditolak bahkan di negeri kelahirnnya." mataku berkaca, lagi.. sabda ini terasa begitu mententramkan dikala perubahan cara dudukku saat dibonceng motor diprotes adikku, saat jilbabku yg memanjang menimbulkan tanda tanya sanak saudaraku. Diselidiki isi pengajianku, siapa teman-temanku, apa buku bacaanku. Lalu saat isu bom mengguncang media tanah air, dimana ibu dan ayah selalu disuguhi berita teroris dengan tampilan islami. Ponselku tiap hari berdering,ditanya ini dan itu. "Berbahagialah wahai orang asing.." sabda itu kembali melembutkan hatiku, sampai kedua orang tuaku akhirnya mengerti dengan pilihanku di jalan ini.

Tangisku pecah sampai pada rekaman jejakku tiba di episode kelalaianku diserang virus merah jambu, memilih lepas dan akhirnya kembali ke masa jahiliyah. Mataku yang masih sembab memastikan jarum jam dindingku, pukul 04.00 dini hari.  Kuraih ponselku, kutekan nomor yang masih sangat lekat diingatanku.

“Assalammu’alaikum..” sapaan suara yang sangat kukenal menjawab di seberang sana. Aku masih tak kuasa berkata. “Assalammu’alaikum, maaf ini siapa?” tanyanya lagi. Ini akibat aku memutuskan untuk berganti nomor saat itu. Pastilah Aini tidak tahu nomorku.

Aku menangis sesungukan, “Ain…” ujarku parau.
Ia terdiam. Entah ikut hanyut dalam tangisku atau penasaran menebak siapa pemilik suara iseng yang menelponnya dini hari.

“A..yu…” tebaknya terbata agak ragu. “Kaukah?” tanyanya lagi.
“Aku ingin kembali…” ujarku tercekat menahan sesak yang memuncak.
 
 
by Desti Adzkia