Yogie tertegun memandangi secarik kertas yang dipegangnya. Sudah sekitar satu jam ia memandangi secarik kertas itu tanpa beralih sedikit pun. Bukan karena panjangnya tulisan dalam kertas itu, bukan pula karena ia membaca tulisan di atas kertas itu berulang-ulang.
Bukan. Sesungguhnya ia memang bukan sedang membaca tulisan di kertas itu. Ia hanya menatap dan terus menatap. Namun pikirannya sedang melayang-layang tak tentu arah, tak karuan entah kemana. Terkadang pikirannya melayang pada hari-hari yang dilaluinya selama ini, hari-hari menyenangkan masa mudanya yang dihabiskannya bersama teman-teman kampusnya. Terkadang pikirannya melayang pada masa kecilnya yang indah dimana ayah dan ibunya mencurahkan kasih sayangnya yang teramat besar untuknya. Namun, terkadang pikirannya melayang pada peristiwa tadi siang.
Ya, peristiwa tadi siang! Peristiwa tadi sianglah yang membuat Yogie terpaku sendiri seperti itu di dalam kamarnya. Yang membuatnya terhenyak dan lemas seketika. Peristiwa di rumah sakit ketika ia mengambil hasil tes laboratorium setelah belakangan ia sering jatuh pingsan dan sempat beberapa hari dirawat di rumah sakit.
“Anda positif mengidap kanker darah stadium akhir,” begitu kata dokter di rumah sakit tadi siang ketika Yogie menerima secarik kertas berisi hasil tes laboratorium.
Yogie benar-benar terkejut luar biasa saat mendengar vonis dokter itu. Hingga membuat sekujur tubuhnya lemas seketika.
Huf! Kanker!! Baru mendengar namanya saja rasanya sudah merinding. Apalagi bila sampai mengidap penyakit yang belum ditemukan obatnya itu. Sungguh menakutkan. Ketakutan itulah yang kini membayang-bayangi Yogie. Ketakutan akan kematian yang kan segera datang menjemput. Ketakutan akan hidup di dunia yang sudah tidak lama lagi.
Yogie berusaha menahan segenap perasaannya. Ia pulang dari rumah sakit dengan mengendarai sepeda motornya dengan terus berusaha bersikap setenang mungkin meski di hatinya berkumpul beraneka macam perasaan yang tidak karuan. Ada sedih, perih, rasa tidak percaya, cemas yang tiada terkira. Yogie berusaha menahannya, menahan semua rasa yang bergejolak itu. Menahan beban di segenap tubuhnya yang terasa teramat berat kini.
Yogie bersyukur karena ketika tiba di rumah, hanya ada Fisha, adiknya yang baru duduk di kelas 3 SMU, yang sore itu sedang berbaring melepas lelah di ruang tengah setelah pulang dari sekolah. Bu Renna, ibu Yogie, sedang pergi mengantarkan kue pesanan bu RT. Dika, sang kakak yang sedang sibuk menyusun skripsi, masih belum pulang dari kampus. Sedangkan Pak Yusuf, ayahnya, juga masih berada di tempat kerjanya.
Yogie menarik napas lega. Ia segera masuk ke dalam kamarnya dan melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Hari itu terasa begitu meletihkan bagi Yogie. Padahal, ia hanya mengikuti satu mata kuliah saja tadi. Lalu berkumpul dengan teman-temannya di kantin. Setelah itu ia langsung meluncur ke rumah sakit dan pulang ke rumah.
Yogie menarik napas dalam-dalam. Bukan karena aktivitas hari itu yang membuatnya merasa teramat lelah, tapi karena beban pikiran yang menggelayutinya. Beban pikiran yang kini harus ditanggungnya sejak ia berada di rumah sakit tadi. Beban pikiran yang membuatnya sangat lelah memikirkannya kembali. Namun beban itu justru tidak mau pergi dari kepalanya. Beban pikiran itu tetap saja bersemayam dalam kepalanya, membayang-bayangi terus-menerus. Sedikit pun, Yogie tak bisa melepaskannya. Hingga akhirnya ia kembali mengambil secarik kertas berisi hasil tes itu dari dalam tasnya.
