Khoirunnisa! Nama yang begitu indah! Seindah sang pemilik nama. Seindah akhlak wanita yang memiliki nama. Entah mengapa, nama itu kini terngiang terus di telinga Yogie. Wajah teduhnya selalu melintas dalam alam pikiran Yogie. Senyumnya yang tersipu malu ketika ta’aruf terus saja membayang dalam benak Yogie hingga terkadang membuat Yogie tersenyum-senyum sendiri saat mengingatnya.
Khoirunnisa! Kenapa baru sekarang Yogie mengenal mahasiswi jurusan PGMI semester akhir itu? Kenapa baru sekarang Yogie mengetahui ada seorang wanita berakhlak mulia seperti itu di kampusnya? Padahal Nisa telah lebih dahulu menuntut ilmu di kampusnya. Padahal Nisa adalah seorang aktivis. Ho..ho.. tentu saja! Tentu saja wanita sebaik Nisa dahulu luput dari perhatian Yogie. Dulu, sedikit pun Yogie memang tak pernah memperhatikan wanita-wanita berkerudung besar seperti Nisa meski mereka banyak berseliweran di kampus Yogie. Baginya, wanita-wanita berkerudung besar itu dahulu terlihat aneh di matanya, gak modis dan tak ada yang menarik sedikit pun. Padahal di balik kerudung besar wanita-wanita itu, tersimpan mutiara yang sangat berharga, yang tiada dapat tergantikan oleh apa pun di dunia ini, yang tak kan pernah terbayarkan oleh berapa banyak pun harta benda yang dimiliki.
Khoirunnisa! Siapa yang menduga sebelumnya, wanita sebaik itu bersedia berproses dengan Yogie, seorang mantan mahasiswa rusuh seperti dirinya, yang kini hanya seorang laki-laki penyakitan, yang entah berapa lama lagi ia dapat bertahan dengan penyakitnya itu. Bahkan, apakah ia sanggup bertahan hingga akad nikah dilaksanakan, Yogie tak tahu. Sungguh tak tahu! Begitu pula dengan Nisa. Tak ada yang pernah tahu kecuali Rabb yang telah menghidupkan mereka dan yang akan mematikan mereka pula kelak.
Tapi Nisa, dengan segenap ketulusannya, tidak mempedulikan penyakit Yogie itu. Tak peduli berapa lama lagi Yogie masih akan bertahan. Tak peduli apakah Yogie sanggup memproses hingga singgasana pernikahan nantinya. Ia hanya peduli sosok Yogie yang sekarang, yang begitu tawakalnya menerima cobaan penyakitnya, yang tetap memperjuangkan cita-citanya, yang tetap optimis dan tak putus asa menatap masa depannya, yang dengan penyakitnya itu justru membuat Yogie berhijrah hingga menjadi seorang ikhwan yang solih seperti sekarang.
“Ya, Rabb. Betapa beruntungnya aku jika aku bisa menikahi wanita semulia itu. Sungguh Maha Besar Engkau ya, Allah. Nikmat-Mu yang manakah yang hendak ku dustakan?,” lirih Yogie selepas shalat Maghrib. Hatinya dipenuhi oleh rasa syukur yang tiada terkira pada Rabb-nya. Lalu dibiarkannya air matanya yang sejak tadi tergenang di pelupuk matanya, berjatuhan di atas sajadahnya bersama senandung zikir yang terurai dari bibirnya.
*****
Usai makan malam, Yogie mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang tengah. Ia berniat menyampaikan ikhwal dirinya yang ta’aruf dengan seorang akhwat di kampusnya. Dan juga untuk membicarakan proses selanjutnya yang kemungkinan tidak akan menunggu waktu lama, apalagi sampai memakan waktu berbulan-bulan. Yogie dan Nisa sepakat untuk menyegerakan khitbah dan walimah mereka. Semua itu mereka putuskan bukan hanya mengingat penyakit yang bersarang di tubuh Yogie, tapi juga karena mereka berharap, Ramadhan yang tidak lama lagi datang, dapat mereka lewati bersama-sama sebagai sepasang suami istri.^_^’
“Alhamdulillah..,” ucap Pak Yusuf, Bu Renna dan Dika berbarengan usai Yogie memberi tahu keluarganya.
Berbeda dengan yang lain, Fisha sedikit lebih heboh.
“Wah, Kak Yogie begini-begini ternyata lebih hebat dari Kak Dika!
Selamat ya, Kak,” cerocos Fisha seperti biasa. “Cepetan nikahnya, Kak. Gak usah pake mikirin Kak Dika, gak usah pake nunggu-nunggu Kak Dika. Langkahin aja Kak Dika biar Kak Dika ngiri!,” sambung Fisha sambil menjulurkan lidah ke arah Dika.
“Kak Dika gak ngiri tuh! Kak Dika sengaja ngalah, sengaja gak buru-buru, nunggu kelar skripsi dulu, wisuda baru deh meminang sang ‘Aisyah,” sahut Dika cepat sambil membalas menjulurkan lidah ke arah Fisha.
“Ih, pake ngeles! Bilang aja iya, nanti Fisha bantuin cariin deh!,” ledek Fisha lagi.
“Terima kasih. Tapi kalo kamu yang cariin, Kak Dika gak yakin deh.”
“Gak yakin apa, Kak?,” tanya Fisha heran.
“Gak yakin bakal dapat sesuai selera Kak Dika. Karena pilihan kamu, seleranya pasti seperti selera kamu. Selera kamu kan gini..,” Dika mengacungkan jempolnya ke arah bawah.
Fisha bersungut kesal.
Namun Dika justru tersenyum penuh kemenangan.
Pak Yusuf dan Bu Renna hanya senyum-senyum melihat tingkah kedua anaknya itu. Mereka berharap, kehangatan seperti itu dapat terus terasa di dalam keluarga itu setiap harinya. Dan dengan kehadiran Yogie di tengah mereka tentunya.
“Oh ya, tadi aku baru dapat info dari teman, katanya di lembaga bimbel tempatnya mengajar, sedang membutuhkan guru bimbel untuk bidang studi fisika. Nah, Yogie kan jago fisika, pasti bisa kan ngajar fisika? Untuk pengajar baru, mungkin belum seberapa dibandingkan yang sudah mengajar di sana cukup lama, tapi ya lumayanlah. Jam kerjanya pun bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah. Gimana? Kamu bersedia, Gie?,” ujar Dika ketika suasana sudah kembali tenang.
“Terima saja, Gie. Itu pekerjaan yang tidak terlalu menguras fisik. Lagi pula waktunya bisa diatur,” saran Bu Renna pada Yogie yang diikuti anggukan kepala Pak Yusuf.
Yogie tersenyum.
“Insya Allah, Bu. Akan saya pertimbangkan. Hanya saja, masih ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi selain masalah ma’isyah.”
“Apa?,” tanya Bu Renna cepat.
“Masalah khitbah,” jawab Yogie tanpa ragu.
“Khitbah? Maksudnya?,” tanya Bu Renna tidak mengerti maksud Yogie.
Dika tersenyum pada Bu Renna.
“Maksudnya pinangan, Bu. Keluarga pihak laki-laki datang ke keluarga pihak perempuan untuk meminang gadis yang hendak dinikahi anak laki-lakinya,” jawab Dika menjelaskan.
“Oh, lamaran?,” simpul Bu Renna. Istilah lamaran memang lebih dikenalnya dibandingkan dengan istilah khitbah atau pun pinangan.
Dika dan Yogie hanya tersenyum mengiyakan.
“Bu, saya ingin bisa segera menikah. Kalau bisa, ketika Ramadhan datang, kami sudah menikah,” Yogie mengungkapkan keinginan hatinya.
“Cieeeee, udah gak sabar nih ceritanya?! Pengen pengantin baruan di bulan Ramadhan ya, Kak. Duuuuh, pasti romantis!,” sambar Fisha tiba-tiba.
“Hus! Anak kecil sebaiknya diam dulu!,” tegur Dika pada adiknya.
Fisha merengut.
“Ye, bilang aja ngiri!,” celetuknya.
“Bukan masalah ngiri, ini masalah serius, jangan main-main dan comel kaya’ gitu!,” ucap Dika mengingatkan.
Fisha tak menyahut lagi. Tapi wajahnya jadi ditekuk hingga terlihat aneh. Yogie pun mengulum senyum melihat wajah adiknya itu.
“Bagaimana? Tak perlu acara yang megah, yang terpenting kami berdua sudah sah secara hukum agama dan hukum negara. Tapi kalau Ayah dan Ibu tetap ingin mengadakan walimah, sebaiknya setelah Ramadhan saja dan itu pun kalau Ayah dan Ibu memang sanggup melaksanakannya. Kalau tidak bisa, cukup syukuran sederhana dengan mengundang tetangga dan saudara dekat saja,” ujar Yogie kemudian.
Pak Yusuf dan Bu Renna saling berpandangan. Keduanya pun kemudian tersenyum.
“Kami setuju, Nak. Insya Allah besok lusa kita datang ke rumah gadis itu untuk melamarnya secara resmi. Jika mereka setuju, akad nikah akan dilangsungkan beberapa hari sebelum Ramadhan,” jawab Pak Yusuf mengamini keinginan putranya.
“Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu. Insya Allah besok saya akan datang untuk menemui orang tua gadis itu, jika orang tuanya setuju, lusa kita datang ke rumahnya dan meminangnya,” sahut Yogie bahagia.
Pak Yusuf dan Bu Renna menangkap pancaran kebahagiaan di wajah Yogie. Hati mereka pun ikut pula merasakan kebahagiaan yang sedang putra mereka rasakan. Sungguh bagi mereka tak ada yang lebih berharga selain melihat sang anak tercinta berbahagia seperti itu. Apa pun rela mereka lakukan, asalkan Yogie merasakan bahagia di sisa hidupnya yang entah tinggal berapa lama lagi. T.T
*****
Yogie dan keluarganya telah duduk manis di ruang tamu rumah Nisa. Berbagai macam hidangan pun telah disediakan di hadapan mereka. Pak Hamzah dan 3 putranya juga telah hadir di situ, menemani Pak Yusuf dan keluarganya berbincang sambil menunggu Nisa dan ibunya datang. Keduanya masih sibuk berhias diri setelah tadi sibuk menyiapkan hidangan di dapur.
Suasana terlihat akrab malam itu meski dua keluarga itu belum saling mengenal sebelumnya. Sehingga dalam sekejap saja, mereka sudah seperti saudara yang saling merindu karena lama tidak saling bersua.
10 menit menunggu, Nisa dan ibunya datang juga di ruang tamu rumah mereka. Bu Siti, ibu Nisa mengenakan kebaya muslim berwarna coklat muda. Sedang Nisa….. Yogie sempat melirik sebentar ke arah Nisa ketika mereka baru memasuki ruang tamu. Nisa memakai gamis berwarna oranye muda berhiaskan sulaman bunga-bunga serta jilbab panjang dengan warna senada. Selain itu, malam itu Nisa terlihat berbeda dari biasanya. Ia memoles wajahnya dengan bedak dan sedikit perona pipi di wajahnya, juga lipstick berwarna merah muda yang dipakainya tipis-tipis di bibirnya.
“Subhanallah!,” gumam Yogie di hati kecilnya begitu melihat Nisa yang tak hanya tampak segar berseri, tapi juga cantik dan anggun malam itu.
Untunglah Fisha cepat-cepat mencubit tangan Yogie sehingga Yogie cepat-cepat tersadar dan menundukkan kepalanya kembali. Namun kilasan pandangan tadi membuat jantung Yogie berdegup sangat kencang. Seluruh tubuhnya terasa lemas seketika. Lebih lemas dari pada sewaktu ia merasakan sakit di tubuhnya akibat kanker yang menggerogotinya. Mulutnya pun terasa kelu. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Dan ada yang terasa geli di dalam perutnya, namun ia tak tahu itu apa.
