Ia berjalan di antara manusia, mengajari manusia dengan memerintahkan mereka atas suatu perkara sebagaimana perintah Rabbnya dan melarang mereka atas suatu perkara sebagaimana larangan Rabbnya. Ia menerangi kegelapan yang masih bercokol di relung-relung jiwa manusia, membawa mereka dari kegelapan kepada cahaya (minazh-zhulumati ilan-nur). Mereka menyebutnya sebagai kyai, ustadz, guru ngaji, da’i, pendakwah, aktivis dakwah, atau sebutan lain yang serupa. Ia lantang meneriakkan tegaknya kebenaran dan robohnya kebathilan; memerintahkan kebaikan dan melarang berbagai bentuk kemaksiatan; nasehatnya mengena menghujam jiwa manusia.
Namun, tak banyak manusia tahu tentang bagaimana dirinya, bagaimana kehidupan sehari-harinya. Ia adalah manusia yang lupa dan lalai akan dirinya; meneriakkan tegaknya kebenaran tetapi ia lupa dan lalai untuk menegakkan kebenaran dalam dirinya; menginginkan robohnya kebathilan tetapi ia lupa dan lalai akan kebathilan dalam dirinya; memerintahkan kebaikan dan melarang kemaksiatan tetapi ia lupa dan lalai untuk memberlakukannya dalam diri.
Sungguh, firman Rabbnya terasa hambar tak mengena bagi dirinya, “mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri,” (QS.Al-Baqarah [2]: 44); ia tak berbeda jauh dengan kaum Bani Israel yang disindir oleh Rabbnya dalam ayat tersebut, meski di sisi kaum itu terdapat Al-Kitab (Taurat). Bahkan pertanyaan lain dari Rabbnya tak mampu mengusik jiwanya, “mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS. Ash-Shaf [61]: 2), padahal konsekuensi dari tindakan yang demikian adalah sangat buruk, yaitu kebencian yang amat besar di sisi Allah (kabura maqtan ‘indallah).
Dirinya bagaikan lilin yang menerangi kehidupan umat manusia, sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah Al-Azdi, “Perumpamaan orang yang mengajari manusia kebaikan, kemudian ia melupakan dirinya seperti lilin (siraj) yang menerangi orang lain tetapi membakar dirinya sendiri”. Perlahan namun pasti, dirinya terbakar akibat lupa dan lalai sebagaimana lilin. Akhirnya lilin itu mati, dan tak mampu lagi menerangi kehidupan umat manusia.
Adakah kita termasuk orang-orang yang demikian? Na’udzubillahi min-dzalik.
Terakhir, ada baiknya kita menyimak pesan Imam Syafi’i dalam sya’ir indahnya—dalam Kalam Hikmah Imam Syafi’i (judul asli: Mawa’idh Imam Syafi’i) karya Shalih Ahmad Asy-Syami—berikut ini:
Wahai yang menasehati manusia, mengapa kau melakukannya
Wahai umurnya yang dihitung dengan jiwa
Jagalah ubanmu dari aib yang kan mengotori
Karena sesungguhnya warna putih akan mudah tampak kotor
Bagai seorang yang mencucikan baju orang lain
Sedang bajunya sendiri tercelup ke dalam kubangan najis
Kau mencari keselamatan, namun tak kau tempuh jalan ke sana
Sesungguhnya bahtera itu tidak berlayar di atas daratan kering.
Wassalamu ‘ala manittaba’al-huda
Wallahu a’alamu bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar