Sabtu, 14 Mei 2011

“Pukullah Istrimu” dalam Perspektif Islam

“..Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan baik, bila kalian tidak menyukai mereka maka semoga apa yang tidak kalian sukai dari mereka padahal Allah menjadikan pada diri mereka kebaikan yang banyak…”(An-Nisa:19)

Sebelum datangnya islam di masa Jahiliyah , begitu hinanya harkat dan martabat wanita. Harkat dan martabat jatuh dan terpuruk pada titik nadir, berabad-abad lamanya dalam penantian, sambil menunggu datangnya cahaya langit yang menerangi Bumi dalam masa-masa kegelapan. Harkat dan martabat diinjak-injak, disayat-sayat dan dikubur. Sampai-sampai nyawa perempuan waktu itu tidak ada harganya. Sebuah kehinaan dan rasa malu bagi keluarga bila yang dilahirkan di dunia ini adalah seorang bayi perempuan yang tidak berdosa lagi suci. Mereka dikubur hidup-hidup. Menurut penulis sekiranya di zaman itu telah ada alat canggih seperti alat USG maka, mereka orang-orang jahiliyah akan menggugurkan janinnya ketika diketahui janinnya berjenis kelamin perempuan. Mereka yang membunuh bayi di masa jahiliyah maupun di masa sekarang atau dengan kata lain adalah Aborsi, mereka akan ditanya oleh Allah Swt seperti dalam Al-Qur’an disebutkan: “bi ayyi dzanbin qutilat?“ atas dosa apa mereka dibunuh?

Maka, Ketika datang islam, hak-hak asasi manusia kembali terangkat , harkat dan martabat perempuan berada di puncak yang tertinggi sama halnya dengan Laki-laki. Dunia menjadi bersinar kembali dari kegelapan dan penantian panjangnya. Rasulullah Saw dalam khotbahnya di padang arafah Beliau memberikan Garis-Garis Besar Haluan Islam yang berkaitan dengan persamaan status sosial dan hak hidup sebagai warga kosmopolitan. Tetapi, alangkah terkejut dan terperanjatnya kita, ketika menyaksikan begitu banyak peristiwa sadis yang dialami oleh wanita-wanita pencari kerja, ibu-ibu rumah tangga yang mengalami KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan lain-lain. Hak-hak asasi wanita kembali terkoyak dan praktek-praktek perbudakan kembali nampak.

Pada kesempatan kali ini, fokus pembahasan kita adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) khususnya kekerasan terhadap istri ditinjau dari kaca mata Syariah Banyak kejadian KDRT diakibatkan karena kurangnya komunikasi antara suami istri, ada juga karena rasa superioritas seorang suami atas istri, karena faktor ekonomi, tidak terpenuhinya Nafkah Lahir Batin dll. Perlu ditegaskan kepada para suami bahwa islam telah memberikan Dhawabith atau aturan main / batas-batas atas pemukulan terhadap istri Kapan pemukulan itu harus dilakukan dan seberapa kuat pukulan itu mendarat di tubuh wanita, ini yang seharusnya diketahui oleh para suami sehingga tidak terjadi lagi KDRT yang berakibat pada cedera nya istri atau sampai pada tingkat cacatnya salah satu organ tubuh.

Mari sama-sama kita renungi pesan-pesan kenabian dari Rasulullah Saw ketika beliau berkhotbah di padang arafah di waktu haji wada’/ Haji Perpisahan yang menjadi aturan main interaksi suami-istri: “…..dan Takutlah kalian kepada Allah Swt dalam diri perempuan, sungguh kalian laki-laki telah mengambil / menjadikan mereka-istri kalian dengan amanat dari Allah swt, dan sungguh kalian laki-laki minta dihalalkan kemaluan / kehormatan wanita dengan kalimat Allah swt (syahadat), kewajiban mereka (istri) terhadap kalian (suami) adalah mereka tidak dibolehkan memberi kesempatan tinggal di rumahmu kepada seseorang yang kalian tidak suka, jika mereka berbuat demikian maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas / membahayakan, sedangkan kewajiban kalian terhadap mereka adalah memberikan Nafkah dan Pakaian yang layak…”

Begitu juga kutipan ayat dalam surat an-nisaa ayat: 34 yang artinya: “…dan apabila kalian ( laki-laki ) takut akan Nusyuz ( ketidak taatan / keras kepala ) mereka ( istri ) maka berilah nasehat kepada mereka dan pisahkanlah ranjang serta pukul lah mereka, bila mereka taat kepada kalian maka janganlah mencari-cari celah untuk memukul mereka….”

Dua pertanyaan di atas, Kapan dan Seberapa berat pukulan yang harus diterima sorang istri, kiranya sudah terjawab pada Firman Allah swt dan Khotbah Rasulullah Saw diatas. Tapi di sini penulis ingin menjelaskan bahwa pemukulan atau dalam hal ini disebut dengan Ta’diib adalah kata bahasa arab dalam bentuk Masdar/Gerunds/ Verbal Nouns dari kata addaba-yuaddibu yang diartikan dalam bahasa keseharian orang Ternate adalah Kase Adaab Pa Dia (membuatnya beradab) terhadap istri itu harus beralasan serta berjenjang dan bertahap. Artinya ketika istrinya Nusyuz (keras kepala / berbuat dosa / tidak taat dan apa yang mencakup dari makna Nusyuz) maka Nusyuz menjadi alasan dilakukannya At-ta’diib At-tadarrujiy ( Per-adab-ban Berjenjang). Artinya untuk menjadikan seorang istri yang beradab, berakhlak mulia dan patuh perlu adanya penjenjangan.

Jadi, untuk mencapai tingkat pemukulan membutuhkan tahapan. Kalau kita perhatikan ayat diatas, tahapan yang dilaksanakan pertama adalah Nasehat, yaitu menasehatinya dengan Hikmah dan Mau’izhah Hasanah dan dengan ayat-ayat dan hadits targhiib wa tarhiib (menyenangkan dan menakutkan). Apabila dengan Nasehat tidak berefek, maka tahapan yang kedua adalah Pisah Ranjang, para ulama menafsirkan pisah ranjang meliputi tiga makna yaitu, 1. Tidak tidur bersama. 2. Tidak melakukan hubungan suami istri 3. Tidak berbicara dengannya kecuali hanya sekedarnya saja ( hal yang penting saja ) karena dalam islam tidak dibolehkan untuk tidak berbicara dengan seseorang diatas tiga hari. Seandainya ini juga tidak membuatnya jera maka tahap yang ketiga adalah Pemukulan, kalau kita perhatikan khotbah Rasulullah saw di Padang Arafah yaitu menjelaskan ayat dalam surat an-nisaa diatas tentang pemukulan, bahwasanya pemukulan terhadap istri mempunyai etika dan aturannya.

Etika dan aturanya menurut para Ulama adalah :

Pertama, seorang suami dilarang keras memukul istri di wajahnya.
Kedua, tidak dibolehkan seorang suami menjelek-jelekkan istrinya.
Ketiga, Pemukulan tidak boleh sampai membekas (min ghairi mubarrih) seperti tubuh membiru, melukai, apalagi sampai mencederai anggota tubuh. 

Dalam islam pukulan yang dimaksud adalah menepuk tiga kali punggung istri dengan lembut atau menepuknya dengan batang siwak secara perlahan tiga kali. Artinya, pukulan bukan untuk menyakiti apalagi sampai mencederai akan tetapi pukulan itu untuk memberi adab atau peringatan bahwa setelah itu adalah perpisahan. Sebagian ulama juga mengatakan seorang suami tidak perlu terburu-buru mengambil langkah ketiga. Ia seharusnya bersabar atas pembangkangan istrinya Kalau istrinya masih juga membangkan terus menerus barulah seorang suami mengambil langkah ketiga ini.

Menurut hemat penulis, bila semua suami-istri mengerti dan faham akan hak-hak dan kewajibanya serta mengetahui rambu-rambu dan aturan main dalam berumah tangga maka tidak akan ada yang namanya KDRT. Dalam sebuah Hadits Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang cinta dan sayang pada keluarganya dan Aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku“. Sudah sangat jelas firman Allah Swt kepada Rasulullah Saw: “…sekiranya Kamu (Muhammad) berkeras hati kepada mereka, maka mereka akan lari dariMu…” Penulis ingin menutup tulisan ini dengan mengutip sebuah atsar bahwa Rasulullah Saw mengatakan: “Tuhanku mengajarkan Aku adab maka Aku menjadi orang yang paling beradab.“ Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar