Jumat, 15 Juli 2011

#### DI LANGIT ASA (Part IV) ####

Nasyid-nasyid pernikahan terus mengalun dari sound system yang sengaja diputar untuk mengiringi acara pernikahan Nita. Tamu-tamu semakin banyak yang berdatangan untuk memberikan doa restunya pada kedua mempelai. Tentu saja Syifa semakin sibuk mengurusi hidangan yang disediakan untuk para tamu di meja prasmanan. Ia pun harus bolak-balik ke dapur dan meja prasmanan untuk mengambil makanan lalu menghidangkannya di meja prasmanan.
Saat sedang melayani para tamu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi nyaring. Syifa cepat-cepat meminta bantuan salah seorang temannya untuk menggantikannya. Setelah ada yang menggantikannya, barulah ia mengambil ponsel di tas kecil selempangnya sambil mencari tempat yang lebih nyaman untuk menjawab telepon.

“Assalamu’alaikum,” salamnya menerima telepon yang masuk untuknya.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Gimana kabarnya, mbak? Sehat?,” jawab suara di sebrang telepon yang terdengar seorang ikhwan.

“Alhamdulillah khair. Ada apa, dek? Tumben telepon,” tanya Syifa kemudian pada ikhwan yang bernama Eggi itu. Kalau mendengar panggilan akrab mereka, pastilah banyak yang mengira kalau mereka masih memiliki hubungan saudara atau pun sahabat yang sudah lama kenal. Padahal keduanya sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dari darah yang mengalir di tubuh mereka. Bahkan keduanya sama sekali belum pernah bertemu meski sudah hampir setahun saling mengenal melalui dunia maya. Mereka hanya berkomunikasi melalui dunia maya dan ponsel. Melalui ponsel pun baru satu bulan belakangan ini. Kegemaran yang sama membuat keduanya menjadi akrab meski belum pernah bertemu secara langsung di dunia nyata.

“Gak apa-apa, mbak. Ana cuma mau kasih tahu kalau buku kiriman mbak sudah ana terima kemarin. Jazakillah ya mbak, atas hadiahnya,” jawab Eggi menjelaskan maksudnya menghubungi Syifa.

“Oh gitu. Alhamdulillah sampe juga. Sama-sama, dek. Semoga bermanfaat dan menambah ilmu ya,” kata Syifa menanggapi.

“Amin…,” sahut Eggi. “Oh ya, mbak. Kok kaya’nya rame amat, lagi ada dimana nih?.”

“Iya, afwan ya kalo rame begini. Mbak lagi ada di acara walimah nih.”

“Walimah? Walimah mbak, ya? Kok gak undang-undang ana, mbak?,” tanya Eggi lagi.

Syifa tersenyum kecil mendengar celotehan Eggi.

“Ya, bukanlah. Ini walimahan teman mbak. Kalo walimah mbak, masa’ iya antum gak diundang,” jawab Syifa menjelaskan.

“Oh… Terus mbak sendiri kapan walimahnya? Pasti udah ada rencana kan?.”
Lagi-lagi Syifa tersenyum kecil.

“Rencana insya Allah sudah pasti ada. Hanya saja, mempelai prianya belum ketemu juga. Masih sembunyi entah di mana.”

“Oh.., jadi mbak belum proses nih,” simpul Eggi.

Syifa hanya tersenyum menanggapi.

“Ehm…gitu toh,” Eggi bergumam.

“Makanya bantu mbak nyari mempelai prianya,” ujar Syifa kemudian setengah bercanda.

Eggi tertawa mendengarnya.

“Boleh, mbak. Insya Allah nanti ana coba bantu. Ana punya teman yang seusia mbak dan belum walimah. Ya, siapa tahu jodoh, mbak,” ungkapnya kemudian.
“Boleh-boleh. Siapa tahu jodoh,” respon Syifa menanggapi seraya tersenyum sendiri.

“Oke deh! Nanti ana kabari lagi. Buat sekarang cukup dulu ya, mbak. Afwan kalo ana sudah ganggu.”

“Iya gak apa-apa, dek.”

“Jazakillah ya, mbak. Assalamu’alaikum,” salam Eggi mengakhiri pembicaraannya.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,” Syifa menjawab salam dari Eggi. Ia segera menyimpan ponselnya kembali di tas. Lantas ia kembali melanjutkan aktivitasnya membantu acara walimah Nita yang belum usai siang itu.


*****


”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).”

Itulah janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26. Perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji, sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Syifa yakin itu! Yakin pada janji Allah yang Maha Suci.

Maka, ketika seseorang menginginkan jodoh yang baik, maka ia harus menjadikan dirinya baik terlebih dahulu. Begitu pula jika mengharapkan jodoh yang shalih, maka ia harus menjadikan dirinya shalihah terlebih dahulu. Jangan pernah bermimpi mendapatkan jodoh yang shalih, namun diri sendiri menjadi seseorang yang keji, jahat dan penuh dengan kemaksiatan. Jangan pernah berharap memiliki istri sekualitas Fatimah, jika diri sendiri belum sekapasitas Ali.
Syifa sangat menyadari itu. Karenanya, dari pada hanya meratapi dirinya yang tak kunjung menikah juga, Syifa lebih memilih untuk terus membenahi dirinya dan terus berusaha menjadikan dirinya pantas menjadi pendamping hidup seorang laki-laki shalih yang selama ini ia dambakan kehadirannya. Seraya terus berdoa tiada henti pada Rabb yang Maha Berencana.

Tiba-tiba dari ponsel Syifa mengalun syahdu sebuah nasyid milik Gradasi yang berjudul Ku Pinang Engkau Dengan Al-Qur’an. Syifa segera menutup mushafnya dan menyimpannya di atas meja. Lalu cepat-cepat diambilnya ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

“Assalamu’alaikum. Ada apa dek?,” Syifa menjawab panggilan telepon yang masuk di ponselnya itu.

“Wa’alaikumsalam. Afwan, mbak. Mengenai pembicaraan kita tempo hari, ana mau mengabarkan sama mbak kalau teman ana itu bersedia untuk ta’aruf sama mbak. Insya Allah nanti CV beliau akan segera dikirimkan ke e-mail mbak,” jawab si penelepon yang ternyata adalah Eggi.

“Jadi tempo hari antum serius mau bantu mbak, dek?,” Syifa masih kurang yakin.
Mendengar pertanyaan Syifa, Eggi langsung tertawa kecil.

“Jelas ana serius, mbak. Masa’ ana bercanda sih sama masalah beginian. Kalau ana bercanda, sama aja ana mempermainkan mbak. Gak mungkin ana berbuat begitu mbak.”

“Oh begitu. Ya kadang kan ada aja yang cuma bercanda atau basa-basi aja.”

“Kalau ana jelas nggak-lah, mbak. Ana bukan orang yang seperti itu.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Jadi keputusannya?.”

“Keputusan apa?.”

“Ya keputusan mbak, bersedia apa nggak ta’aruf sama teman ana itu,” Eggi sedikit geregetan dengan pertanyaan Syifa.

Syifa tertawa kecil.

“Hehe… Ya, insya Allah mbak bersedia ta’aruf dengan beliau. Jika memang berjodoh Alhamdulillah, kalau tidak berjodoh, seperti kata Bilal, cuma Allah yang Maha Besar!!.”

“Kalau begitu nanti mbak kirim CV mbak ke alamat e-mail ana ya.”
“Insya Allah nanti segera mbak kirimkan, dek. Jazakallah ya sudah bersedia membantu mbak.”

“Sama-sama, mbak. Semoga aja kali ini berjodoh ya, mbak.”

“Amin…,” Syifa mengaminkan seraya melayangkan jutaan harapnya pada Rabb-Nya.

Usai menyampaikan semuanya, Eggi segera mengakhiri pembicaraannya dengan Syifa.

“Alhamdulillah…,” syukur Syifa setelah meletakkan ponselnya kembali di tempat tidur. “Semoga dia orangnya, mujahid yang selama ini ku nanti dan ku rindukan kehadirannya,” harapnya kemudian.

