Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan emosional seorang anak, dapat menghalangi masa depannya. Anak yang ‘tangki’ emosionalnya selalu terpenuhi, biasanya, lebih ulet dan cenderung tidak banyak bergantung kepada teman sebayanya. Selain itu, dia juga akan lebih percaya diri dan menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Apa sajakah kebutuhan emosional anak?
Sebagaimana dinyatakan Wes Fleming, seorang pakarparenting, di dalam bukunya Raising Children on Purpose –seperti dilansir situs www.parentguidenews.com–, anak setidaknya memiliki tujuh kebutuhan emosional. Ketujuh kebutuhan tersebut terangkum dalam kata PARENTS (dalam Bahasa Inggris berarti orangtua), yaitu Protection (perlindungan),Acceptance (penerimaan/dukungan), Recognition(pengakuan/penghargaan), Enforced limits (terlaksananya batasan-batasan aturan), Nearness (kedekatan), Time (waktu), dan Support (sokongan).
Protection (perlindungan)
Anak-anak sangat membutuhkan perasaan aman dan nyaman. Mereka membutuhkan rumah yang apabila terjadi konflik di dalamnya bisa dengan segera terselesaikan, rumah yang mana penghuninya saling menghormati, dan rumah di mana tingkah laku orangtua bisa diprediksi dan terpercaya. Di dalam rumah tersebut, sifat saling percaya tumbuh subur, di mana anak-anak tahu bahwa mereka bisa mendatangi ibu, ayah, atau orang-orang yang merawat mereka untuk mendapatkan kasih sayang dan dukungan, kapan saja.
Sebagaimana dinyatakan Wes Fleming, seorang pakarparenting, di dalam bukunya Raising Children on Purpose –seperti dilansir situs www.parentguidenews.com–, anak setidaknya memiliki tujuh kebutuhan emosional. Ketujuh kebutuhan tersebut terangkum dalam kata PARENTS (dalam Bahasa Inggris berarti orangtua), yaitu Protection (perlindungan),Acceptance (penerimaan/dukungan), Recognition(pengakuan/penghargaan), Enforced limits (terlaksananya batasan-batasan aturan), Nearness (kedekatan), Time (waktu), dan Support (sokongan).
Protection (perlindungan)
Anak-anak sangat membutuhkan perasaan aman dan nyaman. Mereka membutuhkan rumah yang apabila terjadi konflik di dalamnya bisa dengan segera terselesaikan, rumah yang mana penghuninya saling menghormati, dan rumah di mana tingkah laku orangtua bisa diprediksi dan terpercaya. Di dalam rumah tersebut, sifat saling percaya tumbuh subur, di mana anak-anak tahu bahwa mereka bisa mendatangi ibu, ayah, atau orang-orang yang merawat mereka untuk mendapatkan kasih sayang dan dukungan, kapan saja.
Tanpa atmosfer saling percaya, kedekatan dan interdependensi keluarga akan mendapatkan hambatan yang berarti untuk didapatkan, jika tidak ingin dikatakan mustahil. Dan ketika orangtua berjuang merawat anak-anak mengikuti irama moodyang fluktuatif, kemarahan meledak-ledak, atau kegelisahan kronis, maka anak-anak akan merasa diabaikan, tidak dicintai, dan penuh ketakutan. Anak-anak juga tidak mampu untuk mengerti secara sepenuhnya, dan tidak bisa menerima alasan-alasan baik orangtua yang disibukkan persoalan tagihan atau kemarahan terhadap pasangannya.
Pada kenyataannya Islam juga mengajarkan konsep perlindungan anak. Dalam artikelnya, Perlindungan Anak dalam Konsep Islam, Taufik Hidayat SH, menulis, afirmasi perlindungan anak dalam Islam dapat ditelusuri secara jelas dari hadits “Cukup berdosa seorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Al-Hakim)
Hadits tersebut turun (asbab al-wurud) disebabkan adanya penelantaran terhadap anak. Dengan demikian, Islam melarang terjadinya penelantaran terhadap anak, karena mengabaikan perlindungan kepadanya yang merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadapnya.
Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki Allah Ta'ala tertuang dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al-Ma’idah 8)
Ayat di atas turun berawal dari peristiwa yang menimpa An-Nu’man bin Basyir. Suatu ketika, An-Nu’man bin Basyir mendapatkan sesuatu pemberian dari ayahnya, kemudian Ummi Umrata binti Rawahah berkata “Aku tidak akan ridha sampai peristiwa ini disaksikan oleh Rasulullah.” Persoalan itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW untuk disaksikan. Rasul kemudian berkata “Apakah semua anakmu mendapat pemberian yang sama?” Ayah An-Nu’man menjawab, “Tidak”. Beliau berkata lagi, “Takutlah engkau kepada Allah dan berbuat adillah engkau kepada anak-anakmu.”
Sebagian perawi menyebutkan bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi dalam kecurangan.” Mendengar jawaban itu lantas ayah An-Nu’man pergi dan membatalkan pemberian kepada An-Nu’man. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada kenyataannya Islam juga mengajarkan konsep perlindungan anak. Dalam artikelnya, Perlindungan Anak dalam Konsep Islam, Taufik Hidayat SH, menulis, afirmasi perlindungan anak dalam Islam dapat ditelusuri secara jelas dari hadits “Cukup berdosa seorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Al-Hakim)
Hadits tersebut turun (asbab al-wurud) disebabkan adanya penelantaran terhadap anak. Dengan demikian, Islam melarang terjadinya penelantaran terhadap anak, karena mengabaikan perlindungan kepadanya yang merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadapnya.
Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki Allah Ta'ala tertuang dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al-Ma’idah 8)
Ayat di atas turun berawal dari peristiwa yang menimpa An-Nu’man bin Basyir. Suatu ketika, An-Nu’man bin Basyir mendapatkan sesuatu pemberian dari ayahnya, kemudian Ummi Umrata binti Rawahah berkata “Aku tidak akan ridha sampai peristiwa ini disaksikan oleh Rasulullah.” Persoalan itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW untuk disaksikan. Rasul kemudian berkata “Apakah semua anakmu mendapat pemberian yang sama?” Ayah An-Nu’man menjawab, “Tidak”. Beliau berkata lagi, “Takutlah engkau kepada Allah dan berbuat adillah engkau kepada anak-anakmu.”
Sebagian perawi menyebutkan bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi dalam kecurangan.” Mendengar jawaban itu lantas ayah An-Nu’man pergi dan membatalkan pemberian kepada An-Nu’man. (HR. Bukhari dan Muslim).
Esensi ayat tadi adalah semangat menegakkan keadilan dan perlindungan terhadap anak. Anak yang tidak mendapatkan perlindungan, tidak kepercayaan, dan perhatian orang dewasa, maka dia akan bereaksi dengan penuh perasaan terluka dan dendam.
Acceptance (dukungan)
Anak-anak sangat membutuhkan dukungan dan penerimaan yang baik. Mereka membutuhkan dua hal tersebut dari teman-teman, para guru, pengasuh, pelatih, dan pendidik mereka. Dan terlebih lagi, mereka membutuhkan dukungan dari orangtua mereka. Anak-anak sangat menginginkannya, meski mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan alamiah, ketidaksempurnaan fisik, dan perbedaan-perbedaan prestasi dan prestise. Bagaimanapun kondisi setiap anak, mereka tetap layak mendapatkan cinta.
Segenap respons kita atas kebutuhan anak-anak kita akan dukungan menjadi sumber utama pemahaman diri mereka. Kita merupakan cermin pertama yang dipandangi anak-anak kita. Mereka memandangi wajah-wajah kita dan melihat sebuah refleksi betapa mereka sangat berharga dan bernilai, sehingga mereka merasa akan diberi dukungan —atau mungkin sebaliknya.
Apabila respons dan dukungan kita kepada anak disertai kesabaran dan penghormatan, maka paradigma terhadap dirinya pun positif. Namun apabila kita seringkali mengkritik anak dan bersikap kasar kepadanya, maka pemahaman terhadap dirinya pun akan negatif; mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri, dan berkorespondensi dengan lingkungan secara destruktif.