Meskipun begitu, Yogie berusaha sedapat mungkin menguasai dirinya agar tetap dapat bersikap tenang dan sewajarnya. Jika tidak, bisa-bisa ia menjadi bahan tertawaan orang-orang di ruangan itu.
Malam itu, dengan izin Allah semuanya berjalan dengan lancar. Pembicaraan dua keluarga itu pun berlangsung dengan hangatnya. Dan malam itu pula, dua keluarga itu sepakat untuk melangsungkan pernikahan Yogie dan Nisa pada hari Sabtu terakhir sebelum bulan Ramadhan. Meski hanya tersedia waktu kurang dari 3 pekan, mereka yakin waktu yang singkat itu cukup untuk mempersiapkan pernikahan Yogie dan Nisa.
Sebelum berpamitan, Yogie kembali melayangkan pandangannya ke arah Nisa yang duduk di sebelah ibunya.
“Subhanallah,” gumam Yogie lagi. Hatinya terasa berdesir pelan begitu melihat wajah Nisa yang memerah dan tersipu malu.
“Bidadariku….
Andai kau tahu
Betapa anggunnya dirimu
Betapa cantiknya parasmu
Betapa indahnya wajahmu
Keanggunan yang dibingkai oleh kesolihanmu
Kecantikan yang dibalut oleh mulianya akhlakmu
Keindahan yang terpancar oleh kelembutan jiwamu
Andai kau tahu…
Betapa diriku mengagumimu
Betapa ku tlah terpesona olehmu
Betapa ku sangat bersyukur jika dapat menyuntingmu
Betapa beruntungnya aku jika dapat memilikimu
Betapa bahagianya aku jika dapat bersamamu
Ya Allah ya Tuhanku…
Sampaikanlah aku pada batas waktu
Batas waktu dimana ia kan bersamaku slalu
Batas waktu dimana ia kan temani perjuanganku
Batas waktu dimana ia kan hapus segala duka dan letihku
Bidadariku…
Biarlah rinduku
Tersimpan manis dalam hatiku
Hingga nanti ku labuhkan rinduku
Hanya pada dirimu,”
Ujar Yogie merangkai puisi dalam perjalanan pulang dari rumah Nisa. ^_^’
*****
Detik-detik yang dilalui Yogie, kini penuh dengan kebahagiaan. Yogie seolah telah melupakan penyakitnya. Ia begitu semangat mempersiapkan pernikahannya yang tidak lama lagi. Bahkan meski kini waktu luangnya tersita karena pekerjaan yang baru saja ditekuninya. Ya, Yogie memang telah bekerja kini. Ia menerima tawaran Dika untuk mengajar fisika di sebuah tempat bimbel. Ia tidak mengeluh sedikit pun. Segala letih seolah tiada dirasakannya. Ia benar-benar bersemangat menjemput ma’isyah demi ‘aisyah tercinta.
Namun, entah mengapa Yogie merasakan sebuah kejanggalan beberapa hari belakangan. Kejanggalan yang dirasakannya karena ada sesuatu yang tidak biasa terjadi. Tidak biasa terjadi oleh kakak terhadap adiknya.
Dika! Entah mengapa Yogie merasa sikap Dika sangat tidak biasa beberapa hari ini. Ia terlihat murung. Bahkan ia terlihat tidak bersemangat jika Yogie mengajaknya membicarakan persiapan pernikahan Yogie. Padahal Dika yang pada awalnya sangat mendukung Yogie untuk menikah, Dika pula yang bersemangat mencarikan jodoh untuk Yogie. Tapi kini, ketika semuanya hampir terwujud, tiba-tiba sikap Dika berubah drastis. Entah ada apa sebenarnya. Tidak relakah Dika jika Yogie mendahuluinya menikah? Tapi bukankah Dika sendiri yang mempersilahkan Yogie untuk mendahuluinya?
Yogie tercenung sendiri. Mungkin dulu, ketika semuanya masih hanya berupa impian, mudah bagi Dika mengucapkan seperti itu. Tapi kini, ketika semuanya segera terwujud nyata, bukan hal yang tidak mungkin ada segurat kesedihan di dalam hati Dika, bukan tidak mungkin Dika merasa iri pada adiknya. Ya, bukan tidak mungkin! Karena Dika hanyalah seorang manusia biasa, yang bisa merasakan sakit, perih, gembira, sedih dan berbagai perasaan yang lainnya.
“Astaghfirullah….aku tidak boleh su’uzhan pada kakakku sendiri,” ujar Yogie segera tersadar.
Ia segera bangun dari kursi dan melangkah ke kamarnya. Yogie menoleh sesaat ke dalam kamar Dika yang ketika ia melintas, pintunya sedikit terbuka. Tak ada seorang pun di dalam sana. Hanya tampak komputer yang masih terlihat menyala dan ditinggalkan Dika begitu saja. Mungkin Dika sedang pergi ke kamar mandi dahulu. Begitu pikir Yogie. Yogie masuk ke dalam kamar Dika yang kosong. Ia ingin mencoba berbicara dengan Dika agar jelas apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Yogie mendekati meja komputer Dika. Matanya tertuju pada layar monitor komputer yang masih menyala. Ada uraian kalimat yang muncul di sana. Yogie pun membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana, termasuk sebait puisi yang terangkai di sana.
“Biar ku rasakan perih ini sendiri
Biar ku simpan luka ini sendiri
Biar ku nikmati pedih ini sendiri
Karena mungkin memang harus begini
Karena mungkin memang ini yang harus ku jalani
Karena mungkin memang sudah takdir Illahi
Duhai bidadari,
Ku ikhlaskan dirimu untuk orang yang sangat ku cintai
Ku relakan dirimu dimiliki orang yang sangat ku kasihi
Karena ku percaya inilah yang terbaik yang harus dijalani
Karena ku percaya pada segala ketetapan Illahi Rabbi”
Yogie terhenyak membacanya. Sungguhkah itu puisi buatan Dika? Jika benar, siapa yang dimaksud dengan bidadari? Apa mungkin Nisa? Apa mungkin diam-diam Dika jatuh hati dengan Nisa? Jika tidak, kenapa Dika menulis puisi seperti itu?
Yogie menarik napas sesaat. Ia tak ingin terus menduga tanpa pasti. Tak ingin terus-menerus berprasangka pada kakaknya sendiri. Ia harus menanyakannya langsung pada Dika. Yah, bertanya sendiri pada Dika!
“Yogie..?!,” ujar Dika terkejut begitu mengetahui Yogie sedang berada di dalam kamarnya dan sedang membaca isi tulisan yang ada di komputernya.
Yogie tersenyum dan berusaha bersikap tenang.
“Maaf, Kak. Tadi pintu kamar Kak Dika terbuka, jadi aku ….,” Yogie belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Dika sudah keburu memotongnya.
“Kamu baca file Kakak?.”
Yogie tidak langsung menjawab. Ia tertunduk dan duduk di tepi tempat tidur Dika. Sedangkan Dika, menatap Yogie dengan tajamnya seraya menanti jawaban Yogie.
“Iya, Kak,” jawab Yogie pelan.
Dika menghela napas mendengarnya.
“Kak, apa maksud puisi Kak itu? Siapa bidadari yang Kak Dika maksud? Apa itu Nisa? Apa itu Nisa calon istriku?,” tanya Yogie kemudian, tak bisa menahan rasa penasarannya.
Dika tidak menjawab. Ia hanya terdiam mematung.
“Kak, sikap Kak Dika terlihat aneh sejak kita datang ke rumah Nisa. Kak Dika sepertinya tidak gembira dengan rencana pernikahanku. Kenapa, Kak?,” tanya Yogie lagi. “Ada apa sebenarnya, Kak? Katakanlah!.”
Dika kembali menghela napas. Lalu ia duduk di samping Yogie.
“Apa Nisa, bidadari yang dimaksud dalam puisi Kak Dika?,” selidik Yogie lagi.
Dika mengangguk pelan. Membuat Yogie terkejut bukan main mengetahuinya.
“Bagaimana bisa? Sepertinya kemarin Nisa tidak mengenali Kak Dika?.”
Dika tersenyum tipis.
“Kak Dika mengenalnya lewat tulisan-tulisannya di buletin Al-Hijrah yang sering diperlihatkan Bahrul. Tulisannya sangat bagus dan mengena. Belakangan, Kak Dika mencoba mencari tahu tentang Nisa dari Bahrul dan teman-temannya yang lain. Dan semakin Kak Dika mengetahui tentang Nisa, membuat Kak Dika semakin yakin, dialah wanita yang tepat untuk mendampingi hidup Kak Dika. Awalnya, Kak Dika berniat meminangnya setelah wisuda nanti. Tapi ternyata, kamu telah lebih dulu meminangnya. Sungguh semuanya di luar dugaan Kak Dika,” ungkap Dika pada adiknya.
“Kak, maafkan aku. Aku sungguh gak tahu Kak Dika hendak melamar Nisa. Kalau saja aku tahu, pasti tidak akan ku turuti saran Bahrul untuk meminangnya meski ku tahu Nisa bersimpati padaku,” ujar Yogie kemudian dengan raut wajah penuh penyesalan.
“Sudahlah, Gie. Itu sudah terjadi dan yang pastinya bukanlah sebuah kebetulan, tapi sudah diatur oleh yang Maha Memiliki rencana. Gie, tak ada gunanya lagi menyesal. Kamu gak boleh membatalkan pinangan hanya demi untuk menjaga perasaan Kak Dika. Dan kak Dika pun gak mau zhalim dengan memintamu membatalkan pinanganmu pada Nisa.”
“Lantas?.”
“Teruskanlah proses ini hingga ia halal untuk kamu miliki,” jawab Dika tanpa ragu.
“Lalu bagaimana dengan Kak Dika?.”
“Insya Allah Kakak akan baik-baik saja. Jika memang saat ini Kakak masih merasa sakit, itu manusiawi karena Kakak cuma manusia biasa. Tapi percayalah, rasa sakit ini hanyalah sementara. Suatu saat luka di hati Kakak ini akan sembuh dan terobati. Percayalah!,” jawab Dika seraya tersenyum, berusaha meyakinkan hati Yogie
Yogie mengangguk perlahan.
“Gie, suatu hari…. Kak Dika pasti dipertemukan dengan bidadari yang Allah berikan buat Kakak. Dan aku yakin bidadari itu adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untuk Kakak. Maaf ya atas sikap kak Dika beberapa hari ini,” sambung Dika.
Yogie balas tersenyum pada Dika meski matanya masih sembap oleh air mata.
“Terima kasih, Kak. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih telah berbesar hati untukku. Semoga Allah memberikan yang lebih baik buat Kak Dika. ” ujarnya kemudian.
Keduanya pun saling berpelukan erat. Tak ada yang mengira kalau kakak beradik itu mendambakan wanita solihah yang sama. Tak ada yang menduga mereka telah jatuh cinta pada wanita yang sama.
Sepertiga malam yang sunyi. Yogie dan Dika melaksanakan qiyamul lail bersama. Dalam dinginnya udara malam, keduanya menghangatkan jiwa-jiwa mereka dengan senandung doa dan zikir-zikir cinta pada Rabb yang telah menciptakan mereka, kepada Maha cinta yang Maha memiliki cinta.
“Ya Allah
jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang
yang melabuhkan cintanya padaMu,
agar bertambah kekuatanku untuk mencintaiMu...
Ya Muhaimin,
jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang
yang hatinya tertaut padaMu
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta nafsu...
Ya Rabbana ,
jika aku jatuh hati jagalah hatiku padanya
agar tidak berpaling daripada hatiMu.....
Ya Rabbul Izzati ,
jika aku rindu ,
rindukanlah aku pada seseorang
yang merindui syahid di jalan Mu....
Ya Allah ,
jika aku menikmati cinta kekasihMu
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan
indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirMu...
Ya Allah ,
jika aku jatuh hati pada kekasihMu
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh
dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepadaMu....
Ya Allah
jika Kau halalkan aku merindui kekasihMu
jangan biarkan aku melampaui batas
sehingga melupakan aku pada cinta hakiki
dan rindu abadi hanya kepadaMu..... Amin... Ya Rabbal Alamin”
Khoirunnisa! Kenapa baru sekarang Yogie mengenal mahasiswi jurusan PGMI semester akhir itu? Kenapa baru sekarang Yogie mengetahui ada seorang wanita berakhlak mulia seperti itu di kampusnya? Padahal Nisa telah lebih dahulu menuntut ilmu di kampusnya. Padahal Nisa adalah seorang aktivis. Ho..ho.. tentu saja! Tentu saja wanita sebaik Nisa dahulu luput dari perhatian Yogie. Dulu, sedikit pun Yogie memang tak pernah memperhatikan wanita-wanita berkerudung besar seperti Nisa meski mereka banyak berseliweran di kampus Yogie. Baginya, wanita-wanita berkerudung besar itu dahulu terlihat aneh di matanya, gak modis dan tak ada yang menarik sedikit pun. Padahal di balik kerudung besar wanita-wanita itu, tersimpan mutiara yang sangat berharga, yang tiada dapat tergantikan oleh apa pun di dunia ini, yang tak kan pernah terbayarkan oleh berapa banyak pun harta benda yang dimiliki.
Khoirunnisa! Siapa yang menduga sebelumnya, wanita sebaik itu bersedia berproses dengan Yogie, seorang mantan mahasiswa rusuh seperti dirinya, yang kini hanya seorang laki-laki penyakitan, yang entah berapa lama lagi ia dapat bertahan dengan penyakitnya itu. Bahkan, apakah ia sanggup bertahan hingga akad nikah dilaksanakan, Yogie tak tahu. Sungguh tak tahu! Begitu pula dengan Nisa. Tak ada yang pernah tahu kecuali Rabb yang telah menghidupkan mereka dan yang akan mematikan mereka pula kelak.
Tapi Nisa, dengan segenap ketulusannya, tidak mempedulikan penyakit Yogie itu. Tak peduli berapa lama lagi Yogie masih akan bertahan. Tak peduli apakah Yogie sanggup memproses hingga singgasana pernikahan nantinya. Ia hanya peduli sosok Yogie yang sekarang, yang begitu tawakalnya menerima cobaan penyakitnya, yang tetap memperjuangkan cita-citanya, yang tetap optimis dan tak putus asa menatap masa depannya, yang dengan penyakitnya itu justru membuat Yogie berhijrah hingga menjadi seorang ikhwan yang solih seperti sekarang.
“Ya, Rabb. Betapa beruntungnya aku jika aku bisa menikahi wanita semulia itu. Sungguh Maha Besar Engkau ya, Allah. Nikmat-Mu yang manakah yang hendak ku dustakan?,” lirih Yogie selepas shalat Maghrib. Hatinya dipenuhi oleh rasa syukur yang tiada terkira pada Rabb-nya. Lalu dibiarkannya air matanya yang sejak tadi tergenang di pelupuk matanya, berjatuhan di atas sajadahnya bersama senandung zikir yang terurai dari bibirnya.
*****
Usai makan malam, Yogie mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang tengah. Ia berniat menyampaikan ikhwal dirinya yang ta’aruf dengan seorang akhwat di kampusnya. Dan juga untuk membicarakan proses selanjutnya yang kemungkinan tidak akan menunggu waktu lama, apalagi sampai memakan waktu berbulan-bulan. Yogie dan Nisa sepakat untuk menyegerakan khitbah dan walimah mereka. Semua itu mereka putuskan bukan hanya mengingat penyakit yang bersarang di tubuh Yogie, tapi juga karena mereka berharap, Ramadhan yang tidak lama lagi datang, dapat mereka lewati bersama-sama sebagai sepasang suami istri.^_^’
“Alhamdulillah..,” ucap Pak Yusuf, Bu Renna dan Dika berbarengan usai Yogie memberi tahu keluarganya.
Berbeda dengan yang lain, Fisha sedikit lebih heboh.
“Wah, Kak Yogie begini-begini ternyata lebih hebat dari Kak Dika!
Selamat ya, Kak,” cerocos Fisha seperti biasa. “Cepetan nikahnya, Kak. Gak usah pake mikirin Kak Dika, gak usah pake nunggu-nunggu Kak Dika. Langkahin aja Kak Dika biar Kak Dika ngiri!,” sambung Fisha sambil menjulurkan lidah ke arah Dika.
“Kak Dika gak ngiri tuh! Kak Dika sengaja ngalah, sengaja gak buru-buru, nunggu kelar skripsi dulu, wisuda baru deh meminang sang ‘Aisyah,” sahut Dika cepat sambil membalas menjulurkan lidah ke arah Fisha.
“Ih, pake ngeles! Bilang aja iya, nanti Fisha bantuin cariin deh!,” ledek Fisha lagi.
“Terima kasih. Tapi kalo kamu yang cariin, Kak Dika gak yakin deh.”
“Gak yakin apa, Kak?,” tanya Fisha heran.
“Gak yakin bakal dapat sesuai selera Kak Dika. Karena pilihan kamu, seleranya pasti seperti selera kamu. Selera kamu kan gini..,” Dika mengacungkan jempolnya ke arah bawah.
Fisha bersungut kesal.
Namun Dika justru tersenyum penuh kemenangan.
Pak Yusuf dan Bu Renna hanya senyum-senyum melihat tingkah kedua anaknya itu. Mereka berharap, kehangatan seperti itu dapat terus terasa di dalam keluarga itu setiap harinya. Dan dengan kehadiran Yogie di tengah mereka tentunya.
“Oh ya, tadi aku baru dapat info dari teman, katanya di lembaga bimbel tempatnya mengajar, sedang membutuhkan guru bimbel untuk bidang studi fisika. Nah, Yogie kan jago fisika, pasti bisa kan ngajar fisika? Untuk pengajar baru, mungkin belum seberapa dibandingkan yang sudah mengajar di sana cukup lama, tapi ya lumayanlah. Jam kerjanya pun bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah. Gimana? Kamu bersedia, Gie?,” ujar Dika ketika suasana sudah kembali tenang.
