Nama asli beliau sejak kecil ialah Nu'man bin Tsabit. Lahir di kota Kufah, 699 Masehi. Ayahnya berasal dari kota Kabul Afghanistan. Dengan ini jelaslah bahwa beliau bukan keturunan Arab asli. Kenapa beliau terkenal dengan sebutan Hanafi? Kisahnya sebagai berikut:
Imam Hanafi mempunyai sejumlah putera, di antaranya bernama Hanifah. Maka orang sering memanggilnya dengan sebutan Abu Hanifah. Kemudian baliau menjadi ulama besar. Dan, di segenap kota besar, Abu Hanifah itulah nama yang terkenal bagi beliau. Beliau berijtihad berdasarkan penelitian tentang hukum Islam. Hasil ijtihad itulah yang dikenal orang dengan sebutan "Mazhab Imam Hanafi".
Menurut riwayat, Ayah Imam Hanafi (Tsabit) dikala masih kecil pernah diajak orang tuanya berziarah kepada Ali bin Abi Thalib. Waktu itu Imam Ali berkenan menerima tamunya dan sebelum kembali ke rumah, beliau berdoa; mudah-mudahan dari antara keturunan Tsabit ada yang menjadi orang yang tergolong baik-baik dan berderajad luhur.
KEPATUHAN IMAM HANAFI. Dia adalah seorang yang kokoh dan kuat jiwanya, selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan beribadat dan beraklaq karimah. Setiap harinya, disamping sangat rajin menunaikan kewajiban, beliaupun jarang tidur dengan pulas meski malam hari. Tiap-tiap malam yang akhir beliau selalu shalat lail dan membaca al-Qur'an sampai khatam.
Imam Syaqiq al Balkhi berkata: "Imam Abu Hanifah adalah seorang yang terhindar jauh dari perbuatan yang dilarang oleh agama; ia sepandai-pandai orang tentang ilmu agama dan seorang yang banyak ibadahnya kepada Allah; amat berhati-hati tentang hukum-hukum agama."
Imam Ibrahim bin Ikrimah berkata: "Di masa hidupku, belum pernah aku melihat seorang alim yang amat benci kemewahan hidup dan yang lebih banyak ibadahnya kepada Allah dan yang lebih pandai tentang urusan agama, selain Imam Abu Hanifah."
UJIAN BERAT. Imam Abu Hanifah terkenal berani dalam menegakan kebenaran yang telah diyakini. Berani dalam pengertian yang sebenarnya, berani yang berdasarkan bimbingan wahyu Ilahi. Beliau tak bagitu cinta terhadap kemewahan hidup, maka dari itu tak sedikitpun hatinya khawatir menderita sengsara. Karena sunnatulah masih berlaku bagi manusia, ialah; bahwa orang yang cinta kemewahan hidup di dunia biasanya menjadi panakut, tidak berani menegakan kebenaran yang diridlai Allah.
Beliau adalah seorang yang apabila melihat kemungkaran atau maksiat, dengan seketika itu juga berusaha memusnahkannya. Sifat kelunakan segera lenyap dari hatinya, dan merah kedua matanya, kemudian bertindak keras terhadap kejahatan atau kemungkaran yang diketahuinya.
Beliau berani menolak kedudukan yang diberikan oleh kepala negara; berani menolak pangkat yang ditawarkan oleh pihak penguasa waktu itu dan tidak sagggup menerima hadiah dari pemerintah berupa apapun juga. Hingga karenyanya beliau ditangkap dan ditahan dalam penjara, dipukul, didera dan dianiaya di penjara sampai menyebabkan kematiannya. Yang demikian itu karena beliau seorang pemberani dalam menegakan kebenaran yang diyakininya.
Suatu hari Gubernur Iraq Yazid bin Amr menawarkan jabatan Qadli kepada Imam Hanafi, tetapi beliau menolaknya. Tentu saja sang Gubernur tersingggung dan kurang senang. Perasaan kurang senang itu menumbuhkan rasa curiga. Oleh sebab itu, segala gerak-gerik Imam Hanafi diamat-amati. Kemudian pada suatu hari beliau diberi ancaman hukum cambuk atau penjara manakala masih jua menolak tawaran itu. Sewaktu mendengar ancaman tersebut, Imam Hanafi menjawab: "Demi Allah, aku tidak akan menduduki jabatan yang itu, sekalipun aku sampai dibunuh karenanya."
Sejumlah ulama besar negeri Iraq mengkhawatirkan nasib Imam Abu Hanifah. Mereka datang berduyun-duyuun ke rumahnya untuk menyampaikan harapan supaya beliau suka menerima jabatan yang diberikan itu.
