بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا (بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Mukadimah
Dalam hidup yang singkat ini, banyak orang terlena dengan nikmat usia yang dimilikinya. Padahal, kata pepatah Arab, manusia tak ubahnya dari sekumpulan hari-hari. Setiap kali satu hari berlalu, berlalu pula sebagian dari umur manusia di dunia ini. Jika seseorang hari ini berusia 10 tahun, maka pada tahun depan, di hari yang sama, ia telah menjadi 11 tahun. Saat ia merayakan ulang tahunnya, orang mengucapkan “selamat panjang umur.” Sesungguhnya, umurnya tidak pernah menjadi lebih panjang. Bahkan sebaliknya, jatah usianya di dunia ini makin berkurang.
Dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an, Sayyid Qutb mengatakan, “Pada surah yang hanya memiliki tiga ayat ini terkandung suatu manhaj yang menyeluruh tentang kehidupan umat manusia sebagaimana yang dikehendaki Islam. Ia meletakkan suatu konstitusi Islami dalam kehidupan seorang muslim, tentang hakikat dan tujuan hidupnya yang meliputi kewajiban dan tugas-tugasnya. Suatu bukti bahwa surah ini merupakan mukjizat Allah yang tiada seorang pun dapat melakukannya.” Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata, “Seandainya saja al-Qur’an tidak diturunkan, niscaya satu surah ini cukup menjadi petunjuk manusia. Karena di dalamnya terkandung seluruh pesan-pesan al-Qur’an.”
Allah swt berfirman,
(وَالْعَصْرِ﴿١
“Demi masa.”
Para ulama menafsirkan kata “al-’Ashr” di sini dimaksudkan beberapa hal. Pertama: Waktu (Masa). Menurut Ibn Abbas, kata ‘Ashr di sini sangatlah tepat jika ditafsirkan sebagai waktu. Sebab, Allah swt memang sangat memberikan perhatian kepada perputaran orbit waktu. Banyak orang rugi akibat tidak memahami hakikat waktu dengan menghabiskannya secara sia-sia. Kedua: Kata ‘Ashr di sini berarti shalat Ashar. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari – Muslim, Rasulullah saw dikabarkan telah bersabda, “Jagalah shalat-shalatmu, dan shalat Ashar” Ketiga: zaman Nabi saw. Kita tahu, periode kehidupan Nabi saw adalah periode terbaik sejarah peradaban manusia. Keempat, sebagian ulama menafsirkannya sebagai Tuhan pemilik waktu. Ketika Allah swt berfirman, “demi masa” hendaklah dipahami sebagai “Demi Tuhan, pemilik peredaran waktu.”
Allah swt kemudian berfirman,
(إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴿٢
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”
Ayat ini merupakan jawaban dari sumpah Allah tentang waktu. Secara bahasa, Allah swt menggunakan dua penegasan sekaligus dalam ayat ini. Yaitu, kata “inna” dan huruf “lam” pada kata “fi”. Hal ini menunjukkan bahwa manusia, sebagai objek dialog wahyu Allah kepada rasul-Nya, acap lengah dengan waktu yang dimilikinya. Sehingga Allah tegaskan bahwa orang seperti itu akan benar-benar hidup dalam kerugian. Menurut Ibn Abbas, ketika ayat ini diturunkan oleh Allah swt, orang-orang yang tengah disoroti adalah sekelompok kaum Musyrikin Mekah. Mereka itu adalah al-Walid bin al-Mughirah, Ash bin Wail, Al-Aswad bin Abdul Muthalib, dan Aswad bin Abdul Yagust. Tokoh-tokoh musyrikin Mekah ini selalu asyik berleha-leha tanpa menyadari perubahan kerut muka di wajahnya, uban menguasai kepalanya dan kesehatan badan yang mulai menurun akibat dimakan usia.
Orang seperti ini pasti benar-benar berada dalam kerugian. Sama halnya dengan saudara-saudara kita yang asyik terlena dalam nina-bobo syaitan. Lihatlah, bagaimana para anak muda menghabiskan waktunya di depan tv, bermain game, playstation, browsing internet dan lain-lain. Mereka telah membuang waktu dan tanpa sadar telah “disembelih” olehnya. Pepatah Arab mengatakan, waktu laksana pedang, bila engkau tak menggunakannya, ia akan memotong usiamu.
Kerugian ini tentu saja bagi mereka yang berleha-leha. Sebab, Allah swt kemudian memberikan pengecualian kepada sekelompok lainnya. Ia berfirman,
(إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ﴿٣
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Pengecualian itu diberikan kepada kelompok orang yang beriman. Allah swt memberikan suatu pra-syarat tentang kelompok ini. Yaitu mereka yang berbuat baik, saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dengan kata lain, seorang yang mengaku beriman, tak cukup dengan hanya deklarasi pada dirinya sendiri namun dibutuhkan suatu tindakan nyata dengan amal saleh.
Metaforsis ini mungkin bisa lebih menjelaskan bagaimana surah ini dijelaskan langsung oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Ubay bin Ka’ab berkata, Aku membaca (surah al-ikhlas) di hadapan Rasulullah saw. Kemudian aku bertanya, apa maksudnya wahai Nabi Allah? Beliau saw menjawab, “Al-’Ashr adalah janji dari Allah swt. Tuhanmu tengah berjanji dengan menyebut penggalan akhir waktu di siang hari. “Innal Insana Lafi Khusrin” : Abu Jahal, “illa ladzina amanu” : Abu Bakar, “wa-amilus shalihat” : Umar bin al-Khattab, “Watawasau bil haq” : Utsman bin Affan, dan “Watawasau bis-shabr” : Ali bin Abi Thalib. (Hadits Mawquf). Semoga bermanfaat.
Wallahua’lam bis shawab.
0 komentar:
Posting Komentar