“Terima saja, Gie. Itu pekerjaan yang tidak terlalu menguras fisik. Lagi pula waktunya bisa diatur,” saran Bu Renna pada Yogie yang diikuti anggukan kepala Pak Yusuf.
Yogie tersenyum.
“Insya Allah, Bu. Akan saya pertimbangkan. Hanya saja, masih ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi selain masalah ma’isyah.”
“Apa?,” tanya Bu Renna cepat.
“Masalah khitbah,” jawab Yogie tanpa ragu.
“Khitbah? Maksudnya?,” tanya Bu Renna tidak mengerti maksud Yogie.
Dika tersenyum pada Bu Renna.
“Maksudnya pinangan, Bu. Keluarga pihak laki-laki datang ke keluarga pihak perempuan untuk meminang gadis yang hendak dinikahi anak laki-lakinya,” jawab Dika menjelaskan.
“Oh, lamaran?,” simpul Bu Renna. Istilah lamaran memang lebih dikenalnya dibandingkan dengan istilah khitbah atau pun pinangan.
Dika dan Yogie hanya tersenyum mengiyakan.
“Bu, saya ingin bisa segera menikah. Kalau bisa, ketika Ramadhan datang, kami sudah menikah,” Yogie mengungkapkan keinginan hatinya.
“Cieeeee, udah gak sabar nih ceritanya?! Pengen pengantin baruan di bulan Ramadhan ya, Kak. Duuuuh, pasti romantis!,” sambar Fisha tiba-tiba.
“Hus! Anak kecil sebaiknya diam dulu!,” tegur Dika pada adiknya.
Fisha merengut.
“Ye, bilang aja ngiri!,” celetuknya.
“Bukan masalah ngiri, ini masalah serius, jangan main-main dan comel kaya’ gitu!,” ucap Dika mengingatkan.
Fisha tak menyahut lagi. Tapi wajahnya jadi ditekuk hingga terlihat aneh. Yogie pun mengulum senyum melihat wajah adiknya itu.
“Bagaimana? Tak perlu acara yang megah, yang terpenting kami berdua sudah sah secara hukum agama dan hukum negara. Tapi kalau Ayah dan Ibu tetap ingin mengadakan walimah, sebaiknya setelah Ramadhan saja dan itu pun kalau Ayah dan Ibu memang sanggup melaksanakannya. Kalau tidak bisa, cukup syukuran sederhana dengan mengundang tetangga dan saudara dekat saja,” ujar Yogie kemudian.
Pak Yusuf dan Bu Renna saling berpandangan. Keduanya pun kemudian tersenyum.
“Kami setuju, Nak. Insya Allah besok lusa kita datang ke rumah gadis itu untuk melamarnya secara resmi. Jika mereka setuju, akad nikah akan dilangsungkan beberapa hari sebelum Ramadhan,” jawab Pak Yusuf mengamini keinginan putranya.
“Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu. Insya Allah besok saya akan datang untuk menemui orang tua gadis itu, jika orang tuanya setuju, lusa kita datang ke rumahnya dan meminangnya,” sahut Yogie bahagia.
Pak Yusuf dan Bu Renna menangkap pancaran kebahagiaan di wajah Yogie. Hati mereka pun ikut pula merasakan kebahagiaan yang sedang putra mereka rasakan. Sungguh bagi mereka tak ada yang lebih berharga selain melihat sang anak tercinta berbahagia seperti itu. Apa pun rela mereka lakukan, asalkan Yogie merasakan bahagia di sisa hidupnya yang entah tinggal berapa lama lagi. T.T
*****
Yogie dan keluarganya telah duduk manis di ruang tamu rumah Nisa. Berbagai macam hidangan pun telah disediakan di hadapan mereka. Pak Hamzah dan 3 putranya juga telah hadir di situ, menemani Pak Yusuf dan keluarganya berbincang sambil menunggu Nisa dan ibunya datang. Keduanya masih sibuk berhias diri setelah tadi sibuk menyiapkan hidangan di dapur.
Suasana terlihat akrab malam itu meski dua keluarga itu belum saling mengenal sebelumnya. Sehingga dalam sekejap saja, mereka sudah seperti saudara yang saling merindu karena lama tidak saling bersua.
10 menit menunggu, Nisa dan ibunya datang juga di ruang tamu rumah mereka. Bu Siti, ibu Nisa mengenakan kebaya muslim berwarna coklat muda. Sedang Nisa….. Yogie sempat melirik sebentar ke arah Nisa ketika mereka baru memasuki ruang tamu. Nisa memakai gamis berwarna oranye muda berhiaskan sulaman bunga-bunga serta jilbab panjang dengan warna senada. Selain itu, malam itu Nisa terlihat berbeda dari biasanya. Ia memoles wajahnya dengan bedak dan sedikit perona pipi di wajahnya, juga lipstick berwarna merah muda yang dipakainya tipis-tipis di bibirnya.
“Subhanallah!,” gumam Yogie di hati kecilnya begitu melihat Nisa yang tak hanya tampak segar berseri, tapi juga cantik dan anggun malam itu.
Untunglah Fisha cepat-cepat mencubit tangan Yogie sehingga Yogie cepat-cepat tersadar dan menundukkan kepalanya kembali. Namun kilasan pandangan tadi membuat jantung Yogie berdegup sangat kencang. Seluruh tubuhnya terasa lemas seketika. Lebih lemas dari pada sewaktu ia merasakan sakit di tubuhnya akibat kanker yang menggerogotinya. Mulutnya pun terasa kelu. Pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Dan ada yang terasa geli di dalam perutnya, namun ia tak tahu itu apa.
Meskipun begitu, Yogie berusaha sedapat mungkin menguasai dirinya agar tetap dapat bersikap tenang dan sewajarnya. Jika tidak, bisa-bisa ia menjadi bahan tertawaan orang-orang di ruangan itu.
Malam itu, dengan izin Allah semuanya berjalan dengan lancar. Pembicaraan dua keluarga itu pun berlangsung dengan hangatnya. Dan malam itu pula, dua keluarga itu sepakat untuk melangsungkan pernikahan Yogie dan Nisa pada hari Sabtu terakhir sebelum bulan Ramadhan. Meski hanya tersedia waktu kurang dari 3 pekan, mereka yakin waktu yang singkat itu cukup untuk mempersiapkan pernikahan Yogie dan Nisa.
Sebelum berpamitan, Yogie kembali melayangkan pandangannya ke arah Nisa yang duduk di sebelah ibunya.
“Subhanallah,” gumam Yogie lagi. Hatinya terasa berdesir pelan begitu melihat wajah Nisa yang memerah dan tersipu malu.
“Bidadariku….
Andai kau tahu
Betapa anggunnya dirimu
Betapa cantiknya parasmu
Betapa indahnya wajahmu
Keanggunan yang dibingkai oleh kesolihanmu
Kecantikan yang dibalut oleh mulianya akhlakmu
Keindahan yang terpancar oleh kelembutan jiwamu
Andai kau tahu…
Betapa diriku mengagumimu
Betapa ku tlah terpesona olehmu
Betapa ku sangat bersyukur jika dapat menyuntingmu
Betapa beruntungnya aku jika dapat memilikimu
Betapa bahagianya aku jika dapat bersamamu
Ya Allah ya Tuhanku…
Sampaikanlah aku pada batas waktu
Batas waktu dimana ia kan bersamaku slalu
Batas waktu dimana ia kan temani perjuanganku
Batas waktu dimana ia kan hapus segala duka dan letihku
Bidadariku…
Biarlah rinduku
Tersimpan manis dalam hatiku
Hingga nanti ku labuhkan rinduku
Hanya pada dirimu,”
Ujar Yogie merangkai puisi dalam perjalanan pulang dari rumah Nisa. ^_^’
*****
Detik-detik yang dilalui Yogie, kini penuh dengan kebahagiaan. Yogie seolah telah melupakan penyakitnya. Ia begitu semangat mempersiapkan pernikahannya yang tidak lama lagi. Bahkan meski kini waktu luangnya tersita karena pekerjaan yang baru saja ditekuninya. Ya, Yogie memang telah bekerja kini. Ia menerima tawaran Dika untuk mengajar fisika di sebuah tempat bimbel. Ia tidak mengeluh sedikit pun. Segala letih seolah tiada dirasakannya. Ia benar-benar bersemangat menjemput ma’isyah demi ‘aisyah tercinta.
Namun, entah mengapa Yogie merasakan sebuah kejanggalan beberapa hari belakangan. Kejanggalan yang dirasakannya karena ada sesuatu yang tidak biasa terjadi. Tidak biasa terjadi oleh kakak terhadap adiknya.
Dika! Entah mengapa Yogie merasa sikap Dika sangat tidak biasa beberapa hari ini. Ia terlihat murung. Bahkan ia terlihat tidak bersemangat jika Yogie mengajaknya membicarakan persiapan pernikahan Yogie. Padahal Dika yang pada awalnya sangat mendukung Yogie untuk menikah, Dika pula yang bersemangat mencarikan jodoh untuk Yogie. Tapi kini, ketika semuanya hampir terwujud, tiba-tiba sikap Dika berubah drastis. Entah ada apa sebenarnya. Tidak relakah Dika jika Yogie mendahuluinya menikah? Tapi bukankah Dika sendiri yang mempersilahkan Yogie untuk mendahuluinya?
Yogie tercenung sendiri. Mungkin dulu, ketika semuanya masih hanya berupa impian, mudah bagi Dika mengucapkan seperti itu. Tapi kini, ketika semuanya segera terwujud nyata, bukan hal yang tidak mungkin ada segurat kesedihan di dalam hati Dika, bukan tidak mungkin Dika merasa iri pada adiknya. Ya, bukan tidak mungkin! Karena Dika hanyalah seorang manusia biasa, yang bisa merasakan sakit, perih, gembira, sedih dan berbagai perasaan yang lainnya.
“Astaghfirullah….aku tidak boleh su’uzhan pada kakakku sendiri,” ujar Yogie segera tersadar.
Ia segera bangun dari kursi dan melangkah ke kamarnya. Yogie menoleh sesaat ke dalam kamar Dika yang ketika ia melintas, pintunya sedikit terbuka. Tak ada seorang pun di dalam sana. Hanya tampak komputer yang masih terlihat menyala dan ditinggalkan Dika begitu saja. Mungkin Dika sedang pergi ke kamar mandi dahulu. Begitu pikir Yogie. Yogie masuk ke dalam kamar Dika yang kosong. Ia ingin mencoba berbicara dengan Dika agar jelas apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Yogie mendekati meja komputer Dika. Matanya tertuju pada layar monitor komputer yang masih menyala. Ada uraian kalimat yang muncul di sana. Yogie pun membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana, termasuk sebait puisi yang terangkai di sana.
“Biar ku rasakan perih ini sendiri
Biar ku simpan luka ini sendiri
Biar ku nikmati pedih ini sendiri
Karena mungkin memang harus begini
Karena mungkin memang ini yang harus ku jalani
Karena mungkin memang sudah takdir Illahi
Duhai bidadari,
Ku ikhlaskan dirimu untuk orang yang sangat ku cintai
Ku relakan dirimu dimiliki orang yang sangat ku kasihi
Karena ku percaya inilah yang terbaik yang harus dijalani
Karena ku percaya pada segala ketetapan Illahi Rabbi”
Yogie terhenyak membacanya. Sungguhkah itu puisi buatan Dika? Jika benar, siapa yang dimaksud dengan bidadari? Apa mungkin Nisa? Apa mungkin diam-diam Dika jatuh hati dengan Nisa? Jika tidak, kenapa Dika menulis puisi seperti itu?
Yogie menarik napas sesaat. Ia tak ingin terus menduga tanpa pasti. Tak ingin terus-menerus berprasangka pada kakaknya sendiri. Ia harus menanyakannya langsung pada Dika. Yah, bertanya sendiri pada Dika!
“Yogie..?!,” ujar Dika terkejut begitu mengetahui Yogie sedang berada di dalam kamarnya dan sedang membaca isi tulisan yang ada di komputernya.
Yogie tersenyum dan berusaha bersikap tenang.
“Maaf, Kak. Tadi pintu kamar Kak Dika terbuka, jadi aku ….,” Yogie belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Dika sudah keburu memotongnya.
“Kamu baca file Kakak?.”
Yogie tidak langsung menjawab. Ia tertunduk dan duduk di tepi tempat tidur Dika. Sedangkan Dika, menatap Yogie dengan tajamnya seraya menanti jawaban Yogie.
“Iya, Kak,” jawab Yogie pelan.
Dika menghela napas mendengarnya.
“Kak, apa maksud puisi Kak itu? Siapa bidadari yang Kak Dika maksud? Apa itu Nisa? Apa itu Nisa calon istriku?,” tanya Yogie kemudian, tak bisa menahan rasa penasarannya.
Dika tidak menjawab. Ia hanya terdiam mematung.
“Kak, sikap Kak Dika terlihat aneh sejak kita datang ke rumah Nisa. Kak Dika sepertinya tidak gembira dengan rencana pernikahanku. Kenapa, Kak?,” tanya Yogie lagi. “Ada apa sebenarnya, Kak? Katakanlah!.”
Dika kembali menghela napas. Lalu ia duduk di samping Yogie.
“Apa Nisa, bidadari yang dimaksud dalam puisi Kak Dika?,” selidik Yogie lagi.
Dika mengangguk pelan. Membuat Yogie terkejut bukan main mengetahuinya.
“Bagaimana bisa? Sepertinya kemarin Nisa tidak mengenali Kak Dika?.”
Dika tersenyum tipis.
“Kak Dika mengenalnya lewat tulisan-tulisannya di buletin Al-Hijrah yang sering diperlihatkan Bahrul. Tulisannya sangat bagus dan mengena. Belakangan, Kak Dika mencoba mencari tahu tentang Nisa dari Bahrul dan teman-temannya yang lain. Dan semakin Kak Dika mengetahui tentang Nisa, membuat Kak Dika semakin yakin, dialah wanita yang tepat untuk mendampingi hidup Kak Dika. Awalnya, Kak Dika berniat meminangnya setelah wisuda nanti. Tapi ternyata, kamu telah lebih dulu meminangnya. Sungguh semuanya di luar dugaan Kak Dika,” ungkap Dika pada adiknya.
“Kak, maafkan aku. Aku sungguh gak tahu Kak Dika hendak melamar Nisa. Kalau saja aku tahu, pasti tidak akan ku turuti saran Bahrul untuk meminangnya meski ku tahu Nisa bersimpati padaku,” ujar Yogie kemudian dengan raut wajah penuh penyesalan.
“Sudahlah, Gie. Itu sudah terjadi dan yang pastinya bukanlah sebuah kebetulan, tapi sudah diatur oleh yang Maha Memiliki rencana. Gie, tak ada gunanya lagi menyesal. Kamu gak boleh membatalkan pinangan hanya demi untuk menjaga perasaan Kak Dika. Dan kak Dika pun gak mau zhalim dengan memintamu membatalkan pinanganmu pada Nisa.”
“Lantas?.”
“Teruskanlah proses ini hingga ia halal untuk kamu miliki,” jawab Dika tanpa ragu.
“Lalu bagaimana dengan Kak Dika?.”
“Insya Allah Kakak akan baik-baik saja. Jika memang saat ini Kakak masih merasa sakit, itu manusiawi karena Kakak cuma manusia biasa. Tapi percayalah, rasa sakit ini hanyalah sementara. Suatu saat luka di hati Kakak ini akan sembuh dan terobati. Percayalah!,” jawab Dika seraya tersenyum, berusaha meyakinkan hati Yogie
Yogie mengangguk perlahan.
“Gie, suatu hari…. Kak Dika pasti dipertemukan dengan bidadari yang Allah berikan buat Kakak. Dan aku yakin bidadari itu adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untuk Kakak. Maaf ya atas sikap kak Dika beberapa hari ini,” sambung Dika.
Yogie balas tersenyum pada Dika meski matanya masih sembap oleh air mata.
“Terima kasih, Kak. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih telah berbesar hati untukku. Semoga Allah memberikan yang lebih baik buat Kak Dika. ” ujarnya kemudian.
Keduanya pun saling berpelukan erat. Tak ada yang mengira kalau kakak beradik itu mendambakan wanita solihah yang sama. Tak ada yang menduga mereka telah jatuh cinta pada wanita yang sama.
Sepertiga malam yang sunyi. Yogie dan Dika melaksanakan qiyamul lail bersama. Dalam dinginnya udara malam, keduanya menghangatkan jiwa-jiwa mereka dengan senandung doa dan zikir-zikir cinta pada Rabb yang telah menciptakan mereka, kepada Maha cinta yang Maha memiliki cinta.
“Ya Allah
jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang
yang melabuhkan cintanya padaMu,
agar bertambah kekuatanku untuk mencintaiMu...
Ya Muhaimin,
jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang
yang hatinya tertaut padaMu
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta nafsu...
Ya Rabbana ,
jika aku jatuh hati jagalah hatiku padanya
agar tidak berpaling daripada hatiMu.....
Ya Rabbul Izzati ,
jika aku rindu ,
rindukanlah aku pada seseorang
yang merindui syahid di jalan Mu....
Ya Allah ,
jika aku menikmati cinta kekasihMu
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan
indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirMu...
Ya Allah ,
jika aku jatuh hati pada kekasihMu
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh
dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepadaMu....
Ya Allah
jika Kau halalkan aku merindui kekasihMu
jangan biarkan aku melampaui batas
sehingga melupakan aku pada cinta hakiki
dan rindu abadi hanya kepadaMu..... Amin... Ya Rabbal Alamin”
0 komentar:
Posting Komentar