Yogie duduk di tepi tempat tidurnya. Ia membaca lagi tulisan di atas secarik kertas itu perlahan. Secarik kertas yang menyatakan dirinya mengidap kanker stadium akhir. Secarik kertas yang memadamkan segenap semangatnya. Melunturkan segenap keceriaannya.
Yogie tercenung. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana kini. Ia merasa hidupnya sudah tak berarti lagi. Semuanya di hadapannya terasa gelap. Terasa begitu hampa. Rasanya tak ada lagi masa depan. Tak ada asa. Tak ada cita. Semuanya sirna. Semuanya lenyap. Pergi begitu saja meninggalkannya sendiri dalam kepedihan yang tiada terperikan.
Yogie terus memandangi secarik kertas itu. Satu persatu…, satu persatu…. air matanya berjatuhan membasahi secarik kertas itu. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahannya sebisa mungkin, namun akhirnya tak dapat terbendung lagi. Yogie pun menangis setelah sekian lama ia tak pernah menangis lagi. Mungkin, sejak lepas dari sekolah dasar. Ya, kalau ia tak salah mengingat, terakhir kali ia menangis ketika baru duduk di kelas 4 sekolah dasar. Setelah itu, Yogie tak pernah menangis lagi. Tak pernah! Meski ia baru saja habis berkelahi dengan teman-temannya, Yogie tak pernah menangis. Harga dirinya sebagai laki-laki terlalu tinggi bila hanya untuk menangis. Dan seorang Yogie sangat pantang menangis. Pantang menangis meski sekujur tubuhnya bersimbah darah. Karena baginya, seorang laki-laki sejati bukanlah laki-laki cengeng yang suka menangis atau meratapi sesuatu. Tapi laki-laki pemberani yang tidak takut pada apa pun juga.
Namun….apa yang terjadi sekarang? Yogie melakukan sesuatu yang dulu sangat dipantangnya sebagai seorang laki-laki. Menangis! Ia menangis kini! Benar-benar menangis! Benar-benar menitikkan air mata! Ia menangis hanya karena dokter menyatakan ia telah mengidap kanker. Ia menangis hanya karena usianya yang hanya tinggal sesaat lagi. Tapi kenapa? Takutkah ia pada kematian?! Ho..ho..Yogie yang pemberani, yang katanya tidak takut pada apa pun juga, kini takut dengan kematian. Sungguh menggelikan! Yogie menangis karena takut mati. Yogie yang selama ini dikenal sering berkelahi, sering balapan motor di jalanan tanpa pernah mengenal rasa takut. Padahal semua itu sangat beresiko pada kematian. Ia bisa saja celaka dan nyawanya terenggut sia-sia kapan saja.
Yogie terus menangis dan meratapi kenyataan hidup yang menimpanya. Tangisnya kian kuat, kian tak tertahankan lagi. Hingga rasanya telah pada puncak kesedihannya, Yogie pun berteriak kencang. Ia berteriak sekuat-kuatnya.
“Aaaaaaaaaahhh,” teriak Yogie keras-keras hingga terdengar ke seluruh penjuru rumah.
Ia membuang secarik kertas yang sejak tadi dipegangnya. Tak lama kemudian, ia berlari menyambar sebuah gelas yang ada di atas meja belajarnya. Dibantingnya gelas itu ke tembok kamarnya kuat-kuat. Yogie menangis sejadi-jadinya. Meluapkan semua beban di hatinya. Seluruh kesedihannya pun memuncak tak tertahan lagi. Yogie lantas mengambil sebilah pecahan gelas yang berserakan di atas lantai. Pecahan gelas itu kemudian diarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Yogie berniat bunuh diri! Ya, ia benar-benar ingin bunuh diri. Ia merasa seluruh hidupnya sudah tak berguna lagi. Sekarang atau esok, toh ia akan mati. Tak ada bedanya. Maka, ia pun memilih mengakhiri hidupnya sendiri dari pada merasakan mati dengan perlahan digerogoti oleh sel-sel kanker yang hidup di tubuhnya.
Pecahan gelas itu sudah berada tepat di atas tangan kirinya. Dan ia telah siap menggoreskannya tepat di atas pembuluh nadinya.
Namun, belum sempat Yogie menggoreskannya, seseorang masuk ke dalam kamarnya.
“Kak, ngapain sih teriak-teriak?,” tanya Fisha. Fisha yang biasanya selalu mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam kamar orang lain, kali ini nyelonong masuk begitu saja ke dalam kamar Yogie begitu mendengar teriakan Yogie.
Yogie terkejut dengan kedatangan Fisha. Fisha pun tak kalah terkejutnya begitu melihat Yogie yang hendak menghabisi nyawanya sendiri.
“Masya Allah! Kak Yogiiiiiie………,” jerit Fisha histeris. Ia segera berlari menghampiri Yogie dan cepat-cepat mengambil pecahan kaca di tangan Yogie.
“Ada apa, Fi?,” tanya Dika yang tiba-tiba ikut nyelonong masuk begitu mendengar jeritan Fisha. Ia segera berlari mendekati Yogie dan Fisha.
“Kak Yogie, Kak. Kak Yogie tadi mau bunuh diri, “ ujar Fisha terisak sambil memperlihatkan pecahan kaca yang tadi hendak digunakan Yogie untuk bunuh diri.
Dika terbelalak melihatnya.
“Bener, Gie? Bener kamu mau bunuh diri tadi?,” tanya Dika seraya menatap Yogie tajam.
Yogie tertunduk. Ia tak berani menatap wajah kakaknya. Ia hanya terdiam dan terus menangis. Dika dan Fisha semakin bingung dibuatnya.
“Gie, gak biasanya kamu begini. Ada apa? Bilang sama kakak. Kenapa kamu mau bunuh diri? Ada masalah apa sebenarnya?,” tanya Dika lagi. Kali ini dengan nada suara yang lebih rendah.
Fisha mengambil secarik kertas yang tergeletak di atas lantai. Ia tak tahu pasti isi secarik kertas itu apa. Hanya saja, ia melihat ada logo dan kop rumah sakit tempat Yogie di rawat tempo hari.
“Sepertinya ini hasil lab Kak Yogie, Kak,” ujar Fisha, menyerahkan secarik kertas itu pada Dika.
Dika membaca tulisan di atas kertas itu dengan seksama. Sama seperti Fisha, Dika pun tak paham dengan tulisan di atas kertas itu.
“Apa karena ini?,” tanya Dika lagi sambil memperlihatkan secarik kertas dari rumah sakit itu pada Yogie.
Yogie tak menjawab. Ia malah kian membenamkan wajahnya.
Dika dan Fisha saling beradu pandang. Mereka semakin tak mengerti dengan sikap Yogie.
“Kak, ada apa sebenarnya? Apa yang membebanimu hingga kakak ingin mengakhiri hidup kakak sendiri? Katakanlah, Kak. Jangan pikul beban itu sendiri. Bukankah kita bersaudara? Biarlah kami ikut memikul bebanmu itu, Kak,” ucap Fisha lemah lembut pada kakaknya itu.
Dika mengangkat wajah Yogie agar menatapnya.
“Gie, pundak kami untukmu. Lepaskanlah segala beban itu di pundak kami,” Dika menimpali.
Yogie tak kuasa lagi menahan segala rasa yang berkecamuk di hatinya di hadapan kakak dan adik yang sangat dicintainya. Yogie pun merangkul Dika dan kembali menangis dalam pelukan kakaknya itu. Fisha dan Dika terenyuh dibuatnya meski Yogie belum mengatakan apa yang sedang dirasakannya. Keduanya membiarkan Yogie tenggelam dalam tangisnya selama beberapa waktu agar terluapkan semua yang mengganjal di dalam hatinya.
Setelah Yogie terlihat sudah lebih tenang, Dika melepaskan rangkulan Yogie dan menatap adiknya itu dalam-dalam.
“Katakanlah, ada apa sebenarnya?,” tanya Dika kemudian.
Yogie mengatur napasnya.
“Hasil tes itu menunjukkan kalau ternyata aku terkena kanker, Kak,” ujarnya dengan sedikit terbata karena menahan tangis.
“Kanker?,” Dika tak percaya mendengarnya.
Yogie mengangguk menegaskan.
“Astaghfirullahal’adzim, Kak Yogie,” kata Fisha terhenyak. Tangisnya pun tak terbendung lagi.
“Ya, Allah…,” Dika pun terkejut bukan main. Ia terdiam sesaat. Sekujur tubuhnya terasa lemas tiba-tiba. Bibirnya pun seolah kelu karenanya.
“Dokter bilang, aku terkena kanker darah stadium akhir. Dan mungkin, sisa umurku hanya tinggal 3 bulan saja,” ungkap Yogie lirih.
“Jadi karena itu tadi Kak Yogie mau bunuh diri? Karena itu, Kak?,” tanya Fisha menatap tajam wajah kakaknya.
“Ini kanker, Fi. Penyakit yang belum ada obatnya! Penyakit yang gak bisa disembuhkan oleh dokter. Penyakit yang sudah merenggut nyawa banyak orang,” jawab Yogie dengan nada tinggi.
“Astaghfirullah. Kak, kematian itu sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk yang bernyawa. Hanya saja, kita gak tahu kapan dan dengan cara seperti apa kita akan mati. Kita gak tahu, Kak. Gak tahu! Cuma Allah yang Maha Tahu. Cuma Allah, Kak,” ucap Fisha mengingatkan Yogie. “Selama ini kakak suka berkelahi, suka balapan motor, apa kakak gak sadar, nyawa kakak bisa terenggut kapan pun ketika melakukannya. Kenapa sekarang kakak harus takut dengan sebuah kematian padahal yang kakak lakukan selama ini sangat dekat dengan kematian? Dan apa kakak tahu, kematian itu sesungguhnya dekat, Kak. Sangat dekat!,” lanjut Fisha.
Dika menepuk bahu Fisha pelan, memberi isyarat agar Fisha tidak melanjutkan berbicara. Fisha pun diam. Ia hanya menyimak semua ucapan Dika pada Yogie.
“Gie, semua makhluk yang bernyawa itu memang akan mati. Tapi kita gak pernah tahu kapan dan dimana. Juga dengan cara seperti apa. Betapa banyak orang-orang yang diambil nyawanya mati ketika sedang melakukan maksiat. Ada yang mati ketika sedang mabuk minuman keras, ada yang mati di tempat pelacuran, ada yang mati ketika sedang mencari ilmu hitam. Na’udzubillah.”
Dika menarik napas sejenak. Yogie terdiam mendengarkan. Ia sudah terlihat lebih tenang sekarang.
“Gie, karena kita tidak pernah tahu, makanya kita harus selalu siap kapan saja dan dimana saja. Tentunya dengan menghabiskan setiap detik yang kita punya dengan hal-hal yang bermanfaat, untuk selalu beribadah kepada-Nya, bukan dengan hal-hal yang tidak berguna seperti balapan motor. Jika saat balapan motor kamu kecelakaan dan nyawa kamu gak tertolong, berarti kamu mati sia-sia. Sama seperti yang kamu ingin lakukan tadi, kamu hanya akan mati sia-sia jika kamu mati bunuh diri,” sambung Dika.
Dika memperhatikan raut wajah Yogie dalam-dalam.
“Allah tidak suka melihat hamba-Nya putus asa. Apalagi bila sampai bunuh diri. Gie, yang menentukan hidup dan mati seseorang itu Allah. Yang memberi penyakit dan yang menyembuhkan penyakit juga Allah. Bukan dokter. Bukan! Kalau pun sebuah penyakit sudah ditemukan obatnya, jika Allah tidak menghendaki seseorang untuk sembuh, maka Allah tidak akan mengangkat penyakit orang itu dari tubuhnya. Tapi jika Allah menghendaki seseorang untuk tetap hidup, sekalipun ia mengidap kanker atau penyakit lain yang belum ada obatnya, maka dengan izin-Nya orang itu akan tetap hidup sampai batas waktu yang Allah berikan untuknya,” Dika menjelaskan panjang lebar.
“Gie, yang terpenting sekarang, tetaplah percaya pada kebesaran Allah. Sesungguhnya Dia-lah sebaik-baiknya penolong. Bukan dokter atau siapapun! Tetaplah berhusnuzhan pada-Nya. Yakinlah penyakit yang Allah berikan padamu bukan karena Allah ingin menghukummu, tapi karena Allah sayang padamu. Allah menegurmu agar kamu tidak menyia-nyiakan hidup yang dianugrahkan-Nya pada kamu. Yakinlah kalau ujian ini adalah cara Allah untuk mengampuni dosa dan kesalahan-kesalahanmu selama ini. Juga cara Allah untuk meningkatkan keimananmu, meninggikan derajatmu di hadapan-Nya.”
“Aku tak peduli apakah yang Allah berikan padaku hari ini musibah ataukah anugrah. Urusanku hanyalah tetap berhusnuzhan pada-Nya,” Fisha menimpali seraya tersenyum meyakinkan kakaknya.
“Gie, jika Allah menghendaki, dengan izin-Nya kamu pasti sembuh. Tapi jika memang tidak, berusahalah untuk mempersiapkan diri menghadap-Nya dalam keadaan yang terbaik, dalam keadaan bertaubat pada-Nya. Gie, kapan pun kematian itu akan menjemput, siapkan bekal untuk menghadap-Nya. Siapkan bekal dengan memperbanyak zikir pada-Nya, dengan banyak beribadah pada-Nya, dengan melakukan banyak kebaikan, dan yang terpenting….gunakan setiap detik yang kamu punya untuk mencari keridhaan-Nya,” Dika terus memotivasi adiknya. Menguatkan adik laki-laki satu-satunya itu.
Yogie kembali terisak. Selama ini, ia memang telah melakukan banyak kesalahan. Ia telah menyia-nyiakan hidup yang Allah berikan pada-Nya. Padahal hidupnya di dunia hanyalah sementara saja. Hanyalah sebuah persinggahan. Hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat sana. Kehidupan yang kekal dan abadi.
Yogie menggenggam tangan Dika erat-erat.
“Kak, bantu aku. Bantu aku melewati sisa usia yang ku punya ini untuk meraih keridhaan-Nya. Bantu aku, Kak,” pinta Yogie dalam tangisnya.
“Insya Allah. Insya Allah, kakak pasti akan membantumu,” jawab Dika seraya menepuk telapak tangan Yogie perlahan. Bibirnya tersenyum berusaha menguatkan Yogie. Namun perlahan air matanya pun jatuh berlinang di pipinya.
“Kak, Kak Yogie gak sendiri. Kita akan menghadapi semua ini bersama-sama. Melewati semua ini bersama-sama. Karena itu, Kakak harus kuat dan tegar,” Fisha menimpali juga dengan linangan air mata di pipinya.
Ketiganya pun larut dalam suasana yang penuh haru dan kepedihan. Suasana kamar Yogie pun seketika menjadi hening.
Di antara tiga bersaudara itu, memang Yogie-lah yang sejak kecil terlihat berbeda. Ia memiliki watak yang pemberontak dan tidak bisa diatur. Sedangkan Dika dan Fisha, keduanya sangat penurut. Keduanya pun aktif di berbagai kegiatan organisasi di sekolahnya. Berbeda dengan Yogie, ia lebih aktif bolos sekolah dan berkelahi dengan teman-temannya di sekolah. Hingga sering membuat repot kedua orang tuanya. Apalagi ketika sudah memiliki motor sendiri ketika memasuki bangku kuliah, ia pun ikut bergabung dalam gank motor. Membuat kedua orang tua dan saudaranya cemas padanya.
Namun yang masih disyukuri, seperti apapun kenakalan Yogie, ia tak pernah sampai menyentuh minum-minuman keras, obat-obatan terlarang apalagi pergaulan bebas. Merokok saja pun ia tak mau. Ia tidak mau melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Karena ia tahu, semua itu hanya akan merusak tubuhnya, hanya akan merugikan kesehatannya. Ia tidak mau bila sampai itu terjadi.
Sayup-sayup, suara azan terdengar dari Masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Yogie. Membuat ketiganya sadar kalau hari telah beranjak senja.
“Sudah Maghrib, Kak,” ujar Fisha.
Dika mengangguk.
“Gie, kita bersiap untuk shalat di Masjid. Masalah ini akan kita bicarakan lagi dengan Ayah dan Ibu setelah Ayah pulang nanti. Bagaimana pun, Ayah dan Ibu harus tahu masalah ini,”
“Tapi, Kak….,” Yogie merasa keberatan. Ia tidak mau membuat Ayah dan Ibunya bersedih karenanya. Apalagi jika hanya akan menambah beban mereka.
Dika menepuk bahu Yogie.
“Kita akan menghadapinya bersama. Ingat itu!,” sahut Dika cepat diiringi anggukan kepala Fisha.
“Sekarang kita shalat Maghrib dulu,” lanjut Dika seraya bangkit dari duduknya.
“Kak Yogie bersiap saja ke Masjid. Pecahan gelas ini biar Fisha yang bersihkan,” ucap Fisha sambil memunguti pecahan gelas yang berserakan di atas lantai.
Yogie menurut saja. Ia bersiap ke Masjid bersama Dika meski ia sudah tidak ingat lagi sudah berapa lama tidak shalat dan pergi ke Masjid. Sekejap ia tersadar, berapa banyak waktu yang telah dilewatkannya begitu saja tanpa makna. Yogie menangis pilu dalam shalatnya, memohon ampunan dengan penuh penyesalan pada Rabb-nya. Ia sadar betapa sesungguhnya ia teramat lemah. Dan ia bukanlah siapa-siapa. Ia hanya makhluk ciptaan Allah yang tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak-Nya.
Yogie pun larut dalam zikirnya. Ia terus berdoa dan berdoa pada Sang pemilik nyawanya.
“Ya, Allah…. Jika memang ini sudah takdirku, maka biarkanlah semua rasa sakit ini menjadi penawar bagi dosa-dosaku,” doanya lirih.
******
Ba’da Isya, Dika mengumpulkan kedua orang tua dan kedua adiknya di ruang tengah. Ia ingin memberitahukan penyakit yang diidap Yogie pada kedua orang tuanya. Juga untuk mencari solusi terbaik bagi adiknya itu.
Seperti Dika & Fisha, Pak Yusuf & Bu Renna pun sangat terkejut setelah mendengar perkataan Dika. Mereka langsung memeluk Yogie dan menangis sejadinya. Yogie yang tadi sudah tenang, menangis kembali. Ia terisak meminta maaf pada kedua orang tuanya atas semua perbuatannya selama ini yang sering membuat kesal dan repot orang tuanya. Dika dan Fisha yang melihatnya, ikut menitikkan air mata. Suasana di rumah itu pun kembali diliputi kepiluan yang teramat sangat.
*****
Sudah satu bulan ini, Yogie menjalani kemoterapi di rumah sakit. Meski semua itu tak menjamin penyakitnya akan sembuh. Yogie berusaha menjalaninya dengan sabar dan penuh ketegaran. Dika dan Fisha berusaha terus memberikan semangat pada Yogie. Begitu pula Pak Yusuf dan Bu Renna. Mereka semua berusaha terus memotivasi Yogie untuk tidak putus asa, untuk tetap terus berjuang melawan penyakitnya.
Bukan hanya itu, Dika dan Fisha juga membantu Yogie untuk meningkatkan keimanannya pada Allah, membantu Yogie memperdalam lagi ajaran dien-nya agar setiap detik yang dimiliki Yogie penuh dengan barakah Allah, juga mendapatkan ridha Allah.
Namun, Yogie merasa semua yang dilakukannya belum cukup. Ia berniat untuk tidak lagi menjalani kemoterapinya di rumah sakit. Di sisa hidupnya yang entah berapa lama lagi, Yogie ingin merasakan hidup di dalam lingkungan pesantren dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an sampai ajal benar-benar menjemputnya.
Yogie pun mengutarakan keinginannya pada kedua orang tuanya. Mengingat kondisi Yogie yang kian melemah, tentu saja Pak Yusuf dan istrinya tak mengizinkannya. Tapi tekad Yogie sudah bulat. Ia berulang kali memohon pada kedua orang tuanya agar memenuhi permintaannya itu. Karena ia tak punya keinginan lain jika saat itu benar-benar merupakan hari-hari terkahir hidupnya. Dika dan Fisha pun berusaha membujuk orang tua mereka. Hingga akhirnya, hati Pak Yusuf dan Bu Renna luluh oleh kesungguhan niat Yogie. Mereka akhirnya mengizinkan pula Yogie menghabiskan waktu yang masih dimilikinya di sebuah pesantren di daerah Bogor meski rasanya berat dan khawatir tiada terkira.