Kata mereka; "Kita memohon kepada engkau dengan nama Allah, hendaknya engkau suka menerima jabatan yang telah diberikan kepada engkau. Gubernur Yazid sudah bersumpah akan menghukum engkau jika masih juga kau tolak tawarannya. Kita masing-masing sebagai kawan yang sangat erat tidak akan suka jika engkau dijatuhi hukuman, dan kita tidak mengharapkan peristiwa itu menimpa diri engkau."
Imam Hanafi tetap teguh, tak bergeming sedikitpun dari kebenaran pendirianya. Akibatnya beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi negara selama dua Jum'at. Gubernur memerintahkan agar Imam Abu Hanifah setiap hari dicambuk sebanyak 10 kali.
Sekalipun demikian beliau tetap bersikeras pada pendirian semula. Akhirnya beliau dilepaskan dari penjara setelah menikmati geletaran cambuk algojo sebanyak 110 kali.
Ketika Imam keluar penjara, tampak kelihatan di wajahnya bengkak-bengkak bekas cambukan. Hukuman cambuk itu memang semacam hukuman yang hina. Gubernur sengaja hendak menghinakan diri beliau yang sebenarnya mulia itu.
Hukuman itu oleh Imam Hanafi disambut dengan penuh kesabaran serta dengan suara bersemangat beliau berkata: "Hukuman dunia dengan cemeti masih lebih baik dan lebih ringan bagiku tinimbang cemeti di akherat nanti."
Demikian hal ihwal Sang Imam tatkala menghadapi ujian berat pada pertama kali. Padahal beliau sudah berusia agak lanjut, kurang lebih 50 tahun.
Imam Abu Hanifah di usia itu sempat menyaksikan peralihan kekuasaan negara, dari tangan bani Umayyah ke tangan bani Abbasiyyah sebagai kepala negara pertama adalah Abu Abbas as Saffah. Sesudah itu kepala negara digantikan oleh Abu Ja'far al Manshur, saudara muda dari Khalifah sendiri.
Pada masa pemerintahan Abu Ja'far, Imam Abu Hanifah mendapat panggilan dari Baginda di Bagdad. Sesampai di istana, beliau di tunjuk dan diangkat menjadi hakim (qadhi) kerajaan di Baghdad. Baginda bersumpah keras bahwa beliau harus menerima jabatan itu. Tawaran jabatan setinggi itu beliau tolak dan bersumpah tidak akan sanggup mengerjakannya.
Di tengah pertemuan ada seorang yang pernah menjadi santrinya dan sekarang menjadi pegawai kerajaan, tiba-tiba memberanikan diri berkata kepada beliau: "Apakah guru akan tetap menolak kehendak Baginda, padahal Baginda telah bersumpah akan memberikan kedudukan tinggi kepada guru.
Imam Hanafi dengan tegas menjawab: "Amirul mu'minin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya dari pada saya membayar kifarat sumpah saya."
Oleh karena tetap menolak pengakatan itu, maka sebagai ganjarannya Baginda merintahlan agar Imam Abu HAniafah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Baghdad, sampai pada massa yang ditentukan oleh Baginda sendiri.
Suatu hari, ada perintah menghadap dari istana, kemudian Baginda bertanya kepada beliau: "Adakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?"
Jawabnya tenang, "Semoga Allah memperbaiki Amirul Mu'minin! Wahai Amirul Mu'minin takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah engkau bersekutu dalam kepercayaan engkau dengan orang yang tidak takut kepada Allah! Demi Allah, saya bukanlah orang yang boleh dipercaya di waktu tenang. Maka bagaimana mungkin saya menjadi orang yang boleh dipercaya diwaktu marah? Sungguh saya tidak sepatutnya diberi jabatan yang sedemikian itu!"
Baginda berkata: "Kamu berdusta, karena kamu patut memegang jabatan itu!"
"Ya Amirul Mu'minin! Sesungguhnya baginda telah menetapkan sendiri (bahwa saya seorang pendusta). Jika saya benar, saya telah menyatakan bahwa saya tidak patut menjabat itu, dan jika saya berdusta, maka bagaimana Baginda akan mengangkat seorang hakim yang berdusta? Di samping itu, saya ini adalah seorang hamba yang dipandang rendah oleh bangsa Arab, dan mereka tidak akan rela diadili oleh seorang golongan hamba (maula) seperti saya ini."
Amirul mu'minin merasa tak mampu lagi membujuk dan melunakan ketegaran pendirian sang Imam. Maka baginda bermaksud memangggil ibunda Imam Abu Hanifah yang waktu itu hidup pada usia sepuh. Sang Ibu diperintahkan agar berkenan membujuk anaknya agar suka menerima jabatan yang telah diberikan baginda berulang kali. Tetapi segala macam bujukan dan daya upaya sang Ibu senantiasa ditolak dengan halus dan keterangan yang sopan.
Pada suatu hari sang Ibu berkata, "Wahai Nu'man! Anakku yang kucintai! Buang dan lemparkan jauh-jauh pengetahuan yang telah engkau punyai ini, melainkan penjara, pukulan cambuk dan kalung rantai besi!"
Perkataan yang sedemikian itu, hanya dijawab oleh beliau dengan lemah lembut dan senyuman manis: "O... ibu! Jika saya menghendaki akan kemewahan hidup di dunia ini, tentu saya tidak dipukuli dan tidak dipenjarakan. Tetapi saya menghendaki akan keridhlaan Allah swt semata-mata, dan memelihara ilmu pengetahuan yang telah saya dapati. Saya tidak akan memalingkan pengetahuan yang selama ini saya pelihara kepada kebinasaan yang dimurkai Allah.
KHATIMAH. Imam Abu Hanifah adalah seorang alim (ulama) sejati. Selain ahli di bidang ilmu kalam dan ilmu fiqh, juga mempunyai kepandaian tentang ilmu lainnya, seperti ilmu sastra Arab dan ilmu hikmat.
Pernyataan para cerdik pandai di zamannya cukup menjadi bukti bahwa Imam Hanafi memang seorang yang berguna bagi masyarakat kaum muslimin pada masa itu, bahkan pada masa berikutnya.
Imam Jarir berkata bahwa Imam Mughirah pernah berkata kepadanya, "Duduklah kamu bersama Abu Hanifah, tentu kamu menjadi orang yang pandai. Karena sesungguhnya jika Imam Ibrahim an Nakha'i masih hidup, niscaya beliau duduk bersama-sama Abu Hanifah."
Lebih jauh dari itu beliau adalah seorang ilmuwan yang konsisten dengan disiplin ilmunya. Ilmu yang didasarkan dan bersumber dari al-Qur'an. Sikap konsistenya memang harus dibayar mahal, karena mempertaruhkan hidupnya sendiri.
Beliau seorang yang berjiwa teguh, berhati-hati terhadap sesuatu yang dianggap berbahaya oleh kebanyakan orang. Dengan kenyataan itu, patutlah jika Imam Abu Hanifah itu seorang yang berani menghadapi malapetaka yang bagaimana pun juga, dan tidak ada perasaan takut menempuh bahaya dalam menegakan kebenaran yang lebih diyakini.
Itulah sebabnya kenapa Imam Abu Hanifah bersikeras tak mau menerima tawaran jabatan tinggi yang tentu saja bagi para pelacur ilmu sangat menggiurkan. Beliau bukan orang yang keras kepala yang maunya lari dari tanggung jawab.
Imam Hanafi tahu persis, apa jadinya jika dia masuk dalam jajaran pejabat pemerintahan waktu itu. Yang jelas pemerintahan bani Ummayah dan Bani Abbasiyah berdiri bukan atas dasar sunnah Rasul. Bentuk pemerintahannya monarkhi, yang sebagian besar bertentangan dengan asas Islam. Kebijakan negara lebih banyak bertumpu pada kehendak raja (penguasa). Sekirannya sang raja seluruh kehendaknya didasarnya al-Qur'a, hal itu tak menjadi masalah.
Tapi waktu itu keadaannya lain. Kehendak raja begitu dominan. Imam Hanafi tak sudi menjadi Qadhi karena khawatir kebenaran sejati tak bebas bergerak dan dipasung. Beliau merasa bebas berada di luar birokrasi, bisa leluasa menyampaikan kebenaran tanpa harus sungkan jabatanya. Lebih-lebih sungkan kepada baginda raja. Di samping itu juga karena hal itu sama artinya ikut berpartisipasi dan melestarikan kedzaliman sang penguasa. Sebenarnya, andaikan pemerintah secara total mau mengikuti sunnah Rasul, Imam Hanafi tak keberatan diangkat menjadi Qadhi.
Suatu hari untuk ke sekian kalinya beliau dipanggil, lalu dipaksa meminum segelas racun, dan oleh beliau lalu diminumlah minuman itu. Setelah kembali ke penjara, badannya terasa tidak enak. Tak lama kemudian beliau wafat, dalam keadaan menderita dalam usia 70 tahun.
Diangkat dari majalah Suara Hidayatullah, l991.
0 komentar:
Posting Komentar