"Semua (dosa) ummatmu akan diampuni kecuali orang yang berbuat (dosa) terang-terangan, yaitu melakukan perbuatan dosa pada malam hari, lalu Allah menutup-nutupinya, kemudian pada esok harinya dia bercerita kepada kawannya, 'Tadi malam aku berbuat begini... begini...,' lalu dia membongkar rahasia yang telah ditutupi Allah 'Azza wa Jalla." (Mutafaq 'alaih)
Kini telah biasa tertayang kisah vulgar di media massa. Sekelompok ABG yang berkumpul di sebuah tempat, bercerita panjang lebar tentang apa yang telah dilakukan di malam hari bersama kawan lelakinya. Mereka telah melakukan zina. Perbuatan yang hanya layak dilakukan suami istri, dijalaninya di sebuah tempat rekreasi. Temannya yang lain dengan penuh antusias menceritakan 'kisah' serupa.
Seolah tidak ada beban mereka mengemukakan itu, bahkan ada kesan sebagai suatu kebanggaan! Inilah bentuk baru penyakit modern. Anak remaja yang masih termasuk kategori ABG pun telah begitu berani membeberkan kisah-kisah mesum yang semestinya tidak terjadi.
Anak-anak kita yang masih kecil itu jangan dikira hanya diam terhadap perkembangan yang terus bergerak maju di lingkungannya. Apa yang ada diserapnya dengan lahap. Memori pikirannya berjalan normal sama halnya dengan orang dewasa -kekeliruan kita selama ini selalu menganggap mereka adalah manusia kelas dua yang belum matang pikirannya-. Akibatnya sungguh sangat fatal. Mereka berkembang liar di tengah lingkungannya sendiri. Mereka beramai-ramai mendemonstrasikan makna-makna kehidupan dalam imajinasi kenikmatan yang dijabarkan dengan versinya sendiri. Sehingga ketika mereka pulang, orang tua pun kehilangan kemampuan untuk mengendalikan. Kita kemudian seperti tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ada temali yang terputus. Benang nasihat terlepas sebelum keyakinan dan keimanan kita berikan sebagai bekal menghadapi gelombang kehidupan.
Sebagai orang tua kita dituntut untuk selalu mawas diri agar keluarga dapat selamat dari bahaya peradaban yang semakin kelam ini.
Pelajaran dari Luqman al-Hakim
Semestinya kita tidak melepas anak-anak kita begitu saja sebelum memberinya bekal yang cukup. Sekalipun mungkin berbagai nasihat sering dinilai sebagai kolot, namun selagi hal itu akan menyelamatkan perjalanan hidup mereka dan keselamatan aqidah, tetap harus ditegakkan. Kelonggaran kita selama ini cenderung terdorong oleh perasaan-perasaan; cinta kasih dan rasa sayang berlebihan, yang justru menyusahkan mereka di kala dewasa. Mereka menjadi lebih mudah goyah dan kehilangan kendali.
Mengenai hal ini Luqman memberikan pelajaran:
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'" (QS Luqman: 13)
Sebelum anak-anak kita lepas dan berinteraksi dengan kehidupan, kita berkewajiban menanamkan ke dalam jiwa mereka rasa ketergantungan hanya kepada Allah swt. Hendaklah mereka jangan dilepas begitu saja hingga keliru mengambil sandaran dan pegangan selain kepada Allah dan kitab-Nya.
Arahkan pendidikan aqidah ini sebagai basis yang kuat sebelum mereka mengayunkan langkah pertamanya. Menanamkan keyakinan perihal kekuasaan Allah ini harus diutamakan. Sebab kekokohan aqidah akan membawa pengaruh yang sangat besar bagi motivasi hidup anak, utamanya untuk memelihara dan menyelamatkan imannya dari banyak godaan. Bila nama Allah sudah tegak, maka pribadi mereka akan terbentuk dengan tegak dan kokoh pula.
Selanjutnya Luqman berkata:
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqman: 17)
Jadikanlah shalat menjadi 'perisai' yang selalu ditegakkan ke manapun pergi. Di sini tentu perlu ketelatenan menuntun dan membimbing mereka. Sampai terlihat bahwa shalat telah menjadi bagian dari kegiatan dan kehidupannya. Bila shalat mereka telah baik, ada jaminan mereka bisa membawa diri.
Sejujurnya kita sering tidak bisa memahami kalimat yang kurang bisa dipertanggungjawabkan, mislanya, "Bukankah mereka masih kecil, mengapa harus dipaksakan untuk beribadah, nanti kalau sudah besar juga akan jalan sendiri!"
Sekalipun tidak terucap tapi sikap yang mencerminkan pengesahan pernyataan seperti itu sering tampil. Anehnya, di lain waktu dengan enteng kita 'mempersilakan' anak-anak membaca buku atau menyaksikan tayangan yang justru cenderung merusak. Alasannya, anak-anak itu perlu istirahat dan menambah wawasan!
Padahal apakah artinya alasan istirahat dan menambah wawasan bila dibandingkan dengan mahalnya persiapan benteng iman yang kelak akan dibawa sampai di yaumul akhir?
Anak-anak yang tegak shalatnya, kalaupun ada masa-masa puncak yang membuatnya terjebak untuk melakukan perbuatan yang mungkar, mereka tidak akan sampai terseret jauh. Sekalipun banyak gempuran bila shalatnya tetap utuh dan terpelihara, ada jaminan dirinya tetap aman. Shalat yang dikerjakan dengan baik dan penuh khusyuk (tegak) akan menjadi pengontrol dan pengendali sikap dan tindakannya.
Wastabilqul khairat
Yang kita harapkan adalah agar anak-anak kelak terut menciptakan suasana yang baik, mencegah kemungkaran, dan dapat bersabar terhadap apa yang menimpa dirinya. Sehingga sebagai orang tua berarti kita telah menciptakan susana hidup bagai surga. Anak-anak menjadi baik, keluarga baik dan lingkungan pun baik.
Kita tidak inginkan yang terjadi justru sebaliknya, anak dan generasi penerus kita menjadi generasi yang malah menumbuhsuburkan kejahatan dan kemungkaran. Generasi yang semata menjadi budak nafsu dan keserakahan, yang hanya mementingkan kepuasan yang sifatnya sangat semu. Generasi yang mementingkan dirinya sendiri.
Rasulullah saw mensinyalir karakter mereka itu seperti yang termaktub dalam hadits berikut: "Akan tiba suatu zaman atas manusia, di mana perhatian mereka hanya tertuju pada urusan perut dan kehormatan mereka hanya benda semata-mata. Kiblat mereka hanya urusan wanita dan agama mereka adalah harta emas dan perak. Mereka adalah makhluk Allah yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian yang menyenangkan di sisi Allah." (HR Ad-Dhailami)
Generasi seperti itu hanya akan membawa pencemaran bagi lingkungannya. Lingkungan menjadi tidak sehat, terganggu dan kotor.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari generasi yang seperti ini selain dari musibah saja.
Ramadhan di Tengah Krisis
Tak terasa kurang dari dua pekan lagi kita akan berjumpa dengan bulan Ramadhan. Betapa bahagianya, karena janji-janji Allah yang begitu menggiurkan akan kembali bisa kita nikmati selama bulan suci itu.
Kini yang perlu kita pertanyakan adalah, sudahkah kita mempersiapkan diri? Mestinya memang persiapan dilakukan sejak dulu-dulu, setidaknya secara mental. Kini tinggal mencoba mengevaluasi, apakah memang kita sudah melakukan hal-hal prinsip untuk menyongsong Ramadhan dengan efektif ataukah belum. Misalnya, apakah kebiasaan-kebiasaan yang hanya melenakan dan membuat kita jauh dari Allah sudah kita hindari? Momen Ramadhan merupakan saat tepat untuk mendidik pribadi kita menuju kedekatan yang 'permanen' dengan Allah.
Pemahaman kita terhadap Ramadhan memang seharusnya demikian. Bukan sebaliknya, menunggu Ramadhan untuk melakukan kebaikan, karena di bulan itu pahala dilipatgandakan. Karena bila begitu, maka selepas Ramadhan kita akan kembali seperti semula. Padahal dengan tiadanya bekas Ramadhan dalam perilaku hidup kita selepas Idul Fitri, dapat disimpulkan bahwa kita telah ggaal meraih berkah bulan suci. Ibarat mandi, kita hanya sekedar sudah melaksanakan mandi itu, tetapi kotoran-kotoran belum sempat hilang.
Ramadhan adalah pembiasaan. Sebulan penuh kita diajari untuk menahan diri, melakukan hanya yang baik-baik, menghindari pertentangan dan perkelahian, meninggalkan kasak-kusuk, menjauhi bicara dan bertingkah jorok, meninggalkan jauh-jauh penyelewengan, dan dilatih untuk senantiasa merasa dilihat dan diperhatikan Allah swt. Bukan berarti sikap-sikap positif itu tidak perlu ada di luar bulan Ramadhan, sama sekali tidak. Karena untuk membiasakan butuh waktu, amka Ramadhan dimanfaatkan untuk pelatihan itu. Sekali lagi kita pahami, Ramadhan adalah arena bagi kita untuk berlatih diri, berdisiplin dengan kebaikan. Selepas Ramadhan, silakan kebiasaan baik itu dilanjutkan, sebagai buah yang selayaknya memang kita petik.
Mumpung Ramadhan baru akan hadir, marilah kita siapkan mental, untuk memanfaatkan bulan suci itu sebaik-baiknya. Kita upayakan penuh untuk bisa menangguk hasil sebanyak mungkin, memperoleh berkah di tengah segala cobaan yang sedang melanda. Ramadhan kali ini memang bertepatan dengan masa sulit karena krisis moneter, tetapi nampaknya kita sudah cukup berpengalaman untuk berkelit dari kesulitan. Orang tua kita dahulu mengalami yang jauh lebih menyakitkan, yakni di masa dan akhir masa penjajahan. Toh mereka bisa survive hingga mampu mengantarkan kita menjadi dewasa sekarang. Justru kesulitan itu biasanya yang bisa memaksa kita untuk merenung, menekuni kembali jalan yang benar, dan bangkit menentang ketidakbenaran di segala bidang. Ramadhan memberi wadah bagi kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar