Ayu melangkah perlahan menyusuri pasir putih yang terhampar sejauh mata memandang. Deburan ombak menyapu tepi pantai dengan buih-buih putih yang sehalus sutera. Hari masih pagi. Kicauan camar terdengar di kejauhan.
"Ah… pagi yang sangat indah," gumam Ayu dalam hati seraya mendekap buku gambarnya erat-erat. Ia segera duduk di sebuah ayunan kecil di bawah sebuah pohon kelapa sambil memandangi ombak yang bergulung kecil di pantai. Pantai itu masih sepi. Turis-turis yang biasa mendatangi tempat itu umumnya masih terlelap di peraduannya.
"Ayu, kamu rajin sekali ya ? Pagi-pagi sudah siap untuk melukis. Kelihatannya langganan-langgananmu yang mau dilukis belum datang," sapa seorang pemuda berbadan kekar dan berkulit gelap. Pemuda itu menenteng sebuah papan selancar. Ayu tersenyum pahit. Bukan kemauannya ia datang ke pantai itu pagi-pagi. Ia sebenarnya masih ingin beristirahat di rumah. Tetapi keadaannya tidak memungkinkan.
"Aku lagi suntuk di rumah, Gus. Ibu dan ayahku sedang membuat sesajen untuk upacara penyembahan nanti malam. Ada ayam, daging, sayur dan buah-buahan yang lengkap. Aku heran, untuk makan sehari-hari saja sangat sulit bagi kami. Jangankan ayam atau daging. Ada sepiring nasi saja aku sudah bersyukur,” kata Ayu sambil memain-mainkan pensil gambarnya. “Dan parahnya lagi, kita tidak boleh memakan makanan untuk sesajen. Padahal aku ingin sekali makan ayam itu. Kelihatannya lezat.”
Bagus tersenyum mendengar kata-kata Ayu. Memang sudah tradisi bagi penduduk di pesisir pantai itu untuk mengadakan upacara penyembahan di tepi pantai setiap bulan purnama menghias cakrawala. Penduduk pesisir yang umumnya mencari nafkah sebagai nelayan dan pemandu wisata tidak pernah melewatkan upacara itu. Untuk memperluas rejeki, begitu alasan mereka. Penghasilan mereka yang pas-pasan tidak menyurutkan usaha mereka untuk menyediakan makanan sesajen yang lezat dan beraneka ragam. Apapun dilakukan agar bisa menyiapkan sesajen yang lengkap.
“Ya sudah, nanti malam, kita makan besar lagi, ok?” hibur Bagus sambil menepuk pundak Ayu. “Ingat, tepat jam 12 malam, aku tunggu di muara sungai. Kita sikat semua makanan sesajen itu sampai tandas.” Ayu tertawa keras. Menurut kepercayaan penduduk, apabila keesokan harinya makanan sesajen mereka habis tak bersisa, itu pertanda dewa-dewa menerima persembahan mereka dan mereka akan diberikan rejeki yang berlimpah.
Sejak mereka duduk di bangku SMP, Bagus dan Ayu sering menyelinap diam-diam di malam hari, seusai upacara persembahan itu. Saat semua orang telah pergi dan makanan lezat itu terhampar di dinginnya udara malam, mereka berdua memulai pesta besar mereka.
“Gus, apa kamu gak takut ketahuan kalau kita yang makan sesajen ini? Aku gak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau orang tuaku dan semua orang mengetahui kalau sesajen ini kita yang habiskan,” kata Ayu takut-takut waktu pertama kali Bagus mengajaknya menghabiskan sesajen itu. “Aku lebih suka melukis bule-bule itu sehingga aku dapat uang lalu aku bisa beli ayam goreng ketimbang mesti makan sesajen ini. Nanti kalau dewa-dewa marah, bagaimana?”
“Ah…Mereka gak bakal marah. Percaya deh sama aku. Malah mereka berterima kasih karena kita membantu mereka menghabiskan makanan ini. Lihat, makanan ini begitu banyak. Sayang sekali kalau tidak dimakan,” jawab Bagus ringan sambil mengambil sepotong besar ayam dan mulai mengunyahnya. Ayu memandangnya ragu. Akhirnya karena lapar, ia ikut makan. Biasanya setelah selesai makan, Ayu melukis laut di buku gambarnya. Begitu indah. Senyum bulan purnama memantul di permukaan air. Bagus berenang-renang sejenak, lalu mereka pulang ke rumah masing-masing.
Bagus dan Ayu bersahabat sejak kecil. Karena kesulitan ekonomi, mereka berdua tidak dapat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Selepas SMA, Ayu mencari nafkah dengan melukis turis-turis yang datang ke pantai itu dengan pensil hitamnya. Setiap hari, ia duduk di tepi pantai, menunggu para pelanggan yang hendak dilukis. Bagus bekerja sebagai instruktur selam dan renang di sebuah resort lepas pantai itu.
"Aku tidak mau lagi makan sesajen. Bosan. Hidupku kok lama-lama mirip lukisanku. Hitam putih. Suram. Orang-orang itu makin lama makin tidak waras saja,” gerutu Ayu. “Ayahku memukul ibuku semalam. Ibuku babak belur gara-gara daging untuk sesajen hanya sedikit. Mereka semakin lama semakin gila.” Ayu menerawang jauh ke ujung pantai. Bagus menghela nafas panjang. Mereka terdiam sambil mendengarkan suara ombak yang berbuih-buih.
“Kemarin ada orang yang minta aku melukis sesuatu di rumahnya, Gus. Orangnya berbaju putih dan berpeci putih. Sudah agak tua. Ia bilang ia akan membayar lukisanku dengan harga yang pantas. Cuma aku harus melukis di rumahnya. Aku tidak tahu aku harus melukis apa,” kata Ayu pelan sambil mulai menggoreskan pensil hitamnya di buku gambar. “Bagaimana menurutmu, Gus?”
“Di mana rumah orang itu? Jauh dari sini?” tanya Bagus. “Memangnya ia memintamu melukis apa? »
"Rumahnya di kampung sebelah. Namanya Pak Haji Ahmad. Ia bilang lukisan untuk di masjid,” jawab Ayu. “Aku sudah memutuskan untuk menerima tawarannya. Uang yang ditawarkannya melebihi penghasilanku melukis selama seminggu. Sebentar lagi ia akan datang ke sini. Kalau aku setuju, aku langsung ikut dengannya ke rumahnya dan baru pulang besok.”
“Besok? Yaahhh…Kita tidak jadi pesta besar dong nanti malam,” kata Bagus kecewa. “Kita tidak pernah melewatkan malam persembahan satu malampun sejak empat tahun yang lalu. Masak sekarang hanya karena satu lukisan, kita nggak jadi makan-makan. Memangnya lukisan apa sih? Aku jadi penasaran.”
“Maaf aku tidak bisa ikut pesta nanti malam. Aku harus cari uang. Aku juga ingin kuliah, Gus. Lain kali saja. Toh bulan depan masih ada malam persembahan, » Ayu beranjak dari tempat duduknya ketika ia melihat sesosok tua berjalan menghampirinya.
Pak Haji Ahmad tersenyum ramah pada mereka berdua. Diiringi dengan tatapan kecewa Bagus, Ayu pergi ke kampung sebelah dengan Pak Haji Ahmad sambil membawa buku gambar dan pensil hitamnya.
**************
Ayu terbengong-bengong ketika ia memasuki halaman rumah Pak Haji Ahmad. Rumah yang besar, taman yang asri dan sejuk. Jauh sekali berbeda dengan rumah-rumah di kampungnya yang reot dan kusam. Pantai berpasir putih terhampar di belakang rumah.
“Mari masuk, Nak,” Pak Haji Ahmad mengajak Ayu ke dalam rumahnya. “Ini gambar yang harus kau lukis. Ini Ka’bah. Saya membelinya di Mekkah waktu saya menunaikan ibadah haji. Saya ingin memasang lukisanmu nanti di masjid.” Pak Haji Ahmad memberikan gambar Ka’bah yang tercetak di atas sebuah karton yang besar.
Ayu memandangi gambar itu. Ia belum pernah melihat gambar itu sebelumnya.
“Kelihatannya tidak sulit,” pikirnya. “Hanya gambar kotak hitam, lalu aku arsir di sekelilingnya. Aku mungkin bisa menyelesaikannya hari ini sehingga aku bisa ikut makan besar malam nanti.”
Ayu duduk di tepi pantai dan mulai melukis. Hampir tak berhenti ia melukis Ka’bah. Bahkan makanan yang disuguhkan Pak Haji Ahmad pun nyaris tidak disentuhnya. Rasanya ada kesenangan tersendiri. Sesuatu yang membuatnya begitu gembira kala ia menggoreskan pensil hitamnya, arsiran demi arsiran, bagaikan melodi yang menyatu dengan nyanyian yang dirangkai oleh nada-nada indah. Tangannya terus bekerja dengan lincah.
Hari menjelang malam. Ayu tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Desir angin malam yang bertiup membuatnya mengantuk dan jatuh tertidur di atas lukisan Ka’bah yang hampir selesai. Antara sadar dan tidak, Ayu melihat dirinya berdiri di depan Ka’bah yang menjulang tinggi di hadapan. Berwarna hitam mengkilap. Cahaya yang sangat terang melingkupi sekelilingnya. Cahaya itu berasal dari atas langit di sebelah kanannya. Mulanya kecil namun makin lama makin membesar. Menerangi segala sesuatu sejauh mata memandang. Damai. Tenang. Sesuatu yang hangat mulai mengaliri hatinya. Ayu merasa seperti pulang ke rumah. Matanya perlahan merebak basah.
“Rumah…Rumah…Aku rindu rumah… Aku ingin pulang…Aku ingin pulang,” kata Ayu berulang-ulang. Ia terus mengulang-ulang kalimat itu hingga Pak Haji Ahmad membangunkannya.
"Ayu…Ayu…Bangun…Bangunlah, Nak. Sudah hampir subuh. Ayu tidur di dalam rumah saja ya?" Suara Pak Haji Ahmad membangunkan Ayu dari mimpi. Mimpi? Apakah yang tadi itu mimpi? Mengapa rasanya nyata? Ayu sungguh tidak mengerti.
"Pak, aku rindu rumah … Aku ingin pulang… " kata Ayu.
"Iya, nanti kalau hari sudah terang, Bapak antar Ayu pulang ya. Kelihatannya lukisannya sudah hampir selesai." jawab Pak Haji Ahmad.
“Bukan, Pak... Aku ingin ke sini,” Ayu menunjuk lukisan Ka’bah itu. “Aku ingin pulang ke sini, Pak. Apa namanya? Ka’bah? Aku ingin pulang ke Ka’bah, Pak,” Ayu mulai menangis sesegukan.
Pak Haji Ahmad memandangnya dengan heran. Lalu diajaknya Ayu ke masjid. Shalat subuh berjamaah akan segera dimulai. Ayu duduk di belakang orang-orang yang sedang shalat. Rasa damai dan tenang sewaktu shalat subuh berjamaah menyelusup ke dalam hati Ayu. Rasa yang sama seperti di dalam mimpinya.
“Pak, bagaimana caranya agar aku bisa ke sana, Pak? Ke Ka’bah?” tanya Ayu seusai shalat subuh.
“Nak, Ka’bah itu rumah Allah. Hanya orang muslim yang boleh memasuki Mekkah, diundang ke rumah-Nya,” jawab Pak Haji Ahmad.
“Kalau begitu, aku mau menjadi seorang muslim, Pak. Aku mau menjadi seorang muslim sehingga boleh pergi ke Mekkah. Aku ingin pulang ke sana, Pak,” kata Ayu.
Pak Haji Ahmad terkejut. “Ayu, lebih baik Ayu selesaikan lukisannya, lalu Ayu boleh pulang. Mungkin kamu kelelahan semalaman melukis di tepi pantai sehingga masuk angin. Bapak antar kamu pulang ya?”
Ayu langsung berdiri dan berkata tegas, “Pulang? Pulang ke mana? Ke rumah mana? Pulang ke rumah yang isinya cuma pertengkaran saja? Untuk makan manusia saja susah tetapi malah menyajikan makanan yang mewah untuk dewa-dewa? Rumah macam apa? Dewa macam apa? Aku tidak tahan lagi, Pak. Aku ingin menjadi muslim. Sekarang!”
Pak Haji Ahmad memandang Ayu lama. “Nak, apakah keputusanmu ini sudah bulat? Apakah kau tidak akan menyesalinya?”
“Tidak, Pak. Saya ingin menjadi muslim sekarang,” jawab Ayu tegas.
Akhirnya, dengan disaksikan jamaah shalat subuh, Ayu mengucapkan ikrar syahadatnya.
“Ashyadu alaa ilaaha ilallahu… wa ashadu anna muhammadar rasulullah…Hamba bersaksi, bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan hamba bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah…”
Fajar yang merekah di ufuk timur turut menjadi saksi pulangnya Ayu ke jalan Illahi. Jalan lurus Sang Maha Cinta, yang dapat mengubah segalanya sekejap saja, walau hanya dalam satu malam. Mulai sekarang, Ayu tidak lagi melukis hitam dan putih, ia dapat melukis sejuta warna pelangi kebesaran Allah, menimba ilmu di masjid itu, masjid di mana lukisan Ka’bah yang ia buat tergantung dengan anggun di pintu masuknya. Dan di pantai Cinta, lukisan pelangi itu telah berlabuh.
"Ah… pagi yang sangat indah," gumam Ayu dalam hati seraya mendekap buku gambarnya erat-erat. Ia segera duduk di sebuah ayunan kecil di bawah sebuah pohon kelapa sambil memandangi ombak yang bergulung kecil di pantai. Pantai itu masih sepi. Turis-turis yang biasa mendatangi tempat itu umumnya masih terlelap di peraduannya.
"Ayu, kamu rajin sekali ya ? Pagi-pagi sudah siap untuk melukis. Kelihatannya langganan-langgananmu yang mau dilukis belum datang," sapa seorang pemuda berbadan kekar dan berkulit gelap. Pemuda itu menenteng sebuah papan selancar. Ayu tersenyum pahit. Bukan kemauannya ia datang ke pantai itu pagi-pagi. Ia sebenarnya masih ingin beristirahat di rumah. Tetapi keadaannya tidak memungkinkan.
"Aku lagi suntuk di rumah, Gus. Ibu dan ayahku sedang membuat sesajen untuk upacara penyembahan nanti malam. Ada ayam, daging, sayur dan buah-buahan yang lengkap. Aku heran, untuk makan sehari-hari saja sangat sulit bagi kami. Jangankan ayam atau daging. Ada sepiring nasi saja aku sudah bersyukur,” kata Ayu sambil memain-mainkan pensil gambarnya. “Dan parahnya lagi, kita tidak boleh memakan makanan untuk sesajen. Padahal aku ingin sekali makan ayam itu. Kelihatannya lezat.”
Bagus tersenyum mendengar kata-kata Ayu. Memang sudah tradisi bagi penduduk di pesisir pantai itu untuk mengadakan upacara penyembahan di tepi pantai setiap bulan purnama menghias cakrawala. Penduduk pesisir yang umumnya mencari nafkah sebagai nelayan dan pemandu wisata tidak pernah melewatkan upacara itu. Untuk memperluas rejeki, begitu alasan mereka. Penghasilan mereka yang pas-pasan tidak menyurutkan usaha mereka untuk menyediakan makanan sesajen yang lezat dan beraneka ragam. Apapun dilakukan agar bisa menyiapkan sesajen yang lengkap.
“Ya sudah, nanti malam, kita makan besar lagi, ok?” hibur Bagus sambil menepuk pundak Ayu. “Ingat, tepat jam 12 malam, aku tunggu di muara sungai. Kita sikat semua makanan sesajen itu sampai tandas.” Ayu tertawa keras. Menurut kepercayaan penduduk, apabila keesokan harinya makanan sesajen mereka habis tak bersisa, itu pertanda dewa-dewa menerima persembahan mereka dan mereka akan diberikan rejeki yang berlimpah.
Sejak mereka duduk di bangku SMP, Bagus dan Ayu sering menyelinap diam-diam di malam hari, seusai upacara persembahan itu. Saat semua orang telah pergi dan makanan lezat itu terhampar di dinginnya udara malam, mereka berdua memulai pesta besar mereka.
“Gus, apa kamu gak takut ketahuan kalau kita yang makan sesajen ini? Aku gak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau orang tuaku dan semua orang mengetahui kalau sesajen ini kita yang habiskan,” kata Ayu takut-takut waktu pertama kali Bagus mengajaknya menghabiskan sesajen itu. “Aku lebih suka melukis bule-bule itu sehingga aku dapat uang lalu aku bisa beli ayam goreng ketimbang mesti makan sesajen ini. Nanti kalau dewa-dewa marah, bagaimana?”
“Ah…Mereka gak bakal marah. Percaya deh sama aku. Malah mereka berterima kasih karena kita membantu mereka menghabiskan makanan ini. Lihat, makanan ini begitu banyak. Sayang sekali kalau tidak dimakan,” jawab Bagus ringan sambil mengambil sepotong besar ayam dan mulai mengunyahnya. Ayu memandangnya ragu. Akhirnya karena lapar, ia ikut makan. Biasanya setelah selesai makan, Ayu melukis laut di buku gambarnya. Begitu indah. Senyum bulan purnama memantul di permukaan air. Bagus berenang-renang sejenak, lalu mereka pulang ke rumah masing-masing.
Bagus dan Ayu bersahabat sejak kecil. Karena kesulitan ekonomi, mereka berdua tidak dapat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Selepas SMA, Ayu mencari nafkah dengan melukis turis-turis yang datang ke pantai itu dengan pensil hitamnya. Setiap hari, ia duduk di tepi pantai, menunggu para pelanggan yang hendak dilukis. Bagus bekerja sebagai instruktur selam dan renang di sebuah resort lepas pantai itu.
"Aku tidak mau lagi makan sesajen. Bosan. Hidupku kok lama-lama mirip lukisanku. Hitam putih. Suram. Orang-orang itu makin lama makin tidak waras saja,” gerutu Ayu. “Ayahku memukul ibuku semalam. Ibuku babak belur gara-gara daging untuk sesajen hanya sedikit. Mereka semakin lama semakin gila.” Ayu menerawang jauh ke ujung pantai. Bagus menghela nafas panjang. Mereka terdiam sambil mendengarkan suara ombak yang berbuih-buih.
“Kemarin ada orang yang minta aku melukis sesuatu di rumahnya, Gus. Orangnya berbaju putih dan berpeci putih. Sudah agak tua. Ia bilang ia akan membayar lukisanku dengan harga yang pantas. Cuma aku harus melukis di rumahnya. Aku tidak tahu aku harus melukis apa,” kata Ayu pelan sambil mulai menggoreskan pensil hitamnya di buku gambar. “Bagaimana menurutmu, Gus?”
“Di mana rumah orang itu? Jauh dari sini?” tanya Bagus. “Memangnya ia memintamu melukis apa? »
"Rumahnya di kampung sebelah. Namanya Pak Haji Ahmad. Ia bilang lukisan untuk di masjid,” jawab Ayu. “Aku sudah memutuskan untuk menerima tawarannya. Uang yang ditawarkannya melebihi penghasilanku melukis selama seminggu. Sebentar lagi ia akan datang ke sini. Kalau aku setuju, aku langsung ikut dengannya ke rumahnya dan baru pulang besok.”
“Besok? Yaahhh…Kita tidak jadi pesta besar dong nanti malam,” kata Bagus kecewa. “Kita tidak pernah melewatkan malam persembahan satu malampun sejak empat tahun yang lalu. Masak sekarang hanya karena satu lukisan, kita nggak jadi makan-makan. Memangnya lukisan apa sih? Aku jadi penasaran.”
“Maaf aku tidak bisa ikut pesta nanti malam. Aku harus cari uang. Aku juga ingin kuliah, Gus. Lain kali saja. Toh bulan depan masih ada malam persembahan, » Ayu beranjak dari tempat duduknya ketika ia melihat sesosok tua berjalan menghampirinya.
Pak Haji Ahmad tersenyum ramah pada mereka berdua. Diiringi dengan tatapan kecewa Bagus, Ayu pergi ke kampung sebelah dengan Pak Haji Ahmad sambil membawa buku gambar dan pensil hitamnya.
**************
Ayu terbengong-bengong ketika ia memasuki halaman rumah Pak Haji Ahmad. Rumah yang besar, taman yang asri dan sejuk. Jauh sekali berbeda dengan rumah-rumah di kampungnya yang reot dan kusam. Pantai berpasir putih terhampar di belakang rumah.
“Mari masuk, Nak,” Pak Haji Ahmad mengajak Ayu ke dalam rumahnya. “Ini gambar yang harus kau lukis. Ini Ka’bah. Saya membelinya di Mekkah waktu saya menunaikan ibadah haji. Saya ingin memasang lukisanmu nanti di masjid.” Pak Haji Ahmad memberikan gambar Ka’bah yang tercetak di atas sebuah karton yang besar.
Ayu memandangi gambar itu. Ia belum pernah melihat gambar itu sebelumnya.
“Kelihatannya tidak sulit,” pikirnya. “Hanya gambar kotak hitam, lalu aku arsir di sekelilingnya. Aku mungkin bisa menyelesaikannya hari ini sehingga aku bisa ikut makan besar malam nanti.”
Ayu duduk di tepi pantai dan mulai melukis. Hampir tak berhenti ia melukis Ka’bah. Bahkan makanan yang disuguhkan Pak Haji Ahmad pun nyaris tidak disentuhnya. Rasanya ada kesenangan tersendiri. Sesuatu yang membuatnya begitu gembira kala ia menggoreskan pensil hitamnya, arsiran demi arsiran, bagaikan melodi yang menyatu dengan nyanyian yang dirangkai oleh nada-nada indah. Tangannya terus bekerja dengan lincah.
Hari menjelang malam. Ayu tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Desir angin malam yang bertiup membuatnya mengantuk dan jatuh tertidur di atas lukisan Ka’bah yang hampir selesai. Antara sadar dan tidak, Ayu melihat dirinya berdiri di depan Ka’bah yang menjulang tinggi di hadapan. Berwarna hitam mengkilap. Cahaya yang sangat terang melingkupi sekelilingnya. Cahaya itu berasal dari atas langit di sebelah kanannya. Mulanya kecil namun makin lama makin membesar. Menerangi segala sesuatu sejauh mata memandang. Damai. Tenang. Sesuatu yang hangat mulai mengaliri hatinya. Ayu merasa seperti pulang ke rumah. Matanya perlahan merebak basah.
“Rumah…Rumah…Aku rindu rumah… Aku ingin pulang…Aku ingin pulang,” kata Ayu berulang-ulang. Ia terus mengulang-ulang kalimat itu hingga Pak Haji Ahmad membangunkannya.
"Ayu…Ayu…Bangun…Bangunlah, Nak. Sudah hampir subuh. Ayu tidur di dalam rumah saja ya?" Suara Pak Haji Ahmad membangunkan Ayu dari mimpi. Mimpi? Apakah yang tadi itu mimpi? Mengapa rasanya nyata? Ayu sungguh tidak mengerti.
"Pak, aku rindu rumah … Aku ingin pulang… " kata Ayu.
"Iya, nanti kalau hari sudah terang, Bapak antar Ayu pulang ya. Kelihatannya lukisannya sudah hampir selesai." jawab Pak Haji Ahmad.
“Bukan, Pak... Aku ingin ke sini,” Ayu menunjuk lukisan Ka’bah itu. “Aku ingin pulang ke sini, Pak. Apa namanya? Ka’bah? Aku ingin pulang ke Ka’bah, Pak,” Ayu mulai menangis sesegukan.
Pak Haji Ahmad memandangnya dengan heran. Lalu diajaknya Ayu ke masjid. Shalat subuh berjamaah akan segera dimulai. Ayu duduk di belakang orang-orang yang sedang shalat. Rasa damai dan tenang sewaktu shalat subuh berjamaah menyelusup ke dalam hati Ayu. Rasa yang sama seperti di dalam mimpinya.
“Pak, bagaimana caranya agar aku bisa ke sana, Pak? Ke Ka’bah?” tanya Ayu seusai shalat subuh.
“Nak, Ka’bah itu rumah Allah. Hanya orang muslim yang boleh memasuki Mekkah, diundang ke rumah-Nya,” jawab Pak Haji Ahmad.
“Kalau begitu, aku mau menjadi seorang muslim, Pak. Aku mau menjadi seorang muslim sehingga boleh pergi ke Mekkah. Aku ingin pulang ke sana, Pak,” kata Ayu.
Pak Haji Ahmad terkejut. “Ayu, lebih baik Ayu selesaikan lukisannya, lalu Ayu boleh pulang. Mungkin kamu kelelahan semalaman melukis di tepi pantai sehingga masuk angin. Bapak antar kamu pulang ya?”
Ayu langsung berdiri dan berkata tegas, “Pulang? Pulang ke mana? Ke rumah mana? Pulang ke rumah yang isinya cuma pertengkaran saja? Untuk makan manusia saja susah tetapi malah menyajikan makanan yang mewah untuk dewa-dewa? Rumah macam apa? Dewa macam apa? Aku tidak tahan lagi, Pak. Aku ingin menjadi muslim. Sekarang!”
Pak Haji Ahmad memandang Ayu lama. “Nak, apakah keputusanmu ini sudah bulat? Apakah kau tidak akan menyesalinya?”
“Tidak, Pak. Saya ingin menjadi muslim sekarang,” jawab Ayu tegas.
Akhirnya, dengan disaksikan jamaah shalat subuh, Ayu mengucapkan ikrar syahadatnya.
“Ashyadu alaa ilaaha ilallahu… wa ashadu anna muhammadar rasulullah…Hamba bersaksi, bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan hamba bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah…”
Fajar yang merekah di ufuk timur turut menjadi saksi pulangnya Ayu ke jalan Illahi. Jalan lurus Sang Maha Cinta, yang dapat mengubah segalanya sekejap saja, walau hanya dalam satu malam. Mulai sekarang, Ayu tidak lagi melukis hitam dan putih, ia dapat melukis sejuta warna pelangi kebesaran Allah, menimba ilmu di masjid itu, masjid di mana lukisan Ka’bah yang ia buat tergantung dengan anggun di pintu masuknya. Dan di pantai Cinta, lukisan pelangi itu telah berlabuh.
Oleh : Lia Octavia
0 komentar:
Posting Komentar