Jumat, 15 Juli 2011

#### KETIKA CINTA BERTASBIH ####

Khoirunnisa! Nama yang begitu indah! Seindah sang pemilik nama. Seindah akhlak wanita yang memiliki nama. Entah mengapa, nama itu kini terngiang terus di telinga Yogie. Wajah teduhnya selalu melintas dalam alam pikiran Yogie. Senyumnya yang tersipu malu ketika ta’aruf terus saja membayang dalam benak Yogie hingga terkadang membuat Yogie tersenyum-senyum sendiri saat mengingatnya.

Khoirunnisa! Kenapa baru sekarang Yogie mengenal mahasiswi jurusan PGMI semester akhir itu? Kenapa baru sekarang Yogie mengetahui ada seorang wanita berakhlak mulia seperti itu di kampusnya? Padahal Nisa telah lebih dahulu menuntut ilmu di kampusnya. Padahal Nisa adalah seorang aktivis. Ho..ho.. tentu saja! Tentu saja wanita sebaik Nisa dahulu luput dari perhatian Yogie. Dulu, sedikit pun Yogie memang tak pernah memperhatikan wanita-wanita berkerudung besar seperti Nisa meski mereka banyak berseliweran di kampus Yogie. Baginya, wanita-wanita berkerudung besar itu dahulu terlihat aneh di matanya, gak modis dan tak ada yang menarik sedikit pun. Padahal di balik kerudung besar wanita-wanita itu, tersimpan mutiara yang sangat berharga, yang tiada dapat tergantikan oleh apa pun di dunia ini, yang tak kan pernah terbayarkan oleh berapa banyak pun harta benda yang dimiliki.

Khoirunnisa! Siapa yang menduga sebelumnya, wanita sebaik itu bersedia berproses dengan Yogie, seorang mantan mahasiswa rusuh seperti dirinya, yang kini hanya seorang laki-laki penyakitan, yang entah berapa lama lagi ia dapat bertahan dengan penyakitnya itu. Bahkan, apakah ia sanggup bertahan hingga akad nikah dilaksanakan, Yogie tak tahu. Sungguh tak tahu! Begitu pula dengan Nisa. Tak ada yang pernah tahu kecuali Rabb yang telah menghidupkan mereka dan yang akan mematikan mereka pula kelak.

Tapi Nisa, dengan segenap ketulusannya, tidak mempedulikan penyakit Yogie itu. Tak peduli berapa lama lagi Yogie masih akan bertahan. Tak peduli apakah Yogie sanggup memproses hingga singgasana pernikahan nantinya. Ia hanya peduli sosok Yogie yang sekarang, yang begitu tawakalnya menerima cobaan penyakitnya, yang tetap memperjuangkan cita-citanya, yang tetap optimis dan tak putus asa menatap masa depannya, yang dengan penyakitnya itu justru membuat Yogie berhijrah hingga menjadi seorang ikhwan yang solih seperti sekarang.

“Ya, Rabb. Betapa beruntungnya aku jika aku bisa menikahi wanita semulia itu. Sungguh Maha Besar Engkau ya, Allah. Nikmat-Mu yang manakah yang hendak ku dustakan?,” lirih Yogie selepas shalat Maghrib. Hatinya dipenuhi oleh rasa syukur yang tiada terkira pada Rabb-nya. Lalu dibiarkannya air matanya yang sejak tadi tergenang di pelupuk matanya, berjatuhan di atas sajadahnya bersama senandung zikir yang terurai dari bibirnya.



*****


Usai makan malam, Yogie mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang tengah. Ia berniat menyampaikan ikhwal dirinya yang ta’aruf dengan seorang akhwat di kampusnya. Dan juga untuk membicarakan proses selanjutnya yang kemungkinan tidak akan menunggu waktu lama, apalagi sampai memakan waktu berbulan-bulan. Yogie dan Nisa sepakat untuk menyegerakan khitbah dan walimah mereka. Semua itu mereka putuskan bukan hanya mengingat penyakit yang bersarang di tubuh Yogie, tapi juga karena mereka berharap, Ramadhan yang tidak lama lagi datang, dapat mereka lewati bersama-sama sebagai sepasang suami istri.^_^’

“Alhamdulillah..,” ucap Pak Yusuf, Bu Renna dan Dika berbarengan usai Yogie memberi tahu keluarganya.

Berbeda dengan yang lain, Fisha sedikit lebih heboh.

“Wah, Kak Yogie begini-begini ternyata lebih hebat dari Kak Dika!
Selamat ya, Kak,” cerocos Fisha seperti biasa. “Cepetan nikahnya, Kak. Gak usah pake mikirin Kak Dika, gak usah pake nunggu-nunggu Kak Dika. Langkahin aja Kak Dika biar Kak Dika ngiri!,” sambung Fisha sambil menjulurkan lidah ke arah Dika.

“Kak Dika gak ngiri tuh! Kak Dika sengaja ngalah, sengaja gak buru-buru, nunggu kelar skripsi dulu, wisuda baru deh meminang sang ‘Aisyah,” sahut Dika cepat sambil membalas menjulurkan lidah ke arah Fisha.

“Ih, pake ngeles! Bilang aja iya, nanti Fisha bantuin cariin deh!,” ledek Fisha lagi.

“Terima kasih. Tapi kalo kamu yang cariin, Kak Dika gak yakin deh.”

“Gak yakin apa, Kak?,” tanya Fisha heran.

“Gak yakin bakal dapat sesuai selera Kak Dika. Karena pilihan kamu, seleranya pasti seperti selera kamu. Selera kamu kan gini..,” Dika mengacungkan jempolnya ke arah bawah.

Fisha bersungut kesal.

Namun Dika justru tersenyum penuh kemenangan.
Pak Yusuf dan Bu Renna hanya senyum-senyum melihat tingkah kedua anaknya itu. Mereka berharap, kehangatan seperti itu dapat terus terasa di dalam keluarga itu setiap harinya. Dan dengan kehadiran Yogie di tengah mereka tentunya.

“Oh ya, tadi aku baru dapat info dari teman, katanya di lembaga bimbel tempatnya mengajar, sedang membutuhkan guru bimbel untuk bidang studi fisika. Nah, Yogie kan jago fisika, pasti bisa kan ngajar fisika? Untuk pengajar baru, mungkin belum seberapa dibandingkan yang sudah mengajar di sana cukup lama, tapi ya lumayanlah. Jam kerjanya pun bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah. Gimana? Kamu bersedia, Gie?,” ujar Dika ketika suasana sudah kembali tenang.

“Terima saja, Gie. Itu pekerjaan yang tidak terlalu menguras fisik. Lagi pula waktunya bisa diatur,” saran Bu Renna pada Yogie yang diikuti anggukan kepala Pak Yusuf.

Yogie tersenyum.

“Insya Allah, Bu. Akan saya pertimbangkan. Hanya saja, masih ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi selain masalah ma’isyah.”

“Apa?,” tanya Bu Renna cepat.

“Masalah khitbah,” jawab Yogie tanpa ragu.

“Khitbah? Maksudnya?,” tanya Bu Renna tidak mengerti maksud Yogie.

Dika tersenyum pada Bu Renna.

“Maksudnya pinangan, Bu. Keluarga pihak laki-laki datang ke keluarga pihak perempuan untuk meminang gadis yang hendak dinikahi anak laki-lakinya,” jawab Dika menjelaskan.

“Oh, lamaran?,” simpul Bu Renna. Istilah lamaran memang lebih dikenalnya dibandingkan dengan istilah khitbah atau pun pinangan.
Dika dan Yogie hanya tersenyum mengiyakan.

“Bu, saya ingin bisa segera menikah. Kalau bisa, ketika Ramadhan datang, kami sudah menikah,” Yogie mengungkapkan keinginan hatinya.

“Cieeeee, udah gak sabar nih ceritanya?! Pengen pengantin baruan di bulan Ramadhan ya, Kak. Duuuuh, pasti romantis!,” sambar Fisha tiba-tiba.

“Hus! Anak kecil sebaiknya diam dulu!,” tegur Dika pada adiknya.
Fisha merengut.

“Ye, bilang aja ngiri!,” celetuknya.

“Bukan masalah ngiri, ini masalah serius, jangan main-main dan comel kaya’ gitu!,” ucap Dika mengingatkan.

Fisha tak menyahut lagi. Tapi wajahnya jadi ditekuk hingga terlihat aneh. Yogie pun mengulum senyum melihat wajah adiknya itu.

“Bagaimana? Tak perlu acara yang megah, yang terpenting kami berdua sudah sah secara hukum agama dan hukum negara. Tapi kalau Ayah dan Ibu tetap ingin mengadakan walimah, sebaiknya setelah Ramadhan saja dan itu pun kalau Ayah dan Ibu memang sanggup melaksanakannya. Kalau tidak bisa, cukup syukuran sederhana dengan mengundang tetangga dan saudara dekat saja,” ujar Yogie kemudian.
Pak Yusuf dan Bu Renna saling berpandangan. Keduanya pun kemudian tersenyum.

“Kami setuju, Nak. Insya Allah besok lusa kita datang ke rumah gadis itu untuk melamarnya secara resmi. Jika mereka setuju, akad nikah akan dilangsungkan beberapa hari sebelum Ramadhan,” jawab Pak Yusuf mengamini keinginan putranya.

“Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu. Insya Allah besok saya akan datang untuk menemui orang tua gadis itu, jika orang tuanya setuju, lusa kita datang ke rumahnya dan meminangnya,” sahut Yogie bahagia.
Pak Yusuf dan Bu Renna menangkap pancaran kebahagiaan di wajah Yogie. Hati mereka pun ikut pula merasakan kebahagiaan yang sedang putra mereka rasakan. Sungguh bagi mereka tak ada yang lebih berharga selain melihat sang anak tercinta berbahagia seperti itu. Apa pun rela mereka lakukan, asalkan Yogie merasakan bahagia di sisa hidupnya yang entah tinggal berapa lama lagi. T.T



*****



Yogie dan keluarganya telah duduk manis di ruang tamu rumah Nisa. Berbagai macam hidangan pun telah disediakan di hadapan mereka. Pak Hamzah dan 3 putranya juga telah hadir di situ, menemani Pak Yusuf dan keluarganya berbincang sambil menunggu Nisa dan ibunya datang. Keduanya masih sibuk berhias diri setelah tadi sibuk menyiapkan hidangan di dapur.

Suasana terlihat akrab malam itu meski dua keluarga itu belum saling mengenal sebelumnya. Sehingga dalam sekejap saja, mereka sudah seperti saudara yang saling merindu karena lama tidak saling bersua.
10 menit menunggu, Nisa dan ibunya datang juga di ruang tamu rumah mereka. Bu Siti, ibu Nisa mengenakan kebaya muslim berwarna coklat muda. Sedang Nisa….. Yogie sempat melirik sebentar ke arah Nisa ketika mereka baru memasuki ruang tamu. Nisa memakai gamis berwarna oranye muda berhiaskan sulaman bunga-bunga serta jilbab panjang dengan warna senada. Selain itu, malam itu Nisa terlihat berbeda dari biasanya. Ia memoles wajahnya dengan bedak dan sedikit perona pipi di wajahnya, juga lipstick berwarna merah muda yang dipakainya tipis-tipis di bibirnya.

“Subhanallah!,” gumam Yogie di hati kecilnya begitu melihat Nisa yang tak hanya tampak segar berseri, tapi juga cantik dan anggun malam itu.

Untunglah Fisha cepat-cepat mencubit tangan Yogie sehingga Yogie cepat-cepat tersadar dan menundukkan kepalanya kembali. Namun kilasan pandangan tadi membuat jantung Yogie berdegup sangat kencang. Seluruh tubuhnya terasa lemas seketika. Lebih lemas dari pada sewaktu ia merasakan sakit di tubuhnya akibat kanker yang menggerogotinya. Mulutnya pun terasa kelu. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Dan ada yang terasa geli di dalam perutnya, namun ia tak tahu itu apa.

Meskipun begitu, Yogie berusaha sedapat mungkin menguasai dirinya agar tetap dapat bersikap tenang dan sewajarnya. Jika tidak, bisa-bisa ia menjadi bahan tertawaan orang-orang di ruangan itu.

Malam itu, dengan izin Allah semuanya berjalan dengan lancar. Pembicaraan dua keluarga itu pun berlangsung dengan hangatnya. Dan malam itu pula, dua keluarga itu sepakat untuk melangsungkan pernikahan Yogie dan Nisa pada hari Sabtu terakhir sebelum bulan Ramadhan. Meski hanya tersedia waktu kurang dari 3 pekan, mereka yakin waktu yang singkat itu cukup untuk mempersiapkan pernikahan Yogie dan Nisa.

Sebelum berpamitan, Yogie kembali melayangkan pandangannya ke arah Nisa yang duduk di sebelah ibunya.

“Subhanallah,” gumam Yogie lagi. Hatinya terasa berdesir pelan begitu melihat wajah Nisa yang memerah dan tersipu malu.

“Bidadariku….
Andai kau tahu
Betapa anggunnya dirimu
Betapa cantiknya parasmu
Betapa indahnya wajahmu
Keanggunan yang dibingkai oleh kesolihanmu
Kecantikan yang dibalut oleh mulianya akhlakmu
Keindahan yang terpancar oleh kelembutan jiwamu
Andai kau tahu…
Betapa diriku mengagumimu
Betapa ku tlah terpesona olehmu
Betapa ku sangat bersyukur jika dapat menyuntingmu
Betapa beruntungnya aku jika dapat memilikimu
Betapa bahagianya aku jika dapat bersamamu
Ya Allah ya Tuhanku…
Sampaikanlah aku pada batas waktu
Batas waktu dimana ia kan bersamaku slalu
Batas waktu dimana ia kan temani perjuanganku
Batas waktu dimana ia kan hapus segala duka dan letihku
Bidadariku…
Biarlah rinduku
Tersimpan manis dalam hatiku
Hingga nanti ku labuhkan rinduku
Hanya pada dirimu,”
Ujar Yogie merangkai puisi dalam perjalanan pulang dari rumah Nisa. ^_^’



*****


Detik-detik yang dilalui Yogie, kini penuh dengan kebahagiaan. Yogie seolah telah melupakan penyakitnya. Ia begitu semangat mempersiapkan pernikahannya yang tidak lama lagi. Bahkan meski kini waktu luangnya tersita karena pekerjaan yang baru saja ditekuninya. Ya, Yogie memang telah bekerja kini. Ia menerima tawaran Dika untuk mengajar fisika di sebuah tempat bimbel. Ia tidak mengeluh sedikit pun. Segala letih seolah tiada dirasakannya. Ia benar-benar bersemangat menjemput ma’isyah demi ‘aisyah tercinta.

Namun, entah mengapa Yogie merasakan sebuah kejanggalan beberapa hari belakangan. Kejanggalan yang dirasakannya karena ada sesuatu yang tidak biasa terjadi. Tidak biasa terjadi oleh kakak terhadap adiknya.

Dika! Entah mengapa Yogie merasa sikap Dika sangat tidak biasa beberapa hari ini. Ia terlihat murung. Bahkan ia terlihat tidak bersemangat jika Yogie mengajaknya membicarakan persiapan pernikahan Yogie. Padahal Dika yang pada awalnya sangat mendukung Yogie untuk menikah, Dika pula yang bersemangat mencarikan jodoh untuk Yogie. Tapi kini, ketika semuanya hampir terwujud, tiba-tiba sikap Dika berubah drastis. Entah ada apa sebenarnya. Tidak relakah Dika jika Yogie mendahuluinya menikah? Tapi bukankah Dika sendiri yang mempersilahkan Yogie untuk mendahuluinya?

Yogie tercenung sendiri. Mungkin dulu, ketika semuanya masih hanya berupa impian, mudah bagi Dika mengucapkan seperti itu. Tapi kini, ketika semuanya segera terwujud nyata, bukan hal yang tidak mungkin ada segurat kesedihan di dalam hati Dika, bukan tidak mungkin Dika merasa iri pada adiknya. Ya, bukan tidak mungkin! Karena Dika hanyalah seorang manusia biasa, yang bisa merasakan sakit, perih, gembira, sedih dan berbagai perasaan yang lainnya.

“Astaghfirullah….aku tidak boleh su’uzhan pada kakakku sendiri,” ujar Yogie segera tersadar.

Ia segera bangun dari kursi dan melangkah ke kamarnya. Yogie menoleh sesaat ke dalam kamar Dika yang ketika ia melintas, pintunya sedikit terbuka. Tak ada seorang pun di dalam sana. Hanya tampak komputer yang masih terlihat menyala dan ditinggalkan Dika begitu saja. Mungkin Dika sedang pergi ke kamar mandi dahulu. Begitu pikir Yogie. Yogie masuk ke dalam kamar Dika yang kosong. Ia ingin mencoba berbicara dengan Dika agar jelas apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Yogie mendekati meja komputer Dika. Matanya tertuju pada layar monitor komputer yang masih menyala. Ada uraian kalimat yang muncul di sana. Yogie pun membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana, termasuk sebait puisi yang terangkai di sana.


“Biar ku rasakan perih ini sendiri
Biar ku simpan luka ini sendiri
Biar ku nikmati pedih ini sendiri
Karena mungkin memang harus begini
Karena mungkin memang ini yang harus ku jalani
Karena mungkin memang sudah takdir Illahi
Duhai bidadari,
Ku ikhlaskan dirimu untuk orang yang sangat ku cintai
Ku relakan dirimu dimiliki orang yang sangat ku kasihi
Karena ku percaya inilah yang terbaik yang harus dijalani
Karena ku percaya pada segala ketetapan Illahi Rabbi”

Yogie terhenyak membacanya. Sungguhkah itu puisi buatan Dika? Jika benar, siapa yang dimaksud dengan bidadari? Apa mungkin Nisa? Apa mungkin diam-diam Dika jatuh hati dengan Nisa? Jika tidak, kenapa Dika menulis puisi seperti itu?

Yogie menarik napas sesaat. Ia tak ingin terus menduga tanpa pasti. Tak ingin terus-menerus berprasangka pada kakaknya sendiri. Ia harus menanyakannya langsung pada Dika. Yah, bertanya sendiri pada Dika!

“Yogie..?!,” ujar Dika terkejut begitu mengetahui Yogie sedang berada di dalam kamarnya dan sedang membaca isi tulisan yang ada di komputernya.

Yogie tersenyum dan berusaha bersikap tenang.

“Maaf, Kak. Tadi pintu kamar Kak Dika terbuka, jadi aku ….,” Yogie belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Dika sudah keburu memotongnya.

“Kamu baca file Kakak?.”

Yogie tidak langsung menjawab. Ia tertunduk dan duduk di tepi tempat tidur Dika. Sedangkan Dika, menatap Yogie dengan tajamnya seraya menanti jawaban Yogie.

“Iya, Kak,” jawab Yogie pelan.

Dika menghela napas mendengarnya.

“Kak, apa maksud puisi Kak itu? Siapa bidadari yang Kak Dika maksud? Apa itu Nisa? Apa itu Nisa calon istriku?,” tanya Yogie kemudian, tak bisa menahan rasa penasarannya.

Dika tidak menjawab. Ia hanya terdiam mematung.

“Kak, sikap Kak Dika terlihat aneh sejak kita datang ke rumah Nisa. Kak Dika sepertinya tidak gembira dengan rencana pernikahanku. Kenapa, Kak?,” tanya Yogie lagi. “Ada apa sebenarnya, Kak? Katakanlah!.”

Dika kembali menghela napas. Lalu ia duduk di samping Yogie.

“Apa Nisa, bidadari yang dimaksud dalam puisi Kak Dika?,” selidik Yogie lagi.

Dika mengangguk pelan. Membuat Yogie terkejut bukan main mengetahuinya.

“Bagaimana bisa? Sepertinya kemarin Nisa tidak mengenali Kak Dika?.”
Dika tersenyum tipis.

“Kak Dika mengenalnya lewat tulisan-tulisannya di buletin Al-Hijrah yang sering diperlihatkan Bahrul. Tulisannya sangat bagus dan mengena. Belakangan, Kak Dika mencoba mencari tahu tentang Nisa dari Bahrul dan teman-temannya yang lain. Dan semakin Kak Dika mengetahui tentang Nisa, membuat Kak Dika semakin yakin, dialah wanita yang tepat untuk mendampingi hidup Kak Dika. Awalnya, Kak Dika berniat meminangnya setelah wisuda nanti. Tapi ternyata, kamu telah lebih dulu meminangnya. Sungguh semuanya di luar dugaan Kak Dika,” ungkap Dika pada adiknya.

“Kak, maafkan aku. Aku sungguh gak tahu Kak Dika hendak melamar Nisa. Kalau saja aku tahu, pasti tidak akan ku turuti saran Bahrul untuk meminangnya meski ku tahu Nisa bersimpati padaku,” ujar Yogie kemudian dengan raut wajah penuh penyesalan.

“Sudahlah, Gie. Itu sudah terjadi dan yang pastinya bukanlah sebuah kebetulan, tapi sudah diatur oleh yang Maha Memiliki rencana. Gie, tak ada gunanya lagi menyesal. Kamu gak boleh membatalkan pinangan hanya demi untuk menjaga perasaan Kak Dika. Dan kak Dika pun gak mau zhalim dengan memintamu membatalkan pinanganmu pada Nisa.”

“Lantas?.”

“Teruskanlah proses ini hingga ia halal untuk kamu miliki,” jawab Dika tanpa ragu.

“Lalu bagaimana dengan Kak Dika?.”

“Insya Allah Kakak akan baik-baik saja. Jika memang saat ini Kakak masih merasa sakit, itu manusiawi karena Kakak cuma manusia biasa. Tapi percayalah, rasa sakit ini hanyalah sementara. Suatu saat luka di hati Kakak ini akan sembuh dan terobati. Percayalah!,” jawab Dika seraya tersenyum, berusaha meyakinkan hati Yogie

Yogie mengangguk perlahan.

“Gie, suatu hari…. Kak Dika pasti dipertemukan dengan bidadari yang Allah berikan buat Kakak. Dan aku yakin bidadari itu adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untuk Kakak. Maaf ya atas sikap kak Dika beberapa hari ini,” sambung Dika.

Yogie balas tersenyum pada Dika meski matanya masih sembap oleh air mata.

“Terima kasih, Kak. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih telah berbesar hati untukku. Semoga Allah memberikan yang lebih baik buat Kak Dika. ” ujarnya kemudian.

Keduanya pun saling berpelukan erat. Tak ada yang mengira kalau kakak beradik itu mendambakan wanita solihah yang sama. Tak ada yang menduga mereka telah jatuh cinta pada wanita yang sama.
Sepertiga malam yang sunyi. Yogie dan Dika melaksanakan qiyamul lail bersama. Dalam dinginnya udara malam, keduanya menghangatkan jiwa-jiwa mereka dengan senandung doa dan zikir-zikir cinta pada Rabb yang telah menciptakan mereka, kepada Maha cinta yang Maha memiliki cinta.

“Ya Allah
jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang
yang melabuhkan cintanya padaMu,
agar bertambah kekuatanku untuk mencintaiMu...
Ya Muhaimin,
jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang
yang hatinya tertaut padaMu
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta nafsu...
Ya Rabbana ,
jika aku jatuh hati jagalah hatiku padanya
agar tidak berpaling daripada hatiMu.....
Ya Rabbul Izzati ,
jika aku rindu ,
rindukanlah aku pada seseorang
yang merindui syahid di jalan Mu....
Ya Allah ,
jika aku menikmati cinta kekasihMu
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan
indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirMu...
Ya Allah ,
jika aku jatuh hati pada kekasihMu
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh
dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepadaMu....
Ya Allah
jika Kau halalkan aku merindui kekasihMu
jangan biarkan aku melampaui batas
sehingga melupakan aku pada cinta hakiki
dan rindu abadi hanya kepadaMu..... Amin... Ya Rabbal Alamin”

######NANTIKAN KU DI BATAS WAKTU######

Yogie kembali menapaki langkah kakinya di kampus. Sudah satu minggu ia kembali kuliah setelah ia meninggalkan kuliahnya selama 3 bulan lamanya demi untuk belajar di pondok pesantren. Yogie memutuskan untuk kembali kuliah karena tak ingin tenggelam dalam kedukaan. Ia ingin tetap optimis menatap masa depannya, meraih segala cita dan mimpinya. Tak peduli berapa pun sisa usia yang masih dimilikinya, Yogie tak ingin menyerah, tak ingin berputus asa. Ia akan terus mengejarnya meski mungkin harus tertatih berjalan. Dan ia sangat bersyukur karena keinginannya untuk kembali kuliah terasa begitu dimudahkan. Bahkan ia dapat mengikuti ujian akhir semester yang hanya tinggal beberapa minggu lagi meski harus berusaha keras mengejar ketertinggalan materi kuliahnya sendiri.

Bisa kembali ke bangku kuliahnya, membuat Yogie lebih bersemangat lagi menjalani hidupnya. Meski mungkin usianya tak lama lagi, dengan kembali kuliah, Yogie merasa hidupnya masih sangat lama. Ia juga merasa kalau begitu banyak harapan yang membentang di hadapannya. Harapan yang menyinari terang langkah kakinya.

Namun, sejak Yogie kembali menjalani aktivitas kuliahnya, diam-diam ia menjadi bahan perbincangan teman-teman sekampusnya. Terutama teman-teman satu tongkrongannya yang biasanya kumpul bareng dan balapan motor dengannya. Mereka semua merasa aneh dengan perubahan yang terjadi pada diri Yogie sejak kembali ke kampus. Yogie yang sekarang penampilannya jauh berbeda dengan sebelumnya. Bila dulu ia lebih senang memakai kaos ngepres, celana jeans belel dan jaket hitam, Yogie yang sekarang lebih suka memakai kemeja, celana ngatung dan jenggot tipis menghias dagunya dengan potongan rambut yang tersisir rapih. Selain itu, Yogie yang sekarang lebih suka nongkrong di Masjid atau di perpustakaan ketimbang nongkrong di kantin dengan teman-temannya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca buku atau bertilawah dari pada berbincang tak karuan dengan teman-temannya. Selain itu, Yogie tak pernah ketinggalan shalat berjama’ah di Masjid. Padahal sebelumnya, jangankan shalat berjama’ah di Masjid, seorang Yogie sampai mau shalat pun benar-benar sebuah keajaiban. Perubahan Yogie yang begitu drastis sungguh membuat orang-orang yang mengenalnya terheran-heran.

Bukan hanya teman-teman Yogie satu jurusan atau pun yang dahulu dekat dengannya yang merasa heran, tanpa disadari Yogie, perubahan perilaku dan penampilannya juga menarik perhatian para aktivis mahasiswa di kampusnya yang selama ini dikenal sebagai mahasiswa yang seenaknya dan sebagai jagonya jalanan. Diantaranya para aktivis yan merasa heran itu antara lain adalah Bahrul dan Nisa. Keduanya merupakan reporter Al-Hijrah, buletin dakwah di kampus Yogie. Mereka yakin ada sesuatu di balik semua perubahan Yogie dan pastinya kisah itu sangat menarik dan akan sangat menginspirasi orang lain.

Suatu ketika, usai shalat Zuhur berjama’ah, Yogie dan Bahrul bersalaman. Bahrul pun tak melewatkan kesempatan itu. Bahrul mengajak Yogie berbincang di beranda Masjid. Tentu saja tidak langsung menanyakan perubahan yang terjadi pada Yogie. Ia berusaha mengakrabkan diri terlebih dahulu dengan Yogie.
Awalnya, Bahrul menanyakan kabar Dika. Meski beda kampus, Bahrul mengenal kakak Yogie itu karena sama-sama aktif dalam KAMMI. Setelah itu, ia mengajak Yogie membicarakan masalah kuliahnya. Begitu benar-benar akrab, beberapa hari kemudian barulah Bahrul mulai mencari tahu motif di balik semua perubahan Yogie. Tanpa ragu, Yogie pun menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dari sejak ia mulai sering tak sadarkan diri lalu dinyatakan mengidap kanker dan memutuskan menghabiskan sisa waktunya di pesantren hingga ia memutuskan untuk kembali ke bangku kuliahnya.

Bahrul menyimak kisah Yogie dengan penuh haru dan takjub. Ia pun meminta kesediaan Yogie untuk mempublikasikan kisahnya itu di buletin Al-Hijrah karena begitu banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah hidupnya itu. Awalnya Yogie menolak karena khawatir akan menimbulkan ujub dan riya’ pada dirinya atau pun mengundang rasa iba teman-teman sekampusnya. Namun dengan bujukan Dika, Yogie pun bersedia juga membagi kisahnya itu dengan teman-teman sekampusnya. Yogie pun menceritakan kembali kisahnya pada Bahrul dan juga Nisa yang ikut pula mewancarai dirinya.

Tepat di awal Juli, ketika seluruh mahasiswa menghadapi ujian akhir semester, hasil wawancara Yogie langsung dimuat di buletin Al-Hijrah Yogie. Bahkan wajah Yogie dimuat di halaman depan buletin itu. Tak ayal, Yogie segera saja menjadi buah bibir seluruh mahasiswa di kampusnya. Ia seperti artis yang tiba-tiba menjadi terkenal karena sebuah pemberitaan yang sangat menghebohkan. Buletin Al-Hijrah juga diserbu mahasiswa-mahasiswa yang biasanya enggan membaca buletin Islami seperti itu dan lebih memilih membaca tabloid atau majalah infotainment. Mereka semua penasaran dengan pemberitaan mengenai Yogie, mahasiswa brutal yang tiba-tiba berubah alim setelah terkena penyakit kanker sehingga baru benar-benar percaya setelah membaca sendiri artikel tersebut.

Namun dampak dari pemberitaan Yogie di buletin Al-Hijrah, bukan hanya membuat Yogie mendadak terkenal saja. Dampak lain yang dirasakan Yogie adalah banyak mahasiswa dan dosen yang menaruh simpati padanya karena akhirnya mereka semua mengetahui penyakit yang bersarang di tubuh Yogie. Mereka pun menjadi lebih perhatian pada Yogie. Selain itu, teman-teman yang dahulu dekat dengan Yogie dan sempat menjauh ketika melihat Yogie berubah, kini tidak lagi menjauhi Yogie. Perlahan, justru mereka mengikuti jejak Yogie dengan mengubah penampilan, tak lagi banyak nongkrong dan main-main lagi, bahkan menjadi sering hadir dalam kegiatan dakwah di kampusnya. Masjid kampus Yogie pun menjadi lebih banyak di penuhi jama’ah kini. Mereka seolah tertulari aroma wangi tubuh Yogie.

Semua respon itu sungguh sangat di luar dugaan Yogie, Bahrul atau pun Nisa. Mereka tak mengira akan berdampak sebesar itu di kampusnya hingga membuat dakwah kampus mereka semakin semarak dan para aktivisnya menjadi kian bersemangat pula. Tentu saja, Yogie sangat bersyukur. Benar-benar bersyukur. Karena penyakitnya, tidak hanya menjadi pintu hidayah bagi dirinya, tapi juga bagi teman-teman sekampusnya. Penyakitnya telah menginspirasi dan memotivasi begitu banyak orang. Subhanallah! Andai ia harus menghadapi sakaratul maut saat itu karena kanker di tubuhnya, Yogie pun rela. Sangat rela! Karena akhirnya, penyakitnya telah memberikan kebaikan pada banyak orang. Sungguh, sedikit pun, tak ada penyesalan di dalam hatinya telah mengidap penyakit ganas itu. Ia justru bersyukur dan terus bersyukur pada Rabb yang Maha Berkehendak.


*****

Yogie sedang asyik sendiri menghafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an ketika Dika masuk ke dalam kamarnya. Sehingga ia pun tak menyadari kedatangan kakaknya itu kalau saja Dika tidak menepuk pundaknya pelan. Menghafal Al-Qur’an memang menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi Yogie sekarang. Sedikit pun ia tidak merasa berat atau pun menjadikannya beban. Yogie menikmati tiap ayat yang dihafalnya. Ya! Sangat menikmatinya!

“Maaf kalau Kakak mengganggu,” ujar Dika begitu Yogie berhenti menghafal sejenak.

Yogie tersenyum.

“Gak apa, Kak.”

“Sudah hafal berapa juz?,” tanya Dika ingin tahu.

“Insya Allah, beberapa ayat lagi akan genap 10 juz, Kak,” jawab Yogie tanpa sedikit pun merasa ingin memamerkan banyaknya hafalannya pada Dika.

“10 juz? Dalam waktu 4 bulan? Subhanallah! Kakak yang sudah bertahun-tahun menghafalkan Al-Qur’an saja belum bisa sampai 10 juz. Bahkan ketinggalan jauh banget sama kamu.”

Yogie kembali tersenyum teduh.

“Alhamdulillah terbiasa saat di pondok, Kak,” jawab Yogie merendah.

Dika balas tersenyum.

“Alhamdulillah. Semoga ini menjadi penyemangat Kakak supaya bisa mengejar hafalan Kakak.”

“Amin,” Yogie mengaminkan.

“Masih ingat obrolan di mobil waktu itu? Saat dalam perjalanan pulang dari pondok?,” tanya Dika kemudian.

“Obrolan yang mana, Kak? Waktu itu kita membicarakan banyak hal kan?,” tanya Yogie tidak mengerti apa yang dimaksud kakaknya.

“Ketika Fisha menanyakan apa keinginan kamu jika masih diberi kesempatan hidup beberapa bulan lagi. Waktu itu kamu bilang kamu ingin menikah. Betul, kan?.”

“Oh, itu!,” Yogie menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Bibirnya tersenyum kecil mengingat perbincangan waktu itu.

“Memangnya kenapa, Kak?,” Yogie justru balik bertanya.

“Apa kamu sungguh-sungguh ingin menikah?.”

“Maksud Kakak?.”

“Maksud Kakak, apa kamu benar-benar berniat menikah?.”

Yogie tersenyum dan malah balik bertanya lagi.

“Menurut Kakak?.”

“Lho kok menurut Kakak? Yang tahu itu kan kamu!.”

“Lalu kalau sudah berniat?.”

“Ya, kalau memang sudah berniat dan sudah merasa siap, Kakak mau membantu mencarikan calonnya buat kamu.”

“Oh….,” jawab Yogie datar sambil menyengir.

“Bagaimana?.”

Yogie menutup Al-Qur’an yang sejak tadi masih dipegangnya dan diletakkannya di atas rak buku di pojok kamarnya.

“Kak, kalau menanyakan soal niat, aku benar-benar berniat, Kak. Aku gak mau mati dalam keadaan membujang, Kak. Tapi….”

“Tapi apa?.”

“Ada yang membuat aku merasa belum siap.”

“Apa?.”

“Ma’isyah, Kak. Kakak tahu dulu aku cuma bisa menghambur-hamburkan uang, gak tahu bagaimana caranya menghasilkan uang. Aku bukan anak yang mandiri seperti Kakak, yang meski sedikit, sudah mampu mendapatkan uang. Lagi pula, aku masih kuliah. Masih dibiayai pula oleh orang tua. Bagaimana nanti aku akan menafkahi istriku, Kak?.”

Dika tersenyum mendengarnya. Jadi itu yang dicemaskan oleh adiknya.

“Gie, Kakak sudah bicara sama Ayah dan Ibu, mereka akan mendukung niatmu itu. Mereka akan tetap membiayai kuliahmu sampai lulus. Kakak juga akan membantu kamu mencarikan jalur ma’isyah buat kamu insya Allah. Walau tidak seberapa, yang terpenting kamu berusaha menjemput rezekimu sendiri. Kalau memang masih belum mencukupi, Ayah akan membantu kamu sampai kamu bisa mencukupinya. Soal tempat tinggal, kamu bisa tinggal di rumah ini sampai kamu bisa benar-benar mandiri.”

“Tapi, Kak. Aku gak mau merepotkan Ayah dan Ibu lagi. Aku gak mau bergantung pada mereka lagi jika aku sudah menikah nanti.”
“Kakak mengerti, Gie. Itu hanya untuk di awal pernikahan saja, selama kamu masih belum dapat mandiri dan masih kuliah. Setelah kamu lulus dan merasa mampu mencukupi semuanya sendiri, tentu saja kamu gak boleh bergantung lagi pada orang tua. Gie, yang terpenting, kamu gak lelah berusaha mencari penghasilan kamu sendiri. Dan Kakak, insya Allah akan bantu kamu, Gie.”

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Kak. Terima kasih sudah dengan penuh kerelaan hati aku langkahi. He…he…,” sahut Yogie seraya tertawa kecil mencandai Dika.

“Huh! Dasar! Ini gak gratis. Harus ada pelangkahnya. Dan kamu harus memberikan pelangkah yang Kakak minta. Tidak boleh tidak!,” ujar Dika.
“Yee..aturan dari mana tuh! Kalau pun mau ngasih pelangkah, itu harus dengan kerelaan dan kemampuan yang melangkahi donk! Kalau kakak minta bulan, masih aku harus ngasih. Mana aku sanggup, Kak,” canda Yogie lagi.

“Siapa juga yang mau minta bulan!,” Dika menjitak kepala Yogie pelan.

Yogie berhenti tertawa. Ia menatap Dika dengan wajah yang berusaha diserius-seriuskan.

“Memangnya Kakak mau pelangkah apa dari aku? Nanti aku nabung deh dari jauh-jauh hari biar bisa ngasihin Kakak pelangkah yang Kakak mau,” kata Yogie sambil sedapat mungkin menahan tawanya.

Wajah Dika tiba-tiba berubah menjadi sangat serius. Ia tidak peduli pada mimik muka Yogie yang terlihat aneh karena menahan tawa.

“Gie, yang Kakak ingin cuma satu. Cuma satu, Gie! Kakak ingin kamu tetap hidup. Kakak mau kamu terus hidup sampai nanti kamu memiliki anak-anak, bahkan sampai nanti kamu memiliki banyak cucu. Cuma itu, Gie. Cuma itu. Kakak gak mau yang lain lagi,” jawab Dika lirih. Lalu didekapnya Yogie erat-erat. Tangisnya pun mengucur deras dari kedua matanya.

“Kak, maafkan aku. Kalau itu permintaan Kakak, aku gak bisa janji akan dapat memenuhinya. Hidup matiku ada di tangan Pemilik nyawaku, Kak. Bukan di tanganku. Kakak tahu itu,” sahut Yogie terisak.

“Kak, aku sudah merelakan penyakitku ini. Betapa pun usia yang Allah berikan padaku, aku pun sangat ikhlas, Kak. Sudahlah! Ikhlaskanlah, Kak,” sambung Yogie.

“Kakak sudah berusaha. Tapi rasanya sungguh berat. Rasanya sungguh sulit,” jawab Dika tersedu.

“Aku tahu, Kak. Semuanya tak kan mudah. Tapi Kak, yang terpenting, di sisa usiaku ini, Allah telah memberikan hidayah-Nya padaku. Dan insya Allah aku akan mati dalam keadaan telah bertaubat pada-Nya,” ujar Yogie lagi. Namun Dika masih saja terisak dalam pelukannya. Dika tidak mau melepaskan dekapannya seperti seperti sedang menahan Yogie agar tidak pergi dari hidupnya. Yogie hanya dapat menangis haru dan membiarkan Dika terus mendekapnya hingga Dika merasa lebih tenang.


*****


Pagi itu, Dika dan Yogie telah tiba di rumah seorang ustadz muda yang telah lama dikenal Dika dengan baik. Keduanya datang bertamu bukan hanya hendak bersilaturahim dengan sang ustadz beserta keluarganya. Tapi juga untuk mengawali rangkaian proses dari sebuah niat suci. Ya. Hari itu, Dika sengaja datang ke rumah sang ustadz untuk menta’arufkan dengan seorang akhwat yang merupakan murid tahsin sang ustadz. Hana nama akhwat itu. Usianya lebih tua setahun dari Yogie. Ia merupakan lulusan D3 Farmasi dan sudah bekerja di sebuah perusahaan farmasi. Dari cerita ustadz mengenai diri Hana, Dika merasa kalau Hana a sangat ideal untuk Yogie. Ia baru 2 tahun tarbiyah, tapi memiliki semangat yang luar biasa. Ia sangat haus ilmu dan juga memiliki kemauan yang keras untuk terus memperbaiki dirinya. Selain itu, Hana telah lulus kuliah dan bahkan telah bekerja. Paling tidak, nantinya Yogie sudah tak perlu pusing lagi memikirkan untuk membiayai kuliah istrinya.

Ta’aruf pagi itu pun dimulai. Ada 5 orang di ruang tamu rumah sang ustadz pagi itu, yakni Yogie, Dika, Hana, ustadz dan istrinya. Sang ustadz memimpin acara di rumahnya pagi itu. Acara ta’aruf pagi itu berjalan dengan penuh khusyu’nya. Sebelumnya, tak pernah terlintas dalam benak Yogie akan melakukan proses yang se-Islami itu. Hari itu, ia pun bersyukur telah dibukakan hatinya oleh Allah hingga dapat merasakan proses seperti itu sebelum pernikahan. Tidak dengan cara-cara yang tidak halal dan penuh noda seperti yang banyak terjadi dengan anak-anak muda sekarang.

Dari cerita ustadz beberapa hari yang lalu, Dika yakin Hana pun tertarik dengan Yogie usai membaca biodata dan melihat foto Yogie. Dan Dika sangat yakin, ta’aruf pagi itu akan diteruskan pada proses berikutnya. Apalagi melihat proses yang berlangsung, semuanya berjalan lancar dan keduanya telah dapat saling mengerti dan menyepakati beberapa hal.

Namun, hal yang di luar dugaan ternyata terjadi. Ketika yogie membicarakan penyakitnya, Hana sangat terkejut. Rupanya sang ustadz lupa memberi tahu bahwa Yogie mengidap penyakit kanker stadium akhir. Dan Hana tidak bisa menerima kenyataan itu. Meski ia percaya pada qada dan qadar Allah, ia merasa harus tetap realistis bahwa kanker adalah penyakit yang telah banyak menyebabkan kematian. Hana tidak ingin pernikahannya itu hanya sesaat. Ia tak ingin menjadi seorang janda di usia yang masih sangat muda. Ia memiliki mimpi seperti wanita-wanita lainnya yang menikah sekali dalam seumur hidup dan menghabiskan waktu bersama hingga memiliki anak cucu. Bukan hanya sekejap saja.

Ta’aruf pagi itu pun, hanya menyisakan kekecewaan bagi Dika dan Yogie. Hana benar-benar tidak ingin melanjutkan proses dengan Yogie. Ia ingin mendapatkan pendamping hidup yang sehat dan memiliki harapan masa depan. Bukan dengan Yogie dengan penyakit kankernya. Yang tiap detiknya merupakan sebuah perjuangan panjang. Dika dan Yogie akhirnya pulang dengan tangan hampa.

“Mungkin memang bukan dia jodohku, Kak. Bukan dia. Ada wanita lain yang jauh lebih baik darinya, yang telah Allah persiapkan untukku,” ujar Yogie dalam perjalanan pulang. Ia berusaha menghibur Dika yang justru terlihat lebih kecewa dari dirinya. Padahal yang harusnya sangat kecewa adalah dirinya. Tapi Yogie berusaha untuk tidak memperlihatkan kekecewaannya itu. Ia menerawang jauh ke langit luas seraya melantunkan puisi di dalam hatinya.


Di sini ku terdiam kini
Menanti batas waktu yang tak jua datang hingga kini
Batas waktu yang pertemukanku dengan sang bidadari
Bidadari terbaik pilihan Illahi Rabbi
Yang kan menjadi tumpuan hati
Yang kan temani perjuangan ini
Yang masih tertutup tabir Illahi
Dan kini,
Ku masih terus menanti
Hingga batas waktu itu menghampiri



*****



Siang itu, Yogie melangkahkan kakinya menuju ruang redaksi buletin Al-Hijrah. Ia berniat memberikan sebuah naskah tulisannya pada redaksi buletin Al-Hijrah. Belakangan, ia memang suka menulis, entah artikel, essay, puisi atau pun cerpen. Yogie pun tak mengerti mengapa kini ia suka menulis. Padahal dulu, jangankan menulis, melihat alat tulis pun ia merasa enggan. Dan kalau pun ia duduk berlama-lama di depan komputer, pastinya ia sedang bermain game atau sedang mendengarkan musik-musik rock kesukaannya. Siang itu, meski baru belajar, ia berniat menyerahkan naskah tulisannya itu pada redaksi buletin Al-Hijrah dengan harapan dapat dimuat.

Yogie masuk ke dalam ruang redaksi yang pintunya kala itu terbuka lebar. Ia melihat ke dalam ruangan. Hanya ada Bahrul di dalam sana yang sedang sibuk di depan komputer.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya memberi salam.

Bahrul menoleh ke arah datangnya suara.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya cepat.

Bahrul pun berdiri dan menyambut kedatangan Yogie. Mereka saling berpelukan erat lalu berbincang. Setelah merasa cukup dengan obrolan ngalor-ngidulnya, Yogie mengungkapkan keinginannya untuk memberikan naskah tulisannya agar dapat dimuat di buletin Al-Hijrah. Yogie mengambil kertas berisi naskah yang telah diketiknya dari dalam tas ranselnya untuk diperlihatkan kepada Bahrul. Namun, saat sedang mengambil jilidan kertas naskahnya, beberapa lembar foto Yogie ikut terbawa keluar dari dalam tas hingga jatuh berserakan di lantai. Melihat foto-foto Yogie di atas lantai, Bahrul dengan cepat mengambil foto-foto itu. Satu-persatu Bahrul melihat foto-foto milik Yogie.

“Wah, bawa-bawa foto segala! Mau ta’aruf ya?,” canda Bahrul pada Yogie.

Yogie tersenyum mendengarnya.

“Memang kalo bawa foto mesti mau ta’aruf?!,” sahut Yogie pada ikhwan yang kini menjadi sahabatnya itu. Padahal dulu, jangankan duduk berbincang seperti itu, bertegur sapa pun rasanya Yogie benar-benar enggan. Dulu ia sangat alergi melihat para ikhwan di kampusnya yang menurutnya terlihat aneh dan kampungan.

“Bicara soal ta’aruf, apa antum pernah ta’aruf dengan seorang akhwat?,” selidik Bahrul.

“Memangnya kenapa? Apa orang yang berpenyakitan sepertiku pantas untuk meminang seorang akhwat? Apa ada akhwat yang bersedia ta’aruf denganku lalu aku pinang dan ku nikahi?,” Yogie justru balik bertanya.

“Kenapa pesimis begitu? Jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang tak mungkin, bukan?.”

Yogie tersenyum.

“Benar. Tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Bukannya pesimis, mungkin hatiku masih sedikit terluka saat ditolak seorang akhwat 2 hari lalu ketika ta’aruf karena penyakitku ini,” jawab Yogie datar.

“Jadi begitu. Ya, ta’aruf itu kan belum tentu khitbah lalu menikah. Itu hanya sebuah proses awal untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Kalau memang ta’aruf itu tidak berlanjut, itu berarti memang ia bukanlah jodohmu. Ana yakin, ada seorang akhwat solihah yang bersedia antum pinang dan menerima segala kekurangan antum.”

Yogie tertawa kecil.

“Yakin banget. Memangnya ada?,” tanya Yogie setengah bercanda.

“Ada!,” jawab Bahrul cepat.

“Masa’ sih?,” tanya Yogie lagi tak percaya.

Tampang Bahrul malah kian serius.

“Sungguh!,” jawabnya tanpa ragu.

Melihat Bahrul tidak sedang bercanda, Yogie pun mulai serius menanggapi.

“Kalau memang ada, siapa akhwat itu?,” tanyanya serius.

“Nama akhwat itu Nisa! Khoirunnisa!,” jawab Bahrul.

“Nisa yang waktu itu ikut wawancara?,” tanya Yogie lagi tidak percaya.

Bahrul mengangguk cepat.

“Ia sangat tersentuh mengetahui kisahmu dan sangat bersimpati padamu. Pinanglah ia. Ia sungguh wanita yang salihah lagi baik. Ana pernah tanpa sengaja mendengarnya percakapannya dengan ukhti Nia kalau ia tak keberatan jika dipinang oleh orang yang terkena kanker seperti dirimu. Ia pantas untukmu. Jika antum memang berniat, ana akan sampaikan biodata antum padanya,” jawab Bahrul panjang lebar.
Yogie tersenyum mendengarnya.

“Beri aku waktu, akh. Jika hati ini mantap, insya Allah aku akan berikan biodataku pada antum dan akan meminta biodatanya melalui antum,” jawab Yogie kemudian.

“Insya Allah, ana akan membantu antum,” sahut Bahrul menggenggam tangan Yogie erat.

Yogie tersenyum. Rasanya bagaikan setetes embun yang menyejukkan mendengar apa yang baru didengarnya dari Bahrul. Lentera harapannya seolah menyala kembali dengan terangnya.

“Semoga memang dia jodohku,” harap Yogie dalam hati.



*****



Usai shalat Zuhur di kampusnya, Yogie dan Bahrul sengaja berbincang sejenak di beranda Masjid. Mereka berdua hendak melanjutkan pembicaraan mereka kemarin.

“Bismillah,” ujar Yogie seraya memberikan sebuah amplop berisi biodatanya kepada Bahrul.

Bahrul tersenyum menerimanya.

“Insya Allah ana akan sampaikan langsung pada Nisa. Dan hari ini ini juga akan ana minta biodatanya,” jawab Bahrul. Wajahnya tampak sumringah karena Yogie mau mengikuti sarannya untuk ta’aruf dengan Nisa.

Yogie balas tersenyum pada Bahrul.

Dan seperti janjinya, Bahrul meminta biodata Nisa hari itu juga dan langsung memberikannya pada Yogie.

“Alhamdulillah,” syukurnya begitu menerima biodata milik Nisa. Ia merasa apa yang diucapkan Bahrul memang benar, Nisa menaruh simpati padanya. Dan Yogie berharap, Nisa memang bersedia menerimanya apa adanya, dengan segala kondisi tubuhnya.

Setelah 3 hari, dan keduanya benar-benar merasa yakin dan mantap, Yogie dan Nisa bertemu di ruang redaksi. Tentu saja tidak hanya berdua. Tapi juga dengan ditemani Bahrul, sahabat Nisa yang bernama Nia dan pimpinan redaksi buletin Al-Hijrah yang juga senior Bahrul yang bernama Jamal.

Itu kali kedua Yogie ta’aruf dengan seorang akhwat. Suasana hikmat dan khusyu kembali dirasakannya. Namun ada yang berbeda kali ini. Yogie merasakan ta’aruf kali ini membuatnya merasa tenang dan nyaman. Tak ada rasa khawatir, ragu atau pun bimbang seperti sebelumnya. Namun degup jantungnya, terasa berdetak kencang setiap kali matanya hendak mencuri pandang ke arah Nisa yang wajahnya terlihat begitu teduh. Mungkinkah semua itu isyarat, isyarat bila Nisa bersedia melanjutkan proses ke tahap berikutnya bersama Yogie. Mungkin memang begitu. Karena akhirnya, Nisa bersedia untuk dikhitbah Yogie dan memprosesnya hingga singgasana pernikahan.

“Alhamdulillah. Segala puji hanya bagimu ya, Allah,” Yogie terus mengucap rasa syukur pada Rabb-Nya. Dan terus berdoa, semoga Nisa memang jodoh yang Allah anugrahkan dalam hidupnya yang entah tinggal berapa lama lagi.

Lentera asa hidupnya, benar-benar menyala kembali kini dengan terang. Bahkan teramat terang! Keinginannya untuk menggenapkan separuh agamanya segera dapat terpenuhi. Mimpi untuk membentuk sebuah rumah tangga yang samara dengan seorang wanita shalihah yang tulus mencintainya apa adanya, akan segera terwujud. Tentu saja, semuanya jika Allah menghendaki. Karena itu, ia pun terus berdoa pada Rabb-nya, semoga memperpanjang lagi usianya agar dapat merasakan semua mimpi dan keinginannya itu terwujud menjadi nyata.

“Ya Rabbana, jika memang ia jodohku, izinkanlah aku meminangnya dan menikahinya. Kalau memang ia bidadari yang Kau pilihkan untukku, biarkanlah ku rasakan indahnya surga dunia ini bersamanya di bawah naungan cinta-Mu. Amin…,” doa Yogie di sepertiga malamnya.

##### MUHASABAH CINTA #####

Yogie tertegun memandangi secarik kertas yang dipegangnya. Sudah sekitar satu jam ia memandangi secarik kertas itu tanpa beralih sedikit pun. Bukan karena panjangnya tulisan dalam kertas itu, bukan pula karena ia membaca tulisan di atas kertas itu berulang-ulang.

Bukan. Sesungguhnya ia memang bukan sedang membaca tulisan di kertas itu. Ia hanya menatap dan terus menatap. Namun pikirannya sedang melayang-layang tak tentu arah, tak karuan entah kemana. Terkadang pikirannya melayang pada hari-hari yang dilaluinya selama ini, hari-hari menyenangkan masa mudanya yang dihabiskannya bersama teman-teman kampusnya. Terkadang pikirannya melayang pada masa kecilnya yang indah dimana ayah dan ibunya mencurahkan kasih sayangnya yang teramat besar untuknya. Namun, terkadang pikirannya melayang pada peristiwa tadi siang.

Ya, peristiwa tadi siang! Peristiwa tadi sianglah yang membuat Yogie terpaku sendiri seperti itu di dalam kamarnya. Yang membuatnya terhenyak dan lemas seketika. Peristiwa di rumah sakit ketika ia mengambil hasil tes laboratorium setelah belakangan ia sering jatuh pingsan dan sempat beberapa hari dirawat di rumah sakit.

“Anda positif mengidap kanker darah stadium akhir,” begitu kata dokter di rumah sakit tadi siang ketika Yogie menerima secarik kertas berisi hasil tes laboratorium.

Yogie benar-benar terkejut luar biasa saat mendengar vonis dokter itu. Hingga membuat sekujur tubuhnya lemas seketika.

Huf! Kanker!! Baru mendengar namanya saja rasanya sudah merinding. Apalagi bila sampai mengidap penyakit yang belum ditemukan obatnya itu. Sungguh menakutkan. Ketakutan itulah yang kini membayang-bayangi Yogie. Ketakutan akan kematian yang kan segera datang menjemput. Ketakutan akan hidup di dunia yang sudah tidak lama lagi.

Yogie berusaha menahan segenap perasaannya. Ia pulang dari rumah sakit dengan mengendarai sepeda motornya dengan terus berusaha bersikap setenang mungkin meski di hatinya berkumpul beraneka macam perasaan yang tidak karuan. Ada sedih, perih, rasa tidak percaya, cemas yang tiada terkira. Yogie berusaha menahannya, menahan semua rasa yang bergejolak itu. Menahan beban di segenap tubuhnya yang terasa teramat berat kini.

Yogie bersyukur karena ketika tiba di rumah, hanya ada Fisha, adiknya yang baru duduk di kelas 3 SMU, yang sore itu sedang berbaring melepas lelah di ruang tengah setelah pulang dari sekolah. Bu Renna, ibu Yogie, sedang pergi mengantarkan kue pesanan bu RT. Dika, sang kakak yang sedang sibuk menyusun skripsi, masih belum pulang dari kampus. Sedangkan Pak Yusuf, ayahnya, juga masih berada di tempat kerjanya.

Yogie menarik napas lega. Ia segera masuk ke dalam kamarnya dan melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Hari itu terasa begitu meletihkan bagi Yogie. Padahal, ia hanya mengikuti satu mata kuliah saja tadi. Lalu berkumpul dengan teman-temannya di kantin. Setelah itu ia langsung meluncur ke rumah sakit dan pulang ke rumah.

Yogie menarik napas dalam-dalam. Bukan karena aktivitas hari itu yang membuatnya merasa teramat lelah, tapi karena beban pikiran yang menggelayutinya. Beban pikiran yang kini harus ditanggungnya sejak ia berada di rumah sakit tadi. Beban pikiran yang membuatnya sangat lelah memikirkannya kembali. Namun beban itu justru tidak mau pergi dari kepalanya. Beban pikiran itu tetap saja bersemayam dalam kepalanya, membayang-bayangi terus-menerus. Sedikit pun, Yogie tak bisa melepaskannya. Hingga akhirnya ia kembali mengambil secarik kertas berisi hasil tes itu dari dalam tasnya.

Yogie duduk di tepi tempat tidurnya. Ia membaca lagi tulisan di atas secarik kertas itu perlahan. Secarik kertas yang menyatakan dirinya mengidap kanker stadium akhir. Secarik kertas yang memadamkan segenap semangatnya. Melunturkan segenap keceriaannya.

Yogie tercenung. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana kini. Ia merasa hidupnya sudah tak berarti lagi. Semuanya di hadapannya terasa gelap. Terasa begitu hampa. Rasanya tak ada lagi masa depan. Tak ada asa. Tak ada cita. Semuanya sirna. Semuanya lenyap. Pergi begitu saja meninggalkannya sendiri dalam kepedihan yang tiada terperikan.

Yogie terus memandangi secarik kertas itu. Satu persatu…, satu persatu…. air matanya berjatuhan membasahi secarik kertas itu. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahannya sebisa mungkin, namun akhirnya tak dapat terbendung lagi. Yogie pun menangis setelah sekian lama ia tak pernah menangis lagi. Mungkin, sejak lepas dari sekolah dasar. Ya, kalau ia tak salah mengingat, terakhir kali ia menangis ketika baru duduk di kelas 4 sekolah dasar. Setelah itu, Yogie tak pernah menangis lagi. Tak pernah! Meski ia baru saja habis berkelahi dengan teman-temannya, Yogie tak pernah menangis. Harga dirinya sebagai laki-laki terlalu tinggi bila hanya untuk menangis. Dan seorang Yogie sangat pantang menangis. Pantang menangis meski sekujur tubuhnya bersimbah darah. Karena baginya, seorang laki-laki sejati bukanlah laki-laki cengeng yang suka menangis atau meratapi sesuatu. Tapi laki-laki pemberani yang tidak takut pada apa pun juga.

Namun….apa yang terjadi sekarang? Yogie melakukan sesuatu yang dulu sangat dipantangnya sebagai seorang laki-laki. Menangis! Ia menangis kini! Benar-benar menangis! Benar-benar menitikkan air mata! Ia menangis hanya karena dokter menyatakan ia telah mengidap kanker. Ia menangis hanya karena usianya yang hanya tinggal sesaat lagi. Tapi kenapa? Takutkah ia pada kematian?! Ho..ho..Yogie yang pemberani, yang katanya tidak takut pada apa pun juga, kini takut dengan kematian. Sungguh menggelikan! Yogie menangis karena takut mati. Yogie yang selama ini dikenal sering berkelahi, sering balapan motor di jalanan tanpa pernah mengenal rasa takut. Padahal semua itu sangat beresiko pada kematian. Ia bisa saja celaka dan nyawanya terenggut sia-sia kapan saja.

Yogie terus menangis dan meratapi kenyataan hidup yang menimpanya. Tangisnya kian kuat, kian tak tertahankan lagi. Hingga rasanya telah pada puncak kesedihannya, Yogie pun berteriak kencang. Ia berteriak sekuat-kuatnya.

“Aaaaaaaaaahhh,” teriak Yogie keras-keras hingga terdengar ke seluruh penjuru rumah.

Ia membuang secarik kertas yang sejak tadi dipegangnya. Tak lama kemudian, ia berlari menyambar sebuah gelas yang ada di atas meja belajarnya. Dibantingnya gelas itu ke tembok kamarnya kuat-kuat. Yogie menangis sejadi-jadinya. Meluapkan semua beban di hatinya. Seluruh kesedihannya pun memuncak tak tertahan lagi. Yogie lantas mengambil sebilah pecahan gelas yang berserakan di atas lantai. Pecahan gelas itu kemudian diarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Yogie berniat bunuh diri! Ya, ia benar-benar ingin bunuh diri. Ia merasa seluruh hidupnya sudah tak berguna lagi. Sekarang atau esok, toh ia akan mati. Tak ada bedanya. Maka, ia pun memilih mengakhiri hidupnya sendiri dari pada merasakan mati dengan perlahan digerogoti oleh sel-sel kanker yang hidup di tubuhnya.

Pecahan gelas itu sudah berada tepat di atas tangan kirinya. Dan ia telah siap menggoreskannya tepat di atas pembuluh nadinya.
Namun, belum sempat Yogie menggoreskannya, seseorang masuk ke dalam kamarnya.

“Kak, ngapain sih teriak-teriak?,” tanya Fisha. Fisha yang biasanya selalu mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam kamar orang lain, kali ini nyelonong masuk begitu saja ke dalam kamar Yogie begitu mendengar teriakan Yogie.
Yogie terkejut dengan kedatangan Fisha. Fisha pun tak kalah terkejutnya begitu melihat Yogie yang hendak menghabisi nyawanya sendiri.

“Masya Allah! Kak Yogiiiiiie………,” jerit Fisha histeris. Ia segera berlari menghampiri Yogie dan cepat-cepat mengambil pecahan kaca di tangan Yogie.
“Ada apa, Fi?,” tanya Dika yang tiba-tiba ikut nyelonong masuk begitu mendengar jeritan Fisha. Ia segera berlari mendekati Yogie dan Fisha.

“Kak Yogie, Kak. Kak Yogie tadi mau bunuh diri, “ ujar Fisha terisak sambil memperlihatkan pecahan kaca yang tadi hendak digunakan Yogie untuk bunuh diri.

Dika terbelalak melihatnya.

“Bener, Gie? Bener kamu mau bunuh diri tadi?,” tanya Dika seraya menatap Yogie tajam.

Yogie tertunduk. Ia tak berani menatap wajah kakaknya. Ia hanya terdiam dan terus menangis. Dika dan Fisha semakin bingung dibuatnya.

“Gie, gak biasanya kamu begini. Ada apa? Bilang sama kakak. Kenapa kamu mau bunuh diri? Ada masalah apa sebenarnya?,” tanya Dika lagi. Kali ini dengan nada suara yang lebih rendah.

Fisha mengambil secarik kertas yang tergeletak di atas lantai. Ia tak tahu pasti isi secarik kertas itu apa. Hanya saja, ia melihat ada logo dan kop rumah sakit tempat Yogie di rawat tempo hari.

“Sepertinya ini hasil lab Kak Yogie, Kak,” ujar Fisha, menyerahkan secarik kertas itu pada Dika.

Dika membaca tulisan di atas kertas itu dengan seksama. Sama seperti Fisha, Dika pun tak paham dengan tulisan di atas kertas itu.

“Apa karena ini?,” tanya Dika lagi sambil memperlihatkan secarik kertas dari rumah sakit itu pada Yogie.

Yogie tak menjawab. Ia malah kian membenamkan wajahnya.
Dika dan Fisha saling beradu pandang. Mereka semakin tak mengerti dengan sikap Yogie.

“Kak, ada apa sebenarnya? Apa yang membebanimu hingga kakak ingin mengakhiri hidup kakak sendiri? Katakanlah, Kak. Jangan pikul beban itu sendiri. Bukankah kita bersaudara? Biarlah kami ikut memikul bebanmu itu, Kak,” ucap Fisha lemah lembut pada kakaknya itu.

Dika mengangkat wajah Yogie agar menatapnya.

“Gie, pundak kami untukmu. Lepaskanlah segala beban itu di pundak kami,” Dika menimpali.

Yogie tak kuasa lagi menahan segala rasa yang berkecamuk di hatinya di hadapan kakak dan adik yang sangat dicintainya. Yogie pun merangkul Dika dan kembali menangis dalam pelukan kakaknya itu. Fisha dan Dika terenyuh dibuatnya meski Yogie belum mengatakan apa yang sedang dirasakannya. Keduanya membiarkan Yogie tenggelam dalam tangisnya selama beberapa waktu agar terluapkan semua yang mengganjal di dalam hatinya.

Setelah Yogie terlihat sudah lebih tenang, Dika melepaskan rangkulan Yogie dan menatap adiknya itu dalam-dalam.

“Katakanlah, ada apa sebenarnya?,” tanya Dika kemudian.
Yogie mengatur napasnya.

“Hasil tes itu menunjukkan kalau ternyata aku terkena kanker, Kak,” ujarnya dengan sedikit terbata karena menahan tangis.

“Kanker?,” Dika tak percaya mendengarnya.
Yogie mengangguk menegaskan.

“Astaghfirullahal’adzim, Kak Yogie,” kata Fisha terhenyak. Tangisnya pun tak terbendung lagi.

“Ya, Allah…,” Dika pun terkejut bukan main. Ia terdiam sesaat. Sekujur tubuhnya terasa lemas tiba-tiba. Bibirnya pun seolah kelu karenanya.

“Dokter bilang, aku terkena kanker darah stadium akhir. Dan mungkin, sisa umurku hanya tinggal 3 bulan saja,” ungkap Yogie lirih.

“Jadi karena itu tadi Kak Yogie mau bunuh diri? Karena itu, Kak?,” tanya Fisha menatap tajam wajah kakaknya.

“Ini kanker, Fi. Penyakit yang belum ada obatnya! Penyakit yang gak bisa disembuhkan oleh dokter. Penyakit yang sudah merenggut nyawa banyak orang,” jawab Yogie dengan nada tinggi.

“Astaghfirullah. Kak, kematian itu sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk yang bernyawa. Hanya saja, kita gak tahu kapan dan dengan cara seperti apa kita akan mati. Kita gak tahu, Kak. Gak tahu! Cuma Allah yang Maha Tahu. Cuma Allah, Kak,” ucap Fisha mengingatkan Yogie. “Selama ini kakak suka berkelahi, suka balapan motor, apa kakak gak sadar, nyawa kakak bisa terenggut kapan pun ketika melakukannya. Kenapa sekarang kakak harus takut dengan sebuah kematian padahal yang kakak lakukan selama ini sangat dekat dengan kematian? Dan apa kakak tahu, kematian itu sesungguhnya dekat, Kak. Sangat dekat!,” lanjut Fisha.

Dika menepuk bahu Fisha pelan, memberi isyarat agar Fisha tidak melanjutkan berbicara. Fisha pun diam. Ia hanya menyimak semua ucapan Dika pada Yogie.

“Gie, semua makhluk yang bernyawa itu memang akan mati. Tapi kita gak pernah tahu kapan dan dimana. Juga dengan cara seperti apa. Betapa banyak orang-orang yang diambil nyawanya mati ketika sedang melakukan maksiat. Ada yang mati ketika sedang mabuk minuman keras, ada yang mati di tempat pelacuran, ada yang mati ketika sedang mencari ilmu hitam. Na’udzubillah.”
Dika menarik napas sejenak. Yogie terdiam mendengarkan. Ia sudah terlihat lebih tenang sekarang.

“Gie, karena kita tidak pernah tahu, makanya kita harus selalu siap kapan saja dan dimana saja. Tentunya dengan menghabiskan setiap detik yang kita punya dengan hal-hal yang bermanfaat, untuk selalu beribadah kepada-Nya, bukan dengan hal-hal yang tidak berguna seperti balapan motor. Jika saat balapan motor kamu kecelakaan dan nyawa kamu gak tertolong, berarti kamu mati sia-sia. Sama seperti yang kamu ingin lakukan tadi, kamu hanya akan mati sia-sia jika kamu mati bunuh diri,” sambung Dika.

Dika memperhatikan raut wajah Yogie dalam-dalam.

“Allah tidak suka melihat hamba-Nya putus asa. Apalagi bila sampai bunuh diri. Gie, yang menentukan hidup dan mati seseorang itu Allah. Yang memberi penyakit dan yang menyembuhkan penyakit juga Allah. Bukan dokter. Bukan! Kalau pun sebuah penyakit sudah ditemukan obatnya, jika Allah tidak menghendaki seseorang untuk sembuh, maka Allah tidak akan mengangkat penyakit orang itu dari tubuhnya. Tapi jika Allah menghendaki seseorang untuk tetap hidup, sekalipun ia mengidap kanker atau penyakit lain yang belum ada obatnya, maka dengan izin-Nya orang itu akan tetap hidup sampai batas waktu yang Allah berikan untuknya,” Dika menjelaskan panjang lebar.

“Gie, yang terpenting sekarang, tetaplah percaya pada kebesaran Allah. Sesungguhnya Dia-lah sebaik-baiknya penolong. Bukan dokter atau siapapun! Tetaplah berhusnuzhan pada-Nya. Yakinlah penyakit yang Allah berikan padamu bukan karena Allah ingin menghukummu, tapi karena Allah sayang padamu. Allah menegurmu agar kamu tidak menyia-nyiakan hidup yang dianugrahkan-Nya pada kamu. Yakinlah kalau ujian ini adalah cara Allah untuk mengampuni dosa dan kesalahan-kesalahanmu selama ini. Juga cara Allah untuk meningkatkan keimananmu, meninggikan derajatmu di hadapan-Nya.”

“Aku tak peduli apakah yang Allah berikan padaku hari ini musibah ataukah anugrah. Urusanku hanyalah tetap berhusnuzhan pada-Nya,” Fisha menimpali seraya tersenyum meyakinkan kakaknya.

“Gie, jika Allah menghendaki, dengan izin-Nya kamu pasti sembuh. Tapi jika memang tidak, berusahalah untuk mempersiapkan diri menghadap-Nya dalam keadaan yang terbaik, dalam keadaan bertaubat pada-Nya. Gie, kapan pun kematian itu akan menjemput, siapkan bekal untuk menghadap-Nya. Siapkan bekal dengan memperbanyak zikir pada-Nya, dengan banyak beribadah pada-Nya, dengan melakukan banyak kebaikan, dan yang terpenting….gunakan setiap detik yang kamu punya untuk mencari keridhaan-Nya,” Dika terus memotivasi adiknya. Menguatkan adik laki-laki satu-satunya itu.

Yogie kembali terisak. Selama ini, ia memang telah melakukan banyak kesalahan. Ia telah menyia-nyiakan hidup yang Allah berikan pada-Nya. Padahal hidupnya di dunia hanyalah sementara saja. Hanyalah sebuah persinggahan. Hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat sana. Kehidupan yang kekal dan abadi.

Yogie menggenggam tangan Dika erat-erat.

“Kak, bantu aku. Bantu aku melewati sisa usia yang ku punya ini untuk meraih keridhaan-Nya. Bantu aku, Kak,” pinta Yogie dalam tangisnya.

“Insya Allah. Insya Allah, kakak pasti akan membantumu,” jawab Dika seraya menepuk telapak tangan Yogie perlahan. Bibirnya tersenyum berusaha menguatkan Yogie. Namun perlahan air matanya pun jatuh berlinang di pipinya.

“Kak, Kak Yogie gak sendiri. Kita akan menghadapi semua ini bersama-sama. Melewati semua ini bersama-sama. Karena itu, Kakak harus kuat dan tegar,” Fisha menimpali juga dengan linangan air mata di pipinya.

Ketiganya pun larut dalam suasana yang penuh haru dan kepedihan. Suasana kamar Yogie pun seketika menjadi hening.

Di antara tiga bersaudara itu, memang Yogie-lah yang sejak kecil terlihat berbeda. Ia memiliki watak yang pemberontak dan tidak bisa diatur. Sedangkan Dika dan Fisha, keduanya sangat penurut. Keduanya pun aktif di berbagai kegiatan organisasi di sekolahnya. Berbeda dengan Yogie, ia lebih aktif bolos sekolah dan berkelahi dengan teman-temannya di sekolah. Hingga sering membuat repot kedua orang tuanya. Apalagi ketika sudah memiliki motor sendiri ketika memasuki bangku kuliah, ia pun ikut bergabung dalam gank motor. Membuat kedua orang tua dan saudaranya cemas padanya.

Namun yang masih disyukuri, seperti apapun kenakalan Yogie, ia tak pernah sampai menyentuh minum-minuman keras, obat-obatan terlarang apalagi pergaulan bebas. Merokok saja pun ia tak mau. Ia tidak mau melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Karena ia tahu, semua itu hanya akan merusak tubuhnya, hanya akan merugikan kesehatannya. Ia tidak mau bila sampai itu terjadi.

Sayup-sayup, suara azan terdengar dari Masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Yogie. Membuat ketiganya sadar kalau hari telah beranjak senja.

“Sudah Maghrib, Kak,” ujar Fisha.

Dika mengangguk.

“Gie, kita bersiap untuk shalat di Masjid. Masalah ini akan kita bicarakan lagi dengan Ayah dan Ibu setelah Ayah pulang nanti. Bagaimana pun, Ayah dan Ibu harus tahu masalah ini,”

“Tapi, Kak….,” Yogie merasa keberatan. Ia tidak mau membuat Ayah dan Ibunya bersedih karenanya. Apalagi jika hanya akan menambah beban mereka.
Dika menepuk bahu Yogie.

“Kita akan menghadapinya bersama. Ingat itu!,” sahut Dika cepat diiringi anggukan kepala Fisha.

“Sekarang kita shalat Maghrib dulu,” lanjut Dika seraya bangkit dari duduknya.

“Kak Yogie bersiap saja ke Masjid. Pecahan gelas ini biar Fisha yang bersihkan,” ucap Fisha sambil memunguti pecahan gelas yang berserakan di atas lantai.

Yogie menurut saja. Ia bersiap ke Masjid bersama Dika meski ia sudah tidak ingat lagi sudah berapa lama tidak shalat dan pergi ke Masjid. Sekejap ia tersadar, berapa banyak waktu yang telah dilewatkannya begitu saja tanpa makna. Yogie menangis pilu dalam shalatnya, memohon ampunan dengan penuh penyesalan pada Rabb-nya. Ia sadar betapa sesungguhnya ia teramat lemah. Dan ia bukanlah siapa-siapa. Ia hanya makhluk ciptaan Allah yang tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak-Nya.

Yogie pun larut dalam zikirnya. Ia terus berdoa dan berdoa pada Sang pemilik nyawanya.

“Ya, Allah…. Jika memang ini sudah takdirku, maka biarkanlah semua rasa sakit ini menjadi penawar bagi dosa-dosaku,” doanya lirih.

******

Ba’da Isya, Dika mengumpulkan kedua orang tua dan kedua adiknya di ruang tengah. Ia ingin memberitahukan penyakit yang diidap Yogie pada kedua orang tuanya. Juga untuk mencari solusi terbaik bagi adiknya itu.

Seperti Dika & Fisha, Pak Yusuf & Bu Renna pun sangat terkejut setelah mendengar perkataan Dika. Mereka langsung memeluk Yogie dan menangis sejadinya. Yogie yang tadi sudah tenang, menangis kembali. Ia terisak meminta maaf pada kedua orang tuanya atas semua perbuatannya selama ini yang sering membuat kesal dan repot orang tuanya. Dika dan Fisha yang melihatnya, ikut menitikkan air mata. Suasana di rumah itu pun kembali diliputi kepiluan yang teramat sangat.


*****

Sudah satu bulan ini, Yogie menjalani kemoterapi di rumah sakit. Meski semua itu tak menjamin penyakitnya akan sembuh. Yogie berusaha menjalaninya dengan sabar dan penuh ketegaran. Dika dan Fisha berusaha terus memberikan semangat pada Yogie. Begitu pula Pak Yusuf dan Bu Renna. Mereka semua berusaha terus memotivasi Yogie untuk tidak putus asa, untuk tetap terus berjuang melawan penyakitnya.

Bukan hanya itu, Dika dan Fisha juga membantu Yogie untuk meningkatkan keimanannya pada Allah, membantu Yogie memperdalam lagi ajaran dien-nya agar setiap detik yang dimiliki Yogie penuh dengan barakah Allah, juga mendapatkan ridha Allah.

Namun, Yogie merasa semua yang dilakukannya belum cukup. Ia berniat untuk tidak lagi menjalani kemoterapinya di rumah sakit. Di sisa hidupnya yang entah berapa lama lagi, Yogie ingin merasakan hidup di dalam lingkungan pesantren dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an sampai ajal benar-benar menjemputnya.

Yogie pun mengutarakan keinginannya pada kedua orang tuanya. Mengingat kondisi Yogie yang kian melemah, tentu saja Pak Yusuf dan istrinya tak mengizinkannya. Tapi tekad Yogie sudah bulat. Ia berulang kali memohon pada kedua orang tuanya agar memenuhi permintaannya itu. Karena ia tak punya keinginan lain jika saat itu benar-benar merupakan hari-hari terkahir hidupnya. Dika dan Fisha pun berusaha membujuk orang tua mereka. Hingga akhirnya, hati Pak Yusuf dan Bu Renna luluh oleh kesungguhan niat Yogie. Mereka akhirnya mengizinkan pula Yogie menghabiskan waktu yang masih dimilikinya di sebuah pesantren di daerah Bogor meski rasanya berat dan khawatir tiada terkira.


*****

3 bulan kemudian, 5 Juni 2010

Fajar baru saja menyingsing. Embun pagi masih melekat di atas dedaunan. Bau udara pagi pun masih terasa, begitu menyejukkan. Mentari bersinar indah di ufuk timur sana. Burung-burung kecil berlompatan dengan riangnya dari satu dahan ke dahan lainnya sambil berkicau merdu. Sebuah pagi yang indah, di kaki bukit Gunung Salak Bogor. Yogie menikmati pagi yang indah itu seraya tak henti mengucapkan rasa syukur pada Pemilik jagat raya ini yang masih mengizinkannya menikmati pagi yang indah itu.

Suasana pagi itu bertambah indah, manakala keluarganya datang dan memberikan ucapan selamat padanya.

“Selamat milad ke-21, Kak. Barakallah fi umurik,” ucap Fisha begitu berada di hadapannya.

“Selamat milad, Gie. 21 tahun sudah kamu hidup di dunia ini, berapa pun sisa usia yang kamu punya, semoga usiamu itu penuh dengan barakah Allah,” sambar Dika tak mau kalah.

“Terima kasih, Fi, Kak Dika,” jawab Yogie cepat.

“Berapa pun usia yang kamu punya, semoga Allah meridhaimu, Nak,” ucap Bu Renna tak mau ketinggalan.

“Barakallah, Nak,” Pak Yusuf menimpali dengan mata yang berkaca-kaca.
Yogie pun menjadi terharu karenanya. Air matanya bercucuran sedikit demi sedikit.

“Sudah-sudah. Ini kan miladnya Yogie. Jangan buat dia cengeng begitu!,” ujar Dika cepat berusaha menetralkan suasana kembali.

Fisha dan yang lainnya tertawa kecil mendengarnya.

“Iya. Ini miladnya Kak Yogie. Kita harusnya bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan Kak Yogie merasakan milad ke-21. padahal waktu itu, dokter udah vonis umur Kak Yogie hanya tinggal 3 bulan lagi. Nah, sekarang sudah 4 bulan lebih kan sejak dokter bilang seperti itu. Allah memang Maha Besar, Maha Berkehendak,” cerocos Fisha bahagia. “Ehm…Kak Yogie mau kado apa dari Fisha?.”

Yogie tersenyum kecil.

“Masih bisa berkumpul dengan kalian lagi, itu sudah merupakan kado yang sangat istimewa buat Kakak. Kakak gak mau yang lain lagi,” jawabnya.

“Kalo gitu, hadiahnya berita gembira aja,” ujar Fisha kemudian.

“Berita gembira apa?,” Yogie balik bertanya.

“Kak Dika sudah lulus sidang skripsi dengan nilai A, dan Fisha sudah diterima kuliah di IPB melalui jalur PMDK,” jawab Fisha semangat.

“Bener?,” Yogie ingin meyakinkan lagi.

Fisha dan Dika mengangguk cepat.

“Alhamdulillah… Selamat ya, Fi, Kak Dika,” ucapYogie berganti memberi selamat pada keduanya.

“Subhanallah, begitu banyak nikmat yang Allah berikan. Dan kita gak kan sanggup untuk menghitungnya. Terima kasih ya Allah. Terima kasih atas segala nikmat yang telah Kau berikan ini,” ujar Yogie bersyukur.

“Sudah-sudah, ngobrolnya dilanjutkan di dalam mobil saja,” Bu Renna mengingatkan anak-anaknya yang terlihat gembira sekali. Mereka pun menurut. Yogie, Dika dan Fisha segera melangkah menuju mobil mengikuti langkah kaki Bu Renna dan Pak Yusuf yang telah terlebih dahulu menuju mobil Avanza milik kantor yang sengaja dipinjam Pak Yusuf demi untuk menjemput anaknya di pondok pesantren.

“Kak, Kak Yogie terlihat lebih segar dan bersemangat dari sebelumnya,” ujar Fisha begitu duduk di dalam mobil.

“Kan kamu sendiri yang bilang, kematian itu sebuah keniscayaan. Tak ada gunanya meratapi dan menyesali diri. Yang terpenting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri kita untuk menghadapi kematian yang entah kapan datangnya itu,” jawab Yogie tanpa ragu.

Yogie menarik napas.

“Sedapat mungkin, kakak berusaha untuk menghilangkan perasaan sedih, cemas dan takut itu dari dalam diri kakak dengan tetap tersenyum. Kakak berusaha untuk tetap optimis dan selalu berhusnuzhan pada Allah. Dan itulah satu-satunya obat yang tersisa ketika semua obat tak bisa lagi mengobati penyakit kakak. Juga dengan tetap percaya bahwa Allah akan menyembuhkan penyakit kakak ini,” sambung Yogie.

Dika tersenyum mendengarnya.

“Alhamdulillah. Penyakitmu ini sudah membuat kamu menyadari hakikat hidup ini. Mungkin ini benar-benar cara Allah untuk memberikan hidayah-Nya padamu,” sahut Dika.

“Jika Allah memang akan merenggut nyawaku saat ini, insya Allah, aku telah lebih siap, Kak. Dan aku tak kan menyesali penyakit yang telah menggerogoti hatiku.”

“Kak, jika Allah masih memberikanmu umur beberapa minggu lagi, apa yang paling kakak inginkan?,” tanya Fisha tiba-tiba.

Yogie tidak langsung menjawab. Ia tersenyum pada adiknya yang menunggu jawaban darinya.

“Menikah!.”

“Hah! Menikah?!,” ucap Fisha dan Dika berbarengan lalu tertawa kecil.

“Lho, memang orang yang kena kanker, yang katanya sisa umurnya tinggal sedikit, gak boleh menikah?,” sahut Yogie seraya berusaha menahan tawa melihat raut wajah kakak dan adiknya.

“Tentu aja boleh,” sahut Dika pelan.

“Rasul kan melarang kita membujang, dan ketika mati pun sebaiknya jangan dalam keadaan membujang. Karena itulah, di sisa umur kakak, kakak ingin menikah dan menggenapkan separuh agama ini,” Yogie menjelaskan.

“Iya juga sih. Harusnya orang-orang yang mengidap kanker itu juga dibantu buat menikah. Jangan karena dokter bilang usianya tinggal 3 bulan, jadi gak dibantu menikah. Atau pada gak mau menikahi orang yang terkena kanker. Padahal bisa jadi dengan menikah Allah memperpanjang umurnya, bisa jadi Allah justru mengangkat penyakitnya. Iya kan?,” cerocos Fisha lagi.
Dika mengangguk membenarkan.

“ Ya sudah, besok kakak carikan seorang akhwat yang shalihah buat kamu,” ujarnya kemudian.

Fisha tertawa geli.

“Bener, Kak? Memang kakak mau dilangkah sama Kak Yogie?.”

“Ya..carinya 2 akhwat sekaligus. Buat kakak satu, Kak Yogie satu. He.he..,” jawab Dika diikuti tertawa renyahnya.

Suasana di dalam mobil pagi itu pun terasa hangat. Sehangat mentari pagi yang menyinari di langit sana. Tak ada lagi kesedihan, tak ada lagi penyesalan. Mereka semua tersenyum optimis dan tetap berhusnuzhan pada Allah yang Maha Berkehendak.

Mobil terus melaju menyusuri kaki gunung Salak yang damai. Diiringi lantunan merdu Edcoustic dari tape mobil.

Wahai pemilik nyawaku
Betapa lemah diriku ini
Berat ujian darimu
Ku pasrahkan semua padamu

Tuhan..baru ku sadar
Indah nikmat sehat itu
Tak pandai aku bersyukur
Kini ku harapkan cinta-Mu

Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berzikir di kidung doaku
Sakit yang ku rasa biar jadi penawar dosaku

Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang Kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah slama ini ya Illahi
Muhasabah cintaku

Tuhan… kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Jika ku harus mati
Pertemukan aku dengan-Mu