~~ DI LANGIT ASA ~~ (PART 3)

Hening… teramat hening. Begitu heningnya hingga Syifa merasakan betapa nikmatnya bermunajat pada Rabb-nya di sepertiga malam yang terakhir. Ada kesejukan bersama air wudhu yang menyentuh kulitnya. Ada kedamaian manakala ayat-ayat Allah terlantun dari bibirnya. Ada kebahagiaan manakala ia bersua dengan Tuhan yang telah menciptakannya. Semua kenikmatan itu, tak dapat dibayarkan dengan apa pun juga. Kenikmatan yang hanya dapat dirasakan hamba-hamba-Nya yang ikhlas bersujud pada-Nya. Karena sesungguhnya puncak kenikmatan bagi orang-orang baik dan saleh adalah bisa berkomunikasi dan mencurahkan isi hatinya dengan bercerita kepada sang Khalik di tengah malam. Di sanalah rahmat Allah akan datang bagi orang-orang yang melakukan shalat di malam hari. Allah menghiasi perhiasan kecintaan kepada orang-orang yang ruku, sujud, dan bersimpuh di haribaan-Nya dengan bangun dan shalat di sepertiga malam yang agung.

Syifa melipat mukenahnya. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum azan subuh memanggil. Ia beranjak ke meja komputernya. Ia menyalakan komputer miliknya. Dibukanya sebuah file berjudul CV. Dibacanya sejenak file yang berisi semua data pribadinya itu. Setelah merasa cukup, Syifa mengeprint file itu diiiringi basmalah yang meluncur dari bibirnya.

“Bismillah…..”

Dalam waktu beberapa menit, data pribadinya telah tercetak rapih dalam dua lembar kertas berukuran A4. Syifa mengambil hasil print out data pribadinya itu dan membacanya sekali lagi dengan seksama. Senandung doa pun terlantun lirih dari bibirnya seraya menggantungkan segenap asa di dalam hatinya pada Rabb yang Maha Pengasih.

“Bismillah…
Terucap dari lubuk hati yang terdalam
Kidung doa pun terurai
Di heningnya pagi
Kala subuh belum lagi menyapa
Ya Rabbana…..
Izinkanlah lembaran kertas ini sampai di tangannya
Perkenankanlah goresan tinta ini dibacanya
Oleh seseorang yang telah Kau pilihkan untukku
Seseorang yang hatinya Kau tambatkan padaku
Seseorang yang kan menemani perjuanganku
Seseorang yang ikhlaskan dirinya untuk hidup denganku
Seseorang yang bersedia menuntunku dalam titian syariat-Mu
Seseorang yang akan membuatkan aku rumah di dunia dan di surga-Mu
Ya Rabbana…..
Jangan biarkan aku sendiri di dunia ini
Sungguh ku rindukan ketrentaman itu
Sungguh ku ingin sempurnakan separuh dien-Mu
Maka,
Pertemukanlah aku dengannya
Ikatkanlah aku dengannya
Amin...”

Setelah memanjatkan doa, Syifa pun melipat lembaran data pribadinya dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop berukuran sedang. Entah ini yang ke berapa kalinya Syifa membuat biodata, memasukkannya ke dalam amplop untuk kemudian diproses untuk ta’aruf. Namun belum ada yang membuahkan hasil. Ia hanya trus berusaha dan berusaha tanpa ingin berputus asa. Ia percaya Allah telah mempersiapkan seseorang untuknya melayari kehidupannya. Ia percaya pada janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26 :

”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik(pula).”

Ya! Syifa percaya itu. Sangat percaya! Karenanya Syifa tidak ingin berputus asa. Syifa justru semakin terpacu untuk memperbaiki dan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin seraya terus berdoa agar Allah mempertemukannya dengan jodoh yang telah dituliskan di Lauhul Mahfudz. Di langit asanya,Syifa menggantungkan segenap harapnya pada sang Rabb, Pencipta seluruh alam.


*****


Lembayung senja merah merona menghiasi langit yang terlihat cerah di antara awan putih yang berarak. Sementara, matahari yang hendak pulang ke peraduannya, terlihat bulat memancarkan cahaya kemerahan di ufuk barat. Sebuah lukisan alam yang tersaji dengan teramat indahnya. Lukisan maha karya yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta, yang tidak ada satu makhluk pun yang dapat menyamai hasil karya ciptaan-Nya.

Dari atas sepeda motornya, Syifa tersenyum menatap lukisan alam di hadapannya. Wajahnya terlihat begitu cerah. Secerah hatinya senja itu. Secerah langit di hadapannya sore itu. Syifa pun berpuisi riang.

“Hari mengantarkan senja
Langit cerah merona kemerahan
Begitu terang bercahaya
Ku lajukan sahabat perjuanganku perlahan
Tuk menikmati indahnya senja yang terlukis di depan mata
Ada untaian asa di balik langit senja yang memerah di sana
Saat senja berganti malam
Dan mentari kembali ke peraduannya
Sesungguhnya,
Ada cahaya baru yang benderang
Ada cahaya baru yang kan menjelang
Setelah malam itu berlalu
Setelah kelam itu pergi
Karena itu,
Tak perlu berduka saat senja berganti malam
Tak perlu bersedih saat cahaya mentari menghilang di balik awan
Karena esok kan kau temui sebuah hari baru yang bercahaya
Cahaya indah yang memancarkan seberkas asa
Cahaya penerang bagi hidupmu
Yang kan menyinari setiap jalan yang kau lalui”

Begitu asyiknya menikmati lukisan senja di hadapannya, Syifa baru tersadar kalau ia telah sampai di tempat yang ditujunya. Hampir saja Syifa melewatinya. Ia pun segera menepikan motornya.

“Sendirian aja, Fa,” sapa Retno yang baru saja keluar dari dalam tepat ketika Syifa memarkir motornya.

Syifa tersenyum menyambut sapaan Retno.

“Iya, mbak,” ujarnya seraya menghampiri Retno. “Assalamu’alaikum,” salamnya sambil merangkul Retno.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Retno cepat.

“Sehat, mbak?.”

“Alhamdulillah,” Retno balas tersenyum. “Langsung ke dalam aja, yuk,” ajaknya kemudian sambil membuka pintu.

Syifa hanya mengangguk dan mengikuti Retno di belakang. Diam-diam ia menyimpan rasa penasaran dan berjuta pertanyaan mengapa Retno memintanya untuk datang sore itu. Saat di telefon tadi siang, sepertinya ada sesuatu yang sangat penting hingga Syifa harus datang sore itu juga. Sebenarnya hari itu jadwal Syifa sangat padat. Tapi untunglah ada sebuah agenda yang tiba-tiba dicancel sehingga Syifa bisa datang sore itu juga.

“Ada apa, mbak? Sampai-sampai mbak meminta aku datang. Sepertinya gak bisa disampaikan lewat sms atau telepon saja,” tanya Syifa yang penasaran sehingga tidak ingin berbasa-basi lagi.

Retno tersenyum. Ia paham mengapa Syifa langsung to the point begitu saja.

“Sebenarnya bisa saja dibicarakan di telepon. Hanya saja, rasanya lebih nyaman kalau menyampaikan langsung sama kamu, Fa,” jawab Retno.

“Oh..”

“Begini, Fa. Waktu kemarin mbak minta data kamu, sebenarnya memang ada ikhwan yang berniat untuk menikah. Dia binaan teman mbak,” Retno memulai penjelasannya.

Mendengar ungkapan Retno tersebut, bunga-bunga harapan di hati Syifa mulai bermekaran.

“Lantas?.”

“Mbak dan teman mbak itu sudah memproses data kamu dan ikhwan tersebut.”

“Lantas?.”

“Ikhwan tersebut sudah melihat data kamu dan bersedia ta’aruf.”

“Sungguh, mbak?,” Syifa pun mulai menaruh harap.

Retno menganggguk cepat.

“Tapi…”

“Tapi apa,mbak?.”

“Tapi kemarin teman mbak memberi tahu kalau ikhwan tersebut membatalkan niatnya untuk berproses dengan kamu, Fa,” jawab Retno dengan nada yang suara yang menurun.

“Membatalkan? Begitu saja? Apa alasannya, mbak?.”

“Ikhwan itu beralasan kalau usianya jauh lebih muda dari usia kamu. Ia tidak ingin memiliki istri yang usianya lebih tua darinya karena ia pasti akan merasa sungkan dan tidak enak memimpin seorang wanita yang usianya berada di atasnya. Selain itu, ia merasa ilmu yang dimilikinya masih sangat sedikit dibandingkan dengan kamu, Fa. Apalagi mengingat usia tarbiyah kamu yang jauh lebih lama dari dirinya. Begitu katanya,” papar Retno menjelaskan.

“Jadi begitu ya, Mbak?,” sahut Syifa menanggapi dengan suara yang tidak lagi bersemangat seperti sebelumnya.

“Afwan ya. Mbak belum bisa membantu kamu,” ujar Retno kemudian.

“Gak apa-apa, mbak. Aku ngerti kok. Kebanyakan ikhwan memang mencari akhwat yang seusia atau tidak lebih tua darinya,” Syifa berusaha melapangkan hatinya yang sedikit kecewa. “Kalau boleh tahu memang berapa usianya?.”

“24 tahun,” jawab Retno cepat.

“Hm… hampir 6 tahun di bawahku. Jelas saja, Mbak.”

“Tapi Fa, bukankah Rasulullah sendiri 15 tahun lebih muda ketika menikahi bunda Khadijah?! Dan saat itu bunda Khadijah adalah saudagar kaya raya, sedangkan Rasulullah hanya seorang pemuda yang membantunya berdagang?! Perbedaan itu toh tidak membuat beliau tidak bahagia dalam pernikahannya. Tidak lantas membuat beliau diremehkan sebagai seorang suami.”

“Itu kan Rasulullah, Mbak. Ikhwan itu hanya manusia biasa. Dan itu semua fitrah, mbak.”

“Tapi kalau saja dia mau meneladani Rasulullah, mungkin dia akan mendapatkan banyak keutamaan dari pernikahannya,” sahut Retno.

“Astaghfirullahal’adzim…. Mbak, kenapa jadi berandai-andai begitu?! Sudahlah. Apa pun alasannya, ini semua sudah kehendak Allah, Mbak. Sudah menjadi bagian dari rencana-Nya,” Syifa mengingatkan Retno. “Kita harus tetap berhusnuzhan. Mungkin saja memang bukan dia jodoh yang Allah takdirkan buat aku. Mungkin Allah sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik darinya,” sambung Syifa.

“Astaghfirullahal’adzim. Kamu bener, Fa. Afwan ya, mbak agak kesal habisnya. Bukankah Rasulullah mengatakan kalau wanita dinikahi karena 4 hal, yaitu kecantikannya, kekayaannya, keturunannya dan agamanya. Pilihlah agamanya maka engkau akan beruntung. Tapi ikhwan itu malah mundur, bukannya maju terus,” Retno sedikit menggerutu.

Syifa tersenyum mendengarnya.

“Mungkin ikhwan itu punya pertimbangan lain,” sahut Syifa yang berusaha tetap berhusnuzhan meski sebenarnya hatinya sangat kecewa. “Sudahlah,Mbak. Jangan diperpanjang lagi. Kita sudah berusaha, selanjutnya tugas kita adalah bertawakal pada Allah,” lanjut Syifa.

“Iya, Fa. Afwan ya mbak belum bisa bantu kamu.”

“Memang belum waktunya mungkin, Mbak,” Syifa lagi-lagi tersenyum.

“Jangan putus asa ya. Teruslah berikhtiar. Mbak juga akan mendoakan kamu terus,” ujar Retno lagi.

“Insya Allah,Mbak. Terima kasih mbak sudah begitu perhatian sama aku sampai berusaha membantu aku. Terima kasih banyak, mbak,” Syifa menatap mata Retno dalam-dalam. Ada cinta yang begitu besar di sana untuknya. Cinta yang begitu hangat dan tulus dari seorang kakak untuk seorang adik.

“Ya tapi belum membuahkan hasil.”

Syifa menggenggam erat tangan Retno.

“Itu juga sudah cukup, mbak,” Syifa tersenyum hangat. Ia pun lantas berpamitan pada Retno untuk pulang. Apalagi waktu hampir menjelang Maghrib.

Di perjalanan pulang ke rumahnya, Syifa melajukan perlahan motor bebeknya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Ada kecewa yang menghimpit sesak dadanya. Entah sudah ke berapa kalinya lagi-lagi ia batal berproses. Padahal hatinya telah sangat merindu akan nikmatnya sebuah pernikahan.

“Ya Rabb, kesalahan apa yang telah ku perbuat hingga aku begitu sulit menemukan jodohku? Berilah aku petunjuk-Mu agar aku bisa memperbaikinya,” bisiknya lirih seraya berusaha bermuhasabah.

Meski ada kecewa yang menghimpit, Syifa berusaha untuk tetap berhusnuzhan dan yakin pada segala ketentuan Allah. Karenanya ia tetap berdoa dan berharap pada Rabb yang Maha Berencana.

“Innama’al usri yusro. Sesungguhnya bersama kesulitanada kemudahan,” ujar Syifa meyakinkan hatinya sambil terus melajukan motornya.

~~ DI LANGIT ASA (Part II) ~~

Senja telah menyapa. Matahari memancarkan sinar dengan terangnya di ufuk Barat. Seharian ini langit memang terlihat cerah. Sedikitpun tak ada awan mendung yang memayungi meski tiga hari lagi Oktober berakhir dan musim penghujan kan segera datang. Mungkin ini yang disebut pemanasan global dimana terjadi perubahan iklim dan cuaca menjadi tidak menentu. Sehingga, tahun ini pun seolah tidak ada musim kemarau. Karena musim kemarau yang seharusnya panas berkepanjangan, musim kemarau tahun ini hujan terus saja mengguyur hampir setiap hari.

Syifa menepikan motornya dan berhenti tepat di depan sebuah tempat yang melayani cetak spanduk, poster maupun undangan.

“Di sini tempatnya?,” tanya Nita, teman seprofesi Syifa di tempatnya mengajar setelah turun dari motor.

Syifa hanya mengangguk seraya tersenyum.

“Yuk, masuk,” ajak Syifa kemudian.

Keduanya pun masuk ke dalam.

“Assalamu’alaikum…,” salam Syifa menyapa orang-orang yang berada di dalam tempat percetakan itu.

“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka semua hangat. Apalagi begitu tahu yang datang adalah Syifa. Syifa memang sudah kenal baik dengan pemilik dan pekerja di tempat percetakan itu.

Seorang ibu muda tampak menghampiri Syifa dengan penuh senyuman.

“Sehat, Fa?,” tanyanya begitu tangannya erat menyalami Syifa.

“Alhamdulillah sehat, Mbak,” jawab Syifa tidak kalah hangatnya.

Ibu muda yang dipanggil mbak itu adalah teman baik Syifa. Usianya sekitar 3 tahun di atas Syifa dan telah memiliki 2 orang putri. Suaminya adalah pemilik percetakan tersebut. Namanya Retno. Sesuai namanya, tentu saja Retno berasal dari suku Jawa. Tepatnya lagi Solo, Jawa Tengah.

“Baru pulang ngajar, Fa?,” tanya Retno lagi.

“Iya, Mbak.”

“Sekedar main atau memang ada perlu?.”

Syifa tersenyum dan melirik Nita yang datang bersamanya.

“Kenalkan ini temanku, Mbak. Namanya Nita,” ujar Syifa memperkenalkan Nita pada Retno.

Retno dan Nita pun bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing.

