Jumat, 15 Juli 2011

~~ DI LANGIT ASA (Part II) ~~

Senja telah menyapa. Matahari memancarkan sinar dengan terangnya di ufuk Barat. Seharian ini langit memang terlihat cerah. Sedikitpun tak ada awan mendung yang memayungi meski tiga hari lagi Oktober berakhir dan musim penghujan kan segera datang. Mungkin ini yang disebut pemanasan global dimana terjadi perubahan iklim dan cuaca menjadi tidak menentu. Sehingga, tahun ini pun seolah tidak ada musim kemarau. Karena musim kemarau yang seharusnya panas berkepanjangan, musim kemarau tahun ini hujan terus saja mengguyur hampir setiap hari.

Syifa menepikan motornya dan berhenti tepat di depan sebuah tempat yang melayani cetak spanduk, poster maupun undangan.

“Di sini tempatnya?,” tanya Nita, teman seprofesi Syifa di tempatnya mengajar setelah turun dari motor.

Syifa hanya mengangguk seraya tersenyum.

“Yuk, masuk,” ajak Syifa kemudian.

Keduanya pun masuk ke dalam.

“Assalamu’alaikum…,” salam Syifa menyapa orang-orang yang berada di dalam tempat percetakan itu.

“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka semua hangat. Apalagi begitu tahu yang datang adalah Syifa. Syifa memang sudah kenal baik dengan pemilik dan pekerja di tempat percetakan itu.

Seorang ibu muda tampak menghampiri Syifa dengan penuh senyuman.

“Sehat, Fa?,” tanyanya begitu tangannya erat menyalami Syifa.

“Alhamdulillah sehat, Mbak,” jawab Syifa tidak kalah hangatnya.

Ibu muda yang dipanggil mbak itu adalah teman baik Syifa. Usianya sekitar 3 tahun di atas Syifa dan telah memiliki 2 orang putri. Suaminya adalah pemilik percetakan tersebut. Namanya Retno. Sesuai namanya, tentu saja Retno berasal dari suku Jawa. Tepatnya lagi Solo, Jawa Tengah.

“Baru pulang ngajar, Fa?,” tanya Retno lagi.

“Iya, Mbak.”

“Sekedar main atau memang ada perlu?.”

Syifa tersenyum dan melirik Nita yang datang bersamanya.

“Kenalkan ini temanku, Mbak. Namanya Nita,” ujar Syifa memperkenalkan Nita pada Retno.

Retno dan Nita pun bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing.

“Nita ini insya Allah gak lama lagi akan walimah, Mbak. Nah, maksud kami ke sini, ya sudah tentu untuk mencetak undangan walimah Nita,” urai Syifa pada Retno.

“Oh, begitu. Alhamdulillah,” sahut Retno mendengar ikut senang mendengar kabar gembira itu.

Retno pun mempersilahkan Syifa dan Nita duduk. Lalu ia melangkah menuju sebuah lemari kayu bercat hitam dan mengambil 2 buah album. Tak lama kemudian ia pun kembali menemui Syifa dan Nita.

“Ini ada beberapa contoh undangan beserta harga per lembarnya. Silahkan dilihat dan dipilih-pilih sampai menemukan mana yang cocok,” ujar Retno seraya memberikan 2 buah album yang dibawanya pada Nita.

Nita mengambil album itu dan mulai mencari-cari undangan yang hendak dipesannya untuk acara walimahnya nanti. Syifa yang duduk di samping Nita ikut melihat-lihat contoh-contoh undangan yang ada di dalam album. Sesekali ia memberikan pendapatnya tentang undangan-undangan yang sedang dilihatnya bersama Nita. Sedangkan Retno duduk di samping Nita sambil memberikan beberapa keterangan terkait dengan contoh-contoh undangan miliknya itu.

Sambil melihat-lihat undangan, diam-diam Syifa memperhatikan raut wajah Nita yang garis wajahnya terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Ada rona kebahagiaan terpancar di sana. Kebahagiaan yang kini sedang menyelimuti ruang-ruang hati Nita. Begitu indah, begitu mempesona. Membuat Syifa iri melihatnya. Ya! Iri! Sangat iri dengan semua yang dirasakan Nita, dengan semua yang terjadi dalam hidup Nita saat ini. Syifa sangat iri dengan sahabatnya itu. Iri karena di usianya yang hampir menginjak 30 tahun, ia belum bisa menggapai semua yang Nita gapai itu. Padahal usia Nita berada 5 tahun di bawahnya.

“Huf!,” Syifa menarik napas.

Retno menoleh ke arah Syifa dan tersenyum melihatnya.

“Fa, bisa kita bicara sebentar?,” tanya Retno mengalihkan perhatian Syifa dan Nita sejenak.

Syifa sedikit terkejut mendengarnya.

“Oh.. iya, Mbak. Bisa,” jawabnya singkat.

“Afwan, ditinggal sebentar ya, Nit,” ujar Retno berpamitan pada Nita sebentar.

Nita hanya mengangguk dan tersenyum mengiyakan.

Retno dan Syifa pun beranjak dari hadapan Nita. Retno membawa ke sebuah ruangan yang kecil dan tidak ada orang di sana.

“Ada apa, Mbak?,” tanya Syifa tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.

“Ehmmm…. Nggak ada apa-apa. Mbak cuma mau tanya, apa saat ini kamu sedang proses?,” Retno mengajukan pertanyaan yang sangat tidak biasa bagi Syifa. Syifa pun dibuatnya sedikit curiga.

“Nggak, Mbak. Aku lagi gak sedang proses dengan siapa pun kok,” jawab Syifa sambil menerka-nerka arah pembicaraan Retno selanjutnya.

“Jadi saat ini kamu masih dalam masa penantian?,” Retno sepertinya hendak menegaskan jawaban Syifa.

“Iya, Mbak. Memangnya ada apa? Mbak punya rekomendasi ikhwan yang sudah siap menikah?,” Syifa berbalik bertanya.

Retno tersenyum tipis.

“Gak ada sih. Cuma Mbak beberapa waktu yang lalu bertemu sama teman lama dan ternyata binaannya bisa dibilang sudah cukup matang untuk menikah. Kalau kamu mau, berikan data dan foto kamu. Insya Allah nanti Mbak sampaikan pada teman Mbak itu untuk diproses dengan salah satu binaannya,” jawab Retno menjelaskan.
“Bagaimana?.”

“Ehmm… boleh, Mbak. Ya, siapa tahu aja jodoh. Namanya juga ikhtiar,” jawab SYifa cepat.

“Ya, semoga saja.”

“Amiin…,” sahut Syifa mengaminkan. “Kalau begitu, besok atau lusa insya Allah nanti aku kasih data dan foto aku ke Mbak,” sambung Syifa.
Retno tersenyum mendengarnya.

“Alhamdulillah…,” bisik Syifa di dalam hatinya. “Semoga memang ini jalannya. Jalan yang Kau berikan untukku menggapai surga duniaku, jalan yang Kau tunjukkan untukku berjumpa dengan mujahidku, ya Rabb,” doa Syifa kemudian. Doa dari lubuk hati yang sudah sangat merindu. Doa dari jiwa yang sudah sangat mendamba.

