Yogie kembali menapaki langkah kakinya di kampus. Sudah satu minggu ia kembali kuliah setelah ia meninggalkan kuliahnya selama 3 bulan lamanya demi untuk belajar di pondok pesantren. Yogie memutuskan untuk kembali kuliah karena tak ingin tenggelam dalam kedukaan. Ia ingin tetap optimis menatap masa depannya, meraih segala cita dan mimpinya. Tak peduli berapa pun sisa usia yang masih dimilikinya, Yogie tak ingin menyerah, tak ingin berputus asa. Ia akan terus mengejarnya meski mungkin harus tertatih berjalan. Dan ia sangat bersyukur karena keinginannya untuk kembali kuliah terasa begitu dimudahkan. Bahkan ia dapat mengikuti ujian akhir semester yang hanya tinggal beberapa minggu lagi meski harus berusaha keras mengejar ketertinggalan materi kuliahnya sendiri.
Bisa kembali ke bangku kuliahnya, membuat Yogie lebih bersemangat lagi menjalani hidupnya. Meski mungkin usianya tak lama lagi, dengan kembali kuliah, Yogie merasa hidupnya masih sangat lama. Ia juga merasa kalau begitu banyak harapan yang membentang di hadapannya. Harapan yang menyinari terang langkah kakinya.
Namun, sejak Yogie kembali menjalani aktivitas kuliahnya, diam-diam ia menjadi bahan perbincangan teman-teman sekampusnya. Terutama teman-teman satu tongkrongannya yang biasanya kumpul bareng dan balapan motor dengannya. Mereka semua merasa aneh dengan perubahan yang terjadi pada diri Yogie sejak kembali ke kampus. Yogie yang sekarang penampilannya jauh berbeda dengan sebelumnya. Bila dulu ia lebih senang memakai kaos ngepres, celana jeans belel dan jaket hitam, Yogie yang sekarang lebih suka memakai kemeja, celana ngatung dan jenggot tipis menghias dagunya dengan potongan rambut yang tersisir rapih. Selain itu, Yogie yang sekarang lebih suka nongkrong di Masjid atau di perpustakaan ketimbang nongkrong di kantin dengan teman-temannya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca buku atau bertilawah dari pada berbincang tak karuan dengan teman-temannya. Selain itu, Yogie tak pernah ketinggalan shalat berjama’ah di Masjid. Padahal sebelumnya, jangankan shalat berjama’ah di Masjid, seorang Yogie sampai mau shalat pun benar-benar sebuah keajaiban. Perubahan Yogie yang begitu drastis sungguh membuat orang-orang yang mengenalnya terheran-heran.
Bukan hanya teman-teman Yogie satu jurusan atau pun yang dahulu dekat dengannya yang merasa heran, tanpa disadari Yogie, perubahan perilaku dan penampilannya juga menarik perhatian para aktivis mahasiswa di kampusnya yang selama ini dikenal sebagai mahasiswa yang seenaknya dan sebagai jagonya jalanan. Diantaranya para aktivis yan merasa heran itu antara lain adalah Bahrul dan Nisa. Keduanya merupakan reporter Al-Hijrah, buletin dakwah di kampus Yogie. Mereka yakin ada sesuatu di balik semua perubahan Yogie dan pastinya kisah itu sangat menarik dan akan sangat menginspirasi orang lain.
Suatu ketika, usai shalat Zuhur berjama’ah, Yogie dan Bahrul bersalaman. Bahrul pun tak melewatkan kesempatan itu. Bahrul mengajak Yogie berbincang di beranda Masjid. Tentu saja tidak langsung menanyakan perubahan yang terjadi pada Yogie. Ia berusaha mengakrabkan diri terlebih dahulu dengan Yogie.
Awalnya, Bahrul menanyakan kabar Dika. Meski beda kampus, Bahrul mengenal kakak Yogie itu karena sama-sama aktif dalam KAMMI. Setelah itu, ia mengajak Yogie membicarakan masalah kuliahnya. Begitu benar-benar akrab, beberapa hari kemudian barulah Bahrul mulai mencari tahu motif di balik semua perubahan Yogie. Tanpa ragu, Yogie pun menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dari sejak ia mulai sering tak sadarkan diri lalu dinyatakan mengidap kanker dan memutuskan menghabiskan sisa waktunya di pesantren hingga ia memutuskan untuk kembali ke bangku kuliahnya.
Bahrul menyimak kisah Yogie dengan penuh haru dan takjub. Ia pun meminta kesediaan Yogie untuk mempublikasikan kisahnya itu di buletin Al-Hijrah karena begitu banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah hidupnya itu. Awalnya Yogie menolak karena khawatir akan menimbulkan ujub dan riya’ pada dirinya atau pun mengundang rasa iba teman-teman sekampusnya. Namun dengan bujukan Dika, Yogie pun bersedia juga membagi kisahnya itu dengan teman-teman sekampusnya. Yogie pun menceritakan kembali kisahnya pada Bahrul dan juga Nisa yang ikut pula mewancarai dirinya.
Tepat di awal Juli, ketika seluruh mahasiswa menghadapi ujian akhir semester, hasil wawancara Yogie langsung dimuat di buletin Al-Hijrah Yogie. Bahkan wajah Yogie dimuat di halaman depan buletin itu. Tak ayal, Yogie segera saja menjadi buah bibir seluruh mahasiswa di kampusnya. Ia seperti artis yang tiba-tiba menjadi terkenal karena sebuah pemberitaan yang sangat menghebohkan. Buletin Al-Hijrah juga diserbu mahasiswa-mahasiswa yang biasanya enggan membaca buletin Islami seperti itu dan lebih memilih membaca tabloid atau majalah infotainment. Mereka semua penasaran dengan pemberitaan mengenai Yogie, mahasiswa brutal yang tiba-tiba berubah alim setelah terkena penyakit kanker sehingga baru benar-benar percaya setelah membaca sendiri artikel tersebut.
Namun dampak dari pemberitaan Yogie di buletin Al-Hijrah, bukan hanya membuat Yogie mendadak terkenal saja. Dampak lain yang dirasakan Yogie adalah banyak mahasiswa dan dosen yang menaruh simpati padanya karena akhirnya mereka semua mengetahui penyakit yang bersarang di tubuh Yogie. Mereka pun menjadi lebih perhatian pada Yogie. Selain itu, teman-teman yang dahulu dekat dengan Yogie dan sempat menjauh ketika melihat Yogie berubah, kini tidak lagi menjauhi Yogie. Perlahan, justru mereka mengikuti jejak Yogie dengan mengubah penampilan, tak lagi banyak nongkrong dan main-main lagi, bahkan menjadi sering hadir dalam kegiatan dakwah di kampusnya. Masjid kampus Yogie pun menjadi lebih banyak di penuhi jama’ah kini. Mereka seolah tertulari aroma wangi tubuh Yogie.
Semua respon itu sungguh sangat di luar dugaan Yogie, Bahrul atau pun Nisa. Mereka tak mengira akan berdampak sebesar itu di kampusnya hingga membuat dakwah kampus mereka semakin semarak dan para aktivisnya menjadi kian bersemangat pula. Tentu saja, Yogie sangat bersyukur. Benar-benar bersyukur. Karena penyakitnya, tidak hanya menjadi pintu hidayah bagi dirinya, tapi juga bagi teman-teman sekampusnya. Penyakitnya telah menginspirasi dan memotivasi begitu banyak orang. Subhanallah! Andai ia harus menghadapi sakaratul maut saat itu karena kanker di tubuhnya, Yogie pun rela. Sangat rela! Karena akhirnya, penyakitnya telah memberikan kebaikan pada banyak orang. Sungguh, sedikit pun, tak ada penyesalan di dalam hatinya telah mengidap penyakit ganas itu. Ia justru bersyukur dan terus bersyukur pada Rabb yang Maha Berkehendak.
*****
Yogie sedang asyik sendiri menghafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an ketika Dika masuk ke dalam kamarnya. Sehingga ia pun tak menyadari kedatangan kakaknya itu kalau saja Dika tidak menepuk pundaknya pelan. Menghafal Al-Qur’an memang menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi Yogie sekarang. Sedikit pun ia tidak merasa berat atau pun menjadikannya beban. Yogie menikmati tiap ayat yang dihafalnya. Ya! Sangat menikmatinya!
“Maaf kalau Kakak mengganggu,” ujar Dika begitu Yogie berhenti menghafal sejenak.
Yogie tersenyum.
“Gak apa, Kak.”
“Sudah hafal berapa juz?,” tanya Dika ingin tahu.
“Insya Allah, beberapa ayat lagi akan genap 10 juz, Kak,” jawab Yogie tanpa sedikit pun merasa ingin memamerkan banyaknya hafalannya pada Dika.
“10 juz? Dalam waktu 4 bulan? Subhanallah! Kakak yang sudah bertahun-tahun menghafalkan Al-Qur’an saja belum bisa sampai 10 juz. Bahkan ketinggalan jauh banget sama kamu.”
Yogie kembali tersenyum teduh.
“Alhamdulillah terbiasa saat di pondok, Kak,” jawab Yogie merendah.
Dika balas tersenyum.
“Alhamdulillah. Semoga ini menjadi penyemangat Kakak supaya bisa mengejar hafalan Kakak.”
“Amin,” Yogie mengaminkan.
“Masih ingat obrolan di mobil waktu itu? Saat dalam perjalanan pulang dari pondok?,” tanya Dika kemudian.
“Obrolan yang mana, Kak? Waktu itu kita membicarakan banyak hal kan?,” tanya Yogie tidak mengerti apa yang dimaksud kakaknya.
“Ketika Fisha menanyakan apa keinginan kamu jika masih diberi kesempatan hidup beberapa bulan lagi. Waktu itu kamu bilang kamu ingin menikah. Betul, kan?.”
“Oh, itu!,” Yogie menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Bibirnya tersenyum kecil mengingat perbincangan waktu itu.
“Memangnya kenapa, Kak?,” Yogie justru balik bertanya.
“Apa kamu sungguh-sungguh ingin menikah?.”
“Maksud Kakak?.”
“Maksud Kakak, apa kamu benar-benar berniat menikah?.”
Yogie tersenyum dan malah balik bertanya lagi.
“Menurut Kakak?.”
“Lho kok menurut Kakak? Yang tahu itu kan kamu!.”
“Lalu kalau sudah berniat?.”
“Ya, kalau memang sudah berniat dan sudah merasa siap, Kakak mau membantu mencarikan calonnya buat kamu.”
“Oh….,” jawab Yogie datar sambil menyengir.
“Bagaimana?.”
Yogie menutup Al-Qur’an yang sejak tadi masih dipegangnya dan diletakkannya di atas rak buku di pojok kamarnya.
“Kak, kalau menanyakan soal niat, aku benar-benar berniat, Kak. Aku gak mau mati dalam keadaan membujang, Kak. Tapi….”
“Tapi apa?.”
“Ada yang membuat aku merasa belum siap.”
“Apa?.”
“Ma’isyah, Kak. Kakak tahu dulu aku cuma bisa menghambur-hamburkan uang, gak tahu bagaimana caranya menghasilkan uang. Aku bukan anak yang mandiri seperti Kakak, yang meski sedikit, sudah mampu mendapatkan uang. Lagi pula, aku masih kuliah. Masih dibiayai pula oleh orang tua. Bagaimana nanti aku akan menafkahi istriku, Kak?.”
Dika tersenyum mendengarnya. Jadi itu yang dicemaskan oleh adiknya.
“Gie, Kakak sudah bicara sama Ayah dan Ibu, mereka akan mendukung niatmu itu. Mereka akan tetap membiayai kuliahmu sampai lulus. Kakak juga akan membantu kamu mencarikan jalur ma’isyah buat kamu insya Allah. Walau tidak seberapa, yang terpenting kamu berusaha menjemput rezekimu sendiri. Kalau memang masih belum mencukupi, Ayah akan membantu kamu sampai kamu bisa mencukupinya. Soal tempat tinggal, kamu bisa tinggal di rumah ini sampai kamu bisa benar-benar mandiri.”
“Tapi, Kak. Aku gak mau merepotkan Ayah dan Ibu lagi. Aku gak mau bergantung pada mereka lagi jika aku sudah menikah nanti.”
“Kakak mengerti, Gie. Itu hanya untuk di awal pernikahan saja, selama kamu masih belum dapat mandiri dan masih kuliah. Setelah kamu lulus dan merasa mampu mencukupi semuanya sendiri, tentu saja kamu gak boleh bergantung lagi pada orang tua. Gie, yang terpenting, kamu gak lelah berusaha mencari penghasilan kamu sendiri. Dan Kakak, insya Allah akan bantu kamu, Gie.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Kak. Terima kasih sudah dengan penuh kerelaan hati aku langkahi. He…he…,” sahut Yogie seraya tertawa kecil mencandai Dika.
“Huh! Dasar! Ini gak gratis. Harus ada pelangkahnya. Dan kamu harus memberikan pelangkah yang Kakak minta. Tidak boleh tidak!,” ujar Dika.
“Yee..aturan dari mana tuh! Kalau pun mau ngasih pelangkah, itu harus dengan kerelaan dan kemampuan yang melangkahi donk! Kalau kakak minta bulan, masih aku harus ngasih. Mana aku sanggup, Kak,” canda Yogie lagi.
“Siapa juga yang mau minta bulan!,” Dika menjitak kepala Yogie pelan.
Yogie berhenti tertawa. Ia menatap Dika dengan wajah yang berusaha diserius-seriuskan.
“Memangnya Kakak mau pelangkah apa dari aku? Nanti aku nabung deh dari jauh-jauh hari biar bisa ngasihin Kakak pelangkah yang Kakak mau,” kata Yogie sambil sedapat mungkin menahan tawanya.
Wajah Dika tiba-tiba berubah menjadi sangat serius. Ia tidak peduli pada mimik muka Yogie yang terlihat aneh karena menahan tawa.
“Gie, yang Kakak ingin cuma satu. Cuma satu, Gie! Kakak ingin kamu tetap hidup. Kakak mau kamu terus hidup sampai nanti kamu memiliki anak-anak, bahkan sampai nanti kamu memiliki banyak cucu. Cuma itu, Gie. Cuma itu. Kakak gak mau yang lain lagi,” jawab Dika lirih. Lalu didekapnya Yogie erat-erat. Tangisnya pun mengucur deras dari kedua matanya.
“Kak, maafkan aku. Kalau itu permintaan Kakak, aku gak bisa janji akan dapat memenuhinya. Hidup matiku ada di tangan Pemilik nyawaku, Kak. Bukan di tanganku. Kakak tahu itu,” sahut Yogie terisak.
“Kak, aku sudah merelakan penyakitku ini. Betapa pun usia yang Allah berikan padaku, aku pun sangat ikhlas, Kak. Sudahlah! Ikhlaskanlah, Kak,” sambung Yogie.
“Kakak sudah berusaha. Tapi rasanya sungguh berat. Rasanya sungguh sulit,” jawab Dika tersedu.
“Aku tahu, Kak. Semuanya tak kan mudah. Tapi Kak, yang terpenting, di sisa usiaku ini, Allah telah memberikan hidayah-Nya padaku. Dan insya Allah aku akan mati dalam keadaan telah bertaubat pada-Nya,” ujar Yogie lagi. Namun Dika masih saja terisak dalam pelukannya. Dika tidak mau melepaskan dekapannya seperti seperti sedang menahan Yogie agar tidak pergi dari hidupnya. Yogie hanya dapat menangis haru dan membiarkan Dika terus mendekapnya hingga Dika merasa lebih tenang.
*****
Pagi itu, Dika dan Yogie telah tiba di rumah seorang ustadz muda yang telah lama dikenal Dika dengan baik. Keduanya datang bertamu bukan hanya hendak bersilaturahim dengan sang ustadz beserta keluarganya. Tapi juga untuk mengawali rangkaian proses dari sebuah niat suci. Ya. Hari itu, Dika sengaja datang ke rumah sang ustadz untuk menta’arufkan dengan seorang akhwat yang merupakan murid tahsin sang ustadz. Hana nama akhwat itu. Usianya lebih tua setahun dari Yogie. Ia merupakan lulusan D3 Farmasi dan sudah bekerja di sebuah perusahaan farmasi. Dari cerita ustadz mengenai diri Hana, Dika merasa kalau Hana a sangat ideal untuk Yogie. Ia baru 2 tahun tarbiyah, tapi memiliki semangat yang luar biasa. Ia sangat haus ilmu dan juga memiliki kemauan yang keras untuk terus memperbaiki dirinya. Selain itu, Hana telah lulus kuliah dan bahkan telah bekerja. Paling tidak, nantinya Yogie sudah tak perlu pusing lagi memikirkan untuk membiayai kuliah istrinya.
Ta’aruf pagi itu pun dimulai. Ada 5 orang di ruang tamu rumah sang ustadz pagi itu, yakni Yogie, Dika, Hana, ustadz dan istrinya. Sang ustadz memimpin acara di rumahnya pagi itu. Acara ta’aruf pagi itu berjalan dengan penuh khusyu’nya. Sebelumnya, tak pernah terlintas dalam benak Yogie akan melakukan proses yang se-Islami itu. Hari itu, ia pun bersyukur telah dibukakan hatinya oleh Allah hingga dapat merasakan proses seperti itu sebelum pernikahan. Tidak dengan cara-cara yang tidak halal dan penuh noda seperti yang banyak terjadi dengan anak-anak muda sekarang.
Dari cerita ustadz beberapa hari yang lalu, Dika yakin Hana pun tertarik dengan Yogie usai membaca biodata dan melihat foto Yogie. Dan Dika sangat yakin, ta’aruf pagi itu akan diteruskan pada proses berikutnya. Apalagi melihat proses yang berlangsung, semuanya berjalan lancar dan keduanya telah dapat saling mengerti dan menyepakati beberapa hal.
Namun, hal yang di luar dugaan ternyata terjadi. Ketika yogie membicarakan penyakitnya, Hana sangat terkejut. Rupanya sang ustadz lupa memberi tahu bahwa Yogie mengidap penyakit kanker stadium akhir. Dan Hana tidak bisa menerima kenyataan itu. Meski ia percaya pada qada dan qadar Allah, ia merasa harus tetap realistis bahwa kanker adalah penyakit yang telah banyak menyebabkan kematian. Hana tidak ingin pernikahannya itu hanya sesaat. Ia tak ingin menjadi seorang janda di usia yang masih sangat muda. Ia memiliki mimpi seperti wanita-wanita lainnya yang menikah sekali dalam seumur hidup dan menghabiskan waktu bersama hingga memiliki anak cucu. Bukan hanya sekejap saja.
Ta’aruf pagi itu pun, hanya menyisakan kekecewaan bagi Dika dan Yogie. Hana benar-benar tidak ingin melanjutkan proses dengan Yogie. Ia ingin mendapatkan pendamping hidup yang sehat dan memiliki harapan masa depan. Bukan dengan Yogie dengan penyakit kankernya. Yang tiap detiknya merupakan sebuah perjuangan panjang. Dika dan Yogie akhirnya pulang dengan tangan hampa.
“Mungkin memang bukan dia jodohku, Kak. Bukan dia. Ada wanita lain yang jauh lebih baik darinya, yang telah Allah persiapkan untukku,” ujar Yogie dalam perjalanan pulang. Ia berusaha menghibur Dika yang justru terlihat lebih kecewa dari dirinya. Padahal yang harusnya sangat kecewa adalah dirinya. Tapi Yogie berusaha untuk tidak memperlihatkan kekecewaannya itu. Ia menerawang jauh ke langit luas seraya melantunkan puisi di dalam hatinya.
Di sini ku terdiam kini
Menanti batas waktu yang tak jua datang hingga kini
Batas waktu yang pertemukanku dengan sang bidadari
Bidadari terbaik pilihan Illahi Rabbi
Yang kan menjadi tumpuan hati
Yang kan temani perjuangan ini
Yang masih tertutup tabir Illahi
Dan kini,
Ku masih terus menanti
Hingga batas waktu itu menghampiri
*****
Siang itu, Yogie melangkahkan kakinya menuju ruang redaksi buletin Al-Hijrah. Ia berniat memberikan sebuah naskah tulisannya pada redaksi buletin Al-Hijrah. Belakangan, ia memang suka menulis, entah artikel, essay, puisi atau pun cerpen. Yogie pun tak mengerti mengapa kini ia suka menulis. Padahal dulu, jangankan menulis, melihat alat tulis pun ia merasa enggan. Dan kalau pun ia duduk berlama-lama di depan komputer, pastinya ia sedang bermain game atau sedang mendengarkan musik-musik rock kesukaannya. Siang itu, meski baru belajar, ia berniat menyerahkan naskah tulisannya itu pada redaksi buletin Al-Hijrah dengan harapan dapat dimuat.
Yogie masuk ke dalam ruang redaksi yang pintunya kala itu terbuka lebar. Ia melihat ke dalam ruangan. Hanya ada Bahrul di dalam sana yang sedang sibuk di depan komputer.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya memberi salam.
Bahrul menoleh ke arah datangnya suara.
“Wa’alaikum salam,” jawabnya cepat.
Bahrul pun berdiri dan menyambut kedatangan Yogie. Mereka saling berpelukan erat lalu berbincang. Setelah merasa cukup dengan obrolan ngalor-ngidulnya, Yogie mengungkapkan keinginannya untuk memberikan naskah tulisannya agar dapat dimuat di buletin Al-Hijrah. Yogie mengambil kertas berisi naskah yang telah diketiknya dari dalam tas ranselnya untuk diperlihatkan kepada Bahrul. Namun, saat sedang mengambil jilidan kertas naskahnya, beberapa lembar foto Yogie ikut terbawa keluar dari dalam tas hingga jatuh berserakan di lantai. Melihat foto-foto Yogie di atas lantai, Bahrul dengan cepat mengambil foto-foto itu. Satu-persatu Bahrul melihat foto-foto milik Yogie.
“Wah, bawa-bawa foto segala! Mau ta’aruf ya?,” canda Bahrul pada Yogie.
Yogie tersenyum mendengarnya.
“Memang kalo bawa foto mesti mau ta’aruf?!,” sahut Yogie pada ikhwan yang kini menjadi sahabatnya itu. Padahal dulu, jangankan duduk berbincang seperti itu, bertegur sapa pun rasanya Yogie benar-benar enggan. Dulu ia sangat alergi melihat para ikhwan di kampusnya yang menurutnya terlihat aneh dan kampungan.
“Bicara soal ta’aruf, apa antum pernah ta’aruf dengan seorang akhwat?,” selidik Bahrul.
“Memangnya kenapa? Apa orang yang berpenyakitan sepertiku pantas untuk meminang seorang akhwat? Apa ada akhwat yang bersedia ta’aruf denganku lalu aku pinang dan ku nikahi?,” Yogie justru balik bertanya.
“Kenapa pesimis begitu? Jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang tak mungkin, bukan?.”
Yogie tersenyum.
“Benar. Tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Bukannya pesimis, mungkin hatiku masih sedikit terluka saat ditolak seorang akhwat 2 hari lalu ketika ta’aruf karena penyakitku ini,” jawab Yogie datar.
“Jadi begitu. Ya, ta’aruf itu kan belum tentu khitbah lalu menikah. Itu hanya sebuah proses awal untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Kalau memang ta’aruf itu tidak berlanjut, itu berarti memang ia bukanlah jodohmu. Ana yakin, ada seorang akhwat solihah yang bersedia antum pinang dan menerima segala kekurangan antum.”
Yogie tertawa kecil.
“Yakin banget. Memangnya ada?,” tanya Yogie setengah bercanda.
“Ada!,” jawab Bahrul cepat.
“Masa’ sih?,” tanya Yogie lagi tak percaya.
Tampang Bahrul malah kian serius.
“Sungguh!,” jawabnya tanpa ragu.
Melihat Bahrul tidak sedang bercanda, Yogie pun mulai serius menanggapi.
“Kalau memang ada, siapa akhwat itu?,” tanyanya serius.
“Nama akhwat itu Nisa! Khoirunnisa!,” jawab Bahrul.
“Nisa yang waktu itu ikut wawancara?,” tanya Yogie lagi tidak percaya.
Bahrul mengangguk cepat.
“Ia sangat tersentuh mengetahui kisahmu dan sangat bersimpati padamu. Pinanglah ia. Ia sungguh wanita yang salihah lagi baik. Ana pernah tanpa sengaja mendengarnya percakapannya dengan ukhti Nia kalau ia tak keberatan jika dipinang oleh orang yang terkena kanker seperti dirimu. Ia pantas untukmu. Jika antum memang berniat, ana akan sampaikan biodata antum padanya,” jawab Bahrul panjang lebar.
Yogie tersenyum mendengarnya.
“Beri aku waktu, akh. Jika hati ini mantap, insya Allah aku akan berikan biodataku pada antum dan akan meminta biodatanya melalui antum,” jawab Yogie kemudian.
“Insya Allah, ana akan membantu antum,” sahut Bahrul menggenggam tangan Yogie erat.
Yogie tersenyum. Rasanya bagaikan setetes embun yang menyejukkan mendengar apa yang baru didengarnya dari Bahrul. Lentera harapannya seolah menyala kembali dengan terangnya.
“Semoga memang dia jodohku,” harap Yogie dalam hati.
*****
Usai shalat Zuhur di kampusnya, Yogie dan Bahrul sengaja berbincang sejenak di beranda Masjid. Mereka berdua hendak melanjutkan pembicaraan mereka kemarin.
“Bismillah,” ujar Yogie seraya memberikan sebuah amplop berisi biodatanya kepada Bahrul.
Bahrul tersenyum menerimanya.
“Insya Allah ana akan sampaikan langsung pada Nisa. Dan hari ini ini juga akan ana minta biodatanya,” jawab Bahrul. Wajahnya tampak sumringah karena Yogie mau mengikuti sarannya untuk ta’aruf dengan Nisa.
Yogie balas tersenyum pada Bahrul.
Dan seperti janjinya, Bahrul meminta biodata Nisa hari itu juga dan langsung memberikannya pada Yogie.
“Alhamdulillah,” syukurnya begitu menerima biodata milik Nisa. Ia merasa apa yang diucapkan Bahrul memang benar, Nisa menaruh simpati padanya. Dan Yogie berharap, Nisa memang bersedia menerimanya apa adanya, dengan segala kondisi tubuhnya.
Setelah 3 hari, dan keduanya benar-benar merasa yakin dan mantap, Yogie dan Nisa bertemu di ruang redaksi. Tentu saja tidak hanya berdua. Tapi juga dengan ditemani Bahrul, sahabat Nisa yang bernama Nia dan pimpinan redaksi buletin Al-Hijrah yang juga senior Bahrul yang bernama Jamal.
Itu kali kedua Yogie ta’aruf dengan seorang akhwat. Suasana hikmat dan khusyu kembali dirasakannya. Namun ada yang berbeda kali ini. Yogie merasakan ta’aruf kali ini membuatnya merasa tenang dan nyaman. Tak ada rasa khawatir, ragu atau pun bimbang seperti sebelumnya. Namun degup jantungnya, terasa berdetak kencang setiap kali matanya hendak mencuri pandang ke arah Nisa yang wajahnya terlihat begitu teduh. Mungkinkah semua itu isyarat, isyarat bila Nisa bersedia melanjutkan proses ke tahap berikutnya bersama Yogie. Mungkin memang begitu. Karena akhirnya, Nisa bersedia untuk dikhitbah Yogie dan memprosesnya hingga singgasana pernikahan.
“Alhamdulillah. Segala puji hanya bagimu ya, Allah,” Yogie terus mengucap rasa syukur pada Rabb-Nya. Dan terus berdoa, semoga Nisa memang jodoh yang Allah anugrahkan dalam hidupnya yang entah tinggal berapa lama lagi.
Lentera asa hidupnya, benar-benar menyala kembali kini dengan terang. Bahkan teramat terang! Keinginannya untuk menggenapkan separuh agamanya segera dapat terpenuhi. Mimpi untuk membentuk sebuah rumah tangga yang samara dengan seorang wanita shalihah yang tulus mencintainya apa adanya, akan segera terwujud. Tentu saja, semuanya jika Allah menghendaki. Karena itu, ia pun terus berdoa pada Rabb-nya, semoga memperpanjang lagi usianya agar dapat merasakan semua mimpi dan keinginannya itu terwujud menjadi nyata.
