Jalinan ukhuwwah (persaudaraan) antara sesama Muslim sangat berperan dalam membangun persatuan Islam. Sejak dini, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah memberikan perhatian terhadap masalah ini setibanya di kota Madinah. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam memaparkan sekian banyak hak yang harus ditunaikan seorang Muslim kepada saudaranya seiman. Saling menghormati, membantu yang papa, mengingatkan yang salah dengan bijaksana, memenuhi hak-hak persaudaraan, dan masih banyak konsekuensi ukhuwwah lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu secara rinci di sini. Dari sinilah kokohnya pertautan dan eratnya hubungan antara mereka terwujud.
Akan sangat indah bila di tengah kaum Muslimin terbentuk semangat îtsâr (lebih mengutamakan kepentingan orang lain) tanpa pamrih duniawi apapun saat meringankan beban orang yang kesulitan. Akan sangat indah jika setiap insan Muslim sangat akrab dengan sesama Muslim, kendatipun mereka tidak terkait sama sekali dengan hubungan darah, pekerjaan maupun perniagaan. Akan sangat indah sebuah masyarakat Muslim bila kesombongan, hasad dan kebencian sirna dari hati mereka dan tergantikan oleh saling mencintai dan menyayangi sesama serta menyukai apa yang disukai oleh orang lain.
Saat ini menjalin tali persaudaraan dengan sesama Muslim kerap didengungkan oleh banyak pihak, baik dari kalangan kepartaian, pergerakan atau organisasi sosial lain serta pihak-pihak yang sangat berkepentingan dengan merapatnya kaum Muslimin sebanyak-banyaknya di pihak mereka. Isu ukhuwwah Islamiyah pun digulirkan untuk berbagai kepentingan duniawi. Ujung-ujungnya (dalam konteks kepartaian misalnya) adalah agar jumlah simpatisan bertambah banyak dan perolehan suara pun kian menggelembung. Otomatis kursi di dewan perwakilan akan bertambah.
Manakala sasarannya duniawi, aturan-aturan syar’i pun kurang diperhatikan. Siapapun boleh bergabung dan berlabuh, demi peningkatan jumlah suara. Termasuk orang yang berakidah menyimpang dengan mengatakan Allâh Ta'âla dimana-mana, atau orang yang suka meminta-minta kepada orang yang telah mati, orang fasik dengan kemaksiatannya, selebritis, pelaku bid’ah yang secara implisit telah menganggap Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam belum menyampaikan tugas dengan sempurna. Kepada mereka semua dibukakan pintu lebar-lebar, bahkan juga kepada orang kafir yang jelas-jelas ingkar kepada Allâh Ta'âla dan syariat-Nya. Wallâhul Musta’ân.
Itulah gambaran pembentukan ukhuwwah Islamiyyah yang carut marut atas dasar hawa nafsu. Dapat diyakini, mereka tidak akan mengharapkan persaudaraan dari orang yang telah menuduh ibunya dengan perbuatan-perbuatan yang tak senonoh. Sementara orang yang tidak menghormati Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya malah diterima.
Bergaul dengan siapa saja boleh, akan tetapi bagi yang masih lemah iman dan dangkal keyakinan tidak boleh akrab dengan orang-orang yang justru akan membahayakan keyakinannya. Menjalin ukhuwwah dengan siapa saja silahkan, namun tidak dengan menggadaikan aturan Islam. Apalagi bila motivasinya sekedar mencari kawan semata, bukan dalam rangka mendakwahinya atau menegakkan amar ma’rûf nahi munkar.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah menceritakan betapa ukhuwwah yang berlandaskan cinta dan benci karena Allâh Ta'âla, tanpa pamrih duniawi apapun akan menghasilkan kecintaan Allâh Ta'âla bagi seorang Muslim. Dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Ada seorang lelaki mengunjungi kawannya di kampung lain.
Kemudian Allâh Ta'âla mengutus malaikat untuk mengintai perjalanannya.
Malaikat itu mendatanginya lalu berkata: “Kemana engkau akan pergi”?
Ia menjawab: “Saya ingin mengunjungi saudaraku di kampung ini.”
Sang malaikat bertanya:
“Apakah ada tanggungan yang mesti engkau bayarkan kepadanya?”
Ia menjawab:
“Tidak. Saya mengunjungi tiada lain karena aku mencintainya karena Allah Ta'âla”.
Sang malaikat kemudian mengatakan:
“Sesungguhnya aku ini utusan Allâh Ta'âla,
ingin mengabarkan bahwa Allâh Ta'âla telah mencintaimu
sebagaimana engkau mencintai orang itu karena-Nya.”
(HR. Muslim no. 4656)
Kemudian Allâh Ta'âla mengutus malaikat untuk mengintai perjalanannya.
Malaikat itu mendatanginya lalu berkata: “Kemana engkau akan pergi”?
Ia menjawab: “Saya ingin mengunjungi saudaraku di kampung ini.”
Sang malaikat bertanya:
“Apakah ada tanggungan yang mesti engkau bayarkan kepadanya?”
Ia menjawab:
“Tidak. Saya mengunjungi tiada lain karena aku mencintainya karena Allah Ta'âla”.
Sang malaikat kemudian mengatakan:
“Sesungguhnya aku ini utusan Allâh Ta'âla,
ingin mengabarkan bahwa Allâh Ta'âla telah mencintaimu
sebagaimana engkau mencintai orang itu karena-Nya.”
(HR. Muslim no. 4656)
Semoga Allâh Ta'âla memudahkan jalan bagi kaum Muslimin menuju persatuan dan persaudaraan di dalam cinta-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar