Aam, sebut saja begitu, sudah satu tahun yang lalu dikhitbah Anto, pria yang dikenalnya melalui suami salah satu teman se pengajiannya. Awalnya mereka sepakat menunda waktu pernikahan mereka hanya enam bulan setelah khitbah, namun karena saat mendekati waktu yang sudah ditentukan Anto belum juga mendapatkan kepastian soal kesiapan dirinya menikahi Aam, akhirnya pernikahan mereka tertunda kembali. Sampai kapan?
Kasus yang dialami Aam dan Anto, tentu bukan barang baru, tetapi juga bukan hal yang usang karena hingga sekarang hal seperti yang dialami kedua 'sejoli' itu juga masih sering terjadi. Hambatan-hambatan menjelang waktu pernikahan bisa datang silih berganti atau mungkin juga hambatannya "itu-itu saja" namun tidak pernah tersingkirkan. Ia bisa datang dari diri kedua calon pasangan tersebut, berupa kesiapan mental, kesiapan materi (termasuk disini, biaya pernikahan dan biaya pasca nikah) ataupun hal-hal lain yang bisa jadi diluar jangkauan mereka berdua, antara lain yang berkaitan dengan orangtua (soal kecocokan, menunggu "bulan baik" dan lain-lain).
Menikah, merupakan satu dari beberapa hal yang mesti disegerakan dan ini menjadi kewajiban atas muslim lainnya (dalam hal ini orang-orang terdekat) untuk membantu mempermudah prosesnya. Orang tua, tentu sangat signifikan perannya dalam mengusahakan pernikahan bagi anak-anaknya yang sudah cukup umur (baligh), terlebih jika anaknya adalah wanita. Ini penting, karena saat ini justru tidak sedikit penghalang terselenggaranya pernikahan itu tidak lain adalah orang tua sendiri. Selain orang tua, saudara atau sanak famili juga mempunyai kewajiban yang tidak sepele berkaitan dengan pelaksanaan nikah ini.
Yang sering kali tidak disadari para orang tua adalah mereka menganggap bahwa kewajibannya adalah sekedar mencarikan jodoh yang baik (bagi anak wanita), padahal mengusahakan sesegera mungkin penyelenggaraan pernikahan itu sendiri seharusnya menjadi perhatian yang penting. Karena ada kecenderungan, pengawasan, pembinaan yang ketat dan disiplin terhadap anak-anak mereka menjadi kendur, ketika si anak sudah dikhitbah. Para orang tua merasa kewajibannya untuk mengawasi sang anak sudah 'tergantikan' oleh calon suami si gadis. Sungguh, belum ada hak apapun bagi calon suami tersebut karena mereka belum ada ikatan apapun dan jelas antara mereka berdua bukan muhrim.
Berdasarkan pengalaman yang ada dan sering terjadi, hal-hal seperti itu (kendurnya pengawasan orang tua) terlihat dari interaksi yang terjadi antara dua sejoli calon suami istri itu. Sering kali mereka merasa boleh melakukan ini-itu dengan dalih, toh sebentara lagi juga akan menjadi suami/istri karena sudah khitbah. Padahal, justru disaat-saat antara khitbah dan menikah inilah kedua calon suami/istri semakin memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta senantiasa menjaga kehormatannya hingga masanya tiba saat akad nikah. Karena diseberang lain, syaithan penggoda orang-orang beriman tengah berancang-ancang siap menerkam kelengahan dua pasang manusia yang menunggu saat pelaksanaan nikah yang memang sering kali membawa kepada perbuatan dosa zina jika keduanya tidak bisa bersabar menahan gejolak nafsu. Dari mulai zina hati hingga zina badan, naudzubillahi min dzalik.
Tidak hanya orang tua, masyarakat pun bisa berperan dalam menciptakan kondisi dimana anak-anak muda disekitarnya berpotensi berbuat dosa zina. Mereka yang awalnya sangat anti dengan model-model berpacaran dikalangan anak muda dan senantiasa melakukan pengawasan terhadap anak-anak muda dilingkungannya, khususnya yang berkaitan dengan soal berpacaran, kemudian bisa 'memaklumi' dua calon pasangan yang berjalan berdua-duaan didepan mata mereka hanya karena mereka sudah mempunyai 'ikatan' lamaran. Padahal juga, sebelum dilamar, si gadis selalu dikuntit dan ditunggui kerabat atau orang tua jika hendak kemana-mana.
Contoh lain, saling bertelepon sampai berjam-jam (bahkan tiap hari) sangat mungkin menimbulkan bunga-bunga dihati yang menyebabkan zina hati dan ada rasa selalu ingin bertemu, maka kemudian akhirnya bertemu, jadilah zina mata. Syaitan tak pernah lengah mengkompori manusia melakukan dosa-dosa besar, sedetikpun cukup untuk membuat manusia lupa diri dan selanjutnya nafsu manusia sendiri yang akan menjadi pendorong ke arah dosa. Jangan beri kesempatan!
Kalau memang alasannya adalah komunikasi, mungkin masih lebih baik menggunakan media tulisan (surat atau email), asalkan isi tulisannya tidak juga menumbuhkan bunga-bunga pendorong nafsu. Untuk komunikasi menggunakan telepon, sebaiknya dibatasi pada kebutuhannya terhadap persoalan yang perlu dibicarakan, singkat, jelas, fokus. Tutup telepon jika pembicaraan sudah keluar dari hal yang mesti dibicarakan. Sikap ini butuh perjuangan dan ketegasan dari kedua calon pasangan bahwa mereka sama-sama tidak ingin mengawali pernikahan yang sungguh suci dengan kekotoran hati.
Sedangkan untuk bertemu, sebaiknya dibuat seminimal mungkin dan tidak mencari-cari alasan (yang terkadang tidak rasional dan hanya menuruti nafsu) untuk bertemu. Pertemuan sebaiknya dibuat sesingkat mungkin dan harus ditemani oleh orang tua atau kerabat si wanita. Uniknya, karena saking 'sopannya', para orang tua juga terkadang merasa risih atau "tidak ingin mengganggu" privacy kedua calon tersebut. Padahal semestinya ia tahu bahwa sikapnya itu sangat berperan menimbulkan benih-benih zina yang mengotori hati keduanya.
Sekali lagi, makna 'menyegerakan' adalah agar kedua calon pasangan terhindar dari dosa-dosa zina. Jika memang pernikahan itu harus tertunda sekian waktu, kurangi potensi zina mata dan hati dengan shaum sunnah dan olah raga, juga menghindari makanan dari protein hewani tinggi. Tambahkan pertahanan diri dengan memperbanyak berhubungan dengan Allah lewat shalat-shalat sunnah, dzikir dan amal shaleh lain, perbanyaklah berdo'a mohon kekuatan dari Nya. Wallahu a’lam bishshowwaab
Kasus yang dialami Aam dan Anto, tentu bukan barang baru, tetapi juga bukan hal yang usang karena hingga sekarang hal seperti yang dialami kedua 'sejoli' itu juga masih sering terjadi. Hambatan-hambatan menjelang waktu pernikahan bisa datang silih berganti atau mungkin juga hambatannya "itu-itu saja" namun tidak pernah tersingkirkan. Ia bisa datang dari diri kedua calon pasangan tersebut, berupa kesiapan mental, kesiapan materi (termasuk disini, biaya pernikahan dan biaya pasca nikah) ataupun hal-hal lain yang bisa jadi diluar jangkauan mereka berdua, antara lain yang berkaitan dengan orangtua (soal kecocokan, menunggu "bulan baik" dan lain-lain).
Menikah, merupakan satu dari beberapa hal yang mesti disegerakan dan ini menjadi kewajiban atas muslim lainnya (dalam hal ini orang-orang terdekat) untuk membantu mempermudah prosesnya. Orang tua, tentu sangat signifikan perannya dalam mengusahakan pernikahan bagi anak-anaknya yang sudah cukup umur (baligh), terlebih jika anaknya adalah wanita. Ini penting, karena saat ini justru tidak sedikit penghalang terselenggaranya pernikahan itu tidak lain adalah orang tua sendiri. Selain orang tua, saudara atau sanak famili juga mempunyai kewajiban yang tidak sepele berkaitan dengan pelaksanaan nikah ini.
Yang sering kali tidak disadari para orang tua adalah mereka menganggap bahwa kewajibannya adalah sekedar mencarikan jodoh yang baik (bagi anak wanita), padahal mengusahakan sesegera mungkin penyelenggaraan pernikahan itu sendiri seharusnya menjadi perhatian yang penting. Karena ada kecenderungan, pengawasan, pembinaan yang ketat dan disiplin terhadap anak-anak mereka menjadi kendur, ketika si anak sudah dikhitbah. Para orang tua merasa kewajibannya untuk mengawasi sang anak sudah 'tergantikan' oleh calon suami si gadis. Sungguh, belum ada hak apapun bagi calon suami tersebut karena mereka belum ada ikatan apapun dan jelas antara mereka berdua bukan muhrim.
Berdasarkan pengalaman yang ada dan sering terjadi, hal-hal seperti itu (kendurnya pengawasan orang tua) terlihat dari interaksi yang terjadi antara dua sejoli calon suami istri itu. Sering kali mereka merasa boleh melakukan ini-itu dengan dalih, toh sebentara lagi juga akan menjadi suami/istri karena sudah khitbah. Padahal, justru disaat-saat antara khitbah dan menikah inilah kedua calon suami/istri semakin memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta senantiasa menjaga kehormatannya hingga masanya tiba saat akad nikah. Karena diseberang lain, syaithan penggoda orang-orang beriman tengah berancang-ancang siap menerkam kelengahan dua pasang manusia yang menunggu saat pelaksanaan nikah yang memang sering kali membawa kepada perbuatan dosa zina jika keduanya tidak bisa bersabar menahan gejolak nafsu. Dari mulai zina hati hingga zina badan, naudzubillahi min dzalik.
Tidak hanya orang tua, masyarakat pun bisa berperan dalam menciptakan kondisi dimana anak-anak muda disekitarnya berpotensi berbuat dosa zina. Mereka yang awalnya sangat anti dengan model-model berpacaran dikalangan anak muda dan senantiasa melakukan pengawasan terhadap anak-anak muda dilingkungannya, khususnya yang berkaitan dengan soal berpacaran, kemudian bisa 'memaklumi' dua calon pasangan yang berjalan berdua-duaan didepan mata mereka hanya karena mereka sudah mempunyai 'ikatan' lamaran. Padahal juga, sebelum dilamar, si gadis selalu dikuntit dan ditunggui kerabat atau orang tua jika hendak kemana-mana.
Contoh lain, saling bertelepon sampai berjam-jam (bahkan tiap hari) sangat mungkin menimbulkan bunga-bunga dihati yang menyebabkan zina hati dan ada rasa selalu ingin bertemu, maka kemudian akhirnya bertemu, jadilah zina mata. Syaitan tak pernah lengah mengkompori manusia melakukan dosa-dosa besar, sedetikpun cukup untuk membuat manusia lupa diri dan selanjutnya nafsu manusia sendiri yang akan menjadi pendorong ke arah dosa. Jangan beri kesempatan!
Kalau memang alasannya adalah komunikasi, mungkin masih lebih baik menggunakan media tulisan (surat atau email), asalkan isi tulisannya tidak juga menumbuhkan bunga-bunga pendorong nafsu. Untuk komunikasi menggunakan telepon, sebaiknya dibatasi pada kebutuhannya terhadap persoalan yang perlu dibicarakan, singkat, jelas, fokus. Tutup telepon jika pembicaraan sudah keluar dari hal yang mesti dibicarakan. Sikap ini butuh perjuangan dan ketegasan dari kedua calon pasangan bahwa mereka sama-sama tidak ingin mengawali pernikahan yang sungguh suci dengan kekotoran hati.
Sedangkan untuk bertemu, sebaiknya dibuat seminimal mungkin dan tidak mencari-cari alasan (yang terkadang tidak rasional dan hanya menuruti nafsu) untuk bertemu. Pertemuan sebaiknya dibuat sesingkat mungkin dan harus ditemani oleh orang tua atau kerabat si wanita. Uniknya, karena saking 'sopannya', para orang tua juga terkadang merasa risih atau "tidak ingin mengganggu" privacy kedua calon tersebut. Padahal semestinya ia tahu bahwa sikapnya itu sangat berperan menimbulkan benih-benih zina yang mengotori hati keduanya.
Sekali lagi, makna 'menyegerakan' adalah agar kedua calon pasangan terhindar dari dosa-dosa zina. Jika memang pernikahan itu harus tertunda sekian waktu, kurangi potensi zina mata dan hati dengan shaum sunnah dan olah raga, juga menghindari makanan dari protein hewani tinggi. Tambahkan pertahanan diri dengan memperbanyak berhubungan dengan Allah lewat shalat-shalat sunnah, dzikir dan amal shaleh lain, perbanyaklah berdo'a mohon kekuatan dari Nya. Wallahu a’lam bishshowwaab
0 komentar:
Posting Komentar