“Nita ini insya Allah gak lama lagi akan walimah, Mbak. Nah, maksud kami ke sini, ya sudah tentu untuk mencetak undangan walimah Nita,” urai Syifa pada Retno.

“Oh, begitu. Alhamdulillah,” sahut Retno mendengar ikut senang mendengar kabar gembira itu.

Retno pun mempersilahkan Syifa dan Nita duduk. Lalu ia melangkah menuju sebuah lemari kayu bercat hitam dan mengambil 2 buah album. Tak lama kemudian ia pun kembali menemui Syifa dan Nita.

“Ini ada beberapa contoh undangan beserta harga per lembarnya. Silahkan dilihat dan dipilih-pilih sampai menemukan mana yang cocok,” ujar Retno seraya memberikan 2 buah album yang dibawanya pada Nita.

Nita mengambil album itu dan mulai mencari-cari undangan yang hendak dipesannya untuk acara walimahnya nanti. Syifa yang duduk di samping Nita ikut melihat-lihat contoh-contoh undangan yang ada di dalam album. Sesekali ia memberikan pendapatnya tentang undangan-undangan yang sedang dilihatnya bersama Nita. Sedangkan Retno duduk di samping Nita sambil memberikan beberapa keterangan terkait dengan contoh-contoh undangan miliknya itu.

Sambil melihat-lihat undangan, diam-diam Syifa memperhatikan raut wajah Nita yang garis wajahnya terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Ada rona kebahagiaan terpancar di sana. Kebahagiaan yang kini sedang menyelimuti ruang-ruang hati Nita. Begitu indah, begitu mempesona. Membuat Syifa iri melihatnya. Ya! Iri! Sangat iri dengan semua yang dirasakan Nita, dengan semua yang terjadi dalam hidup Nita saat ini. Syifa sangat iri dengan sahabatnya itu. Iri karena di usianya yang hampir menginjak 30 tahun, ia belum bisa menggapai semua yang Nita gapai itu. Padahal usia Nita berada 5 tahun di bawahnya.

“Huf!,” Syifa menarik napas.

Retno menoleh ke arah Syifa dan tersenyum melihatnya.

“Fa, bisa kita bicara sebentar?,” tanya Retno mengalihkan perhatian Syifa dan Nita sejenak.

Syifa sedikit terkejut mendengarnya.

“Oh.. iya, Mbak. Bisa,” jawabnya singkat.

“Afwan, ditinggal sebentar ya, Nit,” ujar Retno berpamitan pada Nita sebentar.

Nita hanya mengangguk dan tersenyum mengiyakan.

Retno dan Syifa pun beranjak dari hadapan Nita. Retno membawa ke sebuah ruangan yang kecil dan tidak ada orang di sana.

“Ada apa, Mbak?,” tanya Syifa tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.

“Ehmmm…. Nggak ada apa-apa. Mbak cuma mau tanya, apa saat ini kamu sedang proses?,” Retno mengajukan pertanyaan yang sangat tidak biasa bagi Syifa. Syifa pun dibuatnya sedikit curiga.

“Nggak, Mbak. Aku lagi gak sedang proses dengan siapa pun kok,” jawab Syifa sambil menerka-nerka arah pembicaraan Retno selanjutnya.

“Jadi saat ini kamu masih dalam masa penantian?,” Retno sepertinya hendak menegaskan jawaban Syifa.

“Iya, Mbak. Memangnya ada apa? Mbak punya rekomendasi ikhwan yang sudah siap menikah?,” Syifa berbalik bertanya.

Retno tersenyum tipis.

“Gak ada sih. Cuma Mbak beberapa waktu yang lalu bertemu sama teman lama dan ternyata binaannya bisa dibilang sudah cukup matang untuk menikah. Kalau kamu mau, berikan data dan foto kamu. Insya Allah nanti Mbak sampaikan pada teman Mbak itu untuk diproses dengan salah satu binaannya,” jawab Retno menjelaskan.
“Bagaimana?.”

“Ehmm… boleh, Mbak. Ya, siapa tahu aja jodoh. Namanya juga ikhtiar,” jawab SYifa cepat.

“Ya, semoga saja.”

“Amiin…,” sahut Syifa mengaminkan. “Kalau begitu, besok atau lusa insya Allah nanti aku kasih data dan foto aku ke Mbak,” sambung Syifa.
Retno tersenyum mendengarnya.

“Alhamdulillah…,” bisik Syifa di dalam hatinya. “Semoga memang ini jalannya. Jalan yang Kau berikan untukku menggapai surga duniaku, jalan yang Kau tunjukkan untukku berjumpa dengan mujahidku, ya Rabb,” doa Syifa kemudian. Doa dari lubuk hati yang sudah sangat merindu. Doa dari jiwa yang sudah sangat mendamba.

Dia….
Entah siapa namanya
Entah seperti apa rupanya
Tak terlintas sedikitpun
Tak terbayang segorespun
Tak ada yang tahu
Tak ada yang dapat menduga
Hanya Rabb-ku yang mengetahuinya
Rabb-ku pula yang masih merahasiakannya
Menyimpannya di balik tabir kehidupan
Karenanya…
Hanya pada-Nya aku memohon
Hanya pada-Nya aku bermunajat
Hanya pada-Nya ku gantungkan segenap asaku
Siapa pun namanya
Seperti apapun rupanya
Berikanlah yang terbaik bagi diri yang rapuh ini
Dia yang mencintai-Mu di atas segalanya
Dia yang selalu berjuang di jalan-Mu
Dia yang rupawan karena kesolehannya
Dia yang mempesona karena akhlaknya
Dia…
Siapa pun dia
Pertemukanlah aku dengannya
Dalam mahligai indah penuh barakah
Amin allahumma amin…

~~~DI LANGIT ASA (Part I)~~~

Syifa masih terpaku di atas sajadahnya meski telah mengakhiri sholatnya satu jam yang lalu dan tilawah pun telah usai dilakukannya. Wajahnya sembap oleh air mata yang tiada habis-habisnya mengairi. Ucapan Ummi Zakky saat liqo tadi sore masih terngiang terus di telinganya.

“Maafkan ana,” ujar Ummi Zakky di sesi qodoya. “Bukan ana diam saja. Bukan ana tidak melakukan apa pun. Tapi untuk saat ini, ana memang belum dapat menemukan ikhwan yang tepat bagi anti,” suara Ummi Zakky terdengar bergetar, tidak tegas dan mantap seperti biasanya. “Ana terus berusaha sebisa mungkin, terus berikhtiar mencarikan jodoh bagi anti. Bahkan ana selalu mengatakan bahwa usia anti sudah hampir memasuki 30 tahun. Jika masih harus menunggu lagi, usia anti pun akan terus bertambah, sedangkan anti adalah seorang wanita,” lanjut Ummi Zakky.

Syifa tak berpaling sedikit pun. Dalam setiap kata yang diucapkan Ummi Zakky, ia tahu persis seperti apa raut wajah Ummi Zakky. Juga pada nada suaranya yang sungguh tidak biasa terdengar. Di sudut mata Ummi Zakky, tampak butiran air yang menggenang hingga membuat mata Ummi Zakky terlihat berkaca-kaca. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat tidak biasa Ummi Zakky sampai seperti itu.

“Mungkin memang belum waktunya, Ummi,” sahut Syifa, berusaha sedikit membesarkan hati sang murobbiyah. “Jika Allah sudah menghendaki, jika memang sudah saatnya, pasti Allah akan memberi kemudahan. Ummi, ana percaya Ummi benar-benar berikhtiar untuk ana, dan ana sangat berterima kasih karenanya. Ana harap, ana tidak menjadi beban buat Ummi.”

“Insya Allah tidak. Hanya saja, ana sangat ingin melihat anti segera menikah seperti yang lainnya, bisa menyempurnakan separuh agama ini dan menyamai amalan ibadah mereka, juga bisa merasakan surga dunia ini,” kata Ummi Zakky.

Memang, di antara teman-teman satu halaqohnya, hanya Syifa yang belum menikah. Keenam teman-teman Syifa sudah menikah semua. Bahkan sudah ada yang memiliki 2 orang anak.

“Ana mengerti, Ummi.”

“Semoga anti tidak berputus asa. Kita sama-sama berikhtiar, semoga Allah segera mempertemukan anti dengan jodoh terbaik pilihan-Nya,” ujar Ummi Zakky, masih dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.

“Amin..,” suara Syifa terdengar lirih, ikut terhanyut dalam suasana yang mengharu biru.

Menikah. Siapa yang tidak ingin menikah. Siapa yang tidak ingin merasakan manisnya surga dunia itu. Menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Bahkan Islam pun begitu mengagungkan sebuah pernikahan hingga di dalam Al-Qur’an disebut dengan Mitsaqan Ghalizha. Di dunia ini, impian terindah manusia adalah menikah dan membangun sebuah keluarga yang harmonis.

Air mata Syifa masih terus membasahi wajahnya. Mata Ummi Zakky yang berkaca-kaca tadi sore, masih terus terbayang. Kurang dari lima bulan lagi, usianya memang genap 30 tahun. Itu pasti sangat membebani Ummi Zakky.

“Ya, Allah…. Aku tak bermaksud membebaninya seperti ini. Aku tak bermaksud membuatnya sampai sesedih itu. Maafkanlah aku… ampunilah aku,” ujar Syifa merasa bersalah. Tiga tahun ini, sudah empat kali Syifa melakukan ta’aruf. Tiga kali melalui Ummi Zakky, dan satu kali melalui sahabatnya. Namun, keempatnya, tidak ada yang berlanjut sampai ke pernikahan. Semuanya hanya berhenti sampai di situ. Pada proses ta’aruf.

Syifa pun tak mengerti mengapa begitu. Mengapa tak ada yang melanjutkannya hingga proses pernikahan. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia berharap semuanya akan berlanjut dan mengubah segenap kehidupannya. Entah apa yang membuat ikhwan-ikhwan itu begitu. Entah karena gelar sarjana yang telah disandangnya, atau karena usianya, atau karena hal lainnya. Syifa sungguh tak mengerti. Padahal Syifa merasa bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang guru sebuah SDIT. Keluarganya pun bukanlah keluarga yang terpandang.

Air mata Syifa kembali meleleh. Dari bibirnya kembali terurai seuntai doa.

“Ya Allah Yang Maha Tahu, dalam kebeningan matanya yang berkaca-kaca, ku mengerti getaran hatinya juga seuntai asa yang sama-sama aku dan ia miliki, ku mohon mudahkanlah jalan ini, ringankanlah langkah kaki ini. Dan air matanya dan air mataku yang mengalir ini, semoga merupakan jalan untuk menjemput kebahagiaan yang telah lama dinanti itu. Amin...”

Setelah puas menumpahkan seluruh isi hatinya, Syifa beranjak juga dari tempat sholatnya. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Sudah hampir jam sembilan malam. Syifa tak menyangka telah menghabiskan waktu selama itu. Padahal rasanya hanya sebentar.

Syifa keluar dari kamarnya dengan mata yang sedikit bengkak. Ia terus ke kamar mandi dan membasuh mukanya sebentar. Mendengar di ruang tamu agak ramai, Syifa melangkah menuju ruang tamu. Di sana terlihat ibunya sedang mengajak bermain dengan anak sepupunya yang rumahnya tidak jauh dari rumah Syifa. Syifa urung menghampiri. Ia hanya memandangi ibunya dari balik tembok yang memisahkan ruang tengah dengan ruang tamu. Ibunya terlihat bahagia bermain dengan anak sepupunya yang baru berusia 9 bulan itu. Namun itu membuat hati Syifa perih seperti tertusuk-tusuk ribuan pisau. Ibunya pasti sudah sangat mendambakan kehadiran seorang cucu dari dirinya mengingat Syifa adalah anak pertama. Ibunya pasti berharap bocah kecil di gendongannya adalah cucu kandungnya.

Syifa menarik napas. Ibunya memang telah lama mengharapkan Syifa segera menikah. Tapi hingga usia Syifa hampir memasuki 30 tahun, Syifa masih belum juga menikah. Ibunya pasti sangat mencemaskannya.

“Sampai kapan kamu mau begini terus toh, Nduk?,” tanya ibunya di suatu sore saat sedang duduk bersama-sama. “Teman-temanmu, saudara-saudaramu, semua yang sepantaranmu sudah menikah. Apa kamu gak mau menyusul mereka?.”

Saat itu, tentu saja Syifa sedih mendengar perkataan ibunya itu. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Pada sang ibu tercinta, Syifa tetap tersenyum dengan tenangnya.

“Bu, umur, jodoh dan rezeki itu sudah ada yang menentukan,” jawab Syifa meski terdengar klise. “Allah yang menentukan semua itu. Termasuk jodoh Syifa. Ibu tak perlu khawatir. Jika saatnya nanti, Allah pasti mempertemukan Syifa dengannya. Dengan jodoh Syifa, Bu. Sekarang yang terpenting, kita sama-sama berdoa, Bu. Kita sama-sama berdoa, semoga Allah memberikan Syifa jodoh yang terbaik dan memudahkan jalan untuk menuju pernikahan,” lanjut Syifa. “Doakanlah Syifa, Bu. Doakan Syifa.”

Air mata Syifa yang tadi telah berhenti, kembali membasahi wajahnya. Ia terus memandangi ibunya diam-diam dari balik tembok.

Bunda…

Bukan ku tak melihat gurat kecemasan di wajahmu

Bukan ku tak mengerti seberkas asa yang terpancar di matamu

Bukan ku tak pahami keinginan yang terpendam di dalam hatimu

Aku melihatnya,

Aku mengerti,

Dan aku sangat memahaminya,

Bunda…

Andai kau tahu,

Aku pun sangat ingin

Sangat ingin menghilangkan gurat kecemasan di wajahmu itu

Sangat ingin memenuhi keinginanmu yang terpendam itu

Sangat ingin mengubah segala asa yang kau miliki itu menjadi nyata

Agar dirimu merasa tentram

Agar wajahmu tersenyum riang

Agar bahagia menyelimuti hatimu

Tapi bunda….

Maafkanlah aku,

Yang belum dapat menghilangkan kecemasan di wajahmu

Yang belum dapat memenuhi segala keinginanmu

Yang belum dapat mengubah segenap asa itu

Maafkanlah aku bunda…

Mungkin Allah punya rencana lain untukku

Mungkin Allah masih ingin aku tetap bersamamu

Mungkin Allah ingin aku lebih banyak belajar lagi

Mungkin aku masih harus banyak berbenah lagi

Dan mungkin….

Allah masih belum ingin mempertemukan aku dengannya

Bunda….

Tak ada yang dapat kita lakukan

Selain berikhtiar dan terus berdoa kepada-Nya

Menyerahkan segala urusan ini pada-Nya

Karena itu bunda…

Doakanlah aku selalu

Doakan aku dalam setiap sujudmu

Semoga asa itu menjadi nyata

Semoga segala keinginan itu terwujud segera

Amin…..ya Robbal ‘alamin….

*** DI BAWAH NAUNGAN CINTA-NYA ***

Fani duduk di lantai kamarnya. Tubuhnya di sandarkannya pada lemari pakaiannya. Di tangannya tampak sebuah testpack, alat yang biasa dipergunakan untuk mengecek ada atau tidaknya tanda-tanda kehidupan yang baru di dalam tubuh seorang wanita.

Fani tertegun sendiri memandangi testpack yang dipegangnya. Bagaimana Fani tidak tertegun setelah melihat hasil tes urinnya yang tertera pada testpack-nya itu. Testpack yang dipegangnya itu menunjukkan hasil positif. Dan itu artinya, Fani positif hamil. Ya, positif hamil!!

Sesaat kemudian air matanya meleleh perlahan. Testpack yang dipegangnya terlepas dari genggaman tangannya dan terjatuh ke atas lantai. Fani menekuk kakinya lalu membenamkan wajahnya di atas lututnya. Ia pun terisak sendiri di dalam kamarnya.

Sebagai seorang wanita, harusnya Fani bahagia ketika mengetahui dirinya telah mengandung. Tapi kenyataannya, Fani malah tenggelam dalam air mata kesedihan yang tak dapat terbendung lagi. Tak ada sedikit pun rona bahagia tergurat di wajahnya. Ia kian larut dalam kesedihannya. Yang ada hanyalah segores penyesalan yang tersembul di dalam hatinya. Meski ia tahu, tak ada gunanya lagi ia menyesal, karena penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan kalau kini ia telah mengandung janin dari seorang laki-laki yang belum berstatus sebagai suaminya.

Tapi…, bukankah itu baru hasil testpack? Fani pernah mendengar kalau hasil tes urin dengan menggunakan testpack belum tentu tepat dan tidak bisa dipercaya 100%. Jadi, bisa saja hasil tes-nya salah. Lagi pula, Fani belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan, jadi belum tentu ia hamil.

Fani mengangkat wajahnya dan menghapus air mata yang masih menggenang di pipinya. Fani berhenti menangis. Fani merasa belum saatnya ia bersedih sekarang. Ia masih memiliki sedikit harapan karena toh, ia belum belum ada hasil tes dari dokter kandungan yang menyatakan dirinya mengandung. Jadi, tak seharusnya ia bersedih sekarang!

Fani mengumpulkan kembali segenap energinya. Ia harus tetap semangat dan tetap bersikap biasa. Masih ada sedikit harapan baginya. Esok hari, ia niatkan untuk mendatangi dokter kandungan dan memeriksa keadaannya. Ya! Jika hasil tes-nya positif, barulah ia benar-benar boleh percaya kalau ia memang mengandung!


*****


Fani duduk sendiri di sudut sebuah kafe. Ia duduk dengan hati berdebar hingga tanpa disadarinya, jus alpukat yang sejak tadi disruputnya telah habis diminumnya. Hatinya memang terlalu gelisah, sehingga Fani berulang kali minum untuk menghilangkan kegelisahannya itu.

Fani melirik handphone-nya, sudah hampir setengah jam ia duduk menunggu dalam kegelisahannya. Tapi orang yang ditunggunya belum juga terlihat di hadapannya. Fani pun kian cemas dibuatnya. Namun bukan hanya karena orang yang ditunggunya itu belum datang, tapi juga karena sehelai amplop putih yang berada di atas meja kafe siang itu. Fani melirik amplop putih itu sesaat. Lalu ditariknya nafas dalam-dalam.

“Hai, Babe. Maaf ya aku datang telat,” sapa seorang pemuda seusia Fani yang tiba-tiba mendekati Fani dan duduk di hadapannya. Dari panggilan akrab itu, orang yang belum mengenal mereka berdua pun dapat mengetahui kalau pemuda yang datang itu tidak lain adalah kekasih Fani.

“Tadi mendadak diminta dosen pembimbing untuk menghadap, “ lanjut pemuda yang 2 tahun ini menjadi kekasih Fani.
“Gak apa-apa, Steve,” jawab Fani meski sedikit kecewa dengan keterlambatan Steven.

Fani tidak langsung mengajak Steven berbicara. Ia membiarkan Steven memesan minuman sejenak sambil menunggunya terlihat lebih rileks. Steven terlihat sedikit terengah-engah. Dia pasti terburu-buru karena merasa sudah telat datang ke kafe.

Steven memesan segelas jus jeruk dan langsung meminumnya begitu pelayan kafe meletakkan minuman pesanannya itu di mejanya.
“Ada apa ngajak ketemuan di sini? Di telefon tadi, kaya’nya ada hal yang penting banget yang harus dibicarakan. Memangnya ada apa sih?,” tanya Steven membuka percakapan.

Fani menghela nafas. Tangannya mengaduk-aduk gelas yang tidak lagi berisi jus.

“Beberapa hari yang lalu aku ke rumah sakit,” jawab Fani dengan raut wajah yang serius.

“Ke rumah sakit? Kenapa? Kamu baik-baik aja kan? Gak sakit apa-apa kan?,” tanya Steven lagi, berusaha memperlihatkan perhatiannya pada Fani.

Fani menggeleng pelan.

“Lantas?.”

“Aku baik-baik aja. Aku ke rumah sakit untuk periksa urin,” jawab Fani. Raut wajahnya tidak berubah sedikit pun.

“Tes urin? Buat apa? Kamu gak pernah pake obat-obatan terlarang kan?,” Steve tampak penasaran.

Fani kembali menggelengkan kepala. Namun kali ini ia tak menjawab apa-apa. Hanya diberikannya amplop putih di atas meja pada Steven.
Steven semakin heran dibuatnya. Di atas amplop itu tertulis nama salah satu rumah sakit di kota mereka tinggal. Steven membuka amplop putih itu dengan penuh penasaran. Ia mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalam amplop dan membacanya dengan seksama.

Fani hanya terdiam. Ia menunggu reaksi Steven sambil memandangi mimik muka Steven.

“Apa maksudnya ini?,” tanya Steven usai membaca selembar kertas yang tadi ada di dalam amplop putih dari rumah sakit itu. Entah dia memang tidak mengerti, atau ia bertanya dan pura-pura tidak mengerti. Entahlah! Fani tidak ingin menerkanya.
Fani menarik nafas.

“Itu hasil tes urin aku yang menyatakan kalau sekarang aku sedang mengandung,” jawab Fani kemudian. “Mengandung anakmu!,” Fani menegaskan.

“Lantas?,” tanya Steven lagi. Tak ada mimik terkejut di wajahnya. Suaranya pun terdengar ringan bertanya, seolah tanpa beban dan tak ada apa-apa.

Fani sedikit kesal dengan respon Steven itu.

“Kenapa malah bertanya kaya’ gitu? Kita harus mencari jalan keluar dari permasalahan ini sebelum perutku semakin membesar dan semua orang tahu kalau aku ini sedang mengandung,” jawab Fani jengkel.
Steven tersenyum kecil.

“Jalan keluar? Baiklah. Kita cari jalan keluarnya. Kamu mau jalan keluar yang bagaimana?,” tanya Steven kemudian.

Kejengkelan Fani agak reda mendengar ucapan Steven itu yang tidak bereaksi negative apalagi sampai mengingkari perbuatan terkutuk yang pernah mereka lakukan, juga tidak mengingkari kalau janin yang ada di dalam rahim Fani adalah hasil hubungan intim mereka berdua.
“Menurut kamu bagaimana, Steve?,” kali ini Fani balik bertanya.
