Yogie terdiam sendiri di kamarnya. Ia sedang memperkirakan siapa saja di antara sekian banyak teman-temannya yang akan dimintanya hadir dalam acara akad nikahnya nanti. Yogie tidak ingin mengundang banyak orang karena acara pernikahannya pun dilaksanakan dengan sederhana. Ia hanya akan mengundang saudara dan beberapa orang teman saja. Dari beberapa orang teman yang akan diundang Yogie untuk menghadiri acara akad nikahnya, salah satunya adalah Bahrul. Ya, tentu saja. Ikhwan yang kini menjadi teman baiknya itu harus datang ke acaranya pernikahannya. Tidak boleh tidak. Apalagi Bahrul yang telah membantunya berproses dengan Nisa. Ia pun mencatat nama Bahrul dalam daftar nama teman yang akan diundangnya.
“Ehem….yang mau nikah, udah mulai dipingit ya?,” Fisha tiba-tiba masuk ke dalam kamar Yogie yang memang pintu kamarnya sedang dalam keadaan terbuka.
Fisha menghampiri Yogie di meja komputernya.
“Siapa juga yang dipingit! Ngaco aja deh,” sahut Yogie cepat.
“Hi…,” Fisha nyengir pada Yogie. “Ya, Kak Yogie lah! Masa’ Kak Dika! Kan yang mau nikah Kak Yogie, bukan Kak Dika,” lanjutnya.
“Apanya yang bukan Kak Dika?,” Dika yang kebetulan melintas di depan kamar Yogie langsung menyambar dan masuk ke dalam kamar Yogie.
Yogie hanya tersenyum melihat Dika datang.
“Ya, yang mau nikah lah! Yang mau nikah kan Kak Yogie, bukan Kak Dika. Jadi Kak Yogie dah mulai memingit diri tuh!,” cerocos Fisha manja.
“Kak Yogie gak memingit diri, kok,” jawab Yogie cepat.
“Terus kenapa di dalam kamar terus-terusan?,” cerocos Fisha lagi.
“Ya, lagi gak pingin aja keluar. Kakak lagi memikirkan banyak hal buat acara pernikahan nanti,” jawab Yogie.
“Ooooh….,” mulut Fisha membulat.
“Gimana persiapannya? Surat-surat sudah beres semua?,” tanya Dika kemudian.
“Alhamdulillah sudah, Kak. Waktunya juga sudah ditentukan. Insya Allah jam 09 pagi.”
Dika mengangguk-anggukkan kepala.
“Lalu mahar dan bawaan lainnya?,” tanya Dika kemudian.
“Insya Allah, besok lusa aku mau belanja sama Ibu. Maharnya sendiri alhamdulillah sudah ku persiapkan dan ku usahakan sendiri dari tabunganku,” jawab Yogie tenang.
“Terus maharnya apa, Kak? Fisha mau lihat dunk,” tanya Fisha penasaran.
“Mau tau aza!,” canda Yogie sengaja ingin membuat adiknya itu bertambah penasaran.
“Uuuhmmm…. Pelit!,” Fisha merengut kesal.
Yogie dan Dika tertawa kecil melihat tingkah Fisha.
“Yang pasti, insya Allah mahar terbaik untuk wanita terbaik,” jawab Yogie tenang. Matanya sekilas melihat ke arah Dika. Dika tampak tertunduk tanpa ekspresi.
“Wah, bakal ada saingan nih di rumah ini!,” ujar Fisha kemudian.
“Saingan apa?,” tanya Dika yang terlihat sedikit terkejut.
“Ya, saingan wanita cantik. Tadinya, di rumah ini kan yang cantik cuma Fisha. Kalau Kak Yogie menikah sama Kak Nisa, ketambahan satu orang lagi dunk yang cantik. Huuu!,” jawab Fisha cepat.
“Lho, kan masih ada ibu, siapa bilang kamu cantik sendirian di rumah ini. Justru ibu-lah wanita paling cantik di rumah ini. Bukannya kamu!,” kata Dika menanggapi.
“Iya. GR aja, sih! Kak Nisa itu jauh lebih cantik dari pada kamu, “Yogie menimpali.
“Ya…gitu kan! Udah gak kompak! Dulu selalu bilang, di rumah ini Fisha yang paling cantik, tapi sekarang…..?,” Fisha kembali merengut. “Apalagi Kak Yogie! Mentang-mentang mau nikah sama Kak Nisa, apa-apa Kak Nisa!,” sambung Fisha.
Ia pun melangkahkan kakinya ke arah pintu.
“Lho mau kemana?,” tanya Yogie heran.
“Mau ke kamar. BT ngobrol sama pria-pria nyebelin!,” jawabnya sambil terus melangkah.
Yogie dan Dika hanya tersenyum melihatnya. Tak lama, Dika pun menyusul Fisha pergi meninggalkan kamar Yogie.
“Kak Dika juga ke kamar dulu,” ujarnya pada Yogie.
“Kak,” panggil Yogie saat Dika baru beberapa langkah berjalan.
Dika menoleh.
“Maaf…. Maaf telah membuat hatimu terasa perih dan sakit. Ini pasti sangat berat buatmu,” ungkap Yogie menatap sendu Dika.
Namun Dika malah tersenyum pada Yogie.
“Ini tak seberapa, Gie. Sungguh. Jika kamu saja bisa begitu tegar menghadapi penyakitmu, kenapa Kak Dika nggak!,” jawab Dika tenang. “Gie, ini tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang kau rasa. Jadi, tak perlu pikirkan Kak Dika. Istirahatlah! Simpan tenagamu untuk acara pernikahanmu nanti,” lanjut Dika. Ia pun melanjutkan langkah kakinya keluar dari kamar Yogie.
Yogie menatap Dika hingga sosoknya tak tampak lagi dalam pandangan matanya.
“Kak, sungguhkah sakitmu itu tak seberapa? Sungguhkah rasa sakitku ini melebihi rasa sakit yang kau rasakan?,” batin Yogie lirih. “Kak, kenapa tak kau biarkan aku turut merasakan perihmu itu sebagaimana kau ikut merasakan perihku ini. Kenapa tak kau biarkan ku ikut menghadapi rasa sakit itu sebagaimana kau telah bantu aku menghadapi penyakitku ini?! Kak, begitu banyak yang telah kau lakukan untukku, tapi…..apa yang bisa ku lakukan untukmu? Tak ada. Tak ada yang dapat ku lakukan untuk bisa menyembuhkan luka di hatimu itu. Kak, cintamu untukku terlalu besar hingga aku tak dapat membalas besarnya cintamu itu,” lanjut Yogie tanpa bisa membendung lagi air matanya.
“Saudara yang beriman ibarat mentari yang menyinari bumi
Saudara yang setia bagai pewangi yang mengharumkan
Saudara sejati menjadi pendorong impian
Saudara berhati mulia membawa ke jalan Allah
Kak, semoga Allah memelukmu erat
Tidak hanya membuatmu baik
Tapi juga memberikanmu yang terbaik…..”
*****
Yogie berjalan menuju ruang redaksi buletin Al-Hijrah. Langkahnya tegap dan cepat. Namun ia ke sana bukan untuk menemui Nisa. Yogie berniat menemui Bahrul, sahabatnya yang juga menjadi reporter di buketin itu.
“Assalamu’alaikum,” salam Yogie di pintu masuk.
“Wa’alaikum salam,” sebuah suara lembut dari dalam ruangan terdengar manis menjawab salam.
Yogie terkejut mendengar suara lembut itu. Ia menoleh ke sebuah sudut ruangan di dalam ruang redaksi. Ia menemukan seorang akhwat manis yang sedang duduk di belakang komputer. Akhwat itu pun menoleh di detik yang sama hingga tatapan mata mereka bertemu pada satu titik.
“Nisa…..,” gumam Yogie pelan.
“Akh Yogie…,” gumam Nisa tidak kalah terkejut. Segera saja ia menundukkan kepalanya tak berani menatap laki-laki yang masih belum halal untuknya itu.
“Afwan, Akh Bahrulnya ada?,” tanya Yogie yang entah mengapa tiba-tiba menjadi salting di hadapan seorang akhwat.
“Akh Bahrul baru saja ke perpustakaan,” jawab Nisa datar. Ia tak kalah geroginya dengan Yogie.
Selain ketika ta’aruf, baru kali itu Yogie berbicara langsung pada Nisa. Seketika itu jantungnya berdebar kencang tak karuan. Sekujur tubuhnya terasa lemas meski ia masih sanggup berdiri. Berbagai perasaan bergumul di dalam hatinya menjadi satu. Entah perasaan apa namanya. Yogie tak tahu. Yang ia tahu, ada yang berdesir di hatinya kala suara lembut Nisa terdengar di telinganya. Yogie tersenyum kecil mentertawakan dirinya sendiri.
“Afwan, ada apa, Akh?,” tanya Nisa kemudian membuat Yogie tersadar.
“Oh, gak apa-apa. Cuma ada perlu sedikit,” jawab Yogie salting dan merasa malu sendiri. Entah apakah Nisa memperhatikan dirinya atau tidak tadi. Sungguh memalukan kalau Nisa sampai memperhatikannya, apalagi kalau melihatnya senyum-senyum sendiri.
“Biar ana cari ke sana. Syukran. Assalamu’alaikum,” ujar Yogie kemudian lalu cepat-cepat pergi meninggalkan ruang redaksi Al-Hijrah tanpa peduli apakah Nisa menjawab salamnya atau tidak. Yogie hanya berpikir untuk secepatnya pergi menjauh dari Nisa. Ia pun berlari kecil menuju perpustakaan untuk mencari Bahrul.
Yogie langsung duduk di samping Bahrul setelah menemukannya di dalam perpustakaan.
“Antum kenapa? Habis dikejar-kejar anjing di sebrang kampus ya?,” ledek Bahrul melihat Yogie datang dengan nafas terengah-engah. “Hati-hati, jangan sampai terlalu lelah. Ingat kesehatan antum,” Bahrul mengingatkan.
Yogie tidak langsung menjawab. Sedapat mungkin ia mengatur nafasnya terlebih dahulu. Bahrul hanya tertawa kecil melihatnya sambil menunggu jawaban dari Yogie.
“Insya Allah gak apa-apa, kok. Dan ini bukan karena anjing depan kampus yang mengejar-ngejar,” jawab Yogie masih sedikit tersengal-sengal.
“Lantas?.”
Yogie menarik nafas dalam-dalam. Setelah lebih tenang barulah ia bersuara kembali.
“Nisa!,” jawabnya pendek.
“Apa? Nisa? Ngaco, ah! Mana mungkin Nisa ngejar-ngejar antum!,” sahut Bahrul tak mengerti dengan ucapan Yogie diiringi tawa kecilnya.
“Bukan Nisa! Tapi bayangannya,” jawab Yogie cepat.
“Lho kok bisa? Bayangannya Nisa kan ngikutin Nisa terus, mana mungkin tiba-tiba ngikutin kamu? Apa kalian tukeran bayangan?,” ledek Bahrul kemudian.
“Bukan itu! Tadi ana nyari antum di ruang redaksi, tapi antum gak ada. Yang ada malah Nisa sama temennya, Nia. Ana kaget karena yang menjawab Nisa. Terus….,” Yogie tak menggantung kalimatnya.
“Terus apa?,” Bahrul penasaran.
“Ya, ana tanya antum ada di mana lalu ke sini deh,” jawab Yogie.
“Lho katanya bayangan Nisa ngejar-ngejar antum?.”
“Iya. Tadi nervous banget waktu di depan Nisa. Gak tahu deh tampang ana kaya’ gimana tadi. Dari pada pingsan tiba-tiba, mending ana buru-buru kabur ke sini. Tapi udah ke sini pun rasanya Nisa ngikutin terus. Dia bayang-bayangin ana terus,” jawab Yogie.
Mendengar ucapan Yogie, Bahrul lantas tertawa kembali.
“Hah…kirain ada apa! Hem..gak tahunya ada yang udah jatuh cinta. Tenang, akh. Tinggal delapan hari lagi bidadari berhati lembut itu akan menjadi milik antum. Dan antum gak perlu khawatir lagi bayangannya ngikutin antum terus, karena dia sendirilah yang akan setia menemani antum dengan sepenuh hati,” ujarnya seraya meletakkan tangannya di atas pundak Yogie.
“Hah! Antum bisa aja!,” kata Yogie tersipu. Lalu ia menatap Bahrul lekat-lekat.
“Semoga antum bersedia menghadiri akad nikah kami. Ana sangat berharap antum bisa ikut menyaksikan saat-saat ana dan Nisa saling mengikat janji suci,” pinta Yogie pada sahabatnya itu.
Bahrul tersenyum lebar.
“Insya Allah. Ana pasti datang. Ana pun gak ingin ketinggalan melihat saat-saat sangat berarti buat kalian berdua,” janji Bahrul pada Yogie.
Yogie tersenyum mendengarnya.
“Ada satu lagi.”
“Apa?.”
“Ana minta hadiah special dari antum.”
“Hadiah? Special? Apa? Kalau ana bisa, insya Allah akan ana penuhi,” tanya Bahrul sedikit heran.
“Bawakan sebuah lagu untuk ana dan Nisa nanti. Sebuah lagu yang sangat romantis, itu akan jadi hadiah istimewa buat ana dan Nisa. Hanya itu. Ana gak inginkan hadiah yang lain,” jawab Yogie.
Bahrul kembali tersenyum.
“Ana kira apa! Insya Allah. Insya Allah ana akan nyanyikan sebuah lagu di hari pernikahan antum nanti,” janji Bahrul lagi.
Yogie tersenyum. Ia menggenggam erat tangan Bahrul. Jauh di lubuk hati yang terdalam, ia sangat bersyukur bisa berteman dengan orang sebaik Bahrul. Sungguh betapa beruntungnya ia bisa berteman dengannya dengan penuh kecintaan karena-Nya. Ternyata benar apa yang dikatakan amirul mukminin Umar bin Khattab bahwa tidaklah seseorang diberi kenikmatan yang lebih baik setelah keislamannya, kecuali adanya saudara yang shalih.
“Ya Rabb, jadikanlah kami penyayang bagi orang-orang beriman, jadikan persahabatan kami terikat cinta karena-Mu, saling menasihati dalam kebenaran, saling mendoakan di kala jauh, saling memuliakan di saat berjumpa. Ya Rahim, jadikanlah persahabatan kami indah seeprti persahabatan Rasul dan sahabat-sahabatnya yang saling mencintai dalam ketakwaan,” doa Yogie lirih sambil menatap wajah sahabatnya itu dalam-dalam dengan penuh kebahagiaan yang tak dapat terlukiskan dengan untaian kata.
*****
Hari itu, karena Dika tidak bisa ikut, Yogie menemani ibunya berdua saja, pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di kota Bogor. Mereka hendak membeli berbagai keperluan untuk acara pernikahan Yogie dan Nisa nanti. Meski acara pernikahan akan dilangsungkan di rumah Nisa, Bu Renna merasa perlu membawakan berbagai hantaran untuk keluarga Nisa sebagaimana tradisi yang ada selama ini.
Hari itu, Bu Renna dan Yogie berniat membeli barang-barang yang awet dan tidak busuk karena acaranya masih seminggu lagi. Itu dilakukan agar jika sudah dekat waktunya, mereka tidak terlalu repot. Selain itu agar bisa memperisapkan dari awal dan jika ada ternyata ada kekurangan, bisa lekas diatasi.
Pertama-tama, Bu Renna dan Yogie membeli bahan-bahan kebutuhan pokok yang akan digunakan untuk membuat beraneka macam kue yang akan dibawa ke rumah Nisa nantinya, seperti terigu, telur, gula dan lain sebagainya. Setelah itu barulah keduanya berbagai barang untuk dijadikan bungkisan yang akan diberikan untuk Nisa. Mereka membeli aneka barang perlengkapan wanita mulai dari tas, jilbab, gamis cantik, sepatu, handuk dan beberapa barang lainnya yang nantinya akan dibungkus dalam bentuk parcel. Khusus untuk gamis dan jilbab, Yogie memilihkannya sendiri, sedangkan barang-barang yang lain, ia serahkan pada sang ibu untuk memilihkannya.
Selain itu, Yogie sengaja membuat sesuatu yang unik dalam hantaran pernikahannya. Jika selama ini perlengkapan shalat dibungkus cantik untuk dijadikan mahar, maka kali ini Yogie tidak berniat menjadikannya mahar, tapi bagian dari barang-barang hantaran. Dan jika selama ini barang-barang hantaran berupa makanan dan perlengkapan wanita, Yogie berniat menambahkan dua buah jenis hantaran lagi, yaitu buku dan obat-obatan herbal. Maka, ia pun masuk ke dalam sebuah toko buku dan membeli sebuah Al-Qur’an khusus wanita, juga beberapa buku bertemakan anak dan keluarga. Setelah itu, Yogie membeli berbagai macam obat-obatan herbal mulai dari madu, sari kurma, habbatus saudah, teh rosella dan yang lainnya.
Meski terheran-heran dengan yang dilakukan anaknya, Bu Renna tidak berniat mencegah atau melarang. Ia hanya menuruti saja kemauan anak tengahnya itu dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya dengan niat dan tujuan yang baik seraya terus berdoa semoga acara pernikahannya nanti berjalan dengan lancar tanpa suatu hambatan apa pun.
*****
Menjelang Maghrib, taksi yang ditumpangi Yogie dan Bu Renna berhenti tepat di depan rumah mereka yang sederhana di kawasan perumahan Bumi Cibinong Endah yang letaknya tak jauh dari kompleks perkantoran Pemkab Bogor. Yogie segera turun dan mengeluarkan barang-barang belanjaan dari dalam bagasi mobil. Setelah selesai, Yogie segera mandi dan bersiap untuk shalat Maghrib di Masjid.
Azan Maghrib pun berkumandang tepat setelah Yogie selesai membersihkan dirinya. Ia pun segera memakai baju kokonya dan menuju masjid. Namun baru saja keluar dari kamarnya, tiba-tiba dari hidungnya mengalir darah perlahan. Fisha yang melihatnya terkejut bukan main.
“Kak, hidung Kak Yogie keluar darah,” teriak Fisha panik.
Yogie yang baru menyadarinya segera mengusapkan jari tangan kanannya ke tepi hidungnya. Setelah itu dilihatnya jari telunjuknya yang memang terdapat darah.
“Astaghfirullah,” Bu Renna yang mendengar dari arah dapur cepat-cepat menghampiri Yogie. “Ya, ampun. Kamu pasti kecape’an seharian pergi belanja,” ujar Bu Renna cemas.
“Gak apa-apa, Bu. Aku gak apa-apa. Jangan khawatir,” sahut Yogie berusaha menenangkan ibunya sambil mengusap darah di tepi hidungnya dengan tisu.
“Tapi muka kamu pucat banget. Sudah, shalat di rumah saja lalu istirahat,” Bu Renna bertambah cemas melihat wajah Yogie yang pucat pasi.
Namun Yogie tetap bersikeras pergi ke Masjid juga. Meski sendi-sendinya terasa ngilu dan nyeri.
”Aku gak apa-apa, Bu,” ujarnya seraya melangkah menuju pintu.
Yogie begitu gigih tetap ingin ke Masjid meski keadaan dirinya terlihat sangat lemah. Dan Bu Renna atau pun Fisha tak dapat mencegahnya. Mereka pun hanya memandangi Yogie dengan penuh kecemasan.
Namun baru saja Yogie membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia terjatuh tak sadarkan diri. Hampir saja kepalanya membentur pintu yang ada di dekatnya. Melihat kejadian itu, Bu Renna dan Fisha segera berlari menghampiri Yogie. Keduanya menangis histeris memanggil Yogie yang matanya terpejam dan seolah tal ingin melihat dunia lagi. Yogie tak menghiraukan panggilan ibu dan adiknya seolah telah siap untuk pergi jauh dari mereka. Ia seolah telah menyerah pada penyakitnya. Ia seolah telah pasrah pada hidupnya.
*****
Bangsal rumah sakit kembali menjadi pembaringan Yogie. Selang infus kembali menjadi temannya di dalam ruangan yang bercat putih itu. Mata Yogie masih saja terpejam meski begitu banyak orang yang mengharapkannya membuka matanya kembali. Mulutnya masih tertutup rapat meski begitu banyak orang yang memanggilnya dan mengidungkan doa untuknya. Tubuhnya masih tak bergerak sedikit pun meski begitu banyak orang yang mengharapkannya terbangun. Yogie hanya terdiam dan terus saja terdiam.
Dika duduk di bangku yang ada di samping tempat tidur Yogie. Dokter baru saja mengizinkan masuk setengah jam yang lalu namun dengan bergantian satu per satu. Pertama tadi Pak Yusuf yang masuk, lalu Bu Renna, setelah itu barulah gilirannya dapat masuk dan melihat langsung keadaan Yogie.
“Gie, maafkan kakak. Kalau saja kakak ikut bersama kalian, mungkin kamu gak akan keletihan seperti ini. Kalau saja tadi kakak membatalkan acara kakak dan lebih mementingkan menemani kalian, kamu gak perlu berada di sini sekarang. Gie, maafkan kakak,” ujar Dika menyesali dirinya sendiri yang tidak jadi ikut serta dengan Yogie dan ibunya pergi berbelanja.
“Gie, katakan, harus dengan apa kakak menebus kesalahan ini? Harus bagaimana kakak membayar kekhilafan ini? Katakanlah, Gie! Katakan! Biar kakak tahu! Biar kakak bisa membuatmu sembuh. Biar kakak bisa melihatmu tersenyum bahagia,” lanjut Dika lirih. Air matanya pun meleleh membasahi telapak tangan Yogie yang digenggam Dika erat-erat.
“Gie, apa kamu menyerah sekarang? Apa kamu benar-benar telah pasrah? Gie, kamu gak boleh menyerah! Kamu harus terus gigih berjuang seperti Yogie yang kakak kenal selama ini. Yogie yang tak pernah takut pada apa pun kecuali Tuhannya. Yogie yang selalu optimis menatap masa depannya,” kata Dika lagi.
“Gie, bangunlah! Kamu gak boleh menyerah sekarang! Kamu harus tetap gigih berjuang. Kamu harus tetap yakin kalau kamu bisa sembuh. Kamu harus tetap optimis. Bangun dan tersenyumlah. Ada Nisa dan keluarganya di luar sana. Bangunlah, Gie! Jangan membuatnya cemas. Pernikahan kalian hanya tinggal seminggu lagi. Bangun dan yakinlah kalian akan bahagia. Yakinlah kamu dan Nisa akan memiliki banyak anak, akan membesarkan anak-anak kalian hingga dewasa. Ada Hafizh, ada Khansa, juga Nafisah dan masih banyak lagi. Gie, jangan menyerah….,” Dika kian terisak dalam tangisnya.
“Gie, ada kakak di sini. Bangun dan jangan hadapi semua ini sendiri. Kita akan menghadapinya bersama. Percayalah, Gie! Percaya dan tetap berhusnuzhan pada-Nya….,” lanjut Dika meski Yogie tak jua membuka matanya. Meski Yogie masih terus terbenam dalam dunianya. Dunia yang tak dapat dijangkau oleh Dika, Nisa atau siapa pun.
“Ehem….yang mau nikah, udah mulai dipingit ya?,” Fisha tiba-tiba masuk ke dalam kamar Yogie yang memang pintu kamarnya sedang dalam keadaan terbuka.
Fisha menghampiri Yogie di meja komputernya.
“Siapa juga yang dipingit! Ngaco aja deh,” sahut Yogie cepat.
“Hi…,” Fisha nyengir pada Yogie. “Ya, Kak Yogie lah! Masa’ Kak Dika! Kan yang mau nikah Kak Yogie, bukan Kak Dika,” lanjutnya.
“Apanya yang bukan Kak Dika?,” Dika yang kebetulan melintas di depan kamar Yogie langsung menyambar dan masuk ke dalam kamar Yogie.
Yogie hanya tersenyum melihat Dika datang.
“Ya, yang mau nikah lah! Yang mau nikah kan Kak Yogie, bukan Kak Dika. Jadi Kak Yogie dah mulai memingit diri tuh!,” cerocos Fisha manja.
“Kak Yogie gak memingit diri, kok,” jawab Yogie cepat.
“Terus kenapa di dalam kamar terus-terusan?,” cerocos Fisha lagi.
“Ya, lagi gak pingin aja keluar. Kakak lagi memikirkan banyak hal buat acara pernikahan nanti,” jawab Yogie.
“Ooooh….,” mulut Fisha membulat.
“Gimana persiapannya? Surat-surat sudah beres semua?,” tanya Dika kemudian.
“Alhamdulillah sudah, Kak. Waktunya juga sudah ditentukan. Insya Allah jam 09 pagi.”
Dika mengangguk-anggukkan kepala.
“Lalu mahar dan bawaan lainnya?,” tanya Dika kemudian.
“Insya Allah, besok lusa aku mau belanja sama Ibu. Maharnya sendiri alhamdulillah sudah ku persiapkan dan ku usahakan sendiri dari tabunganku,” jawab Yogie tenang.
“Terus maharnya apa, Kak? Fisha mau lihat dunk,” tanya Fisha penasaran.
“Mau tau aza!,” canda Yogie sengaja ingin membuat adiknya itu bertambah penasaran.
“Uuuhmmm…. Pelit!,” Fisha merengut kesal.
Yogie dan Dika tertawa kecil melihat tingkah Fisha.
“Yang pasti, insya Allah mahar terbaik untuk wanita terbaik,” jawab Yogie tenang. Matanya sekilas melihat ke arah Dika. Dika tampak tertunduk tanpa ekspresi.
“Wah, bakal ada saingan nih di rumah ini!,” ujar Fisha kemudian.
“Saingan apa?,” tanya Dika yang terlihat sedikit terkejut.
“Ya, saingan wanita cantik. Tadinya, di rumah ini kan yang cantik cuma Fisha. Kalau Kak Yogie menikah sama Kak Nisa, ketambahan satu orang lagi dunk yang cantik. Huuu!,” jawab Fisha cepat.
“Lho, kan masih ada ibu, siapa bilang kamu cantik sendirian di rumah ini. Justru ibu-lah wanita paling cantik di rumah ini. Bukannya kamu!,” kata Dika menanggapi.
“Iya. GR aja, sih! Kak Nisa itu jauh lebih cantik dari pada kamu, “Yogie menimpali.
“Ya…gitu kan! Udah gak kompak! Dulu selalu bilang, di rumah ini Fisha yang paling cantik, tapi sekarang…..?,” Fisha kembali merengut. “Apalagi Kak Yogie! Mentang-mentang mau nikah sama Kak Nisa, apa-apa Kak Nisa!,” sambung Fisha.
Ia pun melangkahkan kakinya ke arah pintu.
“Lho mau kemana?,” tanya Yogie heran.
“Mau ke kamar. BT ngobrol sama pria-pria nyebelin!,” jawabnya sambil terus melangkah.
Yogie dan Dika hanya tersenyum melihatnya. Tak lama, Dika pun menyusul Fisha pergi meninggalkan kamar Yogie.
“Kak Dika juga ke kamar dulu,” ujarnya pada Yogie.
“Kak,” panggil Yogie saat Dika baru beberapa langkah berjalan.
Dika menoleh.
“Maaf…. Maaf telah membuat hatimu terasa perih dan sakit. Ini pasti sangat berat buatmu,” ungkap Yogie menatap sendu Dika.
Namun Dika malah tersenyum pada Yogie.
“Ini tak seberapa, Gie. Sungguh. Jika kamu saja bisa begitu tegar menghadapi penyakitmu, kenapa Kak Dika nggak!,” jawab Dika tenang. “Gie, ini tak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang kau rasa. Jadi, tak perlu pikirkan Kak Dika. Istirahatlah! Simpan tenagamu untuk acara pernikahanmu nanti,” lanjut Dika. Ia pun melanjutkan langkah kakinya keluar dari kamar Yogie.
Yogie menatap Dika hingga sosoknya tak tampak lagi dalam pandangan matanya.
“Kak, sungguhkah sakitmu itu tak seberapa? Sungguhkah rasa sakitku ini melebihi rasa sakit yang kau rasakan?,” batin Yogie lirih. “Kak, kenapa tak kau biarkan aku turut merasakan perihmu itu sebagaimana kau ikut merasakan perihku ini. Kenapa tak kau biarkan ku ikut menghadapi rasa sakit itu sebagaimana kau telah bantu aku menghadapi penyakitku ini?! Kak, begitu banyak yang telah kau lakukan untukku, tapi…..apa yang bisa ku lakukan untukmu? Tak ada. Tak ada yang dapat ku lakukan untuk bisa menyembuhkan luka di hatimu itu. Kak, cintamu untukku terlalu besar hingga aku tak dapat membalas besarnya cintamu itu,” lanjut Yogie tanpa bisa membendung lagi air matanya.
“Saudara yang beriman ibarat mentari yang menyinari bumi
Saudara yang setia bagai pewangi yang mengharumkan
Saudara sejati menjadi pendorong impian
Saudara berhati mulia membawa ke jalan Allah
Kak, semoga Allah memelukmu erat
Tidak hanya membuatmu baik
Tapi juga memberikanmu yang terbaik…..”
*****
Yogie berjalan menuju ruang redaksi buletin Al-Hijrah. Langkahnya tegap dan cepat. Namun ia ke sana bukan untuk menemui Nisa. Yogie berniat menemui Bahrul, sahabatnya yang juga menjadi reporter di buketin itu.
“Assalamu’alaikum,” salam Yogie di pintu masuk.
“Wa’alaikum salam,” sebuah suara lembut dari dalam ruangan terdengar manis menjawab salam.
Yogie terkejut mendengar suara lembut itu. Ia menoleh ke sebuah sudut ruangan di dalam ruang redaksi. Ia menemukan seorang akhwat manis yang sedang duduk di belakang komputer. Akhwat itu pun menoleh di detik yang sama hingga tatapan mata mereka bertemu pada satu titik.
“Nisa…..,” gumam Yogie pelan.
“Akh Yogie…,” gumam Nisa tidak kalah terkejut. Segera saja ia menundukkan kepalanya tak berani menatap laki-laki yang masih belum halal untuknya itu.
“Afwan, Akh Bahrulnya ada?,” tanya Yogie yang entah mengapa tiba-tiba menjadi salting di hadapan seorang akhwat.
“Akh Bahrul baru saja ke perpustakaan,” jawab Nisa datar. Ia tak kalah geroginya dengan Yogie.
Selain ketika ta’aruf, baru kali itu Yogie berbicara langsung pada Nisa. Seketika itu jantungnya berdebar kencang tak karuan. Sekujur tubuhnya terasa lemas meski ia masih sanggup berdiri. Berbagai perasaan bergumul di dalam hatinya menjadi satu. Entah perasaan apa namanya. Yogie tak tahu. Yang ia tahu, ada yang berdesir di hatinya kala suara lembut Nisa terdengar di telinganya. Yogie tersenyum kecil mentertawakan dirinya sendiri.
“Afwan, ada apa, Akh?,” tanya Nisa kemudian membuat Yogie tersadar.
“Oh, gak apa-apa. Cuma ada perlu sedikit,” jawab Yogie salting dan merasa malu sendiri. Entah apakah Nisa memperhatikan dirinya atau tidak tadi. Sungguh memalukan kalau Nisa sampai memperhatikannya, apalagi kalau melihatnya senyum-senyum sendiri.
“Biar ana cari ke sana. Syukran. Assalamu’alaikum,” ujar Yogie kemudian lalu cepat-cepat pergi meninggalkan ruang redaksi Al-Hijrah tanpa peduli apakah Nisa menjawab salamnya atau tidak. Yogie hanya berpikir untuk secepatnya pergi menjauh dari Nisa. Ia pun berlari kecil menuju perpustakaan untuk mencari Bahrul.
Yogie langsung duduk di samping Bahrul setelah menemukannya di dalam perpustakaan.
“Antum kenapa? Habis dikejar-kejar anjing di sebrang kampus ya?,” ledek Bahrul melihat Yogie datang dengan nafas terengah-engah. “Hati-hati, jangan sampai terlalu lelah. Ingat kesehatan antum,” Bahrul mengingatkan.
Yogie tidak langsung menjawab. Sedapat mungkin ia mengatur nafasnya terlebih dahulu. Bahrul hanya tertawa kecil melihatnya sambil menunggu jawaban dari Yogie.
“Insya Allah gak apa-apa, kok. Dan ini bukan karena anjing depan kampus yang mengejar-ngejar,” jawab Yogie masih sedikit tersengal-sengal.
“Lantas?.”
Yogie menarik nafas dalam-dalam. Setelah lebih tenang barulah ia bersuara kembali.
“Nisa!,” jawabnya pendek.
“Apa? Nisa? Ngaco, ah! Mana mungkin Nisa ngejar-ngejar antum!,” sahut Bahrul tak mengerti dengan ucapan Yogie diiringi tawa kecilnya.
“Bukan Nisa! Tapi bayangannya,” jawab Yogie cepat.
“Lho kok bisa? Bayangannya Nisa kan ngikutin Nisa terus, mana mungkin tiba-tiba ngikutin kamu? Apa kalian tukeran bayangan?,” ledek Bahrul kemudian.
“Bukan itu! Tadi ana nyari antum di ruang redaksi, tapi antum gak ada. Yang ada malah Nisa sama temennya, Nia. Ana kaget karena yang menjawab Nisa. Terus….,” Yogie tak menggantung kalimatnya.
“Terus apa?,” Bahrul penasaran.
“Ya, ana tanya antum ada di mana lalu ke sini deh,” jawab Yogie.
“Lho katanya bayangan Nisa ngejar-ngejar antum?.”
“Iya. Tadi nervous banget waktu di depan Nisa. Gak tahu deh tampang ana kaya’ gimana tadi. Dari pada pingsan tiba-tiba, mending ana buru-buru kabur ke sini. Tapi udah ke sini pun rasanya Nisa ngikutin terus. Dia bayang-bayangin ana terus,” jawab Yogie.
Mendengar ucapan Yogie, Bahrul lantas tertawa kembali.
“Hah…kirain ada apa! Hem..gak tahunya ada yang udah jatuh cinta. Tenang, akh. Tinggal delapan hari lagi bidadari berhati lembut itu akan menjadi milik antum. Dan antum gak perlu khawatir lagi bayangannya ngikutin antum terus, karena dia sendirilah yang akan setia menemani antum dengan sepenuh hati,” ujarnya seraya meletakkan tangannya di atas pundak Yogie.
“Hah! Antum bisa aja!,” kata Yogie tersipu. Lalu ia menatap Bahrul lekat-lekat.
“Semoga antum bersedia menghadiri akad nikah kami. Ana sangat berharap antum bisa ikut menyaksikan saat-saat ana dan Nisa saling mengikat janji suci,” pinta Yogie pada sahabatnya itu.
Bahrul tersenyum lebar.
“Insya Allah. Ana pasti datang. Ana pun gak ingin ketinggalan melihat saat-saat sangat berarti buat kalian berdua,” janji Bahrul pada Yogie.
Yogie tersenyum mendengarnya.
“Ada satu lagi.”
“Apa?.”
“Ana minta hadiah special dari antum.”
“Hadiah? Special? Apa? Kalau ana bisa, insya Allah akan ana penuhi,” tanya Bahrul sedikit heran.
“Bawakan sebuah lagu untuk ana dan Nisa nanti. Sebuah lagu yang sangat romantis, itu akan jadi hadiah istimewa buat ana dan Nisa. Hanya itu. Ana gak inginkan hadiah yang lain,” jawab Yogie.
Bahrul kembali tersenyum.
“Ana kira apa! Insya Allah. Insya Allah ana akan nyanyikan sebuah lagu di hari pernikahan antum nanti,” janji Bahrul lagi.
Yogie tersenyum. Ia menggenggam erat tangan Bahrul. Jauh di lubuk hati yang terdalam, ia sangat bersyukur bisa berteman dengan orang sebaik Bahrul. Sungguh betapa beruntungnya ia bisa berteman dengannya dengan penuh kecintaan karena-Nya. Ternyata benar apa yang dikatakan amirul mukminin Umar bin Khattab bahwa tidaklah seseorang diberi kenikmatan yang lebih baik setelah keislamannya, kecuali adanya saudara yang shalih.
“Ya Rabb, jadikanlah kami penyayang bagi orang-orang beriman, jadikan persahabatan kami terikat cinta karena-Mu, saling menasihati dalam kebenaran, saling mendoakan di kala jauh, saling memuliakan di saat berjumpa. Ya Rahim, jadikanlah persahabatan kami indah seeprti persahabatan Rasul dan sahabat-sahabatnya yang saling mencintai dalam ketakwaan,” doa Yogie lirih sambil menatap wajah sahabatnya itu dalam-dalam dengan penuh kebahagiaan yang tak dapat terlukiskan dengan untaian kata.
*****
Hari itu, karena Dika tidak bisa ikut, Yogie menemani ibunya berdua saja, pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di kota Bogor. Mereka hendak membeli berbagai keperluan untuk acara pernikahan Yogie dan Nisa nanti. Meski acara pernikahan akan dilangsungkan di rumah Nisa, Bu Renna merasa perlu membawakan berbagai hantaran untuk keluarga Nisa sebagaimana tradisi yang ada selama ini.
Hari itu, Bu Renna dan Yogie berniat membeli barang-barang yang awet dan tidak busuk karena acaranya masih seminggu lagi. Itu dilakukan agar jika sudah dekat waktunya, mereka tidak terlalu repot. Selain itu agar bisa memperisapkan dari awal dan jika ada ternyata ada kekurangan, bisa lekas diatasi.
Pertama-tama, Bu Renna dan Yogie membeli bahan-bahan kebutuhan pokok yang akan digunakan untuk membuat beraneka macam kue yang akan dibawa ke rumah Nisa nantinya, seperti terigu, telur, gula dan lain sebagainya. Setelah itu barulah keduanya berbagai barang untuk dijadikan bungkisan yang akan diberikan untuk Nisa. Mereka membeli aneka barang perlengkapan wanita mulai dari tas, jilbab, gamis cantik, sepatu, handuk dan beberapa barang lainnya yang nantinya akan dibungkus dalam bentuk parcel. Khusus untuk gamis dan jilbab, Yogie memilihkannya sendiri, sedangkan barang-barang yang lain, ia serahkan pada sang ibu untuk memilihkannya.
Selain itu, Yogie sengaja membuat sesuatu yang unik dalam hantaran pernikahannya. Jika selama ini perlengkapan shalat dibungkus cantik untuk dijadikan mahar, maka kali ini Yogie tidak berniat menjadikannya mahar, tapi bagian dari barang-barang hantaran. Dan jika selama ini barang-barang hantaran berupa makanan dan perlengkapan wanita, Yogie berniat menambahkan dua buah jenis hantaran lagi, yaitu buku dan obat-obatan herbal. Maka, ia pun masuk ke dalam sebuah toko buku dan membeli sebuah Al-Qur’an khusus wanita, juga beberapa buku bertemakan anak dan keluarga. Setelah itu, Yogie membeli berbagai macam obat-obatan herbal mulai dari madu, sari kurma, habbatus saudah, teh rosella dan yang lainnya.
Meski terheran-heran dengan yang dilakukan anaknya, Bu Renna tidak berniat mencegah atau melarang. Ia hanya menuruti saja kemauan anak tengahnya itu dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya dengan niat dan tujuan yang baik seraya terus berdoa semoga acara pernikahannya nanti berjalan dengan lancar tanpa suatu hambatan apa pun.
*****
Menjelang Maghrib, taksi yang ditumpangi Yogie dan Bu Renna berhenti tepat di depan rumah mereka yang sederhana di kawasan perumahan Bumi Cibinong Endah yang letaknya tak jauh dari kompleks perkantoran Pemkab Bogor. Yogie segera turun dan mengeluarkan barang-barang belanjaan dari dalam bagasi mobil. Setelah selesai, Yogie segera mandi dan bersiap untuk shalat Maghrib di Masjid.
Azan Maghrib pun berkumandang tepat setelah Yogie selesai membersihkan dirinya. Ia pun segera memakai baju kokonya dan menuju masjid. Namun baru saja keluar dari kamarnya, tiba-tiba dari hidungnya mengalir darah perlahan. Fisha yang melihatnya terkejut bukan main.
“Kak, hidung Kak Yogie keluar darah,” teriak Fisha panik.
Yogie yang baru menyadarinya segera mengusapkan jari tangan kanannya ke tepi hidungnya. Setelah itu dilihatnya jari telunjuknya yang memang terdapat darah.
“Astaghfirullah,” Bu Renna yang mendengar dari arah dapur cepat-cepat menghampiri Yogie. “Ya, ampun. Kamu pasti kecape’an seharian pergi belanja,” ujar Bu Renna cemas.
“Gak apa-apa, Bu. Aku gak apa-apa. Jangan khawatir,” sahut Yogie berusaha menenangkan ibunya sambil mengusap darah di tepi hidungnya dengan tisu.
“Tapi muka kamu pucat banget. Sudah, shalat di rumah saja lalu istirahat,” Bu Renna bertambah cemas melihat wajah Yogie yang pucat pasi.
Namun Yogie tetap bersikeras pergi ke Masjid juga. Meski sendi-sendinya terasa ngilu dan nyeri.
”Aku gak apa-apa, Bu,” ujarnya seraya melangkah menuju pintu.
Yogie begitu gigih tetap ingin ke Masjid meski keadaan dirinya terlihat sangat lemah. Dan Bu Renna atau pun Fisha tak dapat mencegahnya. Mereka pun hanya memandangi Yogie dengan penuh kecemasan.
Namun baru saja Yogie membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia terjatuh tak sadarkan diri. Hampir saja kepalanya membentur pintu yang ada di dekatnya. Melihat kejadian itu, Bu Renna dan Fisha segera berlari menghampiri Yogie. Keduanya menangis histeris memanggil Yogie yang matanya terpejam dan seolah tal ingin melihat dunia lagi. Yogie tak menghiraukan panggilan ibu dan adiknya seolah telah siap untuk pergi jauh dari mereka. Ia seolah telah menyerah pada penyakitnya. Ia seolah telah pasrah pada hidupnya.
*****
Bangsal rumah sakit kembali menjadi pembaringan Yogie. Selang infus kembali menjadi temannya di dalam ruangan yang bercat putih itu. Mata Yogie masih saja terpejam meski begitu banyak orang yang mengharapkannya membuka matanya kembali. Mulutnya masih tertutup rapat meski begitu banyak orang yang memanggilnya dan mengidungkan doa untuknya. Tubuhnya masih tak bergerak sedikit pun meski begitu banyak orang yang mengharapkannya terbangun. Yogie hanya terdiam dan terus saja terdiam.
Dika duduk di bangku yang ada di samping tempat tidur Yogie. Dokter baru saja mengizinkan masuk setengah jam yang lalu namun dengan bergantian satu per satu. Pertama tadi Pak Yusuf yang masuk, lalu Bu Renna, setelah itu barulah gilirannya dapat masuk dan melihat langsung keadaan Yogie.
“Gie, maafkan kakak. Kalau saja kakak ikut bersama kalian, mungkin kamu gak akan keletihan seperti ini. Kalau saja tadi kakak membatalkan acara kakak dan lebih mementingkan menemani kalian, kamu gak perlu berada di sini sekarang. Gie, maafkan kakak,” ujar Dika menyesali dirinya sendiri yang tidak jadi ikut serta dengan Yogie dan ibunya pergi berbelanja.
“Gie, katakan, harus dengan apa kakak menebus kesalahan ini? Harus bagaimana kakak membayar kekhilafan ini? Katakanlah, Gie! Katakan! Biar kakak tahu! Biar kakak bisa membuatmu sembuh. Biar kakak bisa melihatmu tersenyum bahagia,” lanjut Dika lirih. Air matanya pun meleleh membasahi telapak tangan Yogie yang digenggam Dika erat-erat.
“Gie, apa kamu menyerah sekarang? Apa kamu benar-benar telah pasrah? Gie, kamu gak boleh menyerah! Kamu harus terus gigih berjuang seperti Yogie yang kakak kenal selama ini. Yogie yang tak pernah takut pada apa pun kecuali Tuhannya. Yogie yang selalu optimis menatap masa depannya,” kata Dika lagi.
“Gie, bangunlah! Kamu gak boleh menyerah sekarang! Kamu harus tetap gigih berjuang. Kamu harus tetap yakin kalau kamu bisa sembuh. Kamu harus tetap optimis. Bangun dan tersenyumlah. Ada Nisa dan keluarganya di luar sana. Bangunlah, Gie! Jangan membuatnya cemas. Pernikahan kalian hanya tinggal seminggu lagi. Bangun dan yakinlah kalian akan bahagia. Yakinlah kamu dan Nisa akan memiliki banyak anak, akan membesarkan anak-anak kalian hingga dewasa. Ada Hafizh, ada Khansa, juga Nafisah dan masih banyak lagi. Gie, jangan menyerah….,” Dika kian terisak dalam tangisnya.
“Gie, ada kakak di sini. Bangun dan jangan hadapi semua ini sendiri. Kita akan menghadapinya bersama. Percayalah, Gie! Percaya dan tetap berhusnuzhan pada-Nya….,” lanjut Dika meski Yogie tak jua membuka matanya. Meski Yogie masih terus terbenam dalam dunianya. Dunia yang tak dapat dijangkau oleh Dika, Nisa atau siapa pun.
0 komentar:
Posting Komentar