Fani duduk di lantai kamarnya. Tubuhnya di sandarkannya pada lemari pakaiannya. Di tangannya tampak sebuah testpack, alat yang biasa dipergunakan untuk mengecek ada atau tidaknya tanda-tanda kehidupan yang baru di dalam tubuh seorang wanita.
Fani tertegun sendiri memandangi testpack yang dipegangnya. Bagaimana Fani tidak tertegun setelah melihat hasil tes urinnya yang tertera pada testpack-nya itu. Testpack yang dipegangnya itu menunjukkan hasil positif. Dan itu artinya, Fani positif hamil. Ya, positif hamil!!
Sesaat kemudian air matanya meleleh perlahan. Testpack yang dipegangnya terlepas dari genggaman tangannya dan terjatuh ke atas lantai. Fani menekuk kakinya lalu membenamkan wajahnya di atas lututnya. Ia pun terisak sendiri di dalam kamarnya.
Sebagai seorang wanita, harusnya Fani bahagia ketika mengetahui dirinya telah mengandung. Tapi kenyataannya, Fani malah tenggelam dalam air mata kesedihan yang tak dapat terbendung lagi. Tak ada sedikit pun rona bahagia tergurat di wajahnya. Ia kian larut dalam kesedihannya. Yang ada hanyalah segores penyesalan yang tersembul di dalam hatinya. Meski ia tahu, tak ada gunanya lagi ia menyesal, karena penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan kalau kini ia telah mengandung janin dari seorang laki-laki yang belum berstatus sebagai suaminya.
Tapi…, bukankah itu baru hasil testpack? Fani pernah mendengar kalau hasil tes urin dengan menggunakan testpack belum tentu tepat dan tidak bisa dipercaya 100%. Jadi, bisa saja hasil tes-nya salah. Lagi pula, Fani belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan, jadi belum tentu ia hamil.
Fani mengangkat wajahnya dan menghapus air mata yang masih menggenang di pipinya. Fani berhenti menangis. Fani merasa belum saatnya ia bersedih sekarang. Ia masih memiliki sedikit harapan karena toh, ia belum belum ada hasil tes dari dokter kandungan yang menyatakan dirinya mengandung. Jadi, tak seharusnya ia bersedih sekarang!
Fani mengumpulkan kembali segenap energinya. Ia harus tetap semangat dan tetap bersikap biasa. Masih ada sedikit harapan baginya. Esok hari, ia niatkan untuk mendatangi dokter kandungan dan memeriksa keadaannya. Ya! Jika hasil tes-nya positif, barulah ia benar-benar boleh percaya kalau ia memang mengandung!
*****
Fani duduk sendiri di sudut sebuah kafe. Ia duduk dengan hati berdebar hingga tanpa disadarinya, jus alpukat yang sejak tadi disruputnya telah habis diminumnya. Hatinya memang terlalu gelisah, sehingga Fani berulang kali minum untuk menghilangkan kegelisahannya itu.
Fani melirik handphone-nya, sudah hampir setengah jam ia duduk menunggu dalam kegelisahannya. Tapi orang yang ditunggunya belum juga terlihat di hadapannya. Fani pun kian cemas dibuatnya. Namun bukan hanya karena orang yang ditunggunya itu belum datang, tapi juga karena sehelai amplop putih yang berada di atas meja kafe siang itu. Fani melirik amplop putih itu sesaat. Lalu ditariknya nafas dalam-dalam.
“Hai, Babe. Maaf ya aku datang telat,” sapa seorang pemuda seusia Fani yang tiba-tiba mendekati Fani dan duduk di hadapannya. Dari panggilan akrab itu, orang yang belum mengenal mereka berdua pun dapat mengetahui kalau pemuda yang datang itu tidak lain adalah kekasih Fani.
“Tadi mendadak diminta dosen pembimbing untuk menghadap, “ lanjut pemuda yang 2 tahun ini menjadi kekasih Fani.
“Gak apa-apa, Steve,” jawab Fani meski sedikit kecewa dengan keterlambatan Steven.
Fani tidak langsung mengajak Steven berbicara. Ia membiarkan Steven memesan minuman sejenak sambil menunggunya terlihat lebih rileks. Steven terlihat sedikit terengah-engah. Dia pasti terburu-buru karena merasa sudah telat datang ke kafe.
Steven memesan segelas jus jeruk dan langsung meminumnya begitu pelayan kafe meletakkan minuman pesanannya itu di mejanya.
“Ada apa ngajak ketemuan di sini? Di telefon tadi, kaya’nya ada hal yang penting banget yang harus dibicarakan. Memangnya ada apa sih?,” tanya Steven membuka percakapan.
Fani menghela nafas. Tangannya mengaduk-aduk gelas yang tidak lagi berisi jus.
“Beberapa hari yang lalu aku ke rumah sakit,” jawab Fani dengan raut wajah yang serius.
“Ke rumah sakit? Kenapa? Kamu baik-baik aja kan? Gak sakit apa-apa kan?,” tanya Steven lagi, berusaha memperlihatkan perhatiannya pada Fani.
Fani menggeleng pelan.
“Lantas?.”
“Aku baik-baik aja. Aku ke rumah sakit untuk periksa urin,” jawab Fani. Raut wajahnya tidak berubah sedikit pun.
“Tes urin? Buat apa? Kamu gak pernah pake obat-obatan terlarang kan?,” Steve tampak penasaran.
Fani kembali menggelengkan kepala. Namun kali ini ia tak menjawab apa-apa. Hanya diberikannya amplop putih di atas meja pada Steven.
Steven semakin heran dibuatnya. Di atas amplop itu tertulis nama salah satu rumah sakit di kota mereka tinggal. Steven membuka amplop putih itu dengan penuh penasaran. Ia mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalam amplop dan membacanya dengan seksama.
Fani hanya terdiam. Ia menunggu reaksi Steven sambil memandangi mimik muka Steven.
“Apa maksudnya ini?,” tanya Steven usai membaca selembar kertas yang tadi ada di dalam amplop putih dari rumah sakit itu. Entah dia memang tidak mengerti, atau ia bertanya dan pura-pura tidak mengerti. Entahlah! Fani tidak ingin menerkanya.
Fani menarik nafas.
“Itu hasil tes urin aku yang menyatakan kalau sekarang aku sedang mengandung,” jawab Fani kemudian. “Mengandung anakmu!,” Fani menegaskan.
“Lantas?,” tanya Steven lagi. Tak ada mimik terkejut di wajahnya. Suaranya pun terdengar ringan bertanya, seolah tanpa beban dan tak ada apa-apa.
Fani sedikit kesal dengan respon Steven itu.
“Kenapa malah bertanya kaya’ gitu? Kita harus mencari jalan keluar dari permasalahan ini sebelum perutku semakin membesar dan semua orang tahu kalau aku ini sedang mengandung,” jawab Fani jengkel.
Steven tersenyum kecil.
“Jalan keluar? Baiklah. Kita cari jalan keluarnya. Kamu mau jalan keluar yang bagaimana?,” tanya Steven kemudian.
Kejengkelan Fani agak reda mendengar ucapan Steven itu yang tidak bereaksi negative apalagi sampai mengingkari perbuatan terkutuk yang pernah mereka lakukan, juga tidak mengingkari kalau janin yang ada di dalam rahim Fani adalah hasil hubungan intim mereka berdua.
“Menurut kamu bagaimana, Steve?,” kali ini Fani balik bertanya.
Steven terdiam sejenak. Fani menunggunya dengan berjutaan pertanyaan dan jutaan ide yang coba digalinya untuk mencari jalan keluar permasalahannya. Selang beberapa menit barulah Steven kembali angkat bicara.
“Kita gugurkan saja bayi dalam kandungan kamu itu,” ujar Steven mengungkapkan ide yang didapatkannya barusan.
Tentu saja Fani terkejut mendengarnya.
“Apa? Menggugurkannya?!,” seru Fani dengan suara yang ditekan agar tidak terdengar oleh orang-orang yang ada di sekeliling mereka. “Steve, kamu sadar gak sih, bayi yang ada dalam kandunganku ini bayi kita, masa’ kita tega sih menggugurkannya?,” tanya Fani yang kembali jengkel pada Steven.
“Tapi kalau gak digugurkan, apa kamu siap menanggung malu? Hamil di luar nikah!!,” sahut Steven.
“Karena itu, kita harus menikah,” ucap Fani seraya berusaha menahan tangis.
“Menikah?!.”
“Ya, menikah! Masuklah agamaku lalu kita menikah,” tegas Fani pada kekasihnya yang beragama protestan itu.
“Ya, ampun, Fan. Kamu kira menikah itu gampang apa!! Apalagi kalau aku sampai harus berpindah agama,” jawab Steven menanggapi usulan Fani.
“Lalu harus bagaimana? Apa kamu gak kasihan sama aku dan bayi kita?.”
Steven tidak menyahut. Keduanya pun tenggelam dalam kebisuan hingga beberapa saat lamanya.
“Bagaimana kalau kita menikah, tapi dengan tetap berada di dalam agama kita masing-masing,” usul Steven tiba-tiba.
Tentu saja Fani terkejut bukan main mendengarnya.
“Apa? Menikah dalam keadaan agama berbeda?!,” seru Fani terbelalak.
Steven mengangguk cepat.
“Iya! Bukankah kita tetap sama-sama mempertahankan keyakinan kita. Aku gak mau ikut agama kamu & kamu pun begitu. Jadi, kenapa harus diributkan? Kita bisa tetap menikah dengan tetap memegang teguh agama kita masing-masing. Gimana?.”
“Steve itu gila!.”
“Gila? Menurutku nggak! Banyak orang-orang yang beda agama menikah & kehidupan rumah tangganya justru tentram dan damai dibandingkan mereka yang menikah dalam satu agama. Bahkan ada yang rumah tangganya tetap bertahan hingga memiliki banyak anak cucu,” ujar Steven berusaha meyakinkan hati Fani.
“Kamu tahu kenapa mereka bisa tetap bertahan seperti itu meski memiliki keyakinan yang berbeda? Itu karena cinta. Itu karena mereka saling mencintai, sehingga perbedaan apa pun yang ada di antara mereka, mereka tetap bisa mempertahankan rumah tangga mereka,” lanjut Steven.
Fani hanya terdiam mendengarkan dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk.
“Fan, kita pun bisa seperti mereka, membangun sebuah rumah tangga yang indah. Rumah tangga yang kita impikan. Karena di hati kita, ada cinta. Ada cinta yang akan selalu bersemi dan menghiasi hidup kita.”
“Tapi, Steve…,” Fani tidak yakin dengan semua yang dikatakan Steven. Namun ia pun kian bertambah bingung.
“Fan, anak dalam kandunganmu membutuhkan seorang ayah, bukan? Aku pun gak ingin ia lahir tanpa memiliki seorang ayah. Jadi, menikahlah denganku. Lalu kita akan membesarkan anak kita bersama-sama hingga mereka dewasa dan memberikan kebanggaan bagi kita,” bujuk Steven lagi.
Fani menghela nafas.
“Entahlah, Steve,” kata Fani penuh kebimbangan.
Steve meraih tangan Fani lalu menggenggamnya erat.
“Pikirkanlah ucapanku tadi, demi kita, demi anak kita,” sahut Steve berusaha untuk terus meyakinkan hati Fani yang bingung dan bimbang.
Fani hanya terdiam seribu bahasa. Begitu banyak hal yang merasuk dalam pikirannya. Ia begitu bimbang, begitu bingung dengan keputusan yang akan diambilnya, untuk mencari jalan keluar segala permasalahannya itu. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana. Ia sungguh tak tahu harus melakukan apa.
*****
Di sudut malam yang sunyi, Fani terdiam sendiri di dalam kamarnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang bercat kuning muda. Namun, meski Fani sedang menatap langit-langit kamarnya, ia sedang tidak memandangi langit-langit kamarnya itu. Sesungguhnya alam pikirannya sedang melayang jauh ke berbagai tempat yang ia sendiri tak tahu akan berhenti dimana. Pikirannya benar-benar tak tentu arah. Haruskah ia menggugurkan kandungannya ataukah mengikuti ide gila Steven untuk menikah dalam kondisi beda agama. Fani bingung bagaimana mencari jalan keluar bagi permasalahannya itu.
Saat ini, mungkin memang belum terlihat kalau Fani sedang mengandung. Tapi seiring berjalannya waktu, janin di dalam perutnya itu akan semakin membesar & semua orang akan mengetahui kalau sebenarnya ia berbadan dua. Lalu bagaimana Fani akan menghadapi semua itu? Menghadapi gunjingan orang-orang yang mengenalnya, dan terutama menghadapi kedua orang tuanya.
“Huf!!,” gumam Fani seraya menghela nafas.
Fani menyadari kalau perbuatannya kali ini sangat membuat malu orang tuanya. Bahkan ia benar-benar telah sangat bersalah pada kedua orang tuanya yang telah membesarkannya, mendidiknya dan memberikan kepercayaan padanya karena telah menyia-nyiakan semua pemberian orang tuanya itu juga mengkhianati kepercayaan mereka yang selama ini percaya kalau Fani tidak berpacaran dengan seorang laki-laki pun. Tapi apa yang telah dilakukannya? Fani justru berpacaran. Bukan hanya itu, Fani bahkan berpacaran dengan laki-laki non muslim dan telah melakukan hubungan intim dengan pacarnya itu! Jika kedua orang tuanya mengetahui, mereka pasti tak akan memaafkannya. Tidak akan!!
Air mata Fani meleleh perlahan.
Tidak!! Fani merasa kalau ia memang tak pantas untuk dimaafkan. Betapa banyak kebohongan yang telah diperbuatnya. Betapa banyak kesalahan yang telah dilakukannya. Ia merasa sungguh tak layak mendapatkan maaf. Dosa yang dilakukannya amat besar. Yah, teramat besar!! Fani tiba-tiba teringat perkataan guru agamanya saat di SMU dulu yang pernah mengatakan kalau dosa besar setelah syirik adalah berzina! Na’udzubillah!! Dan hukuman yang diberikan pada orang berzina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali, sedangkan hukman bagi orang yang berzina yang telah menikah adalah dirajam!
Tangis Fani kian tak tertahankan. Ia kian terisak dalam tangisnya.
“Ya, Allah. Betapa besar dosa yang telah ku lakukan. Sanggupkah aku menebus semua dosa itu? Sanggupkah aku menahan panasnya siksa nereka-Mu ya, Allah,” bisik Fani perih.
Dalam derai tangisnya, hatinya menyesali semua perbuatannya meski ia sadar semua penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan hidupnya saat ini.
“Apa yang harus ku lakukan kini ya, Allah? Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Haruskah ku ikuti kemauan Steve, menikah beda agama demi anak dalam kandunganku ini karena aku tak mau masuk agamanya dan menyekutukan-Mu?! Atau haruskah ku tanggung deritaku ini sendiri karena aku tak tega membunuh darah dagingku ini?! Tapi dengan menambah beban kedua orang tuaku, juga membuatnya malu tiada terkira,” bisik Fani lagi pada Rabb-nya yang Maha Mendengar segala bisikkan hati manusia.
Kebimbangan di hati Fani, membuat alam pikirannya kembali pada masa SMA-nya dahulu di mana ia pernah diajarkan praktik shalat istikharah oleh guru agamanya. Saat itu guru agamanya berujar kalau shalat istikharah dilakukan ketika seseorang bimbang menghadapi pilihan dalam hidupnya. Karena hanya Allah yang Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya, sebelum memutuskan sebuah perkara yang membingungkan, manusia diharuskan untuk shalat istikharah meminta petunjuk-Nya pilihan mana yang terbaik baginya.
Lintasan masa SMA-nya itu, menggerakkan hati Fani untuk bangun dari tempat tidurnya dan segera mengambil air wudhu. Beberapa menit kemudian, Fani pun telah tenggelam dalam shalatnya.
Fani larut dalam kekhusyu’an shalatnya. Air matanya tak berhenti mengalir sepanjang shalatnya. Usai shalat, Fani memanjatkan untaian do’a pada Rabb-Nya seraya memohon ampunan-Nya atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya meski ia merasa sangat tak pantas mendapatkan ampunan dari Rabb yang telah begitu banyak memberikan berbagai kenikmatan padanya, yang jika ia mencoba menghitung segala kenikmatan itu, tak kan pernah sanggup ia hitung jumlahnya.
Cukup lama Fani menengadahkan tangannya, berdoa kepada Sang pemilik hidup. Rupanya Fani benar-benar menyesali segala perbuatannya dan tak ingin mengulangi semua kesalahannya dahulu.
Setelah lama berdoa, Fani merasa hatinya sudah lebih tenang dari sebelumnya meski jalan keluar dari masalahnya belum ditemukannya dan ia belum tahu harus memutuskan apa. Fani kembali teringat perkataan guru agamanya kalau Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia di muka bumi ini. Mungkin saja dengan Al-Qur’an, ia bisa mendapatkan petunjuk dan jalan keluar bagi segala permasalahannya itu.
Fani pun mengambil sebuah mushaf Al-Qur’an di atas rak bukunya. Sebuah mushaf bersampul coklat tua, yang selama ini hanya sekedar menjadi pemanis koleksi bukunya di rak buku. Entah kapan terakhir kali Fani membaca mushaf itu. Fani tidak ingat sedikit pun. Sejak ia lulus SMA, ia hampir tidak pernah membaca Al-Qur’an. Kalau saja dahulu ia mau membaca dan memahami Al-Qur’an, mungkin hidupnya tak kan tersesat seperti sekarang ini. Seperti sebuah hadits Rasulullah yang pernah didengarnya yang mengatakan kalau manusia tak kan tersesat jika berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.
Fani kembali duduk di atas sajadahnya dengan menghadap kiblat. Sesungguhnya ia tak tahu harus bagaimana dengan mushaf yang ada di tangannya itu. Membaca Al-Qur’an, ia masih terbata-bata. Memahami maknanya? Apa mungkin ia bisa melakukannya? Fani asal membuka mushafnya karena tidak tahu harus mencari petunjuk itu dalam berbagai kejadian yang terjadi dalam hidupnya.
Fani membolak-bolak lembaran-lembaran mushafnya karena tak tahu harus membaca surat apa dan ayat berapa. Hingga akhirnya, tangannya pun lelah membolak-bolik lembaran mushafnya dan berhenti tepat di surat Al-Baqarah. Fani pun membaca perlahan terjemah ayat-ayat surat Al-Baqarah yang ada di hadapannya, dari ayat 220 sampai ayat 230 yang membahas masalah pernikahan dan rumah tangga. Namun di antara kesebalas ayat tersebut, perhatian Fani hanya terfokus pada ayat 221 dari surat Al-Baqarah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 itu Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya dengan manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Fani merenung sendiri memikirkan ayat tersebut. Dalam ayat tersebut sangat jelas kalau Allah melarang orang-orang beriman menikah dengan seorang musyrik. Dan artinya, pernikahan beda agama itu haram. Itu juga berarti, orang-orang beda agama yang katanya telah menikah, sebenarnya mereka tidaklah menikah karena pernikahan mereka tidaklah sah dihadapan Allah. Dengan kata lain, sama saja mereka telah melakukan zina. Na’udzubillah.
“Ya Allah, aku sudah melakukan dosa sedemikian besar, betapa tak punya malunya aku jika aku sampai melakukan dosa besar itu lagi,” Fani teringat lagi tawaran Steven tadi siang.
“Tapi, apa yang harus ku lakukan? Menggugurkan janin ini? Itu pun dosa besar dan aku tak kan sanggup melakukannya,” lirih Fani.
Fani kembali terisak. Ia sudah menemukan jawaban dari tawaran Steven tadi siang. Ia pun telah menyadari semua kesalahannya selama ini. Meski ia belum menemukan jalan keluar dari semua permasalahannya, Fani bersyukur karena masih menyadari kesalahan-kesalahannya & menyesalinya sehingga tidak semakin terjerembab dalam jurang dosa.
Fani terus terisak seraya terus memanjatkan untaian doa-doa pada Rabb-Nya.
“Hati hitam mengenangkan
dosa-dosa yang ku lakukan
Telah aku merasakan
derita jiwa dan perasaan,
telah hilang dari jalan
menuju Ridho-Mu ya Tuhan
ku akui kelemahan ini
ku insafi kekurangan ini
ku kesali kesalahan ini
dihamparan ini ku meminta
semoga taubatku diterima.”
*****
Fani mempercepat langkahnya. Di taman kota itu, di tempat yang pernah dilaluinya bersama dengan Steven untuk memadu kasih, ia kembali dating ke sana. Namun kali ini wajahnya tak secerah biasanya ketika ia datang ke tempat itu. Wajah Fani terlihat sembap, matanya tampak sedikit bengkak. Sangat jelas terbaca kalau ia sedang menyimpan kesedihan yang teramat sangat. Kesedihan yang hanya disimpannya seorang diri, tanpa hendak ingin dibaginya dengan siapa pun.
Seperti yang telah diduganya, Steven telah menunggunya di sebuah bangku di salah satu sudut taman. Senyumnya mengembang manakala matanya menangkap kedatangan Fani.
“Hai, Babe,” sapanya dengan kepanggilan kesayangannya untuk Fani.
Fani tidak menanggapi sapaannya itu. Ia hanya terdiam tanpa kata di hadapan Steven sambil merogoh tasnya. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan memberikannya pada Steven.
“Maaf, aku gak bersedia menikah denganmu dalam keadaan beda keyakinan seperti ini,” ujar Fani kemudian penuh ketegasan.
“Lalu bagaimana denganmu? Dengan bayi kita?,” tanya Steven terkejut mendengar perkataan Fani.
“Semua jawabannya ada di dalam surat itu,” jawab Fani seraya beranjak pergi dari hadapan Steven.
Steven terheran-heran melihat sikap Fani yang tidak biasa. Namun ia tidak berusaha mengejar Fani. Dibiarkannya Fani berlalu pergi darinya. Ia pun membuka sepucuk surat yang diberikan Fani untuknya. Sepucuk surat yang menjelaskan semua keputusan yang diambil Fani akan semua permasalahannya juga akan hidupnya selanjutnya.
*****
Adzan Subuh baru saja berkumandang. Memecah kesunyian pagi di bawah langit yang masih gelap gulita. Suara tangis bayi tiba-tiba turut memecah kesunyian pagi itu, seolah ikut menyambut fajar baru yang segera hadir.
Ustadzah Faizah menghampiri Fani di ranjang. Dalam gendongannya tampak bayi mungil yang sudah bersih dan rapih. Ustadzah Faizah memberikan bayi itu pada Fani agar Fani melihatnya.
Fani tersenyum melihat bayinya. Lalu dikecupnya sang bayi dengan penuh kasih sayang.
“Bayi mungil yang tanpa dosa. Sungguh dirimu bukanlah anak haram, Nak. Tapi ibumu inilah yang telah melakukan perbuatan haram,” ujar Fani tersedu melihat anaknya yang baru saja dilahirkannya.
Ustadzah Faizah mengusap punggung Fani perlahan.
“Sudahlah. Itu masa lalu. Yang terpenting sekarang, perbaiki dirimu dan besarkan anakmu dengan penuh kasih sayang dan didik ia dengan baik,” ucapnya lembut.
Fani mengangguk dan tersenyum.
“Insya Allah, ustadzah, “ sahutnya. Lalu ia menatap bayinya kembali.
“Nak, ku beri kau nama Nurul Hidayah dengan harapan dirimu akan selalu mendapat cahaya petunjuk Allah dalam hidupmu agar hidupmu tak tersesat seperti ibumu ini,” lanjut Fani lirih.
“Amin ya Allah,” sahut Ustadzah Faizah mengamini.
Sejak terkahir kali bertemu dengan Steven, Fani pergi dari kehidupannya juga dari keluarganya. Ia lebih memilih menanggung kesalahannya seorang diri dari pada harus membuat malu kedua orang tuanya atau pun menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dengannya. Ia tak ingin menambah dosa lagi dan bertekad untuk mengubah hidupnya selama ini. karena itulah Fani lebih memilih pergi ke sebuah pesantren dan menjalani sebuah hari yang baru demi anaknya tercinta. Hari baru di bawah naungan cinta sang Illahi Rabbi.
Fani tertegun sendiri memandangi testpack yang dipegangnya. Bagaimana Fani tidak tertegun setelah melihat hasil tes urinnya yang tertera pada testpack-nya itu. Testpack yang dipegangnya itu menunjukkan hasil positif. Dan itu artinya, Fani positif hamil. Ya, positif hamil!!
Sesaat kemudian air matanya meleleh perlahan. Testpack yang dipegangnya terlepas dari genggaman tangannya dan terjatuh ke atas lantai. Fani menekuk kakinya lalu membenamkan wajahnya di atas lututnya. Ia pun terisak sendiri di dalam kamarnya.
Sebagai seorang wanita, harusnya Fani bahagia ketika mengetahui dirinya telah mengandung. Tapi kenyataannya, Fani malah tenggelam dalam air mata kesedihan yang tak dapat terbendung lagi. Tak ada sedikit pun rona bahagia tergurat di wajahnya. Ia kian larut dalam kesedihannya. Yang ada hanyalah segores penyesalan yang tersembul di dalam hatinya. Meski ia tahu, tak ada gunanya lagi ia menyesal, karena penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan kalau kini ia telah mengandung janin dari seorang laki-laki yang belum berstatus sebagai suaminya.
Tapi…, bukankah itu baru hasil testpack? Fani pernah mendengar kalau hasil tes urin dengan menggunakan testpack belum tentu tepat dan tidak bisa dipercaya 100%. Jadi, bisa saja hasil tes-nya salah. Lagi pula, Fani belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan, jadi belum tentu ia hamil.
Fani mengangkat wajahnya dan menghapus air mata yang masih menggenang di pipinya. Fani berhenti menangis. Fani merasa belum saatnya ia bersedih sekarang. Ia masih memiliki sedikit harapan karena toh, ia belum belum ada hasil tes dari dokter kandungan yang menyatakan dirinya mengandung. Jadi, tak seharusnya ia bersedih sekarang!
Fani mengumpulkan kembali segenap energinya. Ia harus tetap semangat dan tetap bersikap biasa. Masih ada sedikit harapan baginya. Esok hari, ia niatkan untuk mendatangi dokter kandungan dan memeriksa keadaannya. Ya! Jika hasil tes-nya positif, barulah ia benar-benar boleh percaya kalau ia memang mengandung!
*****
Fani duduk sendiri di sudut sebuah kafe. Ia duduk dengan hati berdebar hingga tanpa disadarinya, jus alpukat yang sejak tadi disruputnya telah habis diminumnya. Hatinya memang terlalu gelisah, sehingga Fani berulang kali minum untuk menghilangkan kegelisahannya itu.
Fani melirik handphone-nya, sudah hampir setengah jam ia duduk menunggu dalam kegelisahannya. Tapi orang yang ditunggunya belum juga terlihat di hadapannya. Fani pun kian cemas dibuatnya. Namun bukan hanya karena orang yang ditunggunya itu belum datang, tapi juga karena sehelai amplop putih yang berada di atas meja kafe siang itu. Fani melirik amplop putih itu sesaat. Lalu ditariknya nafas dalam-dalam.
“Hai, Babe. Maaf ya aku datang telat,” sapa seorang pemuda seusia Fani yang tiba-tiba mendekati Fani dan duduk di hadapannya. Dari panggilan akrab itu, orang yang belum mengenal mereka berdua pun dapat mengetahui kalau pemuda yang datang itu tidak lain adalah kekasih Fani.
“Tadi mendadak diminta dosen pembimbing untuk menghadap, “ lanjut pemuda yang 2 tahun ini menjadi kekasih Fani.
“Gak apa-apa, Steve,” jawab Fani meski sedikit kecewa dengan keterlambatan Steven.
Fani tidak langsung mengajak Steven berbicara. Ia membiarkan Steven memesan minuman sejenak sambil menunggunya terlihat lebih rileks. Steven terlihat sedikit terengah-engah. Dia pasti terburu-buru karena merasa sudah telat datang ke kafe.
Steven memesan segelas jus jeruk dan langsung meminumnya begitu pelayan kafe meletakkan minuman pesanannya itu di mejanya.
“Ada apa ngajak ketemuan di sini? Di telefon tadi, kaya’nya ada hal yang penting banget yang harus dibicarakan. Memangnya ada apa sih?,” tanya Steven membuka percakapan.
Fani menghela nafas. Tangannya mengaduk-aduk gelas yang tidak lagi berisi jus.
“Beberapa hari yang lalu aku ke rumah sakit,” jawab Fani dengan raut wajah yang serius.
“Ke rumah sakit? Kenapa? Kamu baik-baik aja kan? Gak sakit apa-apa kan?,” tanya Steven lagi, berusaha memperlihatkan perhatiannya pada Fani.
Fani menggeleng pelan.
“Lantas?.”
“Aku baik-baik aja. Aku ke rumah sakit untuk periksa urin,” jawab Fani. Raut wajahnya tidak berubah sedikit pun.
“Tes urin? Buat apa? Kamu gak pernah pake obat-obatan terlarang kan?,” Steve tampak penasaran.
Fani kembali menggelengkan kepala. Namun kali ini ia tak menjawab apa-apa. Hanya diberikannya amplop putih di atas meja pada Steven.
Steven semakin heran dibuatnya. Di atas amplop itu tertulis nama salah satu rumah sakit di kota mereka tinggal. Steven membuka amplop putih itu dengan penuh penasaran. Ia mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalam amplop dan membacanya dengan seksama.
Fani hanya terdiam. Ia menunggu reaksi Steven sambil memandangi mimik muka Steven.
“Apa maksudnya ini?,” tanya Steven usai membaca selembar kertas yang tadi ada di dalam amplop putih dari rumah sakit itu. Entah dia memang tidak mengerti, atau ia bertanya dan pura-pura tidak mengerti. Entahlah! Fani tidak ingin menerkanya.
Fani menarik nafas.
“Itu hasil tes urin aku yang menyatakan kalau sekarang aku sedang mengandung,” jawab Fani kemudian. “Mengandung anakmu!,” Fani menegaskan.
“Lantas?,” tanya Steven lagi. Tak ada mimik terkejut di wajahnya. Suaranya pun terdengar ringan bertanya, seolah tanpa beban dan tak ada apa-apa.
Fani sedikit kesal dengan respon Steven itu.
“Kenapa malah bertanya kaya’ gitu? Kita harus mencari jalan keluar dari permasalahan ini sebelum perutku semakin membesar dan semua orang tahu kalau aku ini sedang mengandung,” jawab Fani jengkel.
Steven tersenyum kecil.
“Jalan keluar? Baiklah. Kita cari jalan keluarnya. Kamu mau jalan keluar yang bagaimana?,” tanya Steven kemudian.
Kejengkelan Fani agak reda mendengar ucapan Steven itu yang tidak bereaksi negative apalagi sampai mengingkari perbuatan terkutuk yang pernah mereka lakukan, juga tidak mengingkari kalau janin yang ada di dalam rahim Fani adalah hasil hubungan intim mereka berdua.
“Menurut kamu bagaimana, Steve?,” kali ini Fani balik bertanya.
Steven terdiam sejenak. Fani menunggunya dengan berjutaan pertanyaan dan jutaan ide yang coba digalinya untuk mencari jalan keluar permasalahannya. Selang beberapa menit barulah Steven kembali angkat bicara.
“Kita gugurkan saja bayi dalam kandungan kamu itu,” ujar Steven mengungkapkan ide yang didapatkannya barusan.
Tentu saja Fani terkejut mendengarnya.
“Apa? Menggugurkannya?!,” seru Fani dengan suara yang ditekan agar tidak terdengar oleh orang-orang yang ada di sekeliling mereka. “Steve, kamu sadar gak sih, bayi yang ada dalam kandunganku ini bayi kita, masa’ kita tega sih menggugurkannya?,” tanya Fani yang kembali jengkel pada Steven.
“Tapi kalau gak digugurkan, apa kamu siap menanggung malu? Hamil di luar nikah!!,” sahut Steven.
“Karena itu, kita harus menikah,” ucap Fani seraya berusaha menahan tangis.
“Menikah?!.”
“Ya, menikah! Masuklah agamaku lalu kita menikah,” tegas Fani pada kekasihnya yang beragama protestan itu.
“Ya, ampun, Fan. Kamu kira menikah itu gampang apa!! Apalagi kalau aku sampai harus berpindah agama,” jawab Steven menanggapi usulan Fani.
“Lalu harus bagaimana? Apa kamu gak kasihan sama aku dan bayi kita?.”
Steven tidak menyahut. Keduanya pun tenggelam dalam kebisuan hingga beberapa saat lamanya.
“Bagaimana kalau kita menikah, tapi dengan tetap berada di dalam agama kita masing-masing,” usul Steven tiba-tiba.
Tentu saja Fani terkejut bukan main mendengarnya.
“Apa? Menikah dalam keadaan agama berbeda?!,” seru Fani terbelalak.
Steven mengangguk cepat.
“Iya! Bukankah kita tetap sama-sama mempertahankan keyakinan kita. Aku gak mau ikut agama kamu & kamu pun begitu. Jadi, kenapa harus diributkan? Kita bisa tetap menikah dengan tetap memegang teguh agama kita masing-masing. Gimana?.”
“Steve itu gila!.”
“Gila? Menurutku nggak! Banyak orang-orang yang beda agama menikah & kehidupan rumah tangganya justru tentram dan damai dibandingkan mereka yang menikah dalam satu agama. Bahkan ada yang rumah tangganya tetap bertahan hingga memiliki banyak anak cucu,” ujar Steven berusaha meyakinkan hati Fani.
“Kamu tahu kenapa mereka bisa tetap bertahan seperti itu meski memiliki keyakinan yang berbeda? Itu karena cinta. Itu karena mereka saling mencintai, sehingga perbedaan apa pun yang ada di antara mereka, mereka tetap bisa mempertahankan rumah tangga mereka,” lanjut Steven.
Fani hanya terdiam mendengarkan dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk.
“Fan, kita pun bisa seperti mereka, membangun sebuah rumah tangga yang indah. Rumah tangga yang kita impikan. Karena di hati kita, ada cinta. Ada cinta yang akan selalu bersemi dan menghiasi hidup kita.”
“Tapi, Steve…,” Fani tidak yakin dengan semua yang dikatakan Steven. Namun ia pun kian bertambah bingung.
“Fan, anak dalam kandunganmu membutuhkan seorang ayah, bukan? Aku pun gak ingin ia lahir tanpa memiliki seorang ayah. Jadi, menikahlah denganku. Lalu kita akan membesarkan anak kita bersama-sama hingga mereka dewasa dan memberikan kebanggaan bagi kita,” bujuk Steven lagi.
Fani menghela nafas.
“Entahlah, Steve,” kata Fani penuh kebimbangan.
Steve meraih tangan Fani lalu menggenggamnya erat.
“Pikirkanlah ucapanku tadi, demi kita, demi anak kita,” sahut Steve berusaha untuk terus meyakinkan hati Fani yang bingung dan bimbang.
Fani hanya terdiam seribu bahasa. Begitu banyak hal yang merasuk dalam pikirannya. Ia begitu bimbang, begitu bingung dengan keputusan yang akan diambilnya, untuk mencari jalan keluar segala permasalahannya itu. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana. Ia sungguh tak tahu harus melakukan apa.
*****
Di sudut malam yang sunyi, Fani terdiam sendiri di dalam kamarnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang bercat kuning muda. Namun, meski Fani sedang menatap langit-langit kamarnya, ia sedang tidak memandangi langit-langit kamarnya itu. Sesungguhnya alam pikirannya sedang melayang jauh ke berbagai tempat yang ia sendiri tak tahu akan berhenti dimana. Pikirannya benar-benar tak tentu arah. Haruskah ia menggugurkan kandungannya ataukah mengikuti ide gila Steven untuk menikah dalam kondisi beda agama. Fani bingung bagaimana mencari jalan keluar bagi permasalahannya itu.
Saat ini, mungkin memang belum terlihat kalau Fani sedang mengandung. Tapi seiring berjalannya waktu, janin di dalam perutnya itu akan semakin membesar & semua orang akan mengetahui kalau sebenarnya ia berbadan dua. Lalu bagaimana Fani akan menghadapi semua itu? Menghadapi gunjingan orang-orang yang mengenalnya, dan terutama menghadapi kedua orang tuanya.
“Huf!!,” gumam Fani seraya menghela nafas.
Fani menyadari kalau perbuatannya kali ini sangat membuat malu orang tuanya. Bahkan ia benar-benar telah sangat bersalah pada kedua orang tuanya yang telah membesarkannya, mendidiknya dan memberikan kepercayaan padanya karena telah menyia-nyiakan semua pemberian orang tuanya itu juga mengkhianati kepercayaan mereka yang selama ini percaya kalau Fani tidak berpacaran dengan seorang laki-laki pun. Tapi apa yang telah dilakukannya? Fani justru berpacaran. Bukan hanya itu, Fani bahkan berpacaran dengan laki-laki non muslim dan telah melakukan hubungan intim dengan pacarnya itu! Jika kedua orang tuanya mengetahui, mereka pasti tak akan memaafkannya. Tidak akan!!
Air mata Fani meleleh perlahan.
Tidak!! Fani merasa kalau ia memang tak pantas untuk dimaafkan. Betapa banyak kebohongan yang telah diperbuatnya. Betapa banyak kesalahan yang telah dilakukannya. Ia merasa sungguh tak layak mendapatkan maaf. Dosa yang dilakukannya amat besar. Yah, teramat besar!! Fani tiba-tiba teringat perkataan guru agamanya saat di SMU dulu yang pernah mengatakan kalau dosa besar setelah syirik adalah berzina! Na’udzubillah!! Dan hukuman yang diberikan pada orang berzina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali, sedangkan hukman bagi orang yang berzina yang telah menikah adalah dirajam!
Tangis Fani kian tak tertahankan. Ia kian terisak dalam tangisnya.
“Ya, Allah. Betapa besar dosa yang telah ku lakukan. Sanggupkah aku menebus semua dosa itu? Sanggupkah aku menahan panasnya siksa nereka-Mu ya, Allah,” bisik Fani perih.
Dalam derai tangisnya, hatinya menyesali semua perbuatannya meski ia sadar semua penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan hidupnya saat ini.
“Apa yang harus ku lakukan kini ya, Allah? Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Haruskah ku ikuti kemauan Steve, menikah beda agama demi anak dalam kandunganku ini karena aku tak mau masuk agamanya dan menyekutukan-Mu?! Atau haruskah ku tanggung deritaku ini sendiri karena aku tak tega membunuh darah dagingku ini?! Tapi dengan menambah beban kedua orang tuaku, juga membuatnya malu tiada terkira,” bisik Fani lagi pada Rabb-nya yang Maha Mendengar segala bisikkan hati manusia.
Kebimbangan di hati Fani, membuat alam pikirannya kembali pada masa SMA-nya dahulu di mana ia pernah diajarkan praktik shalat istikharah oleh guru agamanya. Saat itu guru agamanya berujar kalau shalat istikharah dilakukan ketika seseorang bimbang menghadapi pilihan dalam hidupnya. Karena hanya Allah yang Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya, sebelum memutuskan sebuah perkara yang membingungkan, manusia diharuskan untuk shalat istikharah meminta petunjuk-Nya pilihan mana yang terbaik baginya.
Lintasan masa SMA-nya itu, menggerakkan hati Fani untuk bangun dari tempat tidurnya dan segera mengambil air wudhu. Beberapa menit kemudian, Fani pun telah tenggelam dalam shalatnya.
Fani larut dalam kekhusyu’an shalatnya. Air matanya tak berhenti mengalir sepanjang shalatnya. Usai shalat, Fani memanjatkan untaian do’a pada Rabb-Nya seraya memohon ampunan-Nya atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya meski ia merasa sangat tak pantas mendapatkan ampunan dari Rabb yang telah begitu banyak memberikan berbagai kenikmatan padanya, yang jika ia mencoba menghitung segala kenikmatan itu, tak kan pernah sanggup ia hitung jumlahnya.
Cukup lama Fani menengadahkan tangannya, berdoa kepada Sang pemilik hidup. Rupanya Fani benar-benar menyesali segala perbuatannya dan tak ingin mengulangi semua kesalahannya dahulu.
Setelah lama berdoa, Fani merasa hatinya sudah lebih tenang dari sebelumnya meski jalan keluar dari masalahnya belum ditemukannya dan ia belum tahu harus memutuskan apa. Fani kembali teringat perkataan guru agamanya kalau Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia di muka bumi ini. Mungkin saja dengan Al-Qur’an, ia bisa mendapatkan petunjuk dan jalan keluar bagi segala permasalahannya itu.
Fani pun mengambil sebuah mushaf Al-Qur’an di atas rak bukunya. Sebuah mushaf bersampul coklat tua, yang selama ini hanya sekedar menjadi pemanis koleksi bukunya di rak buku. Entah kapan terakhir kali Fani membaca mushaf itu. Fani tidak ingat sedikit pun. Sejak ia lulus SMA, ia hampir tidak pernah membaca Al-Qur’an. Kalau saja dahulu ia mau membaca dan memahami Al-Qur’an, mungkin hidupnya tak kan tersesat seperti sekarang ini. Seperti sebuah hadits Rasulullah yang pernah didengarnya yang mengatakan kalau manusia tak kan tersesat jika berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.
Fani kembali duduk di atas sajadahnya dengan menghadap kiblat. Sesungguhnya ia tak tahu harus bagaimana dengan mushaf yang ada di tangannya itu. Membaca Al-Qur’an, ia masih terbata-bata. Memahami maknanya? Apa mungkin ia bisa melakukannya? Fani asal membuka mushafnya karena tidak tahu harus mencari petunjuk itu dalam berbagai kejadian yang terjadi dalam hidupnya.