Steven terdiam sejenak. Fani menunggunya dengan berjutaan pertanyaan dan jutaan ide yang coba digalinya untuk mencari jalan keluar permasalahannya. Selang beberapa menit barulah Steven kembali angkat bicara.

“Kita gugurkan saja bayi dalam kandungan kamu itu,” ujar Steven mengungkapkan ide yang didapatkannya barusan.

Tentu saja Fani terkejut mendengarnya.

“Apa? Menggugurkannya?!,” seru Fani dengan suara yang ditekan agar tidak terdengar oleh orang-orang yang ada di sekeliling mereka. “Steve, kamu sadar gak sih, bayi yang ada dalam kandunganku ini bayi kita, masa’ kita tega sih menggugurkannya?,” tanya Fani yang kembali jengkel pada Steven.

“Tapi kalau gak digugurkan, apa kamu siap menanggung malu? Hamil di luar nikah!!,” sahut Steven.

“Karena itu, kita harus menikah,” ucap Fani seraya berusaha menahan tangis.

“Menikah?!.”

“Ya, menikah! Masuklah agamaku lalu kita menikah,” tegas Fani pada kekasihnya yang beragama protestan itu.

“Ya, ampun, Fan. Kamu kira menikah itu gampang apa!! Apalagi kalau aku sampai harus berpindah agama,” jawab Steven menanggapi usulan Fani.

“Lalu harus bagaimana? Apa kamu gak kasihan sama aku dan bayi kita?.”

Steven tidak menyahut. Keduanya pun tenggelam dalam kebisuan hingga beberapa saat lamanya.

“Bagaimana kalau kita menikah, tapi dengan tetap berada di dalam agama kita masing-masing,” usul Steven tiba-tiba.

Tentu saja Fani terkejut bukan main mendengarnya.

“Apa? Menikah dalam keadaan agama berbeda?!,” seru Fani terbelalak.
Steven mengangguk cepat.

“Iya! Bukankah kita tetap sama-sama mempertahankan keyakinan kita. Aku gak mau ikut agama kamu & kamu pun begitu. Jadi, kenapa harus diributkan? Kita bisa tetap menikah dengan tetap memegang teguh agama kita masing-masing. Gimana?.”

“Steve itu gila!.”

“Gila? Menurutku nggak! Banyak orang-orang yang beda agama menikah & kehidupan rumah tangganya justru tentram dan damai dibandingkan mereka yang menikah dalam satu agama. Bahkan ada yang rumah tangganya tetap bertahan hingga memiliki banyak anak cucu,” ujar Steven berusaha meyakinkan hati Fani.

“Kamu tahu kenapa mereka bisa tetap bertahan seperti itu meski memiliki keyakinan yang berbeda? Itu karena cinta. Itu karena mereka saling mencintai, sehingga perbedaan apa pun yang ada di antara mereka, mereka tetap bisa mempertahankan rumah tangga mereka,” lanjut Steven.

Fani hanya terdiam mendengarkan dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk.

“Fan, kita pun bisa seperti mereka, membangun sebuah rumah tangga yang indah. Rumah tangga yang kita impikan. Karena di hati kita, ada cinta. Ada cinta yang akan selalu bersemi dan menghiasi hidup kita.”
“Tapi, Steve…,” Fani tidak yakin dengan semua yang dikatakan Steven. Namun ia pun kian bertambah bingung.

“Fan, anak dalam kandunganmu membutuhkan seorang ayah, bukan? Aku pun gak ingin ia lahir tanpa memiliki seorang ayah. Jadi, menikahlah denganku. Lalu kita akan membesarkan anak kita bersama-sama hingga mereka dewasa dan memberikan kebanggaan bagi kita,” bujuk Steven lagi.

Fani menghela nafas.

“Entahlah, Steve,” kata Fani penuh kebimbangan.
Steve meraih tangan Fani lalu menggenggamnya erat.
“Pikirkanlah ucapanku tadi, demi kita, demi anak kita,” sahut Steve berusaha untuk terus meyakinkan hati Fani yang bingung dan bimbang.
Fani hanya terdiam seribu bahasa. Begitu banyak hal yang merasuk dalam pikirannya. Ia begitu bimbang, begitu bingung dengan keputusan yang akan diambilnya, untuk mencari jalan keluar segala permasalahannya itu. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana. Ia sungguh tak tahu harus melakukan apa.


*****
Di sudut malam yang sunyi, Fani terdiam sendiri di dalam kamarnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang bercat kuning muda. Namun, meski Fani sedang menatap langit-langit kamarnya, ia sedang tidak memandangi langit-langit kamarnya itu. Sesungguhnya alam pikirannya sedang melayang jauh ke berbagai tempat yang ia sendiri tak tahu akan berhenti dimana. Pikirannya benar-benar tak tentu arah. Haruskah ia menggugurkan kandungannya ataukah mengikuti ide gila Steven untuk menikah dalam kondisi beda agama. Fani bingung bagaimana mencari jalan keluar bagi permasalahannya itu.
Saat ini, mungkin memang belum terlihat kalau Fani sedang mengandung. Tapi seiring berjalannya waktu, janin di dalam perutnya itu akan semakin membesar & semua orang akan mengetahui kalau sebenarnya ia berbadan dua. Lalu bagaimana Fani akan menghadapi semua itu? Menghadapi gunjingan orang-orang yang mengenalnya, dan terutama menghadapi kedua orang tuanya.

“Huf!!,” gumam Fani seraya menghela nafas.

Fani menyadari kalau perbuatannya kali ini sangat membuat malu orang tuanya. Bahkan ia benar-benar telah sangat bersalah pada kedua orang tuanya yang telah membesarkannya, mendidiknya dan memberikan kepercayaan padanya karena telah menyia-nyiakan semua pemberian orang tuanya itu juga mengkhianati kepercayaan mereka yang selama ini percaya kalau Fani tidak berpacaran dengan seorang laki-laki pun. Tapi apa yang telah dilakukannya? Fani justru berpacaran. Bukan hanya itu, Fani bahkan berpacaran dengan laki-laki non muslim dan telah melakukan hubungan intim dengan pacarnya itu! Jika kedua orang tuanya mengetahui, mereka pasti tak akan memaafkannya. Tidak akan!!

Air mata Fani meleleh perlahan.

Tidak!! Fani merasa kalau ia memang tak pantas untuk dimaafkan. Betapa banyak kebohongan yang telah diperbuatnya. Betapa banyak kesalahan yang telah dilakukannya. Ia merasa sungguh tak layak mendapatkan maaf. Dosa yang dilakukannya amat besar. Yah, teramat besar!! Fani tiba-tiba teringat perkataan guru agamanya saat di SMU dulu yang pernah mengatakan kalau dosa besar setelah syirik adalah berzina! Na’udzubillah!! Dan hukuman yang diberikan pada orang berzina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali, sedangkan hukman bagi orang yang berzina yang telah menikah adalah dirajam!
Tangis Fani kian tak tertahankan. Ia kian terisak dalam tangisnya.

“Ya, Allah. Betapa besar dosa yang telah ku lakukan. Sanggupkah aku menebus semua dosa itu? Sanggupkah aku menahan panasnya siksa nereka-Mu ya, Allah,” bisik Fani perih.

Dalam derai tangisnya, hatinya menyesali semua perbuatannya meski ia sadar semua penyesalannya itu tak kan mengubah kenyataan hidupnya saat ini.

“Apa yang harus ku lakukan kini ya, Allah? Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Haruskah ku ikuti kemauan Steve, menikah beda agama demi anak dalam kandunganku ini karena aku tak mau masuk agamanya dan menyekutukan-Mu?! Atau haruskah ku tanggung deritaku ini sendiri karena aku tak tega membunuh darah dagingku ini?! Tapi dengan menambah beban kedua orang tuaku, juga membuatnya malu tiada terkira,” bisik Fani lagi pada Rabb-nya yang Maha Mendengar segala bisikkan hati manusia.

Kebimbangan di hati Fani, membuat alam pikirannya kembali pada masa SMA-nya dahulu di mana ia pernah diajarkan praktik shalat istikharah oleh guru agamanya. Saat itu guru agamanya berujar kalau shalat istikharah dilakukan ketika seseorang bimbang menghadapi pilihan dalam hidupnya. Karena hanya Allah yang Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya, sebelum memutuskan sebuah perkara yang membingungkan, manusia diharuskan untuk shalat istikharah meminta petunjuk-Nya pilihan mana yang terbaik baginya.

Lintasan masa SMA-nya itu, menggerakkan hati Fani untuk bangun dari tempat tidurnya dan segera mengambil air wudhu. Beberapa menit kemudian, Fani pun telah tenggelam dalam shalatnya.

Fani larut dalam kekhusyu’an shalatnya. Air matanya tak berhenti mengalir sepanjang shalatnya. Usai shalat, Fani memanjatkan untaian do’a pada Rabb-Nya seraya memohon ampunan-Nya atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya meski ia merasa sangat tak pantas mendapatkan ampunan dari Rabb yang telah begitu banyak memberikan berbagai kenikmatan padanya, yang jika ia mencoba menghitung segala kenikmatan itu, tak kan pernah sanggup ia hitung jumlahnya.

Cukup lama Fani menengadahkan tangannya, berdoa kepada Sang pemilik hidup. Rupanya Fani benar-benar menyesali segala perbuatannya dan tak ingin mengulangi semua kesalahannya dahulu.
Setelah lama berdoa, Fani merasa hatinya sudah lebih tenang dari sebelumnya meski jalan keluar dari masalahnya belum ditemukannya dan ia belum tahu harus memutuskan apa. Fani kembali teringat perkataan guru agamanya kalau Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia di muka bumi ini. Mungkin saja dengan Al-Qur’an, ia bisa mendapatkan petunjuk dan jalan keluar bagi segala permasalahannya itu.

Fani pun mengambil sebuah mushaf Al-Qur’an di atas rak bukunya. Sebuah mushaf bersampul coklat tua, yang selama ini hanya sekedar menjadi pemanis koleksi bukunya di rak buku. Entah kapan terakhir kali Fani membaca mushaf itu. Fani tidak ingat sedikit pun. Sejak ia lulus SMA, ia hampir tidak pernah membaca Al-Qur’an. Kalau saja dahulu ia mau membaca dan memahami Al-Qur’an, mungkin hidupnya tak kan tersesat seperti sekarang ini. Seperti sebuah hadits Rasulullah yang pernah didengarnya yang mengatakan kalau manusia tak kan tersesat jika berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.

Fani kembali duduk di atas sajadahnya dengan menghadap kiblat. Sesungguhnya ia tak tahu harus bagaimana dengan mushaf yang ada di tangannya itu. Membaca Al-Qur’an, ia masih terbata-bata. Memahami maknanya? Apa mungkin ia bisa melakukannya? Fani asal membuka mushafnya karena tidak tahu harus mencari petunjuk itu dalam berbagai kejadian yang terjadi dalam hidupnya.

Fani membolak-bolak lembaran-lembaran mushafnya karena tak tahu harus membaca surat apa dan ayat berapa. Hingga akhirnya, tangannya pun lelah membolak-bolik lembaran mushafnya dan berhenti tepat di surat Al-Baqarah. Fani pun membaca perlahan terjemah ayat-ayat surat Al-Baqarah yang ada di hadapannya, dari ayat 220 sampai ayat 230 yang membahas masalah pernikahan dan rumah tangga. Namun di antara kesebalas ayat tersebut, perhatian Fani hanya terfokus pada ayat 221 dari surat Al-Baqarah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 itu Allah berfirman,

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya dengan manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Fani merenung sendiri memikirkan ayat tersebut. Dalam ayat tersebut sangat jelas kalau Allah melarang orang-orang beriman menikah dengan seorang musyrik. Dan artinya, pernikahan beda agama itu haram. Itu juga berarti, orang-orang beda agama yang katanya telah menikah, sebenarnya mereka tidaklah menikah karena pernikahan mereka tidaklah sah dihadapan Allah. Dengan kata lain, sama saja mereka telah melakukan zina. Na’udzubillah.

“Ya Allah, aku sudah melakukan dosa sedemikian besar, betapa tak punya malunya aku jika aku sampai melakukan dosa besar itu lagi,” Fani teringat lagi tawaran Steven tadi siang.

“Tapi, apa yang harus ku lakukan? Menggugurkan janin ini? Itu pun dosa besar dan aku tak kan sanggup melakukannya,” lirih Fani.
Fani kembali terisak. Ia sudah menemukan jawaban dari tawaran Steven tadi siang. Ia pun telah menyadari semua kesalahannya selama ini. Meski ia belum menemukan jalan keluar dari semua permasalahannya, Fani bersyukur karena masih menyadari kesalahan-kesalahannya & menyesalinya sehingga tidak semakin terjerembab dalam jurang dosa.

Fani terus terisak seraya terus memanjatkan untaian doa-doa pada Rabb-Nya.
“Hati hitam mengenangkan
dosa-dosa yang ku lakukan

Telah aku merasakan
derita jiwa dan perasaan,
telah hilang dari jalan
menuju Ridho-Mu ya Tuhan

ku akui kelemahan ini
ku insafi kekurangan ini
ku kesali kesalahan ini

dihamparan ini ku meminta
semoga taubatku diterima.”

*****

Fani mempercepat langkahnya. Di taman kota itu, di tempat yang pernah dilaluinya bersama dengan Steven untuk memadu kasih, ia kembali dating ke sana. Namun kali ini wajahnya tak secerah biasanya ketika ia datang ke tempat itu. Wajah Fani terlihat sembap, matanya tampak sedikit bengkak. Sangat jelas terbaca kalau ia sedang menyimpan kesedihan yang teramat sangat. Kesedihan yang hanya disimpannya seorang diri, tanpa hendak ingin dibaginya dengan siapa pun.

Seperti yang telah diduganya, Steven telah menunggunya di sebuah bangku di salah satu sudut taman. Senyumnya mengembang manakala matanya menangkap kedatangan Fani.

“Hai, Babe,” sapanya dengan kepanggilan kesayangannya untuk Fani.
Fani tidak menanggapi sapaannya itu. Ia hanya terdiam tanpa kata di hadapan Steven sambil merogoh tasnya. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan memberikannya pada Steven.

“Maaf, aku gak bersedia menikah denganmu dalam keadaan beda keyakinan seperti ini,” ujar Fani kemudian penuh ketegasan.

“Lalu bagaimana denganmu? Dengan bayi kita?,” tanya Steven terkejut mendengar perkataan Fani.

“Semua jawabannya ada di dalam surat itu,” jawab Fani seraya beranjak pergi dari hadapan Steven.

Steven terheran-heran melihat sikap Fani yang tidak biasa. Namun ia tidak berusaha mengejar Fani. Dibiarkannya Fani berlalu pergi darinya. Ia pun membuka sepucuk surat yang diberikan Fani untuknya. Sepucuk surat yang menjelaskan semua keputusan yang diambil Fani akan semua permasalahannya juga akan hidupnya selanjutnya.

*****

Adzan Subuh baru saja berkumandang. Memecah kesunyian pagi di bawah langit yang masih gelap gulita. Suara tangis bayi tiba-tiba turut memecah kesunyian pagi itu, seolah ikut menyambut fajar baru yang segera hadir.

Ustadzah Faizah menghampiri Fani di ranjang. Dalam gendongannya tampak bayi mungil yang sudah bersih dan rapih. Ustadzah Faizah memberikan bayi itu pada Fani agar Fani melihatnya.

Fani tersenyum melihat bayinya. Lalu dikecupnya sang bayi dengan penuh kasih sayang.

“Bayi mungil yang tanpa dosa. Sungguh dirimu bukanlah anak haram, Nak. Tapi ibumu inilah yang telah melakukan perbuatan haram,” ujar Fani tersedu melihat anaknya yang baru saja dilahirkannya.

Ustadzah Faizah mengusap punggung Fani perlahan.

“Sudahlah. Itu masa lalu. Yang terpenting sekarang, perbaiki dirimu dan besarkan anakmu dengan penuh kasih sayang dan didik ia dengan baik,” ucapnya lembut.

Fani mengangguk dan tersenyum.

“Insya Allah, ustadzah, “ sahutnya. Lalu ia menatap bayinya kembali.
“Nak, ku beri kau nama Nurul Hidayah dengan harapan dirimu akan selalu mendapat cahaya petunjuk Allah dalam hidupmu agar hidupmu tak tersesat seperti ibumu ini,” lanjut Fani lirih.

“Amin ya Allah,” sahut Ustadzah Faizah mengamini.

Sejak terkahir kali bertemu dengan Steven, Fani pergi dari kehidupannya juga dari keluarganya. Ia lebih memilih menanggung kesalahannya seorang diri dari pada harus membuat malu kedua orang tuanya atau pun menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dengannya. Ia tak ingin menambah dosa lagi dan bertekad untuk mengubah hidupnya selama ini. karena itulah Fani lebih memilih pergi ke sebuah pesantren dan menjalani sebuah hari yang baru demi anaknya tercinta. Hari baru di bawah naungan cinta sang Illahi Rabbi.