*****
3 bulan kemudian, 5 Juni 2010
Fajar baru saja menyingsing. Embun pagi masih melekat di atas dedaunan. Bau udara pagi pun masih terasa, begitu menyejukkan. Mentari bersinar indah di ufuk timur sana. Burung-burung kecil berlompatan dengan riangnya dari satu dahan ke dahan lainnya sambil berkicau merdu. Sebuah pagi yang indah, di kaki bukit Gunung Salak Bogor. Yogie menikmati pagi yang indah itu seraya tak henti mengucapkan rasa syukur pada Pemilik jagat raya ini yang masih mengizinkannya menikmati pagi yang indah itu.
Suasana pagi itu bertambah indah, manakala keluarganya datang dan memberikan ucapan selamat padanya.
“Selamat milad ke-21, Kak. Barakallah fi umurik,” ucap Fisha begitu berada di hadapannya.
“Selamat milad, Gie. 21 tahun sudah kamu hidup di dunia ini, berapa pun sisa usia yang kamu punya, semoga usiamu itu penuh dengan barakah Allah,” sambar Dika tak mau kalah.
“Terima kasih, Fi, Kak Dika,” jawab Yogie cepat.
“Berapa pun usia yang kamu punya, semoga Allah meridhaimu, Nak,” ucap Bu Renna tak mau ketinggalan.
“Barakallah, Nak,” Pak Yusuf menimpali dengan mata yang berkaca-kaca.
Yogie pun menjadi terharu karenanya. Air matanya bercucuran sedikit demi sedikit.
“Sudah-sudah. Ini kan miladnya Yogie. Jangan buat dia cengeng begitu!,” ujar Dika cepat berusaha menetralkan suasana kembali.
Fisha dan yang lainnya tertawa kecil mendengarnya.
“Iya. Ini miladnya Kak Yogie. Kita harusnya bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan Kak Yogie merasakan milad ke-21. padahal waktu itu, dokter udah vonis umur Kak Yogie hanya tinggal 3 bulan lagi. Nah, sekarang sudah 4 bulan lebih kan sejak dokter bilang seperti itu. Allah memang Maha Besar, Maha Berkehendak,” cerocos Fisha bahagia. “Ehm…Kak Yogie mau kado apa dari Fisha?.”
Yogie tersenyum kecil.
“Masih bisa berkumpul dengan kalian lagi, itu sudah merupakan kado yang sangat istimewa buat Kakak. Kakak gak mau yang lain lagi,” jawabnya.
“Kalo gitu, hadiahnya berita gembira aja,” ujar Fisha kemudian.
“Berita gembira apa?,” Yogie balik bertanya.
“Kak Dika sudah lulus sidang skripsi dengan nilai A, dan Fisha sudah diterima kuliah di IPB melalui jalur PMDK,” jawab Fisha semangat.
“Bener?,” Yogie ingin meyakinkan lagi.
Fisha dan Dika mengangguk cepat.
“Alhamdulillah… Selamat ya, Fi, Kak Dika,” ucapYogie berganti memberi selamat pada keduanya.
“Subhanallah, begitu banyak nikmat yang Allah berikan. Dan kita gak kan sanggup untuk menghitungnya. Terima kasih ya Allah. Terima kasih atas segala nikmat yang telah Kau berikan ini,” ujar Yogie bersyukur.
“Sudah-sudah, ngobrolnya dilanjutkan di dalam mobil saja,” Bu Renna mengingatkan anak-anaknya yang terlihat gembira sekali. Mereka pun menurut. Yogie, Dika dan Fisha segera melangkah menuju mobil mengikuti langkah kaki Bu Renna dan Pak Yusuf yang telah terlebih dahulu menuju mobil Avanza milik kantor yang sengaja dipinjam Pak Yusuf demi untuk menjemput anaknya di pondok pesantren.
“Kak, Kak Yogie terlihat lebih segar dan bersemangat dari sebelumnya,” ujar Fisha begitu duduk di dalam mobil.
“Kan kamu sendiri yang bilang, kematian itu sebuah keniscayaan. Tak ada gunanya meratapi dan menyesali diri. Yang terpenting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri kita untuk menghadapi kematian yang entah kapan datangnya itu,” jawab Yogie tanpa ragu.
Yogie menarik napas.
“Sedapat mungkin, kakak berusaha untuk menghilangkan perasaan sedih, cemas dan takut itu dari dalam diri kakak dengan tetap tersenyum. Kakak berusaha untuk tetap optimis dan selalu berhusnuzhan pada Allah. Dan itulah satu-satunya obat yang tersisa ketika semua obat tak bisa lagi mengobati penyakit kakak. Juga dengan tetap percaya bahwa Allah akan menyembuhkan penyakit kakak ini,” sambung Yogie.
Dika tersenyum mendengarnya.
“Alhamdulillah. Penyakitmu ini sudah membuat kamu menyadari hakikat hidup ini. Mungkin ini benar-benar cara Allah untuk memberikan hidayah-Nya padamu,” sahut Dika.
“Jika Allah memang akan merenggut nyawaku saat ini, insya Allah, aku telah lebih siap, Kak. Dan aku tak kan menyesali penyakit yang telah menggerogoti hatiku.”
“Kak, jika Allah masih memberikanmu umur beberapa minggu lagi, apa yang paling kakak inginkan?,” tanya Fisha tiba-tiba.
Yogie tidak langsung menjawab. Ia tersenyum pada adiknya yang menunggu jawaban darinya.
“Menikah!.”
“Hah! Menikah?!,” ucap Fisha dan Dika berbarengan lalu tertawa kecil.
“Lho, memang orang yang kena kanker, yang katanya sisa umurnya tinggal sedikit, gak boleh menikah?,” sahut Yogie seraya berusaha menahan tawa melihat raut wajah kakak dan adiknya.
“Tentu aja boleh,” sahut Dika pelan.
“Rasul kan melarang kita membujang, dan ketika mati pun sebaiknya jangan dalam keadaan membujang. Karena itulah, di sisa umur kakak, kakak ingin menikah dan menggenapkan separuh agama ini,” Yogie menjelaskan.
“Iya juga sih. Harusnya orang-orang yang mengidap kanker itu juga dibantu buat menikah. Jangan karena dokter bilang usianya tinggal 3 bulan, jadi gak dibantu menikah. Atau pada gak mau menikahi orang yang terkena kanker. Padahal bisa jadi dengan menikah Allah memperpanjang umurnya, bisa jadi Allah justru mengangkat penyakitnya. Iya kan?,” cerocos Fisha lagi.
Dika mengangguk membenarkan.
“ Ya sudah, besok kakak carikan seorang akhwat yang shalihah buat kamu,” ujarnya kemudian.
Fisha tertawa geli.
“Bener, Kak? Memang kakak mau dilangkah sama Kak Yogie?.”
“Ya..carinya 2 akhwat sekaligus. Buat kakak satu, Kak Yogie satu. He.he..,” jawab Dika diikuti tertawa renyahnya.
Suasana di dalam mobil pagi itu pun terasa hangat. Sehangat mentari pagi yang menyinari di langit sana. Tak ada lagi kesedihan, tak ada lagi penyesalan. Mereka semua tersenyum optimis dan tetap berhusnuzhan pada Allah yang Maha Berkehendak.
Mobil terus melaju menyusuri kaki gunung Salak yang damai. Diiringi lantunan merdu Edcoustic dari tape mobil.
Wahai pemilik nyawaku
Betapa lemah diriku ini
Berat ujian darimu
Ku pasrahkan semua padamu
Tuhan..baru ku sadar
Indah nikmat sehat itu
Tak pandai aku bersyukur
Kini ku harapkan cinta-Mu
Kata-kata cinta terucap indah
Mengalir berzikir di kidung doaku
Sakit yang ku rasa biar jadi penawar dosaku
Butir-butir cinta air mataku
Teringat semua yang Kau beri untukku
Ampuni khilaf dan salah slama ini ya Illahi
Muhasabah cintaku
Tuhan… kuatkan aku
Lindungiku dari putus asa
Jika ku harus mati
Pertemukan aku dengan-Mu
0 komentar:
Posting Komentar