“Ya Rabbana, jika memang ia jodohku, izinkanlah aku meminangnya dan menikahinya. Kalau memang ia bidadari yang Kau pilihkan untukku, biarkanlah ku rasakan indahnya surga dunia ini bersamanya di bawah naungan cinta-Mu. Amin…,” doa Yogie di sepertiga malamnya.
Bisa kembali ke bangku kuliahnya, membuat Yogie lebih bersemangat lagi menjalani hidupnya. Meski mungkin usianya tak lama lagi, dengan kembali kuliah, Yogie merasa hidupnya masih sangat lama. Ia juga merasa kalau begitu banyak harapan yang membentang di hadapannya. Harapan yang menyinari terang langkah kakinya.
Namun, sejak Yogie kembali menjalani aktivitas kuliahnya, diam-diam ia menjadi bahan perbincangan teman-teman sekampusnya. Terutama teman-teman satu tongkrongannya yang biasanya kumpul bareng dan balapan motor dengannya. Mereka semua merasa aneh dengan perubahan yang terjadi pada diri Yogie sejak kembali ke kampus. Yogie yang sekarang penampilannya jauh berbeda dengan sebelumnya. Bila dulu ia lebih senang memakai kaos ngepres, celana jeans belel dan jaket hitam, Yogie yang sekarang lebih suka memakai kemeja, celana ngatung dan jenggot tipis menghias dagunya dengan potongan rambut yang tersisir rapih. Selain itu, Yogie yang sekarang lebih suka nongkrong di Masjid atau di perpustakaan ketimbang nongkrong di kantin dengan teman-temannya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca buku atau bertilawah dari pada berbincang tak karuan dengan teman-temannya. Selain itu, Yogie tak pernah ketinggalan shalat berjama’ah di Masjid. Padahal sebelumnya, jangankan shalat berjama’ah di Masjid, seorang Yogie sampai mau shalat pun benar-benar sebuah keajaiban. Perubahan Yogie yang begitu drastis sungguh membuat orang-orang yang mengenalnya terheran-heran.
Bukan hanya teman-teman Yogie satu jurusan atau pun yang dahulu dekat dengannya yang merasa heran, tanpa disadari Yogie, perubahan perilaku dan penampilannya juga menarik perhatian para aktivis mahasiswa di kampusnya yang selama ini dikenal sebagai mahasiswa yang seenaknya dan sebagai jagonya jalanan. Diantaranya para aktivis yan merasa heran itu antara lain adalah Bahrul dan Nisa. Keduanya merupakan reporter Al-Hijrah, buletin dakwah di kampus Yogie. Mereka yakin ada sesuatu di balik semua perubahan Yogie dan pastinya kisah itu sangat menarik dan akan sangat menginspirasi orang lain.
Suatu ketika, usai shalat Zuhur berjama’ah, Yogie dan Bahrul bersalaman. Bahrul pun tak melewatkan kesempatan itu. Bahrul mengajak Yogie berbincang di beranda Masjid. Tentu saja tidak langsung menanyakan perubahan yang terjadi pada Yogie. Ia berusaha mengakrabkan diri terlebih dahulu dengan Yogie.
Awalnya, Bahrul menanyakan kabar Dika. Meski beda kampus, Bahrul mengenal kakak Yogie itu karena sama-sama aktif dalam KAMMI. Setelah itu, ia mengajak Yogie membicarakan masalah kuliahnya. Begitu benar-benar akrab, beberapa hari kemudian barulah Bahrul mulai mencari tahu motif di balik semua perubahan Yogie. Tanpa ragu, Yogie pun menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dari sejak ia mulai sering tak sadarkan diri lalu dinyatakan mengidap kanker dan memutuskan menghabiskan sisa waktunya di pesantren hingga ia memutuskan untuk kembali ke bangku kuliahnya.
Bahrul menyimak kisah Yogie dengan penuh haru dan takjub. Ia pun meminta kesediaan Yogie untuk mempublikasikan kisahnya itu di buletin Al-Hijrah karena begitu banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah hidupnya itu. Awalnya Yogie menolak karena khawatir akan menimbulkan ujub dan riya’ pada dirinya atau pun mengundang rasa iba teman-teman sekampusnya. Namun dengan bujukan Dika, Yogie pun bersedia juga membagi kisahnya itu dengan teman-teman sekampusnya. Yogie pun menceritakan kembali kisahnya pada Bahrul dan juga Nisa yang ikut pula mewancarai dirinya.
Tepat di awal Juli, ketika seluruh mahasiswa menghadapi ujian akhir semester, hasil wawancara Yogie langsung dimuat di buletin Al-Hijrah Yogie. Bahkan wajah Yogie dimuat di halaman depan buletin itu. Tak ayal, Yogie segera saja menjadi buah bibir seluruh mahasiswa di kampusnya. Ia seperti artis yang tiba-tiba menjadi terkenal karena sebuah pemberitaan yang sangat menghebohkan. Buletin Al-Hijrah juga diserbu mahasiswa-mahasiswa yang biasanya enggan membaca buletin Islami seperti itu dan lebih memilih membaca tabloid atau majalah infotainment. Mereka semua penasaran dengan pemberitaan mengenai Yogie, mahasiswa brutal yang tiba-tiba berubah alim setelah terkena penyakit kanker sehingga baru benar-benar percaya setelah membaca sendiri artikel tersebut.
Namun dampak dari pemberitaan Yogie di buletin Al-Hijrah, bukan hanya membuat Yogie mendadak terkenal saja. Dampak lain yang dirasakan Yogie adalah banyak mahasiswa dan dosen yang menaruh simpati padanya karena akhirnya mereka semua mengetahui penyakit yang bersarang di tubuh Yogie. Mereka pun menjadi lebih perhatian pada Yogie. Selain itu, teman-teman yang dahulu dekat dengan Yogie dan sempat menjauh ketika melihat Yogie berubah, kini tidak lagi menjauhi Yogie. Perlahan, justru mereka mengikuti jejak Yogie dengan mengubah penampilan, tak lagi banyak nongkrong dan main-main lagi, bahkan menjadi sering hadir dalam kegiatan dakwah di kampusnya. Masjid kampus Yogie pun menjadi lebih banyak di penuhi jama’ah kini. Mereka seolah tertulari aroma wangi tubuh Yogie.
Semua respon itu sungguh sangat di luar dugaan Yogie, Bahrul atau pun Nisa. Mereka tak mengira akan berdampak sebesar itu di kampusnya hingga membuat dakwah kampus mereka semakin semarak dan para aktivisnya menjadi kian bersemangat pula. Tentu saja, Yogie sangat bersyukur. Benar-benar bersyukur. Karena penyakitnya, tidak hanya menjadi pintu hidayah bagi dirinya, tapi juga bagi teman-teman sekampusnya. Penyakitnya telah menginspirasi dan memotivasi begitu banyak orang. Subhanallah! Andai ia harus menghadapi sakaratul maut saat itu karena kanker di tubuhnya, Yogie pun rela. Sangat rela! Karena akhirnya, penyakitnya telah memberikan kebaikan pada banyak orang. Sungguh, sedikit pun, tak ada penyesalan di dalam hatinya telah mengidap penyakit ganas itu. Ia justru bersyukur dan terus bersyukur pada Rabb yang Maha Berkehendak.
*****
Yogie sedang asyik sendiri menghafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an ketika Dika masuk ke dalam kamarnya. Sehingga ia pun tak menyadari kedatangan kakaknya itu kalau saja Dika tidak menepuk pundaknya pelan. Menghafal Al-Qur’an memang menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi Yogie sekarang. Sedikit pun ia tidak merasa berat atau pun menjadikannya beban. Yogie menikmati tiap ayat yang dihafalnya. Ya! Sangat menikmatinya!
“Maaf kalau Kakak mengganggu,” ujar Dika begitu Yogie berhenti menghafal sejenak.
Yogie tersenyum.
“Gak apa, Kak.”
“Sudah hafal berapa juz?,” tanya Dika ingin tahu.
“Insya Allah, beberapa ayat lagi akan genap 10 juz, Kak,” jawab Yogie tanpa sedikit pun merasa ingin memamerkan banyaknya hafalannya pada Dika.
“10 juz? Dalam waktu 4 bulan? Subhanallah! Kakak yang sudah bertahun-tahun menghafalkan Al-Qur’an saja belum bisa sampai 10 juz. Bahkan ketinggalan jauh banget sama kamu.”
Yogie kembali tersenyum teduh.
“Alhamdulillah terbiasa saat di pondok, Kak,” jawab Yogie merendah.
Dika balas tersenyum.
“Alhamdulillah. Semoga ini menjadi penyemangat Kakak supaya bisa mengejar hafalan Kakak.”
“Amin,” Yogie mengaminkan.
“Masih ingat obrolan di mobil waktu itu? Saat dalam perjalanan pulang dari pondok?,” tanya Dika kemudian.
“Obrolan yang mana, Kak? Waktu itu kita membicarakan banyak hal kan?,” tanya Yogie tidak mengerti apa yang dimaksud kakaknya.
“Ketika Fisha menanyakan apa keinginan kamu jika masih diberi kesempatan hidup beberapa bulan lagi. Waktu itu kamu bilang kamu ingin menikah. Betul, kan?.”
“Oh, itu!,” Yogie menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Bibirnya tersenyum kecil mengingat perbincangan waktu itu.
“Memangnya kenapa, Kak?,” Yogie justru balik bertanya.
“Apa kamu sungguh-sungguh ingin menikah?.”
“Maksud Kakak?.”
“Maksud Kakak, apa kamu benar-benar berniat menikah?.”
Yogie tersenyum dan malah balik bertanya lagi.
“Menurut Kakak?.”
“Lho kok menurut Kakak? Yang tahu itu kan kamu!.”
“Lalu kalau sudah berniat?.”
“Ya, kalau memang sudah berniat dan sudah merasa siap, Kakak mau membantu mencarikan calonnya buat kamu.”
“Oh….,” jawab Yogie datar sambil menyengir.
“Bagaimana?.”
Yogie menutup Al-Qur’an yang sejak tadi masih dipegangnya dan diletakkannya di atas rak buku di pojok kamarnya.
“Kak, kalau menanyakan soal niat, aku benar-benar berniat, Kak. Aku gak mau mati dalam keadaan membujang, Kak. Tapi….”
“Tapi apa?.”
“Ada yang membuat aku merasa belum siap.”
“Apa?.”
“Ma’isyah, Kak. Kakak tahu dulu aku cuma bisa menghambur-hamburkan uang, gak tahu bagaimana caranya menghasilkan uang. Aku bukan anak yang mandiri seperti Kakak, yang meski sedikit, sudah mampu mendapatkan uang. Lagi pula, aku masih kuliah. Masih dibiayai pula oleh orang tua. Bagaimana nanti aku akan menafkahi istriku, Kak?.”
Dika tersenyum mendengarnya. Jadi itu yang dicemaskan oleh adiknya.
“Gie, Kakak sudah bicara sama Ayah dan Ibu, mereka akan mendukung niatmu itu. Mereka akan tetap membiayai kuliahmu sampai lulus. Kakak juga akan membantu kamu mencarikan jalur ma’isyah buat kamu insya Allah. Walau tidak seberapa, yang terpenting kamu berusaha menjemput rezekimu sendiri. Kalau memang masih belum mencukupi, Ayah akan membantu kamu sampai kamu bisa mencukupinya. Soal tempat tinggal, kamu bisa tinggal di rumah ini sampai kamu bisa benar-benar mandiri.”
“Tapi, Kak. Aku gak mau merepotkan Ayah dan Ibu lagi. Aku gak mau bergantung pada mereka lagi jika aku sudah menikah nanti.”
“Kakak mengerti, Gie. Itu hanya untuk di awal pernikahan saja, selama kamu masih belum dapat mandiri dan masih kuliah. Setelah kamu lulus dan merasa mampu mencukupi semuanya sendiri, tentu saja kamu gak boleh bergantung lagi pada orang tua. Gie, yang terpenting, kamu gak lelah berusaha mencari penghasilan kamu sendiri. Dan Kakak, insya Allah akan bantu kamu, Gie.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Kak. Terima kasih sudah dengan penuh kerelaan hati aku langkahi. He…he…,” sahut Yogie seraya tertawa kecil mencandai Dika.
“Huh! Dasar! Ini gak gratis. Harus ada pelangkahnya. Dan kamu harus memberikan pelangkah yang Kakak minta. Tidak boleh tidak!,” ujar Dika.
“Yee..aturan dari mana tuh! Kalau pun mau ngasih pelangkah, itu harus dengan kerelaan dan kemampuan yang melangkahi donk! Kalau kakak minta bulan, masih aku harus ngasih. Mana aku sanggup, Kak,” canda Yogie lagi.
“Siapa juga yang mau minta bulan!,” Dika menjitak kepala Yogie pelan.
Yogie berhenti tertawa. Ia menatap Dika dengan wajah yang berusaha diserius-seriuskan.
“Memangnya Kakak mau pelangkah apa dari aku? Nanti aku nabung deh dari jauh-jauh hari biar bisa ngasihin Kakak pelangkah yang Kakak mau,” kata Yogie sambil sedapat mungkin menahan tawanya.
Wajah Dika tiba-tiba berubah menjadi sangat serius. Ia tidak peduli pada mimik muka Yogie yang terlihat aneh karena menahan tawa.
“Gie, yang Kakak ingin cuma satu. Cuma satu, Gie! Kakak ingin kamu tetap hidup. Kakak mau kamu terus hidup sampai nanti kamu memiliki anak-anak, bahkan sampai nanti kamu memiliki banyak cucu. Cuma itu, Gie. Cuma itu. Kakak gak mau yang lain lagi,” jawab Dika lirih. Lalu didekapnya Yogie erat-erat. Tangisnya pun mengucur deras dari kedua matanya.
“Kak, maafkan aku. Kalau itu permintaan Kakak, aku gak bisa janji akan dapat memenuhinya. Hidup matiku ada di tangan Pemilik nyawaku, Kak. Bukan di tanganku. Kakak tahu itu,” sahut Yogie terisak.
“Kak, aku sudah merelakan penyakitku ini. Betapa pun usia yang Allah berikan padaku, aku pun sangat ikhlas, Kak. Sudahlah! Ikhlaskanlah, Kak,” sambung Yogie.
“Kakak sudah berusaha. Tapi rasanya sungguh berat. Rasanya sungguh sulit,” jawab Dika tersedu.
“Aku tahu, Kak. Semuanya tak kan mudah. Tapi Kak, yang terpenting, di sisa usiaku ini, Allah telah memberikan hidayah-Nya padaku. Dan insya Allah aku akan mati dalam keadaan telah bertaubat pada-Nya,” ujar Yogie lagi. Namun Dika masih saja terisak dalam pelukannya. Dika tidak mau melepaskan dekapannya seperti seperti sedang menahan Yogie agar tidak pergi dari hidupnya. Yogie hanya dapat menangis haru dan membiarkan Dika terus mendekapnya hingga Dika merasa lebih tenang.
*****
Pagi itu, Dika dan Yogie telah tiba di rumah seorang ustadz muda yang telah lama dikenal Dika dengan baik. Keduanya datang bertamu bukan hanya hendak bersilaturahim dengan sang ustadz beserta keluarganya. Tapi juga untuk mengawali rangkaian proses dari sebuah niat suci. Ya. Hari itu, Dika sengaja datang ke rumah sang ustadz untuk menta’arufkan dengan seorang akhwat yang merupakan murid tahsin sang ustadz. Hana nama akhwat itu. Usianya lebih tua setahun dari Yogie. Ia merupakan lulusan D3 Farmasi dan sudah bekerja di sebuah perusahaan farmasi. Dari cerita ustadz mengenai diri Hana, Dika merasa kalau Hana a sangat ideal untuk Yogie. Ia baru 2 tahun tarbiyah, tapi memiliki semangat yang luar biasa. Ia sangat haus ilmu dan juga memiliki kemauan yang keras untuk terus memperbaiki dirinya. Selain itu, Hana telah lulus kuliah dan bahkan telah bekerja. Paling tidak, nantinya Yogie sudah tak perlu pusing lagi memikirkan untuk membiayai kuliah istrinya.
Ta’aruf pagi itu pun dimulai. Ada 5 orang di ruang tamu rumah sang ustadz pagi itu, yakni Yogie, Dika, Hana, ustadz dan istrinya. Sang ustadz memimpin acara di rumahnya pagi itu. Acara ta’aruf pagi itu berjalan dengan penuh khusyu’nya. Sebelumnya, tak pernah terlintas dalam benak Yogie akan melakukan proses yang se-Islami itu. Hari itu, ia pun bersyukur telah dibukakan hatinya oleh Allah hingga dapat merasakan proses seperti itu sebelum pernikahan. Tidak dengan cara-cara yang tidak halal dan penuh noda seperti yang banyak terjadi dengan anak-anak muda sekarang.
Dari cerita ustadz beberapa hari yang lalu, Dika yakin Hana pun tertarik dengan Yogie usai membaca biodata dan melihat foto Yogie. Dan Dika sangat yakin, ta’aruf pagi itu akan diteruskan pada proses berikutnya. Apalagi melihat proses yang berlangsung, semuanya berjalan lancar dan keduanya telah dapat saling mengerti dan menyepakati beberapa hal.
Namun, hal yang di luar dugaan ternyata terjadi. Ketika yogie membicarakan penyakitnya, Hana sangat terkejut. Rupanya sang ustadz lupa memberi tahu bahwa Yogie mengidap penyakit kanker stadium akhir. Dan Hana tidak bisa menerima kenyataan itu. Meski ia percaya pada qada dan qadar Allah, ia merasa harus tetap realistis bahwa kanker adalah penyakit yang telah banyak menyebabkan kematian. Hana tidak ingin pernikahannya itu hanya sesaat. Ia tak ingin menjadi seorang janda di usia yang masih sangat muda. Ia memiliki mimpi seperti wanita-wanita lainnya yang menikah sekali dalam seumur hidup dan menghabiskan waktu bersama hingga memiliki anak cucu. Bukan hanya sekejap saja.
Ta’aruf pagi itu pun, hanya menyisakan kekecewaan bagi Dika dan Yogie. Hana benar-benar tidak ingin melanjutkan proses dengan Yogie. Ia ingin mendapatkan pendamping hidup yang sehat dan memiliki harapan masa depan. Bukan dengan Yogie dengan penyakit kankernya. Yang tiap detiknya merupakan sebuah perjuangan panjang. Dika dan Yogie akhirnya pulang dengan tangan hampa.
“Mungkin memang bukan dia jodohku, Kak. Bukan dia. Ada wanita lain yang jauh lebih baik darinya, yang telah Allah persiapkan untukku,” ujar Yogie dalam perjalanan pulang. Ia berusaha menghibur Dika yang justru terlihat lebih kecewa dari dirinya. Padahal yang harusnya sangat kecewa adalah dirinya. Tapi Yogie berusaha untuk tidak memperlihatkan kekecewaannya itu. Ia menerawang jauh ke langit luas seraya melantunkan puisi di dalam hatinya.
Di sini ku terdiam kini
Menanti batas waktu yang tak jua datang hingga kini
Batas waktu yang pertemukanku dengan sang bidadari
Bidadari terbaik pilihan Illahi Rabbi
Yang kan menjadi tumpuan hati
Yang kan temani perjuangan ini
Yang masih tertutup tabir Illahi
Dan kini,
Ku masih terus menanti
Hingga batas waktu itu menghampiri
*****
Siang itu, Yogie melangkahkan kakinya menuju ruang redaksi buletin Al-Hijrah. Ia berniat memberikan sebuah naskah tulisannya pada redaksi buletin Al-Hijrah. Belakangan, ia memang suka menulis, entah artikel, essay, puisi atau pun cerpen. Yogie pun tak mengerti mengapa kini ia suka menulis. Padahal dulu, jangankan menulis, melihat alat tulis pun ia merasa enggan. Dan kalau pun ia duduk berlama-lama di depan komputer, pastinya ia sedang bermain game atau sedang mendengarkan musik-musik rock kesukaannya. Siang itu, meski baru belajar, ia berniat menyerahkan naskah tulisannya itu pada redaksi buletin Al-Hijrah dengan harapan dapat dimuat.
Yogie masuk ke dalam ruang redaksi yang pintunya kala itu terbuka lebar. Ia melihat ke dalam ruangan. Hanya ada Bahrul di dalam sana yang sedang sibuk di depan komputer.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya memberi salam.
Bahrul menoleh ke arah datangnya suara.
“Wa’alaikum salam,” jawabnya cepat.
Bahrul pun berdiri dan menyambut kedatangan Yogie. Mereka saling berpelukan erat lalu berbincang. Setelah merasa cukup dengan obrolan ngalor-ngidulnya, Yogie mengungkapkan keinginannya untuk memberikan naskah tulisannya agar dapat dimuat di buletin Al-Hijrah. Yogie mengambil kertas berisi naskah yang telah diketiknya dari dalam tas ranselnya untuk diperlihatkan kepada Bahrul. Namun, saat sedang mengambil jilidan kertas naskahnya, beberapa lembar foto Yogie ikut terbawa keluar dari dalam tas hingga jatuh berserakan di lantai. Melihat foto-foto Yogie di atas lantai, Bahrul dengan cepat mengambil foto-foto itu. Satu-persatu Bahrul melihat foto-foto milik Yogie.