Islam telah lama mengatur hal ini. Perhatian dan dukungan orangtua kepada anak-anak semasa kecil menjadi sebuah kewajiban dalam ajaran Islam. Allah berfirman, “Dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (Al-Ahqaf: 15).
Acceptance (dukungan)
Anak-anak sangat membutuhkan dukungan dan penerimaan yang baik. Mereka membutuhkan dua hal tersebut dari teman-teman, para guru, pengasuh, pelatih, dan pendidik mereka. Dan terlebih lagi, mereka membutuhkan dukungan dari orangtua mereka. Anak-anak sangat menginginkannya, meski mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan alamiah, ketidaksempurnaan fisik, dan perbedaan-perbedaan prestasi dan prestise. Bagaimanapun kondisi setiap anak, mereka tetap layak mendapatkan cinta.
Segenap respons kita atas kebutuhan anak-anak kita akan dukungan menjadi sumber utama pemahaman diri mereka. Kita merupakan cermin pertama yang dipandangi anak-anak kita. Mereka memandangi wajah-wajah kita dan melihat sebuah refleksi betapa mereka sangat berharga dan bernilai, sehingga mereka merasa akan diberi dukungan —atau mungkin sebaliknya.
Apabila respons dan dukungan kita kepada anak disertai kesabaran dan penghormatan, maka paradigma terhadap dirinya pun positif. Namun apabila kita seringkali mengkritik anak dan bersikap kasar kepadanya, maka pemahaman terhadap dirinya pun akan negatif; mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri, dan berkorespondensi dengan lingkungan secara destruktif.
Islam telah lama mengatur hal ini. Perhatian dan dukungan orangtua kepada anak-anak semasa kecil menjadi sebuah kewajiban dalam ajaran Islam. Allah berfirman, “Dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (Al-Ahqaf: 15).
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa orangtua yang baik senantiasa memohon kepada Allah agar bisa mencurahkan kebaikan kepada anak cucu, demi mendukung perkembangan dan pertumbuhan mereka. Anak adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada orang tua supaya mereka dididik dengan baik, diberi nama dengan baik, diberi pendidikan dengan secukupnya, diajarkan dasar-dasar pendidikan Islam dan halal-haram, baik dan buruk serta akhlak yang mulia.
Jelas, semua ini adalah sebuah perhatian dan dukungan paripurna untuk anak, seperti diinstruksikan Islam.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Recognition (pengakuan/penghargaan)
Anak akan merasa sangat kecewa dan hancur jika dia dianggap gagal di mata orangtuanya. Meskipun hasrat mereka tersembunyi, anak-anak Anda memendam kerinduan mendalam untuk menyenangkan dan mendapat penghargaan Anda. Mereka sangat ingin mendengar orangtua mereka berkata, “Saya sangat bangga kepadamu. Pekerjaan yang bagus. Saya sangat menghargai kamu.” Artinya, mereka sangat ingin merasakan restu dan apresiasi Anda.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam selalu membuat anak-anak bergembira dan merasa berharga, antara lain dengan menyambut anak dengan baik, mencium dan bercanda dengan mereka, mengusap kepala mereka, menggendong dan memangku mereka, menghidangkan makanan yang baik, makan bersama mereka, membangun kompetisi sehat dan memberi imbalan kepada pemenangnya.
Jelas, semua ini adalah sebuah perhatian dan dukungan paripurna untuk anak, seperti diinstruksikan Islam.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Recognition (pengakuan/penghargaan)
Anak akan merasa sangat kecewa dan hancur jika dia dianggap gagal di mata orangtuanya. Meskipun hasrat mereka tersembunyi, anak-anak Anda memendam kerinduan mendalam untuk menyenangkan dan mendapat penghargaan Anda. Mereka sangat ingin mendengar orangtua mereka berkata, “Saya sangat bangga kepadamu. Pekerjaan yang bagus. Saya sangat menghargai kamu.” Artinya, mereka sangat ingin merasakan restu dan apresiasi Anda.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam selalu membuat anak-anak bergembira dan merasa berharga, antara lain dengan menyambut anak dengan baik, mencium dan bercanda dengan mereka, mengusap kepala mereka, menggendong dan memangku mereka, menghidangkan makanan yang baik, makan bersama mereka, membangun kompetisi sehat dan memberi imbalan kepada pemenangnya.
Umumnya manusia, apalagi anak-anak, suka berlomba. Rasulullah pun suka membuat anak-anak berlomba, misalnya ketika beliau membariskan Abdullah, Ubaidillah, dan anak-anak ‘Abbas lainnya, lalu bersabda, “Siapa yang mampu membalap saya, dia bakal dapat ini dan itu …” Maka mereka pun berlomba membalap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sehingga berjatuhan di atas dada dan punggung beliau. Setelah itu mereka diciumi dan dipegangi oleh beliau.
Karena biasanya, jika rasa menghargai dan apresiasi itu lenyap dari rumah, maka anak-anak akan kehilangan harapan dalam menerima penghargaan apa pun dari orang lain. Hasilnya, beberapa anak biasanya suka cemberut dan bertabiat suka mengejek orang lain. Anak-anak yang memiliki harapan tinggi dan jarang mendapatkan afirmasi, biasanya tumbuh menjadi anak-anak yang rewel dan suka mengomel. Logika emosional mereka berkata bahwa jika mereka tidak mampu merebut restu dan penghargaan orangtua mereka, maka mereka memiliki kekurangan dalam diri. Mereka berkesimpulan bahwa mereka tidak cukup baik atau bagus.
Kemudian ketika beranjak dewasa, mereka kerap mendorong orang untuk menyenangkan orang lain, agar meraih apa yang tidak didapatkan mereka ketika kecil. Atau mereka akan menunjukkan kebiasaan bekerja berlebihan, berusaha dengan penuh dendam untuk membuktikan kepada orang lain bahwa mereka baik dan bagus.
Secara paradoks, ketiadaan pengakuan pada masa kanak-kanak bisa menyebabkan anak-anak –ketika dewasa— menjadi menjalani kehidupan tidak produktif dan tidak berprestasi. Perasaan kekurangan dalam diri mampu menimbulkan sikap menunda-nunda pekerjaan yang kronis, tidak mampu mengemban tanggung jawab, dan memiliki sifat mudah menyerah.
Enforced limits (terlaksananya batasan-batasan aturan)
Anak-anak membutuhkan peraturan dan batasan-batasan yang mengatur kehidupan mereka secara wajar, sebagai mereka membutuhkan berbagai peraturan ketika bermain sepakbola. Tanpa adanya aturan, anak bisa putus asa, hidup tanpa arah yang jelas, dan penuh ketakutan. Tanpa adanya disiplin yang penuh kasih sayang, anak-anak akan merasakan ketiadaan proteksi dan perawatan dari orangtua mereka.
Karena biasanya, jika rasa menghargai dan apresiasi itu lenyap dari rumah, maka anak-anak akan kehilangan harapan dalam menerima penghargaan apa pun dari orang lain. Hasilnya, beberapa anak biasanya suka cemberut dan bertabiat suka mengejek orang lain. Anak-anak yang memiliki harapan tinggi dan jarang mendapatkan afirmasi, biasanya tumbuh menjadi anak-anak yang rewel dan suka mengomel. Logika emosional mereka berkata bahwa jika mereka tidak mampu merebut restu dan penghargaan orangtua mereka, maka mereka memiliki kekurangan dalam diri. Mereka berkesimpulan bahwa mereka tidak cukup baik atau bagus.
Kemudian ketika beranjak dewasa, mereka kerap mendorong orang untuk menyenangkan orang lain, agar meraih apa yang tidak didapatkan mereka ketika kecil. Atau mereka akan menunjukkan kebiasaan bekerja berlebihan, berusaha dengan penuh dendam untuk membuktikan kepada orang lain bahwa mereka baik dan bagus.
Secara paradoks, ketiadaan pengakuan pada masa kanak-kanak bisa menyebabkan anak-anak –ketika dewasa— menjadi menjalani kehidupan tidak produktif dan tidak berprestasi. Perasaan kekurangan dalam diri mampu menimbulkan sikap menunda-nunda pekerjaan yang kronis, tidak mampu mengemban tanggung jawab, dan memiliki sifat mudah menyerah.
Enforced limits (terlaksananya batasan-batasan aturan)
Anak-anak membutuhkan peraturan dan batasan-batasan yang mengatur kehidupan mereka secara wajar, sebagai mereka membutuhkan berbagai peraturan ketika bermain sepakbola. Tanpa adanya aturan, anak bisa putus asa, hidup tanpa arah yang jelas, dan penuh ketakutan. Tanpa adanya disiplin yang penuh kasih sayang, anak-anak akan merasakan ketiadaan proteksi dan perawatan dari orangtua mereka.
Anak-anak terbiasa ber-acting dalam tingkah laku mereka. Hal itu merupakan cara mereka untuk mengekspresikan kebutuhan akan struktur dan keselamatan dalam kondisi-kondisi yang mereka rasakan penuh kekacauan, tidak terduga, dan lingkungan yang mengancam. Makanya, dalam beberapa hal, anak benar-benar memohon adanya disiplin.
Arahan dan peraturan yang tegas merefleksikan kemauan kita untuk menolong anak-anak menemukan kontrol yang mereka cari. Menerapkan peraturan dan membiasakan disiplin kepada anak-anak dapat membantunya untuk kelak taat kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Karena Islam sangat meniscayakan ketaatan dan disiplin para pemeluknya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ 59)
Atau perintah agar disiplin dan memerhatikan waktu. Allah kerap kali menyatakan dengan berbagai penyebutan waktu di dalam Al-Qur’an, misalnya: Wal-Fajri (demi waktu shubuh), Wadh-Dhuha (demi waktu pagi), Wan-Nahar (demi waktu siang),Wal-‘Ashr (demi waktu sore), Wal-Lail (demi waktu malam).
Dari catatan perjalanan sejarah Islam, kita juga dapat memperoleh pelajaran penting tentang kedisiplinan. Ketika Rasulullah dan para sahabat beliau menghadapi musuh pada Perang Uhud, ada sebagian pasukan yang ditugaskan untuk menempati posisi penting dalam strategi perang rancangan Rasulullah mengabaikan perintah dan tugas yang telah diberikan. Akibat tindakan indisipliner, pasukan Islam pada perang tersebut mengalami kekalahan besar menghadapi tentara kafir Quraisy Makkah.
Arahan dan peraturan yang tegas merefleksikan kemauan kita untuk menolong anak-anak menemukan kontrol yang mereka cari. Menerapkan peraturan dan membiasakan disiplin kepada anak-anak dapat membantunya untuk kelak taat kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Karena Islam sangat meniscayakan ketaatan dan disiplin para pemeluknya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ 59)
Atau perintah agar disiplin dan memerhatikan waktu. Allah kerap kali menyatakan dengan berbagai penyebutan waktu di dalam Al-Qur’an, misalnya: Wal-Fajri (demi waktu shubuh), Wadh-Dhuha (demi waktu pagi), Wan-Nahar (demi waktu siang),Wal-‘Ashr (demi waktu sore), Wal-Lail (demi waktu malam).
Dari catatan perjalanan sejarah Islam, kita juga dapat memperoleh pelajaran penting tentang kedisiplinan. Ketika Rasulullah dan para sahabat beliau menghadapi musuh pada Perang Uhud, ada sebagian pasukan yang ditugaskan untuk menempati posisi penting dalam strategi perang rancangan Rasulullah mengabaikan perintah dan tugas yang telah diberikan. Akibat tindakan indisipliner, pasukan Islam pada perang tersebut mengalami kekalahan besar menghadapi tentara kafir Quraisy Makkah.
Itu hanya sebagian contoh dari kasus ketidakdisiplinan dalam perang, tentu kita bisa memastikan akibat yang sama dalam aspek-aspek lain. Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan Islam.
Nearness (kedekatan)
Memeluk, memegang, dan bahkan permainan gulat penuh kasih sayang dengan anak Anda dapat mendepositokan sensasi-sensai kenangan akan kenyamanan dan keamanan dalam kehidupan. Kemungkinan besar, cara paling mujarab untuk memberi jaminan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan merasa aman adalah menggendong dan memeluk mereka. Jari dan tangan Anda memberi anak perasaan terlindungi, kenyamanan, dan penghargaan.
Kedekatan orangtua juga memberi anak-anak pengetahuan bahwa mereka sangat bernilai, sehingga mereka harus digendong dan dipeluk. Kasih sayang itu mengatakan, “Nak, engkau begitu kusayangi, sehingga aku selalu ingin menggendongmu, dan membuatmu nyaman.”
Pun demikian dengan Rasulullah yang begitu pengasih dan penyayang kepada anak-anak. Ketika Nabi Muhammad SAW melewati rumah putrinya, yaitu Fatimah, beliau mendengar Al-Husain sedang menangis, maka beliau berkata kepada Fatimah, “Apakah engkau belum mengerti bahwa menangisnya anak itu menggangguku?” Lalu beliau memangku Al-Husain di atas lehernya dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku cinta kepadanya, maka cintailah dia.” Lalu ketika Rasulullah sedang berada di atas mimbar, Al-Hasan tergelincir. Lantas beliau pun turun dari mimbar dan merangkul anak tersebut.
Nearness (kedekatan)
Memeluk, memegang, dan bahkan permainan gulat penuh kasih sayang dengan anak Anda dapat mendepositokan sensasi-sensai kenangan akan kenyamanan dan keamanan dalam kehidupan. Kemungkinan besar, cara paling mujarab untuk memberi jaminan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan merasa aman adalah menggendong dan memeluk mereka. Jari dan tangan Anda memberi anak perasaan terlindungi, kenyamanan, dan penghargaan.
Kedekatan orangtua juga memberi anak-anak pengetahuan bahwa mereka sangat bernilai, sehingga mereka harus digendong dan dipeluk. Kasih sayang itu mengatakan, “Nak, engkau begitu kusayangi, sehingga aku selalu ingin menggendongmu, dan membuatmu nyaman.”
Pun demikian dengan Rasulullah yang begitu pengasih dan penyayang kepada anak-anak. Ketika Nabi Muhammad SAW melewati rumah putrinya, yaitu Fatimah, beliau mendengar Al-Husain sedang menangis, maka beliau berkata kepada Fatimah, “Apakah engkau belum mengerti bahwa menangisnya anak itu menggangguku?” Lalu beliau memangku Al-Husain di atas lehernya dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku cinta kepadanya, maka cintailah dia.” Lalu ketika Rasulullah sedang berada di atas mimbar, Al-Hasan tergelincir. Lantas beliau pun turun dari mimbar dan merangkul anak tersebut.
Rasulullah pun tak jarang memanggil anak-anak dengan nama panggilan penuh kasih sayang, untuk membangun kedekatan dengan mereka. Bermacam-macam cara beliau memanggil anak, tujuannya untuk menarik perhatian dan membuat anak siap mendengar apa yang hendak dipesankan. Panggilan semisal nughair (si burung pipit), ghulam (anak, berarti: “wahai anakku”), Zuwainib (Zainab kecil), dan lain sebagainya.
Time (waktu)
Anak-anak sangat membutuhkan waktu, baik dari segi kualitas dan kuantitas. Relasi orangtua-anak yang baik membutuhkan perhatian terfokus (kualitas) dan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama (kuantitas). Bersenang-senang dengan anak-anak kita sangat sederhana, hanya dengan bermain-main bersama mereka, kemudian kirimlah pesan kepada mereka, “Kamu sungguh menarik, menyenangkan, dan berharga.”
Tidak cukup bagi anak-anak Anda untuk mengetahui bahwa Anda ada di sekitar mereka; tapi mereka juga harus tahu bahwa kita begitu menikmati ada bersama mereka. Ketika Anda mengejar anak-anak dalam sebuah permainan, tertawa bersama, menggelitiki, dan menggoda mereka, maka kehadiran Anda sangat dirasakan oleh mereka.
Kesibukan Anda dalam bekerja atau mengurusi tugas-tugas domestik, tidak menjadi penghalang untuk bercengkerama dengan anak-anak. Karena persoalan tidak terletak pada minimnya waktu yang Anda miliki, tapi lebih kepada bagaimana Anda menghabiskan waktu tersebut. Sah-sah saja Anda bekerja, atau merapikan rumah, memasak, mencuci, menyetrika, dan lain-lain, tapi harus diingat bahwa anak-anak pun membutuhkan Anda.
Support (dukungan)
Sebagaimana anak-anak membutuhkan dukungan dan bantuan secara fisik ketika mereka belajar berjalan pertama kali, mereka juga membutuhkan dukungan emosional ketika –misalnya— ‘berjalan’ menapaki masa depan, seiring dengan bertambahnya usia mereka. Berlawanan dengan keyakinan kebanyakan orang, yang menyatakan bahwa remaja tidak membutuhkan bantuan dan ingin independen, sejatinya mereka menginginkan dukungan.
Time (waktu)
Anak-anak sangat membutuhkan waktu, baik dari segi kualitas dan kuantitas. Relasi orangtua-anak yang baik membutuhkan perhatian terfokus (kualitas) dan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama (kuantitas). Bersenang-senang dengan anak-anak kita sangat sederhana, hanya dengan bermain-main bersama mereka, kemudian kirimlah pesan kepada mereka, “Kamu sungguh menarik, menyenangkan, dan berharga.”
Tidak cukup bagi anak-anak Anda untuk mengetahui bahwa Anda ada di sekitar mereka; tapi mereka juga harus tahu bahwa kita begitu menikmati ada bersama mereka. Ketika Anda mengejar anak-anak dalam sebuah permainan, tertawa bersama, menggelitiki, dan menggoda mereka, maka kehadiran Anda sangat dirasakan oleh mereka.
Kesibukan Anda dalam bekerja atau mengurusi tugas-tugas domestik, tidak menjadi penghalang untuk bercengkerama dengan anak-anak. Karena persoalan tidak terletak pada minimnya waktu yang Anda miliki, tapi lebih kepada bagaimana Anda menghabiskan waktu tersebut. Sah-sah saja Anda bekerja, atau merapikan rumah, memasak, mencuci, menyetrika, dan lain-lain, tapi harus diingat bahwa anak-anak pun membutuhkan Anda.
Support (dukungan)
Sebagaimana anak-anak membutuhkan dukungan dan bantuan secara fisik ketika mereka belajar berjalan pertama kali, mereka juga membutuhkan dukungan emosional ketika –misalnya— ‘berjalan’ menapaki masa depan, seiring dengan bertambahnya usia mereka. Berlawanan dengan keyakinan kebanyakan orang, yang menyatakan bahwa remaja tidak membutuhkan bantuan dan ingin independen, sejatinya mereka menginginkan dukungan.
Berilah anak Anda kebebasan untuk tumbuh, selama tidak menyelisihi aturan-aturan yang diterapkan, berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Dan biarkan mereka tahu bahwa Anda siap mengulurkan bantuan dan dukungan kepada mereka.
Demikianlah, memenuhi tujuh kebutuhan emosional anak-anak sejatinya meletakkan dasar bagi masa depan mereka. Cinta dan kasih sayang mampu mengembangkan kapasitas kepercayaan, yang pada gilirannya membekali anak-anak dengan berbagai piranti yang mereka butuhkan untuk menanggulangi permasalahan di masa mendatang. Jika ‘tangki’ emosional anak-anak terpenuhi, maka mereka siap untuk meniti jalan sukses di masa depan. Aamiin...!
Demikianlah, memenuhi tujuh kebutuhan emosional anak-anak sejatinya meletakkan dasar bagi masa depan mereka. Cinta dan kasih sayang mampu mengembangkan kapasitas kepercayaan, yang pada gilirannya membekali anak-anak dengan berbagai piranti yang mereka butuhkan untuk menanggulangi permasalahan di masa mendatang. Jika ‘tangki’ emosional anak-anak terpenuhi, maka mereka siap untuk meniti jalan sukses di masa depan. Aamiin...!
0 komentar:
Posting Komentar