Dia….
Entah siapa namanya
Entah seperti apa rupanya
Tak terlintas sedikitpun
Tak terbayang segorespun
Tak ada yang tahu
Tak ada yang dapat menduga
Hanya Rabb-ku yang mengetahuinya
Rabb-ku pula yang masih merahasiakannya
Menyimpannya di balik tabir kehidupan
Karenanya…
Hanya pada-Nya aku memohon
Hanya pada-Nya aku bermunajat
Hanya pada-Nya ku gantungkan segenap asaku
Siapa pun namanya
Seperti apapun rupanya
Berikanlah yang terbaik bagi diri yang rapuh ini
Dia yang mencintai-Mu di atas segalanya
Dia yang selalu berjuang di jalan-Mu
Dia yang rupawan karena kesolehannya
Dia yang mempesona karena akhlaknya
Dia…
Siapa pun dia
Pertemukanlah aku dengannya
Dalam mahligai indah penuh barakah
Amin allahumma amin…

~~~DI LANGIT ASA (Part I)~~~

Syifa masih terpaku di atas sajadahnya meski telah mengakhiri sholatnya satu jam yang lalu dan tilawah pun telah usai dilakukannya. Wajahnya sembap oleh air mata yang tiada habis-habisnya mengairi. Ucapan Ummi Zakky saat liqo tadi sore masih terngiang terus di telinganya.

“Maafkan ana,” ujar Ummi Zakky di sesi qodoya. “Bukan ana diam saja. Bukan ana tidak melakukan apa pun. Tapi untuk saat ini, ana memang belum dapat menemukan ikhwan yang tepat bagi anti,” suara Ummi Zakky terdengar bergetar, tidak tegas dan mantap seperti biasanya. “Ana terus berusaha sebisa mungkin, terus berikhtiar mencarikan jodoh bagi anti. Bahkan ana selalu mengatakan bahwa usia anti sudah hampir memasuki 30 tahun. Jika masih harus menunggu lagi, usia anti pun akan terus bertambah, sedangkan anti adalah seorang wanita,” lanjut Ummi Zakky.

Syifa tak berpaling sedikit pun. Dalam setiap kata yang diucapkan Ummi Zakky, ia tahu persis seperti apa raut wajah Ummi Zakky. Juga pada nada suaranya yang sungguh tidak biasa terdengar. Di sudut mata Ummi Zakky, tampak butiran air yang menggenang hingga membuat mata Ummi Zakky terlihat berkaca-kaca. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat tidak biasa Ummi Zakky sampai seperti itu.

“Mungkin memang belum waktunya, Ummi,” sahut Syifa, berusaha sedikit membesarkan hati sang murobbiyah. “Jika Allah sudah menghendaki, jika memang sudah saatnya, pasti Allah akan memberi kemudahan. Ummi, ana percaya Ummi benar-benar berikhtiar untuk ana, dan ana sangat berterima kasih karenanya. Ana harap, ana tidak menjadi beban buat Ummi.”

“Insya Allah tidak. Hanya saja, ana sangat ingin melihat anti segera menikah seperti yang lainnya, bisa menyempurnakan separuh agama ini dan menyamai amalan ibadah mereka, juga bisa merasakan surga dunia ini,” kata Ummi Zakky.

Memang, di antara teman-teman satu halaqohnya, hanya Syifa yang belum menikah. Keenam teman-teman Syifa sudah menikah semua. Bahkan sudah ada yang memiliki 2 orang anak.

“Ana mengerti, Ummi.”

“Semoga anti tidak berputus asa. Kita sama-sama berikhtiar, semoga Allah segera mempertemukan anti dengan jodoh terbaik pilihan-Nya,” ujar Ummi Zakky, masih dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.

“Amin..,” suara Syifa terdengar lirih, ikut terhanyut dalam suasana yang mengharu biru.

Menikah. Siapa yang tidak ingin menikah. Siapa yang tidak ingin merasakan manisnya surga dunia itu. Menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Bahkan Islam pun begitu mengagungkan sebuah pernikahan hingga di dalam Al-Qur’an disebut dengan Mitsaqan Ghalizha. Di dunia ini, impian terindah manusia adalah menikah dan membangun sebuah keluarga yang harmonis.

Air mata Syifa masih terus membasahi wajahnya. Mata Ummi Zakky yang berkaca-kaca tadi sore, masih terus terbayang. Kurang dari lima bulan lagi, usianya memang genap 30 tahun. Itu pasti sangat membebani Ummi Zakky.

“Ya, Allah…. Aku tak bermaksud membebaninya seperti ini. Aku tak bermaksud membuatnya sampai sesedih itu. Maafkanlah aku… ampunilah aku,” ujar Syifa merasa bersalah. Tiga tahun ini, sudah empat kali Syifa melakukan ta’aruf. Tiga kali melalui Ummi Zakky, dan satu kali melalui sahabatnya. Namun, keempatnya, tidak ada yang berlanjut sampai ke pernikahan. Semuanya hanya berhenti sampai di situ. Pada proses ta’aruf.

Syifa pun tak mengerti mengapa begitu. Mengapa tak ada yang melanjutkannya hingga proses pernikahan. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia berharap semuanya akan berlanjut dan mengubah segenap kehidupannya. Entah apa yang membuat ikhwan-ikhwan itu begitu. Entah karena gelar sarjana yang telah disandangnya, atau karena usianya, atau karena hal lainnya. Syifa sungguh tak mengerti. Padahal Syifa merasa bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang guru sebuah SDIT. Keluarganya pun bukanlah keluarga yang terpandang.

Air mata Syifa kembali meleleh. Dari bibirnya kembali terurai seuntai doa.

“Ya Allah Yang Maha Tahu, dalam kebeningan matanya yang berkaca-kaca, ku mengerti getaran hatinya juga seuntai asa yang sama-sama aku dan ia miliki, ku mohon mudahkanlah jalan ini, ringankanlah langkah kaki ini. Dan air matanya dan air mataku yang mengalir ini, semoga merupakan jalan untuk menjemput kebahagiaan yang telah lama dinanti itu. Amin...”

Setelah puas menumpahkan seluruh isi hatinya, Syifa beranjak juga dari tempat sholatnya. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Sudah hampir jam sembilan malam. Syifa tak menyangka telah menghabiskan waktu selama itu. Padahal rasanya hanya sebentar.

Syifa keluar dari kamarnya dengan mata yang sedikit bengkak. Ia terus ke kamar mandi dan membasuh mukanya sebentar. Mendengar di ruang tamu agak ramai, Syifa melangkah menuju ruang tamu. Di sana terlihat ibunya sedang mengajak bermain dengan anak sepupunya yang rumahnya tidak jauh dari rumah Syifa. Syifa urung menghampiri. Ia hanya memandangi ibunya dari balik tembok yang memisahkan ruang tengah dengan ruang tamu. Ibunya terlihat bahagia bermain dengan anak sepupunya yang baru berusia 9 bulan itu. Namun itu membuat hati Syifa perih seperti tertusuk-tusuk ribuan pisau. Ibunya pasti sudah sangat mendambakan kehadiran seorang cucu dari dirinya mengingat Syifa adalah anak pertama. Ibunya pasti berharap bocah kecil di gendongannya adalah cucu kandungnya.

Syifa menarik napas. Ibunya memang telah lama mengharapkan Syifa segera menikah. Tapi hingga usia Syifa hampir memasuki 30 tahun, Syifa masih belum juga menikah. Ibunya pasti sangat mencemaskannya.

“Sampai kapan kamu mau begini terus toh, Nduk?,” tanya ibunya di suatu sore saat sedang duduk bersama-sama. “Teman-temanmu, saudara-saudaramu, semua yang sepantaranmu sudah menikah. Apa kamu gak mau menyusul mereka?.”

Saat itu, tentu saja Syifa sedih mendengar perkataan ibunya itu. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Pada sang ibu tercinta, Syifa tetap tersenyum dengan tenangnya.

“Bu, umur, jodoh dan rezeki itu sudah ada yang menentukan,” jawab Syifa meski terdengar klise. “Allah yang menentukan semua itu. Termasuk jodoh Syifa. Ibu tak perlu khawatir. Jika saatnya nanti, Allah pasti mempertemukan Syifa dengannya. Dengan jodoh Syifa, Bu. Sekarang yang terpenting, kita sama-sama berdoa, Bu. Kita sama-sama berdoa, semoga Allah memberikan Syifa jodoh yang terbaik dan memudahkan jalan untuk menuju pernikahan,” lanjut Syifa. “Doakanlah Syifa, Bu. Doakan Syifa.”

Air mata Syifa yang tadi telah berhenti, kembali membasahi wajahnya. Ia terus memandangi ibunya diam-diam dari balik tembok.

Bunda…

Bukan ku tak melihat gurat kecemasan di wajahmu

Bukan ku tak mengerti seberkas asa yang terpancar di matamu

Bukan ku tak pahami keinginan yang terpendam di dalam hatimu

Aku melihatnya,

Aku mengerti,

Dan aku sangat memahaminya,

Bunda…

Andai kau tahu,

Aku pun sangat ingin

Sangat ingin menghilangkan gurat kecemasan di wajahmu itu

Sangat ingin memenuhi keinginanmu yang terpendam itu

Sangat ingin mengubah segala asa yang kau miliki itu menjadi nyata

Agar dirimu merasa tentram

Agar wajahmu tersenyum riang

Agar bahagia menyelimuti hatimu

Tapi bunda….

Maafkanlah aku,

Yang belum dapat menghilangkan kecemasan di wajahmu

Yang belum dapat memenuhi segala keinginanmu

Yang belum dapat mengubah segenap asa itu

Maafkanlah aku bunda…

Mungkin Allah punya rencana lain untukku

Mungkin Allah masih ingin aku tetap bersamamu

Mungkin Allah ingin aku lebih banyak belajar lagi

Mungkin aku masih harus banyak berbenah lagi

Dan mungkin….

Allah masih belum ingin mempertemukan aku dengannya

Bunda….

Tak ada yang dapat kita lakukan

Selain berikhtiar dan terus berdoa kepada-Nya

Menyerahkan segala urusan ini pada-Nya

Karena itu bunda…

Doakanlah aku selalu

Doakan aku dalam setiap sujudmu

Semoga asa itu menjadi nyata

Semoga segala keinginan itu terwujud segera

Amin…..ya Robbal ‘alamin….

*** DI BAWAH NAUNGAN CINTA-NYA ***

Fani duduk di lantai kamarnya. Tubuhnya di sandarkannya pada lemari pakaiannya. Di tangannya tampak sebuah testpack, alat yang biasa dipergunakan untuk mengecek ada atau tidaknya tanda-tanda kehidupan yang baru di dalam tubuh seorang wanita.

Fani tertegun sendiri memandangi testpack yang dipegangnya. Bagaimana Fani tidak tertegun setelah melihat hasil tes urinnya yang tertera pada testpack-nya itu. Testpack yang dipegangnya itu menunjukkan hasil positif. Dan itu artinya, Fani positif hamil. Ya, positif hamil!!

Sesaat kemudian air matanya meleleh perlahan. Testpack yang dipegangnya terlepas dari genggaman tangannya dan terjatuh ke atas lantai. Fani menekuk kakinya lalu membenamkan wajahnya di atas lututnya. Ia pun terisak sendiri di dalam kamarnya.