“Wah, bawa-bawa foto segala! Mau ta’aruf ya?,” canda Bahrul pada Yogie.
Yogie tersenyum mendengarnya.
“Memang kalo bawa foto mesti mau ta’aruf?!,” sahut Yogie pada ikhwan yang kini menjadi sahabatnya itu. Padahal dulu, jangankan duduk berbincang seperti itu, bertegur sapa pun rasanya Yogie benar-benar enggan. Dulu ia sangat alergi melihat para ikhwan di kampusnya yang menurutnya terlihat aneh dan kampungan.
“Bicara soal ta’aruf, apa antum pernah ta’aruf dengan seorang akhwat?,” selidik Bahrul.
“Memangnya kenapa? Apa orang yang berpenyakitan sepertiku pantas untuk meminang seorang akhwat? Apa ada akhwat yang bersedia ta’aruf denganku lalu aku pinang dan ku nikahi?,” Yogie justru balik bertanya.
“Kenapa pesimis begitu? Jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang tak mungkin, bukan?.”
Yogie tersenyum.
“Benar. Tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Bukannya pesimis, mungkin hatiku masih sedikit terluka saat ditolak seorang akhwat 2 hari lalu ketika ta’aruf karena penyakitku ini,” jawab Yogie datar.
“Jadi begitu. Ya, ta’aruf itu kan belum tentu khitbah lalu menikah. Itu hanya sebuah proses awal untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Kalau memang ta’aruf itu tidak berlanjut, itu berarti memang ia bukanlah jodohmu. Ana yakin, ada seorang akhwat solihah yang bersedia antum pinang dan menerima segala kekurangan antum.”
Yogie tertawa kecil.
“Yakin banget. Memangnya ada?,” tanya Yogie setengah bercanda.
“Ada!,” jawab Bahrul cepat.
“Masa’ sih?,” tanya Yogie lagi tak percaya.
Tampang Bahrul malah kian serius.
“Sungguh!,” jawabnya tanpa ragu.
Melihat Bahrul tidak sedang bercanda, Yogie pun mulai serius menanggapi.
“Kalau memang ada, siapa akhwat itu?,” tanyanya serius.
“Nama akhwat itu Nisa! Khoirunnisa!,” jawab Bahrul.
“Nisa yang waktu itu ikut wawancara?,” tanya Yogie lagi tidak percaya.
Bahrul mengangguk cepat.
“Ia sangat tersentuh mengetahui kisahmu dan sangat bersimpati padamu. Pinanglah ia. Ia sungguh wanita yang salihah lagi baik. Ana pernah tanpa sengaja mendengarnya percakapannya dengan ukhti Nia kalau ia tak keberatan jika dipinang oleh orang yang terkena kanker seperti dirimu. Ia pantas untukmu. Jika antum memang berniat, ana akan sampaikan biodata antum padanya,” jawab Bahrul panjang lebar.
Yogie tersenyum mendengarnya.
“Beri aku waktu, akh. Jika hati ini mantap, insya Allah aku akan berikan biodataku pada antum dan akan meminta biodatanya melalui antum,” jawab Yogie kemudian.
“Insya Allah, ana akan membantu antum,” sahut Bahrul menggenggam tangan Yogie erat.
Yogie tersenyum. Rasanya bagaikan setetes embun yang menyejukkan mendengar apa yang baru didengarnya dari Bahrul. Lentera harapannya seolah menyala kembali dengan terangnya.
“Semoga memang dia jodohku,” harap Yogie dalam hati.
*****
Usai shalat Zuhur di kampusnya, Yogie dan Bahrul sengaja berbincang sejenak di beranda Masjid. Mereka berdua hendak melanjutkan pembicaraan mereka kemarin.
“Bismillah,” ujar Yogie seraya memberikan sebuah amplop berisi biodatanya kepada Bahrul.
Bahrul tersenyum menerimanya.
“Insya Allah ana akan sampaikan langsung pada Nisa. Dan hari ini ini juga akan ana minta biodatanya,” jawab Bahrul. Wajahnya tampak sumringah karena Yogie mau mengikuti sarannya untuk ta’aruf dengan Nisa.
Yogie balas tersenyum pada Bahrul.
Dan seperti janjinya, Bahrul meminta biodata Nisa hari itu juga dan langsung memberikannya pada Yogie.
“Alhamdulillah,” syukurnya begitu menerima biodata milik Nisa. Ia merasa apa yang diucapkan Bahrul memang benar, Nisa menaruh simpati padanya. Dan Yogie berharap, Nisa memang bersedia menerimanya apa adanya, dengan segala kondisi tubuhnya.
Setelah 3 hari, dan keduanya benar-benar merasa yakin dan mantap, Yogie dan Nisa bertemu di ruang redaksi. Tentu saja tidak hanya berdua. Tapi juga dengan ditemani Bahrul, sahabat Nisa yang bernama Nia dan pimpinan redaksi buletin Al-Hijrah yang juga senior Bahrul yang bernama Jamal.
Itu kali kedua Yogie ta’aruf dengan seorang akhwat. Suasana hikmat dan khusyu kembali dirasakannya. Namun ada yang berbeda kali ini. Yogie merasakan ta’aruf kali ini membuatnya merasa tenang dan nyaman. Tak ada rasa khawatir, ragu atau pun bimbang seperti sebelumnya. Namun degup jantungnya, terasa berdetak kencang setiap kali matanya hendak mencuri pandang ke arah Nisa yang wajahnya terlihat begitu teduh. Mungkinkah semua itu isyarat, isyarat bila Nisa bersedia melanjutkan proses ke tahap berikutnya bersama Yogie. Mungkin memang begitu. Karena akhirnya, Nisa bersedia untuk dikhitbah Yogie dan memprosesnya hingga singgasana pernikahan.
“Alhamdulillah. Segala puji hanya bagimu ya, Allah,” Yogie terus mengucap rasa syukur pada Rabb-Nya. Dan terus berdoa, semoga Nisa memang jodoh yang Allah anugrahkan dalam hidupnya yang entah tinggal berapa lama lagi.
Lentera asa hidupnya, benar-benar menyala kembali kini dengan terang. Bahkan teramat terang! Keinginannya untuk menggenapkan separuh agamanya segera dapat terpenuhi. Mimpi untuk membentuk sebuah rumah tangga yang samara dengan seorang wanita shalihah yang tulus mencintainya apa adanya, akan segera terwujud. Tentu saja, semuanya jika Allah menghendaki. Karena itu, ia pun terus berdoa pada Rabb-nya, semoga memperpanjang lagi usianya agar dapat merasakan semua mimpi dan keinginannya itu terwujud menjadi nyata.
“Ya Rabbana, jika memang ia jodohku, izinkanlah aku meminangnya dan menikahinya. Kalau memang ia bidadari yang Kau pilihkan untukku, biarkanlah ku rasakan indahnya surga dunia ini bersamanya di bawah naungan cinta-Mu. Amin…,” doa Yogie di sepertiga malamnya.
0 komentar:
Posting Komentar