Nasyid-nasyid pernikahan terus mengalun dari sound system yang sengaja diputar untuk mengiringi acara pernikahan Nita. Tamu-tamu semakin banyak yang berdatangan untuk memberikan doa restunya pada kedua mempelai. Tentu saja Syifa semakin sibuk mengurusi hidangan yang disediakan untuk para tamu di meja prasmanan. Ia pun harus bolak-balik ke dapur dan meja prasmanan untuk mengambil makanan lalu menghidangkannya di meja prasmanan.
Saat sedang melayani para tamu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi nyaring. Syifa cepat-cepat meminta bantuan salah seorang temannya untuk menggantikannya. Setelah ada yang menggantikannya, barulah ia mengambil ponsel di tas kecil selempangnya sambil mencari tempat yang lebih nyaman untuk menjawab telepon.
“Assalamu’alaikum,” salamnya menerima telepon yang masuk untuknya.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Gimana kabarnya, mbak? Sehat?,” jawab suara di sebrang telepon yang terdengar seorang ikhwan.
“Alhamdulillah khair. Ada apa, dek? Tumben telepon,” tanya Syifa kemudian pada ikhwan yang bernama Eggi itu. Kalau mendengar panggilan akrab mereka, pastilah banyak yang mengira kalau mereka masih memiliki hubungan saudara atau pun sahabat yang sudah lama kenal. Padahal keduanya sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dari darah yang mengalir di tubuh mereka. Bahkan keduanya sama sekali belum pernah bertemu meski sudah hampir setahun saling mengenal melalui dunia maya. Mereka hanya berkomunikasi melalui dunia maya dan ponsel. Melalui ponsel pun baru satu bulan belakangan ini. Kegemaran yang sama membuat keduanya menjadi akrab meski belum pernah bertemu secara langsung di dunia nyata.
“Gak apa-apa, mbak. Ana cuma mau kasih tahu kalau buku kiriman mbak sudah ana terima kemarin. Jazakillah ya mbak, atas hadiahnya,” jawab Eggi menjelaskan maksudnya menghubungi Syifa.
“Oh gitu. Alhamdulillah sampe juga. Sama-sama, dek. Semoga bermanfaat dan menambah ilmu ya,” kata Syifa menanggapi.
“Amin…,” sahut Eggi. “Oh ya, mbak. Kok kaya’nya rame amat, lagi ada dimana nih?.”
“Iya, afwan ya kalo rame begini. Mbak lagi ada di acara walimah nih.”
“Walimah? Walimah mbak, ya? Kok gak undang-undang ana, mbak?,” tanya Eggi lagi.
Syifa tersenyum kecil mendengar celotehan Eggi.
“Ya, bukanlah. Ini walimahan teman mbak. Kalo walimah mbak, masa’ iya antum gak diundang,” jawab Syifa menjelaskan.
“Oh… Terus mbak sendiri kapan walimahnya? Pasti udah ada rencana kan?.”
Lagi-lagi Syifa tersenyum kecil.
“Rencana insya Allah sudah pasti ada. Hanya saja, mempelai prianya belum ketemu juga. Masih sembunyi entah di mana.”
“Oh.., jadi mbak belum proses nih,” simpul Eggi.
Syifa hanya tersenyum menanggapi.
“Ehm…gitu toh,” Eggi bergumam.
“Makanya bantu mbak nyari mempelai prianya,” ujar Syifa kemudian setengah bercanda.
Eggi tertawa mendengarnya.
“Boleh, mbak. Insya Allah nanti ana coba bantu. Ana punya teman yang seusia mbak dan belum walimah. Ya, siapa tahu jodoh, mbak,” ungkapnya kemudian.
“Boleh-boleh. Siapa tahu jodoh,” respon Syifa menanggapi seraya tersenyum sendiri.
“Oke deh! Nanti ana kabari lagi. Buat sekarang cukup dulu ya, mbak. Afwan kalo ana sudah ganggu.”
“Iya gak apa-apa, dek.”
“Jazakillah ya, mbak. Assalamu’alaikum,” salam Eggi mengakhiri pembicaraannya.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,” Syifa menjawab salam dari Eggi. Ia segera menyimpan ponselnya kembali di tas. Lantas ia kembali melanjutkan aktivitasnya membantu acara walimah Nita yang belum usai siang itu.
*****
”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).”
Itulah janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26. Perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji, sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Syifa yakin itu! Yakin pada janji Allah yang Maha Suci.
Maka, ketika seseorang menginginkan jodoh yang baik, maka ia harus menjadikan dirinya baik terlebih dahulu. Begitu pula jika mengharapkan jodoh yang shalih, maka ia harus menjadikan dirinya shalihah terlebih dahulu. Jangan pernah bermimpi mendapatkan jodoh yang shalih, namun diri sendiri menjadi seseorang yang keji, jahat dan penuh dengan kemaksiatan. Jangan pernah berharap memiliki istri sekualitas Fatimah, jika diri sendiri belum sekapasitas Ali.
Syifa sangat menyadari itu. Karenanya, dari pada hanya meratapi dirinya yang tak kunjung menikah juga, Syifa lebih memilih untuk terus membenahi dirinya dan terus berusaha menjadikan dirinya pantas menjadi pendamping hidup seorang laki-laki shalih yang selama ini ia dambakan kehadirannya. Seraya terus berdoa tiada henti pada Rabb yang Maha Berencana.
Tiba-tiba dari ponsel Syifa mengalun syahdu sebuah nasyid milik Gradasi yang berjudul Ku Pinang Engkau Dengan Al-Qur’an. Syifa segera menutup mushafnya dan menyimpannya di atas meja. Lalu cepat-cepat diambilnya ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya.
“Assalamu’alaikum. Ada apa dek?,” Syifa menjawab panggilan telepon yang masuk di ponselnya itu.
“Wa’alaikumsalam. Afwan, mbak. Mengenai pembicaraan kita tempo hari, ana mau mengabarkan sama mbak kalau teman ana itu bersedia untuk ta’aruf sama mbak. Insya Allah nanti CV beliau akan segera dikirimkan ke e-mail mbak,” jawab si penelepon yang ternyata adalah Eggi.
“Jadi tempo hari antum serius mau bantu mbak, dek?,” Syifa masih kurang yakin.
Mendengar pertanyaan Syifa, Eggi langsung tertawa kecil.
“Jelas ana serius, mbak. Masa’ ana bercanda sih sama masalah beginian. Kalau ana bercanda, sama aja ana mempermainkan mbak. Gak mungkin ana berbuat begitu mbak.”
“Oh begitu. Ya kadang kan ada aja yang cuma bercanda atau basa-basi aja.”
“Kalau ana jelas nggak-lah, mbak. Ana bukan orang yang seperti itu.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Jadi keputusannya?.”
“Keputusan apa?.”
“Ya keputusan mbak, bersedia apa nggak ta’aruf sama teman ana itu,” Eggi sedikit geregetan dengan pertanyaan Syifa.
Syifa tertawa kecil.
“Hehe… Ya, insya Allah mbak bersedia ta’aruf dengan beliau. Jika memang berjodoh Alhamdulillah, kalau tidak berjodoh, seperti kata Bilal, cuma Allah yang Maha Besar!!.”
“Kalau begitu nanti mbak kirim CV mbak ke alamat e-mail ana ya.”
“Insya Allah nanti segera mbak kirimkan, dek. Jazakallah ya sudah bersedia membantu mbak.”
“Sama-sama, mbak. Semoga aja kali ini berjodoh ya, mbak.”
“Amin…,” Syifa mengaminkan seraya melayangkan jutaan harapnya pada Rabb-Nya.
Usai menyampaikan semuanya, Eggi segera mengakhiri pembicaraannya dengan Syifa.
“Alhamdulillah…,” syukur Syifa setelah meletakkan ponselnya kembali di tempat tidur. “Semoga dia orangnya, mujahid yang selama ini ku nanti dan ku rindukan kehadirannya,” harapnya kemudian.
Saat sedang melayani para tamu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi nyaring. Syifa cepat-cepat meminta bantuan salah seorang temannya untuk menggantikannya. Setelah ada yang menggantikannya, barulah ia mengambil ponsel di tas kecil selempangnya sambil mencari tempat yang lebih nyaman untuk menjawab telepon.
“Assalamu’alaikum,” salamnya menerima telepon yang masuk untuknya.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Gimana kabarnya, mbak? Sehat?,” jawab suara di sebrang telepon yang terdengar seorang ikhwan.
“Alhamdulillah khair. Ada apa, dek? Tumben telepon,” tanya Syifa kemudian pada ikhwan yang bernama Eggi itu. Kalau mendengar panggilan akrab mereka, pastilah banyak yang mengira kalau mereka masih memiliki hubungan saudara atau pun sahabat yang sudah lama kenal. Padahal keduanya sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dari darah yang mengalir di tubuh mereka. Bahkan keduanya sama sekali belum pernah bertemu meski sudah hampir setahun saling mengenal melalui dunia maya. Mereka hanya berkomunikasi melalui dunia maya dan ponsel. Melalui ponsel pun baru satu bulan belakangan ini. Kegemaran yang sama membuat keduanya menjadi akrab meski belum pernah bertemu secara langsung di dunia nyata.
“Gak apa-apa, mbak. Ana cuma mau kasih tahu kalau buku kiriman mbak sudah ana terima kemarin. Jazakillah ya mbak, atas hadiahnya,” jawab Eggi menjelaskan maksudnya menghubungi Syifa.
“Oh gitu. Alhamdulillah sampe juga. Sama-sama, dek. Semoga bermanfaat dan menambah ilmu ya,” kata Syifa menanggapi.
“Amin…,” sahut Eggi. “Oh ya, mbak. Kok kaya’nya rame amat, lagi ada dimana nih?.”
“Iya, afwan ya kalo rame begini. Mbak lagi ada di acara walimah nih.”
“Walimah? Walimah mbak, ya? Kok gak undang-undang ana, mbak?,” tanya Eggi lagi.
Syifa tersenyum kecil mendengar celotehan Eggi.
“Ya, bukanlah. Ini walimahan teman mbak. Kalo walimah mbak, masa’ iya antum gak diundang,” jawab Syifa menjelaskan.
“Oh… Terus mbak sendiri kapan walimahnya? Pasti udah ada rencana kan?.”
Lagi-lagi Syifa tersenyum kecil.
“Rencana insya Allah sudah pasti ada. Hanya saja, mempelai prianya belum ketemu juga. Masih sembunyi entah di mana.”
“Oh.., jadi mbak belum proses nih,” simpul Eggi.
Syifa hanya tersenyum menanggapi.
“Ehm…gitu toh,” Eggi bergumam.
“Makanya bantu mbak nyari mempelai prianya,” ujar Syifa kemudian setengah bercanda.
Eggi tertawa mendengarnya.
“Boleh, mbak. Insya Allah nanti ana coba bantu. Ana punya teman yang seusia mbak dan belum walimah. Ya, siapa tahu jodoh, mbak,” ungkapnya kemudian.
“Boleh-boleh. Siapa tahu jodoh,” respon Syifa menanggapi seraya tersenyum sendiri.
“Oke deh! Nanti ana kabari lagi. Buat sekarang cukup dulu ya, mbak. Afwan kalo ana sudah ganggu.”
“Iya gak apa-apa, dek.”
“Jazakillah ya, mbak. Assalamu’alaikum,” salam Eggi mengakhiri pembicaraannya.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,” Syifa menjawab salam dari Eggi. Ia segera menyimpan ponselnya kembali di tas. Lantas ia kembali melanjutkan aktivitasnya membantu acara walimah Nita yang belum usai siang itu.
*****
”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).”
Itulah janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26. Perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji, sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Syifa yakin itu! Yakin pada janji Allah yang Maha Suci.
Maka, ketika seseorang menginginkan jodoh yang baik, maka ia harus menjadikan dirinya baik terlebih dahulu. Begitu pula jika mengharapkan jodoh yang shalih, maka ia harus menjadikan dirinya shalihah terlebih dahulu. Jangan pernah bermimpi mendapatkan jodoh yang shalih, namun diri sendiri menjadi seseorang yang keji, jahat dan penuh dengan kemaksiatan. Jangan pernah berharap memiliki istri sekualitas Fatimah, jika diri sendiri belum sekapasitas Ali.
Syifa sangat menyadari itu. Karenanya, dari pada hanya meratapi dirinya yang tak kunjung menikah juga, Syifa lebih memilih untuk terus membenahi dirinya dan terus berusaha menjadikan dirinya pantas menjadi pendamping hidup seorang laki-laki shalih yang selama ini ia dambakan kehadirannya. Seraya terus berdoa tiada henti pada Rabb yang Maha Berencana.
Tiba-tiba dari ponsel Syifa mengalun syahdu sebuah nasyid milik Gradasi yang berjudul Ku Pinang Engkau Dengan Al-Qur’an. Syifa segera menutup mushafnya dan menyimpannya di atas meja. Lalu cepat-cepat diambilnya ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya.
“Assalamu’alaikum. Ada apa dek?,” Syifa menjawab panggilan telepon yang masuk di ponselnya itu.
“Wa’alaikumsalam. Afwan, mbak. Mengenai pembicaraan kita tempo hari, ana mau mengabarkan sama mbak kalau teman ana itu bersedia untuk ta’aruf sama mbak. Insya Allah nanti CV beliau akan segera dikirimkan ke e-mail mbak,” jawab si penelepon yang ternyata adalah Eggi.
“Jadi tempo hari antum serius mau bantu mbak, dek?,” Syifa masih kurang yakin.
Mendengar pertanyaan Syifa, Eggi langsung tertawa kecil.
“Jelas ana serius, mbak. Masa’ ana bercanda sih sama masalah beginian. Kalau ana bercanda, sama aja ana mempermainkan mbak. Gak mungkin ana berbuat begitu mbak.”
“Oh begitu. Ya kadang kan ada aja yang cuma bercanda atau basa-basi aja.”
“Kalau ana jelas nggak-lah, mbak. Ana bukan orang yang seperti itu.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Jadi keputusannya?.”
“Keputusan apa?.”
“Ya keputusan mbak, bersedia apa nggak ta’aruf sama teman ana itu,” Eggi sedikit geregetan dengan pertanyaan Syifa.
Syifa tertawa kecil.
“Hehe… Ya, insya Allah mbak bersedia ta’aruf dengan beliau. Jika memang berjodoh Alhamdulillah, kalau tidak berjodoh, seperti kata Bilal, cuma Allah yang Maha Besar!!.”
“Kalau begitu nanti mbak kirim CV mbak ke alamat e-mail ana ya.”
“Insya Allah nanti segera mbak kirimkan, dek. Jazakallah ya sudah bersedia membantu mbak.”
“Sama-sama, mbak. Semoga aja kali ini berjodoh ya, mbak.”
“Amin…,” Syifa mengaminkan seraya melayangkan jutaan harapnya pada Rabb-Nya.
Usai menyampaikan semuanya, Eggi segera mengakhiri pembicaraannya dengan Syifa.
“Alhamdulillah…,” syukur Syifa setelah meletakkan ponselnya kembali di tempat tidur. “Semoga dia orangnya, mujahid yang selama ini ku nanti dan ku rindukan kehadirannya,” harapnya kemudian.
0 komentar:
Posting Komentar