Sebagai seorang wanita, harusnya Fani bahagia ketika mengetahui dirinya telah mengandung. Tapi kenyataannya, Fani malah tenggelam dalam air mata kesedihan yang tak dapat terbendung lagi. Tak ada sedikit pun rona bahagia tergurat di wajahnya. Ia kian larut dalam kesedihannya. Yang ada hanyalah segores penyesalan yang tersembul di dalam hatinya. Meski ia tahu, tak ada gunanya lagi ia menyesal, karena penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan kalau kini ia telah mengandung janin dari seorang laki-laki yang belum berstatus sebagai suaminya.

Tapi…, bukankah itu baru hasil testpack? Fani pernah mendengar kalau hasil tes urin dengan menggunakan testpack belum tentu tepat dan tidak bisa dipercaya 100%. Jadi, bisa saja hasil tes-nya salah. Lagi pula, Fani belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan, jadi belum tentu ia hamil.

Fani mengangkat wajahnya dan menghapus air mata yang masih menggenang di pipinya. Fani berhenti menangis. Fani merasa belum saatnya ia bersedih sekarang. Ia masih memiliki sedikit harapan karena toh, ia belum belum ada hasil tes dari dokter kandungan yang menyatakan dirinya mengandung. Jadi, tak seharusnya ia bersedih sekarang!

Fani mengumpulkan kembali segenap energinya. Ia harus tetap semangat dan tetap bersikap biasa. Masih ada sedikit harapan baginya. Esok hari, ia niatkan untuk mendatangi dokter kandungan dan memeriksa keadaannya. Ya! Jika hasil tes-nya positif, barulah ia benar-benar boleh percaya kalau ia memang mengandung!


*****


Fani duduk sendiri di sudut sebuah kafe. Ia duduk dengan hati berdebar hingga tanpa disadarinya, jus alpukat yang sejak tadi disruputnya telah habis diminumnya. Hatinya memang terlalu gelisah, sehingga Fani berulang kali minum untuk menghilangkan kegelisahannya itu.

Fani melirik handphone-nya, sudah hampir setengah jam ia duduk menunggu dalam kegelisahannya. Tapi orang yang ditunggunya belum juga terlihat di hadapannya. Fani pun kian cemas dibuatnya. Namun bukan hanya karena orang yang ditunggunya itu belum datang, tapi juga karena sehelai amplop putih yang berada di atas meja kafe siang itu. Fani melirik amplop putih itu sesaat. Lalu ditariknya nafas dalam-dalam.

“Hai, Babe. Maaf ya aku datang telat,” sapa seorang pemuda seusia Fani yang tiba-tiba mendekati Fani dan duduk di hadapannya. Dari panggilan akrab itu, orang yang belum mengenal mereka berdua pun dapat mengetahui kalau pemuda yang datang itu tidak lain adalah kekasih Fani.

“Tadi mendadak diminta dosen pembimbing untuk menghadap, “ lanjut pemuda yang 2 tahun ini menjadi kekasih Fani.
“Gak apa-apa, Steve,” jawab Fani meski sedikit kecewa dengan keterlambatan Steven.

Fani tidak langsung mengajak Steven berbicara. Ia membiarkan Steven memesan minuman sejenak sambil menunggunya terlihat lebih rileks. Steven terlihat sedikit terengah-engah. Dia pasti terburu-buru karena merasa sudah telat datang ke kafe.

Steven memesan segelas jus jeruk dan langsung meminumnya begitu pelayan kafe meletakkan minuman pesanannya itu di mejanya.
“Ada apa ngajak ketemuan di sini? Di telefon tadi, kaya’nya ada hal yang penting banget yang harus dibicarakan. Memangnya ada apa sih?,” tanya Steven membuka percakapan.

Fani menghela nafas. Tangannya mengaduk-aduk gelas yang tidak lagi berisi jus.

“Beberapa hari yang lalu aku ke rumah sakit,” jawab Fani dengan raut wajah yang serius.

“Ke rumah sakit? Kenapa? Kamu baik-baik aja kan? Gak sakit apa-apa kan?,” tanya Steven lagi, berusaha memperlihatkan perhatiannya pada Fani.

Fani menggeleng pelan.

“Lantas?.”

“Aku baik-baik aja. Aku ke rumah sakit untuk periksa urin,” jawab Fani. Raut wajahnya tidak berubah sedikit pun.

“Tes urin? Buat apa? Kamu gak pernah pake obat-obatan terlarang kan?,” Steve tampak penasaran.

Fani kembali menggelengkan kepala. Namun kali ini ia tak menjawab apa-apa. Hanya diberikannya amplop putih di atas meja pada Steven.
Steven semakin heran dibuatnya. Di atas amplop itu tertulis nama salah satu rumah sakit di kota mereka tinggal. Steven membuka amplop putih itu dengan penuh penasaran. Ia mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalam amplop dan membacanya dengan seksama.

Fani hanya terdiam. Ia menunggu reaksi Steven sambil memandangi mimik muka Steven.

“Apa maksudnya ini?,” tanya Steven usai membaca selembar kertas yang tadi ada di dalam amplop putih dari rumah sakit itu. Entah dia memang tidak mengerti, atau ia bertanya dan pura-pura tidak mengerti. Entahlah! Fani tidak ingin menerkanya.
Fani menarik nafas.

“Itu hasil tes urin aku yang menyatakan kalau sekarang aku sedang mengandung,” jawab Fani kemudian. “Mengandung anakmu!,” Fani menegaskan.

“Lantas?,” tanya Steven lagi. Tak ada mimik terkejut di wajahnya. Suaranya pun terdengar ringan bertanya, seolah tanpa beban dan tak ada apa-apa.

Fani sedikit kesal dengan respon Steven itu.

“Kenapa malah bertanya kaya’ gitu? Kita harus mencari jalan keluar dari permasalahan ini sebelum perutku semakin membesar dan semua orang tahu kalau aku ini sedang mengandung,” jawab Fani jengkel.
Steven tersenyum kecil.

“Jalan keluar? Baiklah. Kita cari jalan keluarnya. Kamu mau jalan keluar yang bagaimana?,” tanya Steven kemudian.

Kejengkelan Fani agak reda mendengar ucapan Steven itu yang tidak bereaksi negative apalagi sampai mengingkari perbuatan terkutuk yang pernah mereka lakukan, juga tidak mengingkari kalau janin yang ada di dalam rahim Fani adalah hasil hubungan intim mereka berdua.
“Menurut kamu bagaimana, Steve?,” kali ini Fani balik bertanya.
Steven terdiam sejenak. Fani menunggunya dengan berjutaan pertanyaan dan jutaan ide yang coba digalinya untuk mencari jalan keluar permasalahannya. Selang beberapa menit barulah Steven kembali angkat bicara.

“Kita gugurkan saja bayi dalam kandungan kamu itu,” ujar Steven mengungkapkan ide yang didapatkannya barusan.

Tentu saja Fani terkejut mendengarnya.

“Apa? Menggugurkannya?!,” seru Fani dengan suara yang ditekan agar tidak terdengar oleh orang-orang yang ada di sekeliling mereka. “Steve, kamu sadar gak sih, bayi yang ada dalam kandunganku ini bayi kita, masa’ kita tega sih menggugurkannya?,” tanya Fani yang kembali jengkel pada Steven.

“Tapi kalau gak digugurkan, apa kamu siap menanggung malu? Hamil di luar nikah!!,” sahut Steven.

“Karena itu, kita harus menikah,” ucap Fani seraya berusaha menahan tangis.

“Menikah?!.”

“Ya, menikah! Masuklah agamaku lalu kita menikah,” tegas Fani pada kekasihnya yang beragama protestan itu.

“Ya, ampun, Fan. Kamu kira menikah itu gampang apa!! Apalagi kalau aku sampai harus berpindah agama,” jawab Steven menanggapi usulan Fani.

“Lalu harus bagaimana? Apa kamu gak kasihan sama aku dan bayi kita?.”

Steven tidak menyahut. Keduanya pun tenggelam dalam kebisuan hingga beberapa saat lamanya.

“Bagaimana kalau kita menikah, tapi dengan tetap berada di dalam agama kita masing-masing,” usul Steven tiba-tiba.

Tentu saja Fani terkejut bukan main mendengarnya.

“Apa? Menikah dalam keadaan agama berbeda?!,” seru Fani terbelalak.
Steven mengangguk cepat.

“Iya! Bukankah kita tetap sama-sama mempertahankan keyakinan kita. Aku gak mau ikut agama kamu & kamu pun begitu. Jadi, kenapa harus diributkan? Kita bisa tetap menikah dengan tetap memegang teguh agama kita masing-masing. Gimana?.”

“Steve itu gila!.”

“Gila? Menurutku nggak! Banyak orang-orang yang beda agama menikah & kehidupan rumah tangganya justru tentram dan damai dibandingkan mereka yang menikah dalam satu agama. Bahkan ada yang rumah tangganya tetap bertahan hingga memiliki banyak anak cucu,” ujar Steven berusaha meyakinkan hati Fani.

“Kamu tahu kenapa mereka bisa tetap bertahan seperti itu meski memiliki keyakinan yang berbeda? Itu karena cinta. Itu karena mereka saling mencintai, sehingga perbedaan apa pun yang ada di antara mereka, mereka tetap bisa mempertahankan rumah tangga mereka,” lanjut Steven.

Fani hanya terdiam mendengarkan dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk.

“Fan, kita pun bisa seperti mereka, membangun sebuah rumah tangga yang indah. Rumah tangga yang kita impikan. Karena di hati kita, ada cinta. Ada cinta yang akan selalu bersemi dan menghiasi hidup kita.”
“Tapi, Steve…,” Fani tidak yakin dengan semua yang dikatakan Steven. Namun ia pun kian bertambah bingung.

“Fan, anak dalam kandunganmu membutuhkan seorang ayah, bukan? Aku pun gak ingin ia lahir tanpa memiliki seorang ayah. Jadi, menikahlah denganku. Lalu kita akan membesarkan anak kita bersama-sama hingga mereka dewasa dan memberikan kebanggaan bagi kita,” bujuk Steven lagi.

Fani menghela nafas.

“Entahlah, Steve,” kata Fani penuh kebimbangan.
Steve meraih tangan Fani lalu menggenggamnya erat.
“Pikirkanlah ucapanku tadi, demi kita, demi anak kita,” sahut Steve berusaha untuk terus meyakinkan hati Fani yang bingung dan bimbang.
Fani hanya terdiam seribu bahasa. Begitu banyak hal yang merasuk dalam pikirannya. Ia begitu bimbang, begitu bingung dengan keputusan yang akan diambilnya, untuk mencari jalan keluar segala permasalahannya itu. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana. Ia sungguh tak tahu harus melakukan apa.


*****
Di sudut malam yang sunyi, Fani terdiam sendiri di dalam kamarnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang bercat kuning muda. Namun, meski Fani sedang menatap langit-langit kamarnya, ia sedang tidak memandangi langit-langit kamarnya itu. Sesungguhnya alam pikirannya sedang melayang jauh ke berbagai tempat yang ia sendiri tak tahu akan berhenti dimana. Pikirannya benar-benar tak tentu arah. Haruskah ia menggugurkan kandungannya ataukah mengikuti ide gila Steven untuk menikah dalam kondisi beda agama. Fani bingung bagaimana mencari jalan keluar bagi permasalahannya itu.
Saat ini, mungkin memang belum terlihat kalau Fani sedang mengandung. Tapi seiring berjalannya waktu, janin di dalam perutnya itu akan semakin membesar & semua orang akan mengetahui kalau sebenarnya ia berbadan dua. Lalu bagaimana Fani akan menghadapi semua itu? Menghadapi gunjingan orang-orang yang mengenalnya, dan terutama menghadapi kedua orang tuanya.

“Huf!!,” gumam Fani seraya menghela nafas.

Fani menyadari kalau perbuatannya kali ini sangat membuat malu orang tuanya. Bahkan ia benar-benar telah sangat bersalah pada kedua orang tuanya yang telah membesarkannya, mendidiknya dan memberikan kepercayaan padanya karena telah menyia-nyiakan semua pemberian orang tuanya itu juga mengkhianati kepercayaan mereka yang selama ini percaya kalau Fani tidak berpacaran dengan seorang laki-laki pun. Tapi apa yang telah dilakukannya? Fani justru berpacaran. Bukan hanya itu, Fani bahkan berpacaran dengan laki-laki non muslim dan telah melakukan hubungan intim dengan pacarnya itu! Jika kedua orang tuanya mengetahui, mereka pasti tak akan memaafkannya. Tidak akan!!

Air mata Fani meleleh perlahan.

Tidak!! Fani merasa kalau ia memang tak pantas untuk dimaafkan. Betapa banyak kebohongan yang telah diperbuatnya. Betapa banyak kesalahan yang telah dilakukannya. Ia merasa sungguh tak layak mendapatkan maaf. Dosa yang dilakukannya amat besar. Yah, teramat besar!! Fani tiba-tiba teringat perkataan guru agamanya saat di SMU dulu yang pernah mengatakan kalau dosa besar setelah syirik adalah berzina! Na’udzubillah!! Dan hukuman yang diberikan pada orang berzina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali, sedangkan hukman bagi orang yang berzina yang telah menikah adalah dirajam!
Tangis Fani kian tak tertahankan. Ia kian terisak dalam tangisnya.

“Ya, Allah. Betapa besar dosa yang telah ku lakukan. Sanggupkah aku menebus semua dosa itu? Sanggupkah aku menahan panasnya siksa nereka-Mu ya, Allah,” bisik Fani perih.

Dalam derai tangisnya, hatinya menyesali semua perbuatannya meski ia sadar semua penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan hidupnya saat ini.

“Apa yang harus ku lakukan kini ya, Allah? Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Haruskah ku ikuti kemauan Steve, menikah beda agama demi anak dalam kandunganku ini karena aku tak mau masuk agamanya dan menyekutukan-Mu?! Atau haruskah ku tanggung deritaku ini sendiri karena aku tak tega membunuh darah dagingku ini?! Tapi dengan menambah beban kedua orang tuaku, juga membuatnya malu tiada terkira,” bisik Fani lagi pada Rabb-nya yang Maha Mendengar segala bisikkan hati manusia.

Kebimbangan di hati Fani, membuat alam pikirannya kembali pada masa SMA-nya dahulu di mana ia pernah diajarkan praktik shalat istikharah oleh guru agamanya. Saat itu guru agamanya berujar kalau shalat istikharah dilakukan ketika seseorang bimbang menghadapi pilihan dalam hidupnya. Karena hanya Allah yang Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya, sebelum memutuskan sebuah perkara yang membingungkan, manusia diharuskan untuk shalat istikharah meminta petunjuk-Nya pilihan mana yang terbaik baginya.

Lintasan masa SMA-nya itu, menggerakkan hati Fani untuk bangun dari tempat tidurnya dan segera mengambil air wudhu. Beberapa menit kemudian, Fani pun telah tenggelam dalam shalatnya.

Fani larut dalam kekhusyu’an shalatnya. Air matanya tak berhenti mengalir sepanjang shalatnya. Usai shalat, Fani memanjatkan untaian do’a pada Rabb-Nya seraya memohon ampunan-Nya atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya meski ia merasa sangat tak pantas mendapatkan ampunan dari Rabb yang telah begitu banyak memberikan berbagai kenikmatan padanya, yang jika ia mencoba menghitung segala kenikmatan itu, tak kan pernah sanggup ia hitung jumlahnya.

Cukup lama Fani menengadahkan tangannya, berdoa kepada Sang pemilik hidup. Rupanya Fani benar-benar menyesali segala perbuatannya dan tak ingin mengulangi semua kesalahannya dahulu.
Setelah lama berdoa, Fani merasa hatinya sudah lebih tenang dari sebelumnya meski jalan keluar dari masalahnya belum ditemukannya dan ia belum tahu harus memutuskan apa. Fani kembali teringat perkataan guru agamanya kalau Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia di muka bumi ini. Mungkin saja dengan Al-Qur’an, ia bisa mendapatkan petunjuk dan jalan keluar bagi segala permasalahannya itu.

Fani pun mengambil sebuah mushaf Al-Qur’an di atas rak bukunya. Sebuah mushaf bersampul coklat tua, yang selama ini hanya sekedar menjadi pemanis koleksi bukunya di rak buku. Entah kapan terakhir kali Fani membaca mushaf itu. Fani tidak ingat sedikit pun. Sejak ia lulus SMA, ia hampir tidak pernah membaca Al-Qur’an. Kalau saja dahulu ia mau membaca dan memahami Al-Qur’an, mungkin hidupnya tak kan tersesat seperti sekarang ini. Seperti sebuah hadits Rasulullah yang pernah didengarnya yang mengatakan kalau manusia tak kan tersesat jika berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.

Fani kembali duduk di atas sajadahnya dengan menghadap kiblat. Sesungguhnya ia tak tahu harus bagaimana dengan mushaf yang ada di tangannya itu. Membaca Al-Qur’an, ia masih terbata-bata. Memahami maknanya? Apa mungkin ia bisa melakukannya? Fani asal membuka mushafnya karena tidak tahu harus mencari petunjuk itu dalam berbagai kejadian yang terjadi dalam hidupnya.

Fani membolak-bolak lembaran-lembaran mushafnya karena tak tahu harus membaca surat apa dan ayat berapa. Hingga akhirnya, tangannya pun lelah membolak-bolik lembaran mushafnya dan berhenti tepat di surat Al-Baqarah. Fani pun membaca perlahan terjemah ayat-ayat surat Al-Baqarah yang ada di hadapannya, dari ayat 220 sampai ayat 230 yang membahas masalah pernikahan dan rumah tangga. Namun di antara kesebalas ayat tersebut, perhatian Fani hanya terfokus pada ayat 221 dari surat Al-Baqarah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 itu Allah berfirman,

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya dengan manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Fani merenung sendiri memikirkan ayat tersebut. Dalam ayat tersebut sangat jelas kalau Allah melarang orang-orang beriman menikah dengan seorang musyrik. Dan artinya, pernikahan beda agama itu haram. Itu juga berarti, orang-orang beda agama yang katanya telah menikah, sebenarnya mereka tidaklah menikah karena pernikahan mereka tidaklah sah dihadapan Allah. Dengan kata lain, sama saja mereka telah melakukan zina. Na’udzubillah.

“Ya Allah, aku sudah melakukan dosa sedemikian besar, betapa tak punya malunya aku jika aku sampai melakukan dosa besar itu lagi,” Fani teringat lagi tawaran Steven tadi siang.

“Tapi, apa yang harus ku lakukan? Menggugurkan janin ini? Itu pun dosa besar dan aku tak kan sanggup melakukannya,” lirih Fani.
Fani kembali terisak. Ia sudah menemukan jawaban dari tawaran Steven tadi siang. Ia pun telah menyadari semua kesalahannya selama ini. Meski ia belum menemukan jalan keluar dari semua permasalahannya, Fani bersyukur karena masih menyadari kesalahan-kesalahannya & menyesalinya sehingga tidak semakin terjerembab dalam jurang dosa.

Fani terus terisak seraya terus memanjatkan untaian doa-doa pada Rabb-Nya.
“Hati hitam mengenangkan
dosa-dosa yang ku lakukan

Telah aku merasakan
derita jiwa dan perasaan,
telah hilang dari jalan
menuju Ridho-Mu ya Tuhan

ku akui kelemahan ini
ku insafi kekurangan ini
ku kesali kesalahan ini

dihamparan ini ku meminta
semoga taubatku diterima.”

*****

Fani mempercepat langkahnya. Di taman kota itu, di tempat yang pernah dilaluinya bersama dengan Steven untuk memadu kasih, ia kembali dating ke sana. Namun kali ini wajahnya tak secerah biasanya ketika ia datang ke tempat itu. Wajah Fani terlihat sembap, matanya tampak sedikit bengkak. Sangat jelas terbaca kalau ia sedang menyimpan kesedihan yang teramat sangat. Kesedihan yang hanya disimpannya seorang diri, tanpa hendak ingin dibaginya dengan siapa pun.

Seperti yang telah diduganya, Steven telah menunggunya di sebuah bangku di salah satu sudut taman. Senyumnya mengembang manakala matanya menangkap kedatangan Fani.

“Hai, Babe,” sapanya dengan kepanggilan kesayangannya untuk Fani.
Fani tidak menanggapi sapaannya itu. Ia hanya terdiam tanpa kata di hadapan Steven sambil merogoh tasnya. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan memberikannya pada Steven.

“Maaf, aku gak bersedia menikah denganmu dalam keadaan beda keyakinan seperti ini,” ujar Fani kemudian penuh ketegasan.

“Lalu bagaimana denganmu? Dengan bayi kita?,” tanya Steven terkejut mendengar perkataan Fani.

“Semua jawabannya ada di dalam surat itu,” jawab Fani seraya beranjak pergi dari hadapan Steven.

Steven terheran-heran melihat sikap Fani yang tidak biasa. Namun ia tidak berusaha mengejar Fani. Dibiarkannya Fani berlalu pergi darinya. Ia pun membuka sepucuk surat yang diberikan Fani untuknya. Sepucuk surat yang menjelaskan semua keputusan yang diambil Fani akan semua permasalahannya juga akan hidupnya selanjutnya.

*****

Adzan Subuh baru saja berkumandang. Memecah kesunyian pagi di bawah langit yang masih gelap gulita. Suara tangis bayi tiba-tiba turut memecah kesunyian pagi itu, seolah ikut menyambut fajar baru yang segera hadir.

Ustadzah Faizah menghampiri Fani di ranjang. Dalam gendongannya tampak bayi mungil yang sudah bersih dan rapih. Ustadzah Faizah memberikan bayi itu pada Fani agar Fani melihatnya.

Fani tersenyum melihat bayinya. Lalu dikecupnya sang bayi dengan penuh kasih sayang.

“Bayi mungil yang tanpa dosa. Sungguh dirimu bukanlah anak haram, Nak. Tapi ibumu inilah yang telah melakukan perbuatan haram,” ujar Fani tersedu melihat anaknya yang baru saja dilahirkannya.

Ustadzah Faizah mengusap punggung Fani perlahan.

“Sudahlah. Itu masa lalu. Yang terpenting sekarang, perbaiki dirimu dan besarkan anakmu dengan penuh kasih sayang dan didik ia dengan baik,” ucapnya lembut.

Fani mengangguk dan tersenyum.

“Insya Allah, ustadzah, “ sahutnya. Lalu ia menatap bayinya kembali.
“Nak, ku beri kau nama Nurul Hidayah dengan harapan dirimu akan selalu mendapat cahaya petunjuk Allah dalam hidupmu agar hidupmu tak tersesat seperti ibumu ini,” lanjut Fani lirih.

“Amin ya Allah,” sahut Ustadzah Faizah mengamini.

Sejak terkahir kali bertemu dengan Steven, Fani pergi dari kehidupannya juga dari keluarganya. Ia lebih memilih menanggung kesalahannya seorang diri dari pada harus membuat malu kedua orang tuanya atau pun menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dengannya. Ia tak ingin menambah dosa lagi dan bertekad untuk mengubah hidupnya selama ini. karena itulah Fani lebih memilih pergi ke sebuah pesantren dan menjalani sebuah hari yang baru demi anaknya tercinta. Hari baru di bawah naungan cinta sang Illahi Rabbi.

####DUHAI PENDAMPINGKU####

Fajar tlah datang menyibak malam. Sang surya tlah bersiap menampakkan dirinya untuk menyinari bumi, menggantikan rembulan yang cahayanya kian memudar di ufuk barat. Dika duduk di sisi tempat tidur Yogie. Matanya menatap Yogie, tangannya menggenggam erat tangan Yogie. Sementara bibirnya menyenandungkan doa al’matsurat di pagi hari dengan suara pelan.

“Allahumma inni asbahtu minka, fi ni’matin wa ‘afiyatin wa sitri fa atimma ‘alayya ni’mataka wa ‘afiyataka wa sitroka fiddunya wal akhiroh,” ucap Dika hingga tiga kali dengan penuh keyakinan dari dalam hatinya.

Sudah sekitar 12 jam Yogie tak sadarkan diri. Matanya masih terus terpejam dengan kedua bibir yang masih saja mengatup. Dika menarik nafas. Doa robithoh baru saja selesai dilantunkannya. Ia berdiri dan melangkah menghampiri jendela yang masih tertutup rapat. Dibukanya gorden jendela lebar-lebar hingga sinar mentari pagi menyorot masuk ke dalam kamar.

Dika menatap keluar jendela seraya berusaha menghilangkan segala cemas di hatinya, melenyapkan segala gundah yang bersarang dalam dirinya. Dika berusaha untuk tetap yakin dan optimis tak kan terjadi apa-apa pada Yogie. ia percaya Yogie akan segara sadar dan kembali segar seperti sedia kala lalu menikah seperti yang diimpikannya selama ini. Dika percaya itu! Sangat percaya! Jika Dika sendiri tak percaya, bagaimana ia akan meyakinkan Yogie untuk tetap bertahan, meyakinkan Yogie untuk tidak menyerah pada penyakitnya, meyakinkan Yogie untuk terus menggapai mimpi dan citanya.

Ya! Dika harus tegar! Harus tetap kuat! Tak boleh menangis! Tak boleh bersedih! Ia harus tersenyum penuh optimis! Demi Yogie, adik yang sangat dicintainya.

“Gie, lihat, mentari di luar sana. Bersinar cerah, menerangi bumi. Bangunlah dan lihat sinar cerahnya yang indah? Bangunlah dan rasakan hangat cahayanya. Bangunlah, Gie. Bangun, seperti mentari yang menyembul dari balik awan lalu menghias indah langit biru yang membentang luas di angkasa. Bangunlah, Gie! Bangun dan bersinarlah dengan cerahnya. Bangun dan hangatkan kami semua dengan canda tawamu. Bangun dan hiasilah hari-hari kami dengan keceriaanmu kembali,” ujar Dika lirih sambil mengusap air mata yang meluncur di pipinya.

Dika melangkah kembali ke kursi di samping bangsal Yogie dan duduk di sana kembali. Lagi…dan lagi, ia menatap Yogie penuh cinta, penuh harap yang tiada terkira.

“Gie, teruslah berjuang. Kami semua di sini, masih di sini, menantimu sadar kembali. Kamu gak sendiri, Gie. Ada Kak Dika, ada Fisha, Ayah, Ibu, Bahrul dan juga….. Nisa. Nisa masih menunggumu untuk kamu nikahi. Bangunlah! Jangan buat ia bersedih karenamu. Bangunlah dan ikatlah ia dengan janji sucimu pada Rabb-mu,” bisik Dika meski mata Yogie masih saja terus terpejam. Dika tak menyerah, tak kenal menyerah. Ia terus saja mengajak Yogie bicara untuk meyakinkannya, untuk menguatkannya untuk terus bertahan hidup dan tak menyerah.

Terkadang Dika membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an lalu membacakan artinya. Terkadang Dika menceritakan kisah-kisah penuh perjuangan dari para sahabat Rasulullah. Terkadang pula Dika bernyanyi sendiri menyenandungkan nasyid-nasyid haroki yang penuh dengan semangat dan kebulatan tekad. Sedikit pun Dika tak menyerah agar Yogie pun tak menyerah. Sedikit pun ia tak putus asa meski tak ada perubahan yang berarti pada diri Yogie. Yogie masih terdiam membisu di dalam ruangan yang serba putih itu.

“Allahu akbar Allahu akbar…..,” suara azan terdengar berkumandang dari Masjid rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari ruang tempat Yogie dirawat.

Dika melihat jam di layar handphone-nya. Sudah Zuhur rupanya. Detik-detik yang terasa berjalan dengan amat lama. Padahal, selama ini Dika merasakan kalau detik-detik waktu yang dilaluinya sangat cepat berjalan. Hingga terkadang, waktu selama 24 jam, tak cukup untuknya. Mungkin itu dikarenakan kesibukannya. Di rumah sakit itu, Dika tak banyak melakukan aktivitas hingga waktu pun terasa berjalan sangat lambat sekali.

“Allahu akbar….Allahu akbar,” suara azan masih terus berkumandang.

“Allahu akbar,” tiba-tiba terdengar suara yang sangat lemah menjawab azan.

Dika menoleh ke arah Yogie. Ia pun menatap dengan penuh takjub. Yogie membuka matanya. Ya! Yogie sudah sadar. Bahkan ia mendengar suara azan yang berkumandang dan menjawabnya meski ia masih teramat lemah.

“Subhanallah walhamdulillah walaa ilahaillallah wallahu akbar!,” seru Dika bersyukur melihat adik laki-lakinya sudah terbangun dari tidur panjangnya. Ia pun memeluk Yogie penuh haru. Lalu ditatapnya Yogie dalam-dalam.

“Gie, akhirnya kamu sadar juga. Akhirnya kamu bangun juga,” ujar Dika tersenyum namun masih dengan mata yang sembap.

“Memang tidurku lama banget ya, Kak?,” tanya Yogie dengan suara yang masih sangat lemah.

“Kamu gak sadarkan diri sejak Maghrib kemarin. Sampai-sampai kami semua cemas melihat keadaan kamu,” jawab Dika. Ia mengusap kening Yogie perlahan.

“Maaf, maaf sudah membuat kalian cemas. Maaf sudah membuat waktu Kakak tersita hanya untuk menjagaku. Maafkan aku, Kak,” ucap Yogie merasa bersalah.

Dika menggeleng.

“Kakak yang harusnya minta maaf sama kamu, Gie. Karena Kakak kamu jadi begini. Karena Kakak juga, semua orang jadi cemas padamu. Kalau saja Kakak ikut menemani kamu dan Ibu kemarin, kamu gak perlu merasa keletihan sampai akhirnya drop seperti ini.”

Yogie tersenyum.

“Jangan menyesali yang sudah terjadi, Kak. Ini bukan kesalahan, Kakak.”

“Tapi Kakak nyaris saja membuat rencana pernikahanmu dan Nisa berantakan, Gie,” potong Dika cepat.

Yogie kembali tersenyum.

“Kak, ingat, ada Allah yang Maha Memiliki rencana. Semua yang terjadi, pastilah sudah direncanakan-Nya. Jika ternyata aku harus mati sebelum sempat menikah dengan Nisa, maka itu memang sudah takdir yang digariskan Allah untukku,” sahut Yogie lagi. “Kak, sudahlah jangan menyesali diri terus. Lebih baik ceritakan padaku, bagaimana reaksi Nisa saat kondisiku drop,” sambungnya.

Mendengar ucapan adiknya, Dika tertawa kecil. Sedih yang tadi sekilas menggelayutinya pun sirna seketika.

“Hm….yang udah ngebet nikah! Baru sadar yang ditanya bukan orang tua dan saudara, tapi malah calon istri! Ck...ck… jangan-jangan selama gak sadar pun yang ada dalam alam bawah sadar kamu cuma Nisa aja!,” wajah Dika mulai ceria kembali.

Yogie menyengir.

“Kalau Ayah, Ibu, Kak Dika atau Nisa, aku sudah bisa membayangkan seperti apa cemasnya kalian. Tapi Nisa, gak terbayangkan sedikit pun.”

Dika kembali tertawa kecil.

“Wah, jadi sekarang lebih mengkhawatirkan Nisa ya?!,” ledek Dika.

“Sudah jawab saja!.”

Dika terdiam sejenak. Ia memperhatikan raut wajah Yogie yang sedang menanti jawabannya dengan penuh penasaran.

“Begitu mendengar kamu masuk rumah sakit, Nisa dan keluarganya langsung datang semalam. Ia sangat mencemaskan kamu. Setelah pulang pun ia beberapa kali menghubungi Kak Dika dan menanyakan keadaan kamu,” jawab Dika kemudian.

Yogie tersenyum mendengarnya.

“Hei, kok malah senyum-senyum?.”

“Ya, iyalah! Siapa yang gak senang dicemaskan sama calon istri. He..,” Yogie kembali menyengir. “Kak, aku ingin menikah dengannya, Kak. Sangat ingin. Aku ingin memiliki anak yang banyak dengannya dan membesarkan anak-anak kami bersama kelak,” sambung Yogie kemudian. Kali ini dengan mimic wajah yang serius.

Dika tersenyum.

“Insya Allah, kamu pasti bisa, Gie. Kamu pasti bisa! Insya Allah, kamu dan Nisa akan menikah dan memiliki banyak anak. Lalu membesarkan anak-anak bersama hingga mereka dewasa dan memberikanmu banyak cucu,” sahut Dika berusaha menyemangati. “Karena itu, kamu harus kuat, kamu harus terus berjuang menghadapi penyakit kamu. Jangan menyerah sedikit pun sambil terus memohon kesembuhan pada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Yogie mengangguk. Lalu ia menggamit tangan Dika perlahan.

“Kak, kita shalat dulu. Tolong bantu aku ya..,” pinta Yogie pada kakak satu-satunya itu.

Dika pun menuruti Yogie. Ia membantu Yogie untuk duduk dan membantunya bertayamum. Lalu kedua kakak beradik itu pun shalat berjama’ah di dalam ruangan yang terasa sungguh tak nyaman itu meski ruangan itu bersih dan ber-AC.


*****




Hari itu, Sabtu 7 Agustus 2010, pemandangan yang tak seperti biasanya terjadi di rumah sakit tempat Yogie dirawat. Hari itu, Yogie dengan dibantu kedua orang tua dan kedua saudaranya tengah bersiap untuk keluar dari rumah sakit. Namun pulangnya Yogie hari itu, bukan untuk pulang ke rumahnya, tapi untuk ke rumah Nisa dan melangsungkan akad nikah dengan wanita yang telah dipinangnya itu.

Yogie telah siap dengan setelan baju pengantin berwarna putih dan celana putih beserta dengan kopiah putihnya. Dengan kondisi masih lemah, ia keluar dari ruangan perawatannya menggunakan sebuah kursi roda. Dika mendorong kursi rodanya di belakang.

Sementara itu, sepanjang perjalanan dari ruang perawatan hingga ke pelataran rumah sakit, Yogie dilepas dengan ucapan selamat dan doa dari para dokter, perawat maupun pasien rumah sakit yang sudah mengetahui hari itu ia akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh, suasana yang membahagiakan dan sangat tak biasa bagi seorang pasien di rumah sakit.

Dari rumah sakit, Yogie dan keluarganya langsung berangkat menuju rumah Nisa dengan menggunakan sebuah mobil Avanza hitam milik perusahaan tempat Pak Yusuf bekerja. Sementara beberapa sanak saudara dan teman Yogie yang akan turut menghadiri acara pernikahannya, telah lebih dahulu berangkat ke rumah Nisa dan menunggu di sana.

Mereka tiba di rumah Nisa setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam dari rumah sakit. Setibanya di rumah Nisa, semua orang telah menunggu Yogie di sana. Mereka semua menyambut Yogie dengan suka cita. Suka cita yang tidak biasa tentunya. Tak biasa karena sang mempelai laki-laki yang baru saja keluar dari rumah sakit dan hampir saja acara pernikahannya batal. Sehingga manakala mempelai laki-laki dapat hadir dan tetap melanjutkan rencana semula, mereka semua sangat bersyukur karenanya.

Tanpa menunda-nunda lagi, acara yang pernikahan Yogie dan Nisa pun dimulai. Yogie duduk di panggung kecil yang akan digunakan sebagai tempat pelaminan. Di hadapannya, Pak Hamzah, ayah Nisa duduk dengan didampingi seorang penghulu dan saksi. Sementara Pak Yusuf dan Bu Renna duduk di samping Yogie. Di samping Bu Renna, Fisha duduk dengan manisnya. Sedangkan Dika sibuk mengabadikan acara yang sangat bersejarah bagi adiknya itu dengan kamera digitalnya.

Acara pagi itu dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Lalu dilanjutkan dengan sambutan dari kedua keluarga dan dari penghulu. Setelah itu barulah acara akad nikah dilaksanakan. Yogie dan Pak Hamzah saling berjabatan tangan dan mengucapkan ijab qabul. Sementara dari dalam kamarnya, Nisa dengan didampingi Bu Siti, ibunya, mengikuti dengan penuh khusuk. Usai ijab qabul, Bu Siti membawa Nisa keluar dari kamarnya dan menyandingkannya dengan Yogie.

Pagi itu, Yogie memberikan mahar sebuah cincin emas putih yang berukirkan namanya. Yogie pun memakaikannya di jari manis Nisa dengan hati berdebar tak karuan sehingga wajahnya memerah. Orang-orang yang melihatnya pun riuh menyorakinya dan menggodanya. Setelah menyelipkan cincin di jari Nisa, tanpa diduga, Yogie memberikan sebuah kejutan bagi Nisa. Tiba-tiba ia melantunkan surat Ar-Rahman dengan begitu syahdunya sebagai hadiah untuk Nisa dan sebagai ungkapan rasa syukurnya pada Sang Maha Cinta yang dengan cinta-Nya akhirnya Yogie dapat mewujudkan mimpinya untuk menikah. Apalagi ia sempat drop dan masuk rumah sakit selama beberapa hari menjelang hari pernikahannya.

Suasana di tempat itu pun kembali sunyi senyap. Semua yang hadir menyimak lantunan surat yang dibacakan Yogie dengan berbagai perasaan yang melebur menjadi satu. Ada bahagia, haru, syukur yang tiada terkira. Hingga gerimis pun turun membasahi para hadirin.

Usai membacakan surat Ar-Rahman, ternyata Nisa tak mau kalah dengan Yogie. Ia juga memberikan sebuah kejutan bagi Yogie dan semua orang yang hadir.

“Di hari yang berbahagia ini, izinkanlah aku turut memberikan sebuah hadiah untuk suamiku tercinta,” ujar Nisa tiba-tiba. “Waktu itu, akhi Bahrul memberikan sebuah naskah padaku. Setelah ku baca, naskah tersebut sangat bagus dan penuh makna hidup. Akhirnya ku kirimkan naskah tersebut ke sebuah majalah nasional atas nama si penulis. Dan alhamdulillah, naskah tersebut diterbitkan. Naskah tersebut ditulis oleh suamiku tercinta,” sambung Nisa.

Seorang kakak Nisa tampak mendekat dan memberikan sebuah majalah pada Nisa. Nisa segera membuka sebuah halaman di majalah itu yang berisi artikel naskah yang dimaksudnya tadi. Ia memperlihatkannya pada Yogie dan para hadirin.

“Ini dia majalahnya, dimuat di edisi minggu ini. Semoga ini menjadi hadiah yang sangat berharga untukmu. Dan semoga hadiahnya nanti, dapat dipergunakan untuk bulan madu kita berdua,” ujar Nisa dengan raut wajah yang tersipu malu. Lalu diberikannya majalah itu pada Yogie yang diiringi dengan tepuk tangan hadirin yang menyaksikan acara pernikahan mereka.

Setelah acara akad nikah selesai, seperti janjinya, Bahrul pun menyanyikan sebuah lagu untuk Yogie dan Nisa di hari pernikahan mereka itu. Sebuah lagu yang begitu syahdu dan romantis milik Edcoustic yang berjudul “Duhai Pendampingku.”

Di hatimu tersimpan cinta yang suci
Serta mendalam pernikahan dari beda dunia
Meski kau terbiasa hidup tanpa perih
Namun kau ikhlas hidup bersahaja
Namun bahagia

Duhai pendampingku
Akhlakmu permata bagiku
Buat aku makin cinta
Tetapkan selalu janji awal kita bersatu

Maafkan aku jika tak bisa sempurna
Karena ku bukan lelaki yang turun dari surga
Ketulusan hatimu anugrah hidupku
Doakan langkah kita tak berpisah
Untuk selamanya….


*****


Dua bocah laki dan perempuan yang sejak tadi asik bermain pasir di pantai, tiba-tiba berlari menuju kedua orang tuanya yang duduk menyaksikan mereka dari jarak beberapa meter.

“Ummi…Abi…,” teriak si bocah perempuan memanggil kedua orang tuanya. Bocah perempuan itu berusia sekitar 2 tahun. Sedangkan sang kakak berusia sekitar 4 tahun.

“Ummi, serokan pasirnya mana?,” tanya si bocah perempuan pada sang ibu. Sang ibu tersenyum dan mengambilkan 2 buah serokan pasir mainan dari dalam plastik yang tergeletak di dekatnya. Sang ibu segera memberikan serokan pasir itu pada kedua anaknya. Setelah mendapatkan apa yan diinginkan, kedua bocah itu kembali berlari ke tempatnya bermain pasir tadi.

“Hafizh, Khansa, jangan dekat-dekat ke laut ya..,” pesan sang ayah setengah berteriak.

Kedua bocah itu hanya berbalik badan sesaat sambil menganggukkan kepala.

“Gak terasa ya, sudah 5 tahun kita menikah. Dan kita sudah punya dua jundi yang lucu dan hebat,” ujar Yogie seraya menatap penuh bahagia pada kedua anaknya.

“Iya. Padahal seperti baru kemarin kita menikah,” sahut Nisa tak kalah bahagianya. “Masih ingat, waktu itu Abi memberi Ummi hadiah surat Ar-Rahman,” Nisa bernostalgia. “Di pernikahan kita hari ini, Ummi ingin memberikan hadiah buat Abi.”

“Hadiah? Apa?,” tanya Yogie penasaran.

“Sebuah puisi!,” Nisa tersenyum dan tersipu. Lalu ia pun membacakan sebuah puisi untuk Yogie.

“cinta adam dipersembahkan bagi hawa
rindu adam dilabuhkan untuk hawa
Allah ciptakan hawa dari tulang rusuk adam...
tuk jadi belahan jiwanya
tuk jadi bidadari di hidupnya
agar tiada lagi sendiri
agar dapat rasakan cinta
yang dianugrahkan Maha cinta

cintaku ku persembahkan bagi pemilik tulang rusukku
rinduku ku labuhkan bagi mujahidku
sang belahan jiwaku
yang tlah jadikan ku bidadari di hidupnya
agar ku tiada lagi sendri
agar dapat rasakan cinta
yang dianugrahkan Maha cinta.”

Yogie tersenyum mendengar uraian bait puisi Nisa.

“Wah, ternyata Ummi puitis juga!,” puji Yogie pada Nisa.

“Iya donk! Emangnya Abi!,” sahut Nisa.

“Eits! Abi juga punya hadiah lho buat Ummi,” kata Yogie tak mau kalah.

“Apa?,” kali ini Nisa yang penasaran.

“Sebuah lagu khusus buat Ummi,” jawab Yogie cepat. “Mungkin suara Abi gak semerdu suara Bahrul, tapi Abi yakin, lagu Abi lebih dapat menghayati lagu ini dari pada Bahrul,” sambungnya.

Yogie diam sejenak. Ia menarik nafas perlahan. Tak lama, dari bibirnya terdengar sebuah lagu yang 5 tahun lalu pernah dinyanyikan Bahrul di hari pernikahannya. Sebuah lagu milik Edcoustic, “Duhai Pendampingku.”

Di hatimu tersimpan cinta yang suci
Serta mendalam pernikahan dari beda dunia
Meski kau terbiasa hidup tanpa perih
Namun kau ikhlas hidup bersahaja
Namun bahagia

Duhai pendampingku
Akhlakmu permata bagiku
Buat aku makin cinta
Tetapkan selalu janji awal kita bersatu

Maafkan aku jika tak bisa sempurna
Karena ku bukan lelaki yang turun dari surga
Ketulusan hatimu anugrah hidupku
Doakan langkah kita tak berpisah
Untuk selamanya….


***TAMAT***

#### AKU MASIH DI SINI ####

Yogie terdiam sendiri di kamarnya. Ia sedang memperkirakan siapa saja di antara sekian banyak teman-temannya yang akan dimintanya hadir dalam acara akad nikahnya nanti. Yogie tidak ingin mengundang banyak orang karena acara pernikahannya pun dilaksanakan dengan sederhana. Ia hanya akan mengundang saudara dan beberapa orang teman saja. Dari beberapa orang teman yang akan diundang Yogie untuk menghadiri acara akad nikahnya, salah satunya adalah Bahrul. Ya, tentu saja. Ikhwan yang kini menjadi teman baiknya itu harus datang ke acaranya pernikahannya. Tidak boleh tidak. Apalagi Bahrul yang telah membantunya berproses dengan Nisa. Ia pun mencatat nama Bahrul dalam daftar nama teman yang akan diundangnya.

“Ehem….yang mau nikah, udah mulai dipingit ya?,” Fisha tiba-tiba masuk ke dalam kamar Yogie yang memang pintu kamarnya sedang dalam keadaan terbuka.

Fisha menghampiri Yogie di meja komputernya.

“Siapa juga yang dipingit! Ngaco aja deh,” sahut Yogie cepat.

“Hi…,” Fisha nyengir pada Yogie. “Ya, Kak Yogie lah! Masa’ Kak Dika! Kan yang mau nikah Kak Yogie, bukan Kak Dika,” lanjutnya.

“Apanya yang bukan Kak Dika?,” Dika yang kebetulan melintas di depan kamar Yogie langsung menyambar dan masuk ke dalam kamar Yogie.

Yogie hanya tersenyum melihat Dika datang.

“Ya, yang mau nikah lah! Yang mau nikah kan Kak Yogie, bukan Kak Dika. Jadi Kak Yogie dah mulai memingit diri tuh!,” cerocos Fisha manja.

“Kak Yogie gak memingit diri, kok,” jawab Yogie cepat.

“Terus kenapa di dalam kamar terus-terusan?,” cerocos Fisha lagi.

“Ya, lagi gak pingin aja keluar. Kakak lagi memikirkan banyak hal buat acara pernikahan nanti,” jawab Yogie.

“Ooooh….,” mulut Fisha membulat.

“Gimana persiapannya? Surat-surat sudah beres semua?,” tanya Dika kemudian.

“Alhamdulillah sudah, Kak. Waktunya juga sudah ditentukan. Insya Allah jam 09 pagi.”

Dika mengangguk-anggukkan kepala.

“Lalu mahar dan bawaan lainnya?,” tanya Dika kemudian.

“Insya Allah, besok lusa aku mau belanja sama Ibu. Maharnya sendiri alhamdulillah sudah ku persiapkan dan ku usahakan sendiri dari tabunganku,” jawab Yogie tenang.

“Terus maharnya apa, Kak? Fisha mau lihat dunk,” tanya Fisha penasaran.

“Mau tau aza!,” canda Yogie sengaja ingin membuat adiknya itu bertambah penasaran.

“Uuuhmmm…. Pelit!,” Fisha merengut kesal.

Yogie dan Dika tertawa kecil melihat tingkah Fisha.

“Yang pasti, insya Allah mahar terbaik untuk wanita terbaik,” jawab Yogie tenang. Matanya sekilas melihat ke arah Dika. Dika tampak tertunduk tanpa ekspresi.

“Wah, bakal ada saingan nih di rumah ini!,” ujar Fisha kemudian.

“Saingan apa?,” tanya Dika yang terlihat sedikit terkejut.

“Ya, saingan wanita cantik. Tadinya, di rumah ini kan yang cantik cuma Fisha. Kalau Kak Yogie menikah sama Kak Nisa, ketambahan satu orang lagi dunk yang cantik. Huuu!,” jawab Fisha cepat.

“Lho, kan masih ada ibu, siapa bilang kamu cantik sendirian di rumah ini. Justru ibu-lah wanita paling cantik di rumah ini. Bukannya kamu!,” kata Dika menanggapi.

“Iya. GR aja, sih! Kak Nisa itu jauh lebih cantik dari pada kamu, “Yogie menimpali.

“Ya…gitu kan! Udah gak kompak! Dulu selalu bilang, di rumah ini Fisha yang paling cantik, tapi sekarang…..?,” Fisha kembali merengut. “Apalagi Kak Yogie! Mentang-mentang mau nikah sama Kak Nisa, apa-apa Kak Nisa!,” sambung Fisha.

Ia pun melangkahkan kakinya ke arah pintu.

“Lho mau kemana?,” tanya Yogie heran.

“Mau ke kamar. BT ngobrol sama pria-pria nyebelin!,” jawabnya sambil terus melangkah.

Yogie dan Dika hanya tersenyum melihatnya. Tak lama, Dika pun menyusul Fisha pergi meninggalkan kamar Yogie.

“Kak Dika juga ke kamar dulu,” ujarnya pada Yogie.

“Kak,” panggil Yogie saat Dika baru beberapa langkah berjalan.

Dika menoleh.

“Maaf…. Maaf telah membuat hatimu terasa perih dan sakit. Ini pasti sangat berat buatmu,” ungkap Yogie menatap sendu Dika.

Namun Dika malah tersenyum pada Yogie.

“Ini tak seberapa, Gie. Sungguh. Jika kamu saja bisa begitu tegar menghadapi penyakitmu, kenapa Kak Dika nggak!,” jawab Dika tenang. “Gie, ini tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang kau rasa. Jadi, tak perlu pikirkan Kak Dika. Istirahatlah! Simpan tenagamu untuk acara pernikahanmu nanti,” lanjut Dika. Ia pun melanjutkan langkah kakinya keluar dari kamar Yogie.

Yogie menatap Dika hingga sosoknya tak tampak lagi dalam pandangan matanya.

“Kak, sungguhkah sakitmu itu tak seberapa? Sungguhkah rasa sakitku ini melebihi rasa sakit yang kau rasakan?,” batin Yogie lirih. “Kak, kenapa tak kau biarkan aku turut merasakan perihmu itu sebagaimana kau ikut merasakan perihku ini. Kenapa tak kau biarkan ku ikut menghadapi rasa sakit itu sebagaimana kau telah bantu aku menghadapi penyakitku ini?! Kak, begitu banyak yang telah kau lakukan untukku, tapi…..apa yang bisa ku lakukan untukmu? Tak ada. Tak ada yang dapat ku lakukan untuk bisa menyembuhkan luka di hatimu itu. Kak, cintamu untukku terlalu besar hingga aku tak dapat membalas besarnya cintamu itu,” lanjut Yogie tanpa bisa membendung lagi air matanya.

“Saudara yang beriman ibarat mentari yang menyinari bumi
Saudara yang setia bagai pewangi yang mengharumkan
Saudara sejati menjadi pendorong impian
Saudara berhati mulia membawa ke jalan Allah
Kak, semoga Allah memelukmu erat
Tidak hanya membuatmu baik
Tapi juga memberikanmu yang terbaik…..”


*****


Yogie berjalan menuju ruang redaksi buletin Al-Hijrah. Langkahnya tegap dan cepat. Namun ia ke sana bukan untuk menemui Nisa. Yogie berniat menemui Bahrul, sahabatnya yang juga menjadi reporter di buketin itu.

“Assalamu’alaikum,” salam Yogie di pintu masuk.

“Wa’alaikum salam,” sebuah suara lembut dari dalam ruangan terdengar manis menjawab salam.

Yogie terkejut mendengar suara lembut itu. Ia menoleh ke sebuah sudut ruangan di dalam ruang redaksi. Ia menemukan seorang akhwat manis yang sedang duduk di belakang komputer. Akhwat itu pun menoleh di detik yang sama hingga tatapan mata mereka bertemu pada satu titik.

“Nisa…..,” gumam Yogie pelan.

“Akh Yogie…,” gumam Nisa tidak kalah terkejut. Segera saja ia menundukkan kepalanya tak berani menatap laki-laki yang masih belum halal untuknya itu.

“Afwan, Akh Bahrulnya ada?,” tanya Yogie yang entah mengapa tiba-tiba menjadi salting di hadapan seorang akhwat.

“Akh Bahrul baru saja ke perpustakaan,” jawab Nisa datar. Ia tak kalah geroginya dengan Yogie.

Selain ketika ta’aruf, baru kali itu Yogie berbicara langsung pada Nisa. Seketika itu jantungnya berdebar kencang tak karuan. Sekujur tubuhnya terasa lemas meski ia masih sanggup berdiri. Berbagai perasaan bergumul di dalam hatinya menjadi satu. Entah perasaan apa namanya. Yogie tak tahu. Yang ia tahu, ada yang berdesir di hatinya kala suara lembut Nisa terdengar di telinganya. Yogie tersenyum kecil mentertawakan dirinya sendiri.

“Afwan, ada apa, Akh?,” tanya Nisa kemudian membuat Yogie tersadar.

“Oh, gak apa-apa. Cuma ada perlu sedikit,” jawab Yogie salting dan merasa malu sendiri. Entah apakah Nisa memperhatikan dirinya atau tidak tadi. Sungguh memalukan kalau Nisa sampai memperhatikannya, apalagi kalau melihatnya senyum-senyum sendiri.

“Biar ana cari ke sana. Syukran. Assalamu’alaikum,” ujar Yogie kemudian lalu cepat-cepat pergi meninggalkan ruang redaksi Al-Hijrah tanpa peduli apakah Nisa menjawab salamnya atau tidak. Yogie hanya berpikir untuk secepatnya pergi menjauh dari Nisa. Ia pun berlari kecil menuju perpustakaan untuk mencari Bahrul.

Yogie langsung duduk di samping Bahrul setelah menemukannya di dalam perpustakaan.

“Antum kenapa? Habis dikejar-kejar anjing di sebrang kampus ya?,” ledek Bahrul melihat Yogie datang dengan nafas terengah-engah. “Hati-hati, jangan sampai terlalu lelah. Ingat kesehatan antum,” Bahrul mengingatkan.

Yogie tidak langsung menjawab. Sedapat mungkin ia mengatur nafasnya terlebih dahulu. Bahrul hanya tertawa kecil melihatnya sambil menunggu jawaban dari Yogie.

“Insya Allah gak apa-apa, kok. Dan ini bukan karena anjing depan kampus yang mengejar-ngejar,” jawab Yogie masih sedikit tersengal-sengal.

“Lantas?.”

Yogie menarik nafas dalam-dalam. Setelah lebih tenang barulah ia bersuara kembali.

“Nisa!,” jawabnya pendek.

“Apa? Nisa? Ngaco, ah! Mana mungkin Nisa ngejar-ngejar antum!,” sahut Bahrul tak mengerti dengan ucapan Yogie diiringi tawa kecilnya.

“Bukan Nisa! Tapi bayangannya,” jawab Yogie cepat.

“Lho kok bisa? Bayangannya Nisa kan ngikutin Nisa terus, mana mungkin tiba-tiba ngikutin kamu? Apa kalian tukeran bayangan?,” ledek Bahrul kemudian.

“Bukan itu! Tadi ana nyari antum di ruang redaksi, tapi antum gak ada. Yang ada malah Nisa sama temennya, Nia. Ana kaget karena yang menjawab Nisa. Terus….,” Yogie tak menggantung kalimatnya.

“Terus apa?,” Bahrul penasaran.

“Ya, ana tanya antum ada di mana lalu ke sini deh,” jawab Yogie.

“Lho katanya bayangan Nisa ngejar-ngejar antum?.”

“Iya. Tadi nervous banget waktu di depan Nisa. Gak tahu deh tampang ana kaya’ gimana tadi. Dari pada pingsan tiba-tiba, mending ana buru-buru kabur ke sini. Tapi udah ke sini pun rasanya Nisa ngikutin terus. Dia bayang-bayangin ana terus,” jawab Yogie.

Mendengar ucapan Yogie, Bahrul lantas tertawa kembali.

“Hah…kirain ada apa! Hem..gak tahunya ada yang udah jatuh cinta. Tenang, akh. Tinggal delapan hari lagi bidadari berhati lembut itu akan menjadi milik antum. Dan antum gak perlu khawatir lagi bayangannya ngikutin antum terus, karena dia sendirilah yang akan setia menemani antum dengan sepenuh hati,” ujarnya seraya meletakkan tangannya di atas pundak Yogie.

“Hah! Antum bisa aja!,” kata Yogie tersipu. Lalu ia menatap Bahrul lekat-lekat.

“Semoga antum bersedia menghadiri akad nikah kami. Ana sangat berharap antum bisa ikut menyaksikan saat-saat ana dan Nisa saling mengikat janji suci,” pinta Yogie pada sahabatnya itu.

Bahrul tersenyum lebar.

“Insya Allah. Ana pasti datang. Ana pun gak ingin ketinggalan melihat saat-saat sangat berarti buat kalian berdua,” janji Bahrul pada Yogie.

Yogie tersenyum mendengarnya.

“Ada satu lagi.”

“Apa?.”

“Ana minta hadiah special dari antum.”

“Hadiah? Special? Apa? Kalau ana bisa, insya Allah akan ana penuhi,” tanya Bahrul sedikit heran.

“Bawakan sebuah lagu untuk ana dan Nisa nanti. Sebuah lagu yang sangat romantis, itu akan jadi hadiah istimewa buat ana dan Nisa. Hanya itu. Ana gak inginkan hadiah yang lain,” jawab Yogie.

Bahrul kembali tersenyum.

“Ana kira apa! Insya Allah. Insya Allah ana akan nyanyikan sebuah lagu di hari pernikahan antum nanti,” janji Bahrul lagi.

Yogie tersenyum. Ia menggenggam erat tangan Bahrul. Jauh di lubuk hati yang terdalam, ia sangat bersyukur bisa berteman dengan orang sebaik Bahrul. Sungguh betapa beruntungnya ia bisa berteman dengannya dengan penuh kecintaan karena-Nya. Ternyata benar apa yang dikatakan amirul mukminin Umar bin Khattab bahwa tidaklah seseorang diberi kenikmatan yang lebih baik setelah keislamannya, kecuali adanya saudara yang shalih.

“Ya Rabb, jadikanlah kami penyayang bagi orang-orang beriman, jadikan persahabatan kami terikat cinta karena-Mu, saling menasihati dalam kebenaran, saling mendoakan di kala jauh, saling memuliakan di saat berjumpa. Ya Rahim, jadikanlah persahabatan kami indah seeprti persahabatan Rasul dan sahabat-sahabatnya yang saling mencintai dalam ketakwaan,” doa Yogie lirih sambil menatap wajah sahabatnya itu dalam-dalam dengan penuh kebahagiaan yang tak dapat terlukiskan dengan untaian kata.

*****


Hari itu, karena Dika tidak bisa ikut, Yogie menemani ibunya berdua saja, pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di kota Bogor. Mereka hendak membeli berbagai keperluan untuk acara pernikahan Yogie dan Nisa nanti. Meski acara pernikahan akan dilangsungkan di rumah Nisa, Bu Renna merasa perlu membawakan berbagai hantaran untuk keluarga Nisa sebagaimana tradisi yang ada selama ini.

Hari itu, Bu Renna dan Yogie berniat membeli barang-barang yang awet dan tidak busuk karena acaranya masih seminggu lagi. Itu dilakukan agar jika sudah dekat waktunya, mereka tidak terlalu repot. Selain itu agar bisa memperisapkan dari awal dan jika ada ternyata ada kekurangan, bisa lekas diatasi.

Pertama-tama, Bu Renna dan Yogie membeli bahan-bahan kebutuhan pokok yang akan digunakan untuk membuat beraneka macam kue yang akan dibawa ke rumah Nisa nantinya, seperti terigu, telur, gula dan lain sebagainya. Setelah itu barulah keduanya berbagai barang untuk dijadikan bungkisan yang akan diberikan untuk Nisa. Mereka membeli aneka barang perlengkapan wanita mulai dari tas, jilbab, gamis cantik, sepatu, handuk dan beberapa barang lainnya yang nantinya akan dibungkus dalam bentuk parcel. Khusus untuk gamis dan jilbab, Yogie memilihkannya sendiri, sedangkan barang-barang yang lain, ia serahkan pada sang ibu untuk memilihkannya.

Selain itu, Yogie sengaja membuat sesuatu yang unik dalam hantaran pernikahannya. Jika selama ini perlengkapan shalat dibungkus cantik untuk dijadikan mahar, maka kali ini Yogie tidak berniat menjadikannya mahar, tapi bagian dari barang-barang hantaran. Dan jika selama ini barang-barang hantaran berupa makanan dan perlengkapan wanita, Yogie berniat menambahkan dua buah jenis hantaran lagi, yaitu buku dan obat-obatan herbal. Maka, ia pun masuk ke dalam sebuah toko buku dan membeli sebuah Al-Qur’an khusus wanita, juga beberapa buku bertemakan anak dan keluarga. Setelah itu, Yogie membeli berbagai macam obat-obatan herbal mulai dari madu, sari kurma, habbatus saudah, teh rosella dan yang lainnya.

Meski terheran-heran dengan yang dilakukan anaknya, Bu Renna tidak berniat mencegah atau melarang. Ia hanya menuruti saja kemauan anak tengahnya itu dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya dengan niat dan tujuan yang baik seraya terus berdoa semoga acara pernikahannya nanti berjalan dengan lancar tanpa suatu hambatan apa pun.


*****


Menjelang Maghrib, taksi yang ditumpangi Yogie dan Bu Renna berhenti tepat di depan rumah mereka yang sederhana di kawasan perumahan Bumi Cibinong Endah yang letaknya tak jauh dari kompleks perkantoran Pemkab Bogor. Yogie segera turun dan mengeluarkan barang-barang belanjaan dari dalam bagasi mobil. Setelah selesai, Yogie segera mandi dan bersiap untuk shalat Maghrib di Masjid.

Azan Maghrib pun berkumandang tepat setelah Yogie selesai membersihkan dirinya. Ia pun segera memakai baju kokonya dan menuju masjid. Namun baru saja keluar dari kamarnya, tiba-tiba dari hidungnya mengalir darah perlahan. Fisha yang melihatnya terkejut bukan main.

“Kak, hidung Kak Yogie keluar darah,” teriak Fisha panik.

Yogie yang baru menyadarinya segera mengusapkan jari tangan kanannya ke tepi hidungnya. Setelah itu dilihatnya jari telunjuknya yang memang terdapat darah.

“Astaghfirullah,” Bu Renna yang mendengar dari arah dapur cepat-cepat menghampiri Yogie. “Ya, ampun. Kamu pasti kecape’an seharian pergi belanja,” ujar Bu Renna cemas.

“Gak apa-apa, Bu. Aku gak apa-apa. Jangan khawatir,” sahut Yogie berusaha menenangkan ibunya sambil mengusap darah di tepi hidungnya dengan tisu.

“Tapi muka kamu pucat banget. Sudah, shalat di rumah saja lalu istirahat,” Bu Renna bertambah cemas melihat wajah Yogie yang pucat pasi.

Namun Yogie tetap bersikeras pergi ke Masjid juga. Meski sendi-sendinya terasa ngilu dan nyeri.

”Aku gak apa-apa, Bu,” ujarnya seraya melangkah menuju pintu.

Yogie begitu gigih tetap ingin ke Masjid meski keadaan dirinya terlihat sangat lemah. Dan Bu Renna atau pun Fisha tak dapat mencegahnya. Mereka pun hanya memandangi Yogie dengan penuh kecemasan.

Namun baru saja Yogie membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia terjatuh tak sadarkan diri. Hampir saja kepalanya membentur pintu yang ada di dekatnya. Melihat kejadian itu, Bu Renna dan Fisha segera berlari menghampiri Yogie. Keduanya menangis histeris memanggil Yogie yang matanya terpejam dan seolah tal ingin melihat dunia lagi. Yogie tak menghiraukan panggilan ibu dan adiknya seolah telah siap untuk pergi jauh dari mereka. Ia seolah telah menyerah pada penyakitnya. Ia seolah telah pasrah pada hidupnya.

*****


Bangsal rumah sakit kembali menjadi pembaringan Yogie. Selang infus kembali menjadi temannya di dalam ruangan yang bercat putih itu. Mata Yogie masih saja terpejam meski begitu banyak orang yang mengharapkannya membuka matanya kembali. Mulutnya masih tertutup rapat meski begitu banyak orang yang memanggilnya dan mengidungkan doa untuknya. Tubuhnya masih tak bergerak sedikit pun meski begitu banyak orang yang mengharapkannya terbangun. Yogie hanya terdiam dan terus saja terdiam.

Dika duduk di bangku yang ada di samping tempat tidur Yogie. Dokter baru saja mengizinkan masuk setengah jam yang lalu namun dengan bergantian satu per satu. Pertama tadi Pak Yusuf yang masuk, lalu Bu Renna, setelah itu barulah gilirannya dapat masuk dan melihat langsung keadaan Yogie.

“Gie, maafkan kakak. Kalau saja kakak ikut bersama kalian, mungkin kamu gak akan keletihan seperti ini. Kalau saja tadi kakak membatalkan acara kakak dan lebih mementingkan menemani kalian, kamu gak perlu berada di sini sekarang. Gie, maafkan kakak,” ujar Dika menyesali dirinya sendiri yang tidak jadi ikut serta dengan Yogie dan ibunya pergi berbelanja.

“Gie, katakan, harus dengan apa kakak menebus kesalahan ini? Harus bagaimana kakak membayar kekhilafan ini? Katakanlah, Gie! Katakan! Biar kakak tahu! Biar kakak bisa membuatmu sembuh. Biar kakak bisa melihatmu tersenyum bahagia,” lanjut Dika lirih. Air matanya pun meleleh membasahi telapak tangan Yogie yang digenggam Dika erat-erat.

“Gie, apa kamu menyerah sekarang? Apa kamu benar-benar telah pasrah? Gie, kamu gak boleh menyerah! Kamu harus terus gigih berjuang seperti Yogie yang kakak kenal selama ini. Yogie yang tak pernah takut pada apa pun kecuali Tuhannya. Yogie yang selalu optimis menatap masa depannya,” kata Dika lagi.

“Gie, bangunlah! Kamu gak boleh menyerah sekarang! Kamu harus tetap gigih berjuang. Kamu harus tetap yakin kalau kamu bisa sembuh. Kamu harus tetap optimis. Bangun dan tersenyumlah. Ada Nisa dan keluarganya di luar sana. Bangunlah, Gie! Jangan membuatnya cemas. Pernikahan kalian hanya tinggal seminggu lagi. Bangun dan yakinlah kalian akan bahagia. Yakinlah kamu dan Nisa akan memiliki banyak anak, akan membesarkan anak-anak kalian hingga dewasa. Ada Hafizh, ada Khansa, juga Nafisah dan masih banyak lagi. Gie, jangan menyerah….,” Dika kian terisak dalam tangisnya.

“Gie, ada kakak di sini. Bangun dan jangan hadapi semua ini sendiri. Kita akan menghadapinya bersama. Percayalah, Gie! Percaya dan tetap berhusnuzhan pada-Nya….,” lanjut Dika meski Yogie tak jua membuka matanya. Meski Yogie masih terus terbenam dalam dunianya. Dunia yang tak dapat dijangkau oleh Dika, Nisa atau siapa pun.