Fani membolak-bolak lembaran-lembaran mushafnya karena tak tahu harus membaca surat apa dan ayat berapa. Hingga akhirnya, tangannya pun lelah membolak-bolik lembaran mushafnya dan berhenti tepat di surat Al-Baqarah. Fani pun membaca perlahan terjemah ayat-ayat surat Al-Baqarah yang ada di hadapannya, dari ayat 220 sampai ayat 230 yang membahas masalah pernikahan dan rumah tangga. Namun di antara kesebalas ayat tersebut, perhatian Fani hanya terfokus pada ayat 221 dari surat Al-Baqarah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 itu Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya dengan manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Fani merenung sendiri memikirkan ayat tersebut. Dalam ayat tersebut sangat jelas kalau Allah melarang orang-orang beriman menikah dengan seorang musyrik. Dan artinya, pernikahan beda agama itu haram. Itu juga berarti, orang-orang beda agama yang katanya telah menikah, sebenarnya mereka tidaklah menikah karena pernikahan mereka tidaklah sah dihadapan Allah. Dengan kata lain, sama saja mereka telah melakukan zina. Na’udzubillah.
“Ya Allah, aku sudah melakukan dosa sedemikian besar, betapa tak punya malunya aku jika aku sampai melakukan dosa besar itu lagi,” Fani teringat lagi tawaran Steven tadi siang.
“Tapi, apa yang harus ku lakukan? Menggugurkan janin ini? Itu pun dosa besar dan aku tak kan sanggup melakukannya,” lirih Fani.
Fani kembali terisak. Ia sudah menemukan jawaban dari tawaran Steven tadi siang. Ia pun telah menyadari semua kesalahannya selama ini. Meski ia belum menemukan jalan keluar dari semua permasalahannya, Fani bersyukur karena masih menyadari kesalahan-kesalahannya & menyesalinya sehingga tidak semakin terjerembab dalam jurang dosa.
Fani terus terisak seraya terus memanjatkan untaian doa-doa pada Rabb-Nya.
“Hati hitam mengenangkan
dosa-dosa yang ku lakukan
Telah aku merasakan
derita jiwa dan perasaan,
telah hilang dari jalan
menuju Ridho-Mu ya Tuhan
ku akui kelemahan ini
ku insafi kekurangan ini
ku kesali kesalahan ini
dihamparan ini ku meminta
semoga taubatku diterima.”
*****
Fani mempercepat langkahnya. Di taman kota itu, di tempat yang pernah dilaluinya bersama dengan Steven untuk memadu kasih, ia kembali dating ke sana. Namun kali ini wajahnya tak secerah biasanya ketika ia datang ke tempat itu. Wajah Fani terlihat sembap, matanya tampak sedikit bengkak. Sangat jelas terbaca kalau ia sedang menyimpan kesedihan yang teramat sangat. Kesedihan yang hanya disimpannya seorang diri, tanpa hendak ingin dibaginya dengan siapa pun.
Seperti yang telah diduganya, Steven telah menunggunya di sebuah bangku di salah satu sudut taman. Senyumnya mengembang manakala matanya menangkap kedatangan Fani.
“Hai, Babe,” sapanya dengan kepanggilan kesayangannya untuk Fani.
Fani tidak menanggapi sapaannya itu. Ia hanya terdiam tanpa kata di hadapan Steven sambil merogoh tasnya. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan memberikannya pada Steven.
“Maaf, aku gak bersedia menikah denganmu dalam keadaan beda keyakinan seperti ini,” ujar Fani kemudian penuh ketegasan.
“Lalu bagaimana denganmu? Dengan bayi kita?,” tanya Steven terkejut mendengar perkataan Fani.
“Semua jawabannya ada di dalam surat itu,” jawab Fani seraya beranjak pergi dari hadapan Steven.
Steven terheran-heran melihat sikap Fani yang tidak biasa. Namun ia tidak berusaha mengejar Fani. Dibiarkannya Fani berlalu pergi darinya. Ia pun membuka sepucuk surat yang diberikan Fani untuknya. Sepucuk surat yang menjelaskan semua keputusan yang diambil Fani akan semua permasalahannya juga akan hidupnya selanjutnya.
*****
Adzan Subuh baru saja berkumandang. Memecah kesunyian pagi di bawah langit yang masih gelap gulita. Suara tangis bayi tiba-tiba turut memecah kesunyian pagi itu, seolah ikut menyambut fajar baru yang segera hadir.
Ustadzah Faizah menghampiri Fani di ranjang. Dalam gendongannya tampak bayi mungil yang sudah bersih dan rapih. Ustadzah Faizah memberikan bayi itu pada Fani agar Fani melihatnya.
Fani tersenyum melihat bayinya. Lalu dikecupnya sang bayi dengan penuh kasih sayang.
“Bayi mungil yang tanpa dosa. Sungguh dirimu bukanlah anak haram, Nak. Tapi ibumu inilah yang telah melakukan perbuatan haram,” ujar Fani tersedu melihat anaknya yang baru saja dilahirkannya.
Ustadzah Faizah mengusap punggung Fani perlahan.
“Sudahlah. Itu masa lalu. Yang terpenting sekarang, perbaiki dirimu dan besarkan anakmu dengan penuh kasih sayang dan didik ia dengan baik,” ucapnya lembut.
Fani mengangguk dan tersenyum.
“Insya Allah, ustadzah, “ sahutnya. Lalu ia menatap bayinya kembali.
“Nak, ku beri kau nama Nurul Hidayah dengan harapan dirimu akan selalu mendapat cahaya petunjuk Allah dalam hidupmu agar hidupmu tak tersesat seperti ibumu ini,” lanjut Fani lirih.
“Amin ya Allah,” sahut Ustadzah Faizah mengamini.
Sejak terkahir kali bertemu dengan Steven, Fani pergi dari kehidupannya juga dari keluarganya. Ia lebih memilih menanggung kesalahannya seorang diri dari pada harus membuat malu kedua orang tuanya atau pun menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dengannya. Ia tak ingin menambah dosa lagi dan bertekad untuk mengubah hidupnya selama ini. karena itulah Fani lebih memilih pergi ke sebuah pesantren dan menjalani sebuah hari yang baru demi anaknya tercinta. Hari baru di bawah naungan cinta sang Illahi Rabbi.
0 komentar